"Ehm. Bau anyir Tuan!" Max menyeru sambil memegangi hidung. Sementara satu dari dua anak buahnya cekatan mengambil sample di lantai."Tolong sembunyikan ini dari polisi." Arga mengucap pada semua orang di sana.Lelaki dengan manik mata kelam itu merasa semua ini adalah ulah sang papa. Karenanya ia tak boleh gegabah. Selain mengancam kedudukan perusahaan, juga ia masih setengah hati menyerahkan sang papa ke pengadilan. Namun, meski begitu dalam hati Arga berjanji, jika telah jelas semua dengan bukti-bukti, dia akan menyerahkan sang papa nanti.Max dan anak buahnya lalu bergerak kembali, mencari lubang galian di belakang bangunan. Barangkali mayatnya dikubur di sana. Atau ke bagian bangunan yang renovasi, takut jika mayat Mira dicor di dalamnya."Sepertinya, mayat itu tak dikubur di sini Tuan." Max meniup berat. Disusul Arga yang mendesah panjang."Kita kembali saja. Cek di lab apa darah itu benar milik Mira. Jika perlu bayar detektif swasta untuk menyeledikinya," titah Arga pada semua
Sementara Anya masih berkutat dengan pekerjaannya, Arga berpikir agak lama. "Ehm. Yah. Pergilah ...." Arga menenggelamkan kembali tubuh dengan malas ke ranjang king size miliknya. "Hati-hati!" sambungnya lagi."Yah. Tentu saja." Anya tersenyum, lalu meninggalkan pekerjaan, mendekat pada Arga untuk mengucap terimakasih. Ia duduk di sisi ranjang, mengusap pipi Arga yang kembali memejamkan mata. Seketika mata pria itu terbuka karena merasakan hangat ada sentuhan.Anya tersenyum. "Makasih," ucapnya dengan sedikit membungkuk sebagai penegasan.Arga membalas senyum. "Hem, nakal, ya!" Suaranya tertahan. Direngkuh tubuh Anya ke ranjang, sejajar dengannya."Om, ih. Sudah mau subuh ini!" seru wanita yang masih mengenakan setelan lingerie di pelukan Arga."Biarin sekalian mandinya!" paksa Arga yang membuat wanita dalam pelukannya terkikik. Masa yang mereka lalui memang sulit, tapi tak menghalangi untuk tetap bahagia. Yah, cinta yang mengikat sepasang kekasih menjadi obat mujarab untuk setiap m
"Dasar gubl*k!" Sebuah tendangan mendarat ke kaki kering seorang pria yang terikat dari beberapa pria lain.Pria itu mengaduh sakit, tapi masih enggan bicara siapa yang mengirimnya. Meski mulut dan beberapa bagian tubuh lain sudah berdarah."Katakan!" teriak Max kesal. "Bunuh saja kami!" Pria lain berseru sombong dengan pelipis dan bibir penuh semburat kemerahan. Sudah persis seseorang yang baru saja makan saos memenuhi setiap sudut mulutnya.Max mendekati pria yang berbicara dengan angkuh."Hemh. Sudah terdesak saja masih sombong!" Ditampar pipi kanan salah satu kawanan yang tak bisa melawan karena kalah jumlah itu."Joe!" Max kini memanggil salah satu anak buahnya."Ya, Bos!" Pria dengan tubuh gempal datang. Berdiri mensejajari Max."Gimana? Kita kubur di gunung atau lempar ke kandang buaya saja buat menghilangkan jejak mereka?" Max melirik sinis pada para penculik istri bosnya, dengan senyum jahat di wajahnya."Kandang buaya, ide terbaik Bos!" Joe berseru mantap."Kasian sekali is
"Boikot semuanya!" seru Admaja dari ujung telepon."Maaf, Tuan. Tak semudah itu. Psycho Man memiliki banyak sekali fans."Apa susahnya? Kamu tinggal Minta Lukman si pejabat gila uang itu untuk membuat undang-undang!" sentak Admaja. "Em, prosesnya akan memakan waktu sangat lama. Em, kenapa tak gunakan cara lain? Kita sewa saja buzer sebanyak-banyaknya.""Yah, terserahlah. Tapi aku mau Arya tidak dilepaskan hingga proyekku berhasil." Admaja mengucap tenang."Eum, soal itu ada yang mengajukan banding atas tanah proyek itu Tuan." Anak buahnya bicara dengan ragu. Sejak kasus Psycho Man mencuat, banyak tokoh sekitar akhirnya buka mata dan ikut memperjuangkan hak warga."Oh, shit!"Gigi Adamaja bergemerutuk. Menahan emosi. Sia-sia banyaknya uang dan waktu yang dikerahkan untuk proyek. Tapi justru begini akhirnya. Ia tak menyangka jika akan salah langkah."Jadi?" Pria di ujunga telepon menunggu jawaban. Tak ada jawaban dari Admaja. Kepalanya sudah buntu. Belum lagi bis bebas dari tuduhan ya
Suasana dalam sekejap terasa berbeda. Yahya berhasil mengejutkan semua orang dengan pernyataannya. "Saya akan melamar Ibu Mira." Tatapan Yahya beralih sebentar pada Mira, lalu pada anak dan menantunya, Anya dan Arga. Seolah meminta persetujuan mereka.Arga yang sempat tak berkedip menatap Yahya dengan keputusan tak terduganya, akhirnya mengulum senyum. Lalu menatap pada Anya. Menggerakkan kepala, agar istrinya itu merespon. Namun, wanita yang hatinya senang karena baru bertemu sang ibu itu menggedikkan bahu. Tak mengerti harus bicara apa."Em, soal itu saya ...." Ucapan Mira menggantung. Sementara semua orang kini menatap ke arahnya. Penasaran. Termasuk Amora dan neneknya. Gadis kecil bernama Amora itu bahkan tak berkedip sedikit pun. Hatinya berdebar. Sejak bertermu dan kemudian dekat, ia menginginkan Mira menjadi sosok ibu yang terus ada di sisinya."Apa Bapak melamar saya karena kasihan?" tanya Mira menyembunyikan pipinya yang memerah. Sambil memegangi perut buncitnya.Kali ini
"Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s
"Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa
"Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah
Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l
Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den
Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat
"Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya
"Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah
"Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin
"Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah
"Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa
"Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s