"Bersabarlah, An ... karena waktu akan menghapus semua kesedihanmu!"
❤❤❤Air mata Mira luruh tak terbendung. Ia terus mengusap pundaknya, seolah tangan pria bejat itu masih berada di sana menodai setiap jengkal kehormatan dan harga dirinya."Bagaimana aku akan hidup, Tuan?" tanya Mira pada Admatja tanpa melihat pada lawan bicaranya itu."Tenang lah, Mir. Selama kamu tidak hamil bukan kah tidak jadi masalah?!" Admatja berusaha menghibur agar Mira tenang."Tapi bagaimana jika saya hamil? Apa Mas Arga mau menerimaku? Tanggal pernikahan sudah ditetapkan." Wanita itu dipenuhi ketakutan yang besar. Ia begitu mencintai Arga. Apa jadinya jika ia kehilangan pria itu?"Tenang lah, Mir. Semua akan baik-baik saja. Kita tidak tahu selama itu belum terjadi."Tuan Admatja menghela napas beberapa kali. Semua sudah disusun dengan matang, kehadiran Mira akan semakin mengukuhkan kekuasaan lewat tangan Arga. Bukan hanya pekerja keras, Mira dikenal pandai melobi investor. Keberadaan wanita itu akan menjadikan keluarga mereka menjadi pebisnis yang sempurna. Mengingat anak pertamanya tidak bisa diandalkan dan selalu menimbulkan masalah.Admatja menggeleng cepat, ketika sadar dari mengingat saat di mana Mira meminta bantuannya dulu. Ia sendiri bahkan tak yakin jika Mira tidak hamil, dan Arga mau dengan tulus menerimanya. Benar saja, entah bagaimana ceritanya, posisi Mira digantikan perempuan lain yang tak lain adalah anak wanita itu.Seorang pria duduk dengan santai, ia berniat membakar rokok hingga habis. Namun, baru separuh disesapnya pria lain yang usianya jauh lebih tua datang. Dengan gusar yang ia sembunyikan, Arya mematikan rokok di tangan dengan menekan hingga hancur di dalam asbak."Apa kamu sudah menemui Arga dan istrinya?" Pria yang datang duduk dengan tenang di kursi lain tak jauh dari anaknya. Tangan keriput Admatja memegang gelas berisi air putih yang baru ia tuang dari ketel di atas meja di depannya."Kenapa?" Arya menoleh pelan. "Apa Papa takut aku akan merusak kebahagiaan Arga sekarang?" tanya Arya, harga dirinya seringkali merasa terlukai tatkala orang tuanya membahas keberadaan antara dirinya dengan Arga. Sekali saja dibandingkan membuatnya membenci keadaan sendiri, juga sikap keluarga yang menurutnya selalu merendahkannya."Kamu salah paham, Ya. Papa dan mama hanya tidak mau kalian terus berperang seperti sekarang. Walau bagaimana kalian adalah saudara. Apa menurutmu menjaga perasaan kami tidak penting. Lihatlah kondisi kesehatan mamamu juga!""Cukup. Pa! Aku tahu betul maksud kalian, lebih maksud Papa. Semua ini bukan demi hubungan baik keluarga, tapi lebih pada bisnis keluarga. Benar kan?" protes Arya.Kini ia bangkit. Memilih menghindari papanya yang menurutnya terlalu ambisius dalam hal harta. Entah, berapa banyak pejabat yang menjadi kacungnya sekarang. Mereka yang melanggengkan kekuasaan keluarga Admatja dengan melegalkan kebijakan-kebijakan pesanan yang merugikan rakyat kecil. Lalu, kini kepentingan itu merambah ke hal pribadi Arga. Bukankah perbuatan papanya lebih kejam dibanding sikap yang ia ambil sebagai saudara untuk Arga?Lagi pula Arya bukan lah Arga. Yang dengan polosnya bisa tertipu permainan sang papa. Ia tahu betul bagaimana strategi yang Admatja mainkan, hanya saja setiap kali ingin mengutarakan pada Arga justru berakhir dengan permusuhan di antara mereka. Arya