Pikirannya mengawang, berputar saat mendapati sang papa dengan liciknya mengatur rencana. Pria tua itu dengan ringan menyuap banyak pejabat demi meloloskan tender. Tentu hal tersebut sangat berimbas pada kehidupan masyarakat kecil yang tinggal di sekitar proyek. Belum lagi kebijakan-kebijakan pesanan yang, hanya menguntungkan pihak kapitalis dan mencekik rakyat.❤❤❤Melihat musuh bebuyutannya datang, tanpa basa-basi Arga menutup pintu kayu besar yang berukir bunga bunga lily. Namun, satu kaki Arya sudah mengganjal agar pintu tak tertutup."Apa maumu? Pergilah sebelum aku berbuat kasar," usir Arga dengan nada datar. Ia yakin kedatangan saudaranya akan menimbulkan banyak masalah di dekatnya."Anda lupa, ini juga rumahku." Arya mengucap sembari menarik sebuah kertas dari kantong. Pria itu sudah mempersiapkan segala kemungkinan yang akan Arga perbuat untuk menolaknya. Ia buka kertas tebal bertuliskan hak kepemilikan sebuah properti untuk menegaskan pernyataan."Heh!" Arga tersenyum muak.
"Anya tak menjawab, tangannya terus bergerak. Jika saja boleh ia ingin berbagi cerita, tapi siapa Arya? Dia hanya ipar yang bahkan bisa jadi maut baginya. Anya harus menjaga jarak, walau bagaimana mereka berdua adalah manusia normal."❤❤❤Mata Arya memicing ketika melihat Anya ke luar dari kamar adiknya."Apa mereka tidur bersama? Kemana manajer itu? Nakal juga kamu Arga! Heh."Dia yang tak tahu banyak mengenai kehidupan Arga, hanya tahu bahwa calon istri adiknya itu adalah seorang wanita yang menjadi salah satu pegawai di kantornya. Bernama Mira.Ia meneruskan aktifitasnya, menarik tangan dan kaki sebagai pemanasan lalu melangkah pergi untuk joging.Anya menuruni anak-anak tangga, melihat punggung Arya yang terlihat sama persis dengan punggung milik Arga semakin menjauh hingga hilang di balik pintu. Kakak beradik itu memang memiliki perawakan yang mirip. Hanya perlu memakaikan dua pakaian yang sama, maka orang tak bisa membedakannya ketika dilihat dari belakang. Tak ada firasat buruk
Ia terlalu ceroboh tidak menjaga kondisinya hingga membuatnya mengalami flek yang memaksanya pergi periksa dan harus bedrest setelahnya. Banyak hal yang harus dilakukan, tapi untuk sekarang ia memilih tiarap sebentar. Demi bayi yang ada di kandungannya. ❤❤❤Arya setengah berlari menggendong tubuh Anya yang mulai tak sadarkan diri lantaran rasa sakit yang mendera. Sebenarnya ia ingin menghubungi Arga, tapi menurutnya tak ada waktu untuk itu. Bisa jadi apa yang diderita Anya cukup serius yang jika terlambat sebentar berakibat fatal. "Kamu harus bertahan. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Okey!" Tak ada jawaban dari Anya. Hanya ada rintihan sakit yang meluncur dari mulut mungilnya. Kalau saja bisa, ia akan mengatakan ingin tetap di rumah saja. Ini akibat kecerobahannya sendiri, lantaran tak menjaga makan. Ia biarkan perutnya kosong. Begitu lah, saat Anya banyak pikiran, membuatnya tak bernafsu untuk sekedar menyuap makanan ke mulut. Sampai di rumah sakit, dua perawat dengan sigap m
Sepanjang kehidupan yang telah dijalani, ia hanya melihat dari fakta, betapa banyak dua orang -lelaki dan perempuan- terjerumus dalam zina karena bergaul terlalu bebas. Sesuatu yang ia pun pernah mengalaminya dulu. Mungkin saja apa yang menimpa sekarang adalah hukuman dari Tuhan atas masa lalunya.💔💔💔"Mari saya bantu." Yahya mendekat dan akan memegangi tubuh Mira. Namun, cepat wanita itu menepis. Ia menolak dengan sopan bantuan dari sang manajer."Terimakasih. Saya bisa sendiri." Mira bangkit dengan pelan dan hati-hati. Bagaimana pun keadaannya jika masih bisa melakukan sesuatu sendiri, maka ia akan melakukannya.Cukup ia terpaksa menerima keberadaan Yahya di sampingnya karena peemasalahan yang menimpa. Namun, tidak untuk khilaf menjalin hubungan lain yang lebih dalam.Sepanjang kehidupan yang telah dijalani, ia hanya melihat dari fakta, betapa banyak dua orang -lelaki dan perempuan- terjerumus dalam zina karena bergaul terlalu bebas. Sesuatu yang ia pun pernah mengalaminya dulu