bahkan sudah kehabisan akal bagaimana cara mendekati saudaranya tanpa menjatuhkan harga dirinya lagi."Tahu apa kamu tentang bisnis keluarga?" Admatja geram mengingat selama ini, Arya memilih menjadi orang bebas tanpa mau ikut terus mengurus bisnis keluarganya."Sudahlah. Terserah saja. Aku akan tinggal di apartemen," ucap Arya pelan sembari menyambar kunci mobil dan jas untuk menutup kemeja yang membalut tubuh kekarnya."Tunggu Arya!" seru Admatja menghentikan langkah Arya. Tanpa berbalik sang anak berhenti, ia penasaran apa yang akan papanya katakan hingga berseru seperti itu."Soal Mira ... berhentilah mengungkitnya, biarkan Arga tenang dan melupakan wanita itu. Papa yakin sekarang dia sudah bahagia dengan istrinya yang baru." Sang papa mengucap seperti kalimat permohonan.Mendengar permintaan itu, Arya hanya memiringkan senyum meninggalkan ruangan. Menurutnya, Admatja hanya belum mengenal bagaimana Arga sebenarnya. Lelaki naif yang pandai menyembunyikannya sifat aslinya. Tenang di luar dan sulit ditebak di dalamnya. Sekali saja Admatja terpeleset, Arya yakin 100 persen bahwa Arga pun akan berbalik melawannya.____Baru menjejak kaki di halaman turun dari mobil, di tempat tinggalnya bersama tamunya -Irham- Arga harus merogoh ponsel yang berdering dalam saku celana.Karena melihat orang yang bersamanya kualahan, mengambil ponsel dengan satu tangan sebab tangan lain membawa tas kerja yang lumayan berat, Irham berinisiatif mengambil tas yang Arga pegang. Dengan begitu, pria dengan wajah oriental itu leluasa menjawab panggilan.Orang yang akan ia jahati berhati malaikat rupanya, atau ... hanya cari muka saja lantaran berpikir sekarang Arga adalah ayah dari Anya.Setelah mendengar suara di ujung telepon, wajah Arga yang sedari tadi dihiasi senyum karena puas akan bisa mengerjai Anya, kini berubah drastis."Hallo, Dik. Maaf aku tidak bisa datang ke resepsi kalian kemarin. Tapi ... aku akan singgah besok memberi selamat. Hem, tolong beri sambutan yang hangat, setidaknya untuk moment ini." Suara di ujung telepon terdengar bicara seramah mungkin. Meski ia tahu Arga tak peduli dengan kehadirannya sebagai saudara."Hentikan! Dan menjauhlah dari kehidupanku!" Tak ada basa-basi yang Arga katakan sebagai jawaban. Ia terlalu benci pada kakak lelakinya itu. Sejak awal mereka tak pernah ditakdirkan untuk saling sejalan dan hidup rukun laiknya saudara.Telepon sudah terputus. Arya, Kakak lelaki Arga tersenyum sinis di tempat lain."Hemh. Sampai kapan kamu bisa menghindar dariku, Arga?"___"Om." Suara pelan milik Irham membuyarkan pikiran Arga tentang saudaranya. Melenyapkan cepat rasa kesal pada Arya."Ohya!" sahutnya cepat.Arga dan Irham berjalan beriringan menuju rumah."Syukurlah, saya bisa ketemu Ayah tadi. Sudah berhari-hari, Anya tidak memberi kabar. Dan saya sangat khawatir," ucap lelaki yang berusia 25 tahun di samping Arga, membuat pria yang berhasil membawanya ke rumah menyembunyikan senyuman licik. Irham hanya tak tahu bahwa pria -yang dianggap seperti ayahnya sendiri karena menikah dengan ibu calon istrinya- itu sengaja berkeliaran di dekat tempat kerjanya. Ia mengatur rencana membawanya ke rumah dengan alibi kebetulan.Sampai di depan pintu rumah, jantung Irham seolah terpacu lebih kencang. Meski tak pernah berduaan seperti banyaknya pasangan lain yang akan menikah, bertemu dengan didampingi muhrim pun sudah cukup baginya menenangkan hati yang tak karuan, karena cemas, curiga dan rindu sekaligus."Mas Irham?"Hancur sudah hati Anya seiring keterkejutannya sekarang. Pria yang ia cintai kini berdiri di hadapan dengan statusnya sebagai istri orang lain.Sedang Irham tersenyum. Hilang semua kerinduan dan tanda tanya beberapa hari belakangan, melihat sosok wanita yang mengisi hati."Assalamualaikum, An. Bagaimana kabarmu?""Wa-wa-alaikumsa-salam," gagap Anya. Waktu seolah terhenti. Anya tak menyangka jika Arga akan tega membawa Irham ke mari. Pria itu bahkan tersenyum padanya, seperti tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi."An. Kenapa bengong. Bawakan kami air!" Arga bersikap santai, menggiring Irham ke sofa untuk duduk laiknya tamu pada umumnya."Ehm. Ya." Anya menjawab singkat meninggalkan mereka ke dalam menyiapkan kudapan. Debar jantungnya tak karuan, apa yang sebenarnya 'pria jahat' itu rencanakan?Arga melonggarkan dasi, ia bangkit dan menawarkan Irham barang kali ingin ke toilet atau sejenisnya."Em, saya sudah sholat, Om. Silakan jika Om ingin menunaikannya lebih dulu.""Hem. Yah. Sebentar ya." Irham meninggalkan pria itu, berharap tamunya akan menemui Anya hingga ia bisa menangkap basah keduanya, kembali menyerang pribadi Anya sekaligus membuatnya semakin terluka saat Irham tahu mereka sudah menikah.Baru akan berbelok ke ruang tengah, Arga melihat Irham mengeluarkan ponsel. Ia yakin pasti pria itu tengah menghubungi wanita yang masih ia pikir calon istrinya. Dua kaki kokoh Arga akhirnya melangkah hingga bayangan Irham lenyap dari pandangan.Ponsel Anya berbunyi, tapi lagi-lagi bukan dirinya yang mendapati, lantaran benda pipih itu tergeletak manis di atas ranjang kamar sedang perempuan itu sibuk di lantai bawah.[Afwan, Nona. Kenapa teleponku lagi-lagi tak diangkat. Kamu sangat sibuk ternyata. Oya, kenapa aku tidak melihat ibumu, apa kamu sering berduaan dengan ayah tirimu? Ah, maaf jika pertanyaan ini terdengar konyol karena cemburu]Arga tersenyum licik membaca chat Irham yang tampak jelas di layar notif."Dasar bucin! Heh."Pria yang masih memakai jas itu buru-buru berganti pakaian. Tak sabar rasanya melihat drama menyedihkan yang akan terjadi di bawah. Dendam di hati membuatnya lupa kewajiban pada Tuhan yang sebelumnya sempat ia dawamkan.Arga bersiul menuruni anak-anak tangga dengan cepat, Irham masih berada di tempatnya. Tidak bergerak sedikit pun. 'Sial! Kuat juga iman anak ini. Ahya, aku lupa dia seorang aktivis sekaligus ketua rohis dulu.' Pria itu agak kecewa Irham tidak nekad mendatangi Anya di dapur, begitu juga Anya yang juga tak basa-basi menemui pria yang dicintainya di ruang tamu bahkan dengan alasan memberi kudapan yang Arga perintahkan. Tapi bukan kah sejak awal Arga tahu siapa Anya, gadis sholehah yang menurut pada orang tua, bahkan untuk jadi tumbal mengorbankan hidupnya."Ah, kenapa anak itu tidak juga mengantarmu kudapan? Ya sudah. Bangun lah, Ham! Kita harus mengisi perut agar tetap bisa hidup!" seru Arga sangat bersemangat. Begitu pun Irham menyambutnya dengan antusias. Ia bangkit mengikuti langkah tuan rumah menuju ruangan lain."Dari tadi saya tidak melihat tante Mira, Om?" tanya Irham memberanikan diri."Yah, dia ... sedang tidak di sini.""Apa ada keperluan?""Em, yah!" Arga menjawab singkat. Ia