Ia merasa tak perlu menyalahkan takdir atas keinginannya yang tak terwujud. Daripada mengeluh, lebih baik ia berusaha mewujudkannya.❤❤❤Suara bass seorang pria yang berbicara dengan perawat terdengar samar."Apa itu Om Arga?" gumam Anya yang mengharapkan kehadiran suami. Walau bagaimana mereka telah menikah. Ada ikatan yang harusnya membuat pria itu cemas saat mendengar dirinya masuk rumah sakit."Om ...." Suara Anya menggantung. Wajahnya yang sempat berbinar seketika redup melihat siapa yang datang."Hallo," sapa Arya begitu masuk. "Apa adikku yang durhaka itu belum ke mari juga?" tanyanya heran. Seharusnya Anya sudah ditemani pria itu sekarang. Saat bertanya pada suster, katanya tak seorang pun datang melihat Anya. Pria itu datang dengan membawa kresek berisi makanan yang kemudian diletakkan di atas nakas."Hemh. Mungkin Om Arga sedang sibuk.""Om?" tanya Arya seketika. "Kamu memanggilnya Om? Hei, ayolah dia suamimu. Sebenarnya hubungan macam apa yang kalian jalani?" Arya menyodo
Tak ingin Anya melihat semua perseteruan dan perang dingin dalam keluarga mereka, hingga ia memilih menyudahi ucapannya dan pergi. Mengalah bukan berarti kalah, sebab seringkali hal itu lebih baik demi menjaga suasana hati antara mereka.💕💕💕"Tutup mulutmu, aku ada di sini karena suaminya tidak ada untuk menemaninya," sindir Arya, sembari membenahi barangnya."Aku punya alasan kenapa berbuat demikian, selain karena sibuk meeting orang yang memberiku kabar adalah orang yang tak bisa dipercaya ucapannya," kilah Arga. Yang hanya ditanggapi kakaknya dengan senyum sinis."Lalu, kamu?!" Kini tatapan Arga berpindah pada Anya yang kebingungan. Seolah akan mengalihkan target penyerangan.Matanya menyipit melihat benda pipih di tangan sang istri, jika ia memegang ponsel kenapa tak menjawab panggilan darinya? Kalaupun dalam mode senyap, harusnya ia segera menghubungi begitu melihat banyak panggilan tak terjawab."Kenapa kamu tak menghubungiku, ha? Lihat berapa banyak panggilan tak terjawab da
Arya berjalan lurus, memasuki kafe tempat di mana harus bertemu dengan pimred yang kini bekerjasama dengannya. "Apa yang membawa Anda untuk menemui saya?" Arya tak sabar mendengar penjelasan mengenai pembaruan kontraknya."Yah, silakan minum dulu, lah Mas PM. Saya sudah memesan kopi termahal ini khusus buat Anda." Arya menyeruput minuman berwarna hitam yang mengepulkan asap tipis-tipis. Rasa nikmat kopi melewati mulut sekaligus kerongkongan. Ia sangat suka menghirup aroma khasnya yang seringkali membangkitkan mood saat bekerja. Ya, menulis tanpa ditemani kopi seperti hidup tanpa oksigen untuk bernapas. "Jadi?" Arya bertanya singkat."Em, boleh lah kita ganti satu poin kontrak kita." Pimred tersebut mengatakan dengan ragu."Apa itu?" Ia mulai tak nyaman melihat ekprsei orang di seberang meja."Bolehlah kita bagi sedikit aja nama asli dan foto Mas PM, kasian reader dah lama kejang-kejang karena penasaran."Arya mengerutkan kening. Kontrak yang dibuat 90 persen berdasarkan kemauan pe