berbalik, merangkul Irham dan berjalan sejajar ke meja makan yang sudah terlihat."Sudahlah, tak usah pikirkan dia. Kita makan sekarang." Ucapan Arga seolah memaksa hingga Irham mengangguk pasrah karenanya."Silakan!" ucap Anya pelan begitu dua pria itu telah sampai di tempatnya. Setelah makanan dan peralatan makan sudah disiapkan secara paripurna di atas meja makan kaca besar di depannya.Saat akan melangkah pergi, kaki Anya tertahan oleh suara bariton milik Arga yang memintanya tetap bertahan."Tetaplah di sini, An. Kita makan bersama.""Tapi, Om ....""Stt. Jangan membantah!" Arga meletakkan jari telunjuk di mulutnya. "Tak enak lah pada Irham. Lagian kamu harus menjelaskan sesuatu padanya. Kasian dia terus bertanya padaku tadi."Kening Anya berkerut. Benar dugaannya, Arga punya rencana untuk dirinya dan Irham. Entah, seberapa banyak lagi pria itu berbuat sesuatu yang bisa membuatnya puas menjadikan Mira dan dirinya tersiksa?"Yah, An. Duduk lah! Lagi pula kita tidak hanya berdua di sini, jadi kamu tidak perlu terus menghindariku," timpal Irham. Ia menggeser sebuah kursi untuk Anya. Arga melihatnya dengan muak. Irham sangat lebay, itu kah yang membuat Anya jatuh cinta pada lelaki itu?Wanita itu akhirnya duduk dengan ragu. Melirik sekilas pada Arga yang tersenyum jahat padanya. Sedang ia membalas tatapan pria jahat itu pandangan benci. Tak bisa dipungkiri, bukan hanya wajah rupawan yang tak kalah mempesona dibanding suaminya, tapi lebih dari itu kebaikan Irham membuatnya semakin kecewa karena harus tergantikan oleh pria tua, kejam dan jahat seperti Arga.Kini ketiganya telah duduk dengan nyaman. Dengan posisi Arga di tengah, sedang Anya agak menjauh satu kursi dari pria itu dan Irham berseberangan dengannya dekat dengan Arga. Irham sengaja memilihkan kursi untuk Anya, agar tak terganggu pandangannya dengan posisi lurus berhadapan, atau pun terlalu dekat dengan Arga yang membuatnya cemburu."Silakan, Ham. Makan lah yang banyak, agar kuat menghadapi kenyataan! Hahaha." Arga tertawa yang disusul dengan tawa pula oleh Irham karena ia pikir lelaki yang lebih tua darinya delapan tahun itu melontarkan humor padanya.Namun, kenyataannya Arga serius dengan ucapannya. Anya semakin muak, ekspresinya datar sambil mengunyah makanan, bahkan senyum tipis pun tidak tergambar di wajah ayunya. Irham yang mencuri pandang pada wanita itu seketika memelankan tawanya karena tak nyaman, Anya sepertinya tak suka lelucon itu."Em, maaf. Apa mungkin kebetulan kamu sakit, An. Wajahmu tampak pucat dan matamu em ...." Irham menggantung ucapannya, ia tak nyaman menyebut mata perempuan itu bengkak. Barang kali wanitanya itu sedang benar-benar sakit, pantas saja tidak membalas panggilan dan membalas chatnya beberapa hari ke belakang."Aku tidak apa-apa." Anya menjawab pelan dengan senyum yang dipaksakan."Syukur lah!""Mungkin dia hamil!" ceplos Arga yang membuat Anya melotot, begitu pun dengan Irham."Apa?!" Irham terkejut bukan main."Hahaha. Aku bercanda anak muda!" Arga tertawa terpingkal-pingkal. Ia sangat menikmati moment ini. Anya pasti berdebar-debar sedari tadi.Irham tersenyum sambil menggelengkan kepala."Sayang sekali tidak ada Bu Mira di sini, padahal banyak hal yang ingin kukatakan terkait kedatangan keluargaku." Irham berusaha memecah kecanggungan karena tawa kerasnya."Sepertinya dia tidak akan pernah kembali," ucap Arga santai."Maksudnya?" Dua alis tebal Irham tertaut.Anya yang sadar ke mana arah pembicaraan Arga segera menyahut. "Bisa kah tidak membahas ibu?" ketuanya. Arga boleh saja membuatnya menderita, tapi mempermalukan ibunya di depan orang lain ia tak bisa terima."Ada apa sebenarnya? Kalian berdua di sini, tapi kenapa Bu Mira tidak ada di sini dan tak kembali?" Irham mulai tak enak.Anya berdiri dan meletakkan sendok kasar hingga suara kerasnya yang beradu piring membuat Arga dan Irham terhenyak."Hentikan semua ini! Mas Irham pulang lah dan jangan pernah temui aku lagi! Sebaiknya kamu berhenti sebelum benar-benar terlibat dan ikut terluka!" seru Anya yang dipenuhi emosi dengan tangis yang akhirnya pecah.Bahkan melihat calonnya berteriak seperti itu sudah membuat Irham terluka, apa yang wanita itu maksudkan untuk tidak terlibat?"A-ada apa, An?" tanya Irham nyaris tak terdengar."Aku sudah menikah dengannya, Mas!" Telunjuk Anya mengacung pada Arga yang duduk dengan santai mengunyah makanannya. Tak banyak berpikir, ia pergi melarikan diri dari suasana yang Arga ciptakan untuk menyiksanya sekarang."Ap-apa?" tanya Irham tak percaya. "Apa benar yang Anya katakan, Om?""Ya, Ham. Dia adalah istriku!"BERSAMBUNGGimana Gaes, panjang kan? Ini ganti jarang update krn kendala sinyal. Jan lupa tinggalin jejak supaya author semangat lanjutinnya. Oya, met ied mubarok Taqobbalallahu minna waa minkum, kullu am wa antum bi khoir. ?Lelaki mana yang tak marah saat wanita yang dicintainya berkhianat dan sudah tidur dengan pria lain. Itu yang Irham rasa. "Tapi kenapa?" Tangan Irham terkepal. Tatapan pria itu nyalang pada Arga yang masih juga tampak santai di situasi ini. Orang yang dianggapnya baik itu ternyata adalah pria jahat yang tak bisa ditebak. Arga menggedikkan bahu. Melihat Anya menangis dan pergi, harusnya ia puas. Namun, ada bagian dari dirinya yang justru merasa sakit. Dia merasa terlalu kejam. Hingga memaki diri sendiri dalam hati. Tidak suka dengan respon pria yang sudah membawanya ke rumah besar itu, Irham bangkit dan mendekat pada Arga. Tanpa memikirkan akibatnya, tangan kanan Irham mencengkeram kerah kemeja milik pria di depannya dengan kasar. "BERENGSEKK! Kau apa kan, Anya?!" Rahang Irham telah mengeras. Pipinya berkedut, membawa rasa sakit yang ingin dimuntahkan dari dalam dada. "Hem? Kenapa? Kamu merasa dikhianati?" tanya Arga tanpa melawan. "Rasanya tidak akan seberapa dibanding kamu tau wa
Anya memegangi ponsel dengan gemetar. Pikirannya berkecamuk antara ingin tetap bertahan demi sang ibu, dan teriakan sisi hati yang lain meronta, ingin kabur dari Arga. "Hanya air mata yang kudapat jika terus bertahan dengan monster sepertinya!" Lagi, Anya mengusap matanya kasar. Cairan yang keluar itu menghalangi pandangan. Kini, jari-jari lentik milik Anya terus bergerak mengetik pesan untuk Irham. Siapa lagi yang peduli padanya? Sang ibu bahkan tak juga bisa dihubungi dan tak bisa diajak bicara. Anya butuh seseorang untuk bersandar. Hanya calon suaminya yang tengah terluka yang punya ikatan emosi dengannya selain Mira ibunya. Ia juga sangat yakin, meski dirinya bukan gadis suci, Irham masih mau menerima. [ .... tolong aku! ] Pesan terakhir telah terkirim. Semenit, dua menit tak ada balasan. Sampai satu jam, dua jam ... Irham tak membalas. Anya menghela lelah. Barang kali Irham masih sibuk, atau dia terlalu percaya diri dan berani berharap hal mustahil? Mana ada pria yang sudi
Perlahan Anya memasukkan benda pipih ke kantongnya sembari mendesah berat. Tak lama ia menjatuhkan ransel kecil di tangan. Lalu tubuhnya dibiarkan jatuh, jongkok dengan menumpu kedua kaki.Dua mata Arga menyipit tatkala mendengar suara tangis. Yah, lagi-lagi tangis Anya. Kenapa bukan Mira yang banyak menangis di depannya? Agar ia puas melihat wanita lacur itu menderita. Kenapa harus Anya? Dalam sekejap Arga merasa semakin bodoh dan rasa bersalah yang semakin dalam. Tubuh kekar Arga berbalik menyandar sejenak punggung ke dinding. Mengatur deri dalam dadanya. Ia akan hargai apa pun keputusan Anya. Pergi atau bertahan. Tak ada gunanya melarang perempuan muda yang ia sahkan sebagai istri beberapa hari lalu, bukan puas mendapati Mira menderita justru rasa bersalah yang menghantam qolbu. Arga merebahkan tubuh ke kasur king size dengan motif sprei bunga yang Anya pasang tadi pagi. Harumnya masih menguar, membuat rileks bagian tubuhnya yang ikut remuk karena stres. Baru saja memutuskan untu
Wanita itu terlihat sangat buas ketika ibunya dihina lagi-lagi dan lagi. Keberaniannya justru muncul ketika tanpa rasa malu Arga membawa Irham ke rumahnya. Rasa berani yang kemudian datang dari kemarahan yang bertumpuk-tumpuk.❤❤❤Suara petir membuat Arga dan Anya menoleh ke jendela. Namun, pria itu tak memindahkan posisinya mengunci tubuh sang istri ke dinding. "A-apa yang Om, inginkan?" gagap Anya ketika matanya bersirobok dengan mata Arga. Satu-satunya tatapan elang pria yang pernah lawan. "Apa sebenarnya maumu?" tanya Arga yang membuat wanita di hadapannya bingung. "Ap-ap-apa?" Tak dipungkiri dadanya bergemuruh hebat. Belum pernah ia sedekat sekarang dengan pria mana pun. Bahkan dengan Irham yang notabene calonnya saja, Anya menjaga pandangan."Kenapa kamu tak pergi dengan Irham?" Arga menghunus dengan tatapannya. Dua bola matanya bergerak-gerak melihat bayangan dalam manik mata Anya. Wanita itu bergeming. Apa yang Arga inginkan sebenarnya? Jika ingin melihatnya pergi dengan I
"Menyiksa orang baik itu seperti melukai diri sendiri. Hanya meninggalkan sesal dan rasa bersalah di hati."❤❤❤Irham larut dalam pikirannya. Ia terlalu rindu pada Anya. Gadis yang sudah merebut perhatian dan impian.Suara petir menggelegar, Irham tersentak dari pikiran bodohnya menyetubuhi istri orang lain. Sadar semua hanya bayangan, ia lempar ponsel yang menampakkan sosok Anya di sana. Ponsel itu menghantup dinding hingga retak. "Argh! Arga BRENGSEKKK!"Kenapa setelah memintanya datang, Anya mengirim pesan agar Irham pergi?Jelas-jelas Anya menderita di rumah itu, kenapa ia tak mau ikut pergi dengannya? Kenapa cepat sekali pikirannnya berubah? Sudah ia buang harga diri dan rasa takut, tapi bukan mendapati Anya ada di sisinya, malah rasa sakit yang ia rasa berlipat-lipat. "Apa yang musti kulakukan sekarang, An? Meminta penjelasan dan ketegasanmu?"Mata pria itu menerobos kaca hingga tampak bayangan bunga yang tumbuh rapi di pagar halaman rumahnya._______Lelaki bernama Yahya meng
Pikirannya mengawang, berputar saat mendapati sang papa dengan liciknya mengatur rencana. Pria tua itu dengan ringan menyuap banyak pejabat demi meloloskan tender. Tentu hal tersebut sangat berimbas pada kehidupan masyarakat kecil yang tinggal di sekitar proyek. Belum lagi kebijakan-kebijakan pesanan yang, hanya menguntungkan pihak kapitalis dan mencekik rakyat.❤❤❤Melihat musuh bebuyutannya datang, tanpa basa-basi Arga menutup pintu kayu besar yang berukir bunga bunga lily. Namun, satu kaki Arya sudah mengganjal agar pintu tak tertutup."Apa maumu? Pergilah sebelum aku berbuat kasar," usir Arga dengan nada datar. Ia yakin kedatangan saudaranya akan menimbulkan banyak masalah di dekatnya."Anda lupa, ini juga rumahku." Arya mengucap sembari menarik sebuah kertas dari kantong. Pria itu sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan Arga perbuat untuk menolaknya. Ia buka kertas tebal bertuliskan hak kepemilikan sebuah properti untuk menegaskan pernyataan."Heh!" Arga tersenyum muak.
"Anya tak menjawab, tangannya terus bergerak. Jika saja boleh ia ingin berbagi cerita, tapi siapa Arya? Dia hanya ipar yang bahkan bisa jadi maut baginya. Anya harus menjaga jarak, walau bagaimana mereka berdua adalah manusia normal."❤❤❤Mata Arya memicing ketika melihat Anya ke luar dari kamar adiknya."Apa mereka tidur bersama? Kemana manajer itu? Nakal juga kamu Arga! Heh."Dia yang tak tahu banyak mengenai kehidupan Arga, hanya tahu bahwa calon istri adiknya itu adalah seorang wanita yang menjadi salah satu pegawai di kantornya. Bernama Mira.Ia meneruskan aktifitasnya, menarik tangan dan kaki sebagai pemanasan lalu melangkah pergi untuk joging.Anya menuruni anak-anak tangga, melihat punggung Arya yang terlihat sama persis dengan punggung milik Arga semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Kakak beradik itu memang memiliki perawakan yang mirip. Hanya perlu memakaikan dua pakaian yang sama, maka orang tak bisa membedakannya ketika dilihat dari belakang. Tak ada firasat buruk
Ia terlalu ceroboh tidak menjaga kondisinya hingga membuatnya mengalami flek yang memaksanya pergi periksa dan harus bedrest setelahnya. Banyak hal yang harus dilakukan, tapi untuk sekarang ia memilih tiarap sebentar. Demi bayi yang ada di kandungannya. ❤❤❤Arya setengah berlari menggendong tubuh Anya yang mulai tak sadarkan diri lantaran rasa sakit yang mendera. Sebenarnya ia ingin menghubungi Arga, tapi menurutnya tak ada waktu untuk itu. Bisa jadi apa yang diderita Anya cukup serius yang jika terlambat sebentar berakibat fatal. "Kamu harus bertahan. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Okey!" Tak ada jawaban dari Anya. Hanya ada rintihan sakit yang meluncur dari mulut mungilnya. Kalau saja bisa, ia akan mengatakan ingin tetap di rumah saja. Ini akibat kecerobahannya sendiri, lantaran tak menjaga makan. Ia biarkan perutnya kosong. Begitu lah, saat Anya banyak pikiran, membuatnya tak bernafsu untuk sekedar menyuap makanan ke mulut. Sampai di rumah sakit, dua perawat dengan sigap m
Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l
Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den
Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat
"Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya
"Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah
"Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin
"Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah
"Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa
"Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s