Berhentilah menahan orang lain sesuai keinginanmu sendiri. Karena mestinya orang baik itu dibahagiakan.❤❤❤"Kenapa wajahmu seperti itu? Apa kamu senang?" celetuk Arga yang melihat ekspresi aneh di wajah Anya. "Jangan terlalu senang karena hasil tesnya belum menunjukkan hasil positif." Arga berjalan ke arah jendela. Matahari menyorot panas ketika ia buka gorden. Posisi kamar yang Anya tempati memang mengahadap matahari terbenam."Sudah kubilang, pencahayaannya tidak bagus. Tapi suster itu ngotot tidak mau mengurus perpindahan kamar." Arga mengomel, berusaha untuk melarikan diri dari masalah yang ada di pikirannya "Em, sudahlah, Om. Sore ini kita sudah bisa pulang. Apa Om tidak kerja?" Anya melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 14.30. Jam di mana seharusnya Arga ada di kantor.Arga mendesah. Perlu kah istrinya mempertanyakan itu, sementara dia dalam keadaan sakit seperti sekarang? Atau sebenarnya Anya lebih menyukai Arya mengurus keperluannya? 'Argh! Sial. Ada apa dengan otakku
Sampai di dalam, Arga melihat Dilla sudah duduk manis di mejanya. Sepertinya wanita itu tengah mempelajari laporan. Namun, ada sesuatu yang membuat Arga gagal fokus. Sepatu yang Dilla kenakan sama persis dengan wanita yang bersama Denward tadi di rumah sakit, begitu juga dengan jas berwarna marun yang ia kenakan."Jangan-jangan?" Mata CEO itu memicing.Dilla terus saja sibuk, seolah tak melihat apa yang Arga lakukan tak jauh dari tempatnya duduk. Ia merasa sudah pandai menghindar saat di rumah sakit tadi. Dan itu berhasil. Lalu, apa yang membuat Arga kini tampak memperhatikannya. 'Apa dia menyukaiku?' pikir Dilla kemudian. 'Laki-laki ternyata sama saja di dunia ini. Tidak bisa lihat wanita cantik sedikit. Apa perlu aku melancarkan sisiku sekarang? Tapi ini terlalu dini,' batinnya lagi. Dia bahkan masih berpenampilan polos. Belum lagi memoles make-up andalannya ketika hendak menaklukkan seorang pria. Dada Dilla berdesir, kala lelaki tampan itu datang mendekat. Suara yang timbul dari l
Begitu datang ke kamar yang Harry -manajernya- beritahu, ia melihat seseorang sedang terbujur kaku. Seorang pria yang biasa menyodorkan laporan saat di kantor, tak pernah sekalipun menentang selama bekerja. Patuh dan menjaga attitude sebagai seorang pegawai.CEO muda itu mendesah. Berat hidup yang dia jalani, rupanya belum ada apa-apanya dibanding orang lain yang kini terkapar tak berdaya itu, yang kini sedang berjuang melawan kematian. Entah, jika selain adiknya ada orang-orang yang mestinya ia lindungi.Arga lalu bertanya pada perawat mengenai kondisi lelaki itu. Dan semua penjelasan mereka sama dengan yang Dilla katakan. Persis."Kalau begitu tak ada alasan untuk tidak mempercayai wanita itu. Huft," desah Arga lega. Dari sini, ia akhirnya memercayai gadis itu. Namun, PR nya lebih berat pula sekarang, bahwa ia harus menjelaskan pada Anya secepatnya sebelum istrinya itu mengetahui semuanya. Mengingat bahwa Anya bakal cemburu, membuat Arga kembali merasa berada dalam masalahUsai den
Arya merasa lelah. Setelah menenggak air mineral lebih dari setengah botol ukuran 500 mililiter, langkahnya beranjak meninggalkan dapur yang sepi. Yah, sejak pindahnya Arga dan Anya ke rumah mereka yang baru, Arya memutuskan mengosongkan rumah tanpa siapapun termasuk pembantu. Mereka hanya diperkerjakan kala sang mama berada di rumah. Dan hari ini wanita tua yang tampak lebih muda dari usianya itu tenafh tengah mengadakan perjalaan ke luar negeri bersama dua saudaranya.Langkahnya terhenti kala mendengar bel pintu. Diurungkan membuka pintu kamar dan berbalik ke arah depan di mana tamu sudah menunggu.Mata Arya melebar kala seseorang berdiri di depannya."Assalamualaikum, Tuan Arya." Nara berdiri dengan senyum mengembang di wajahnya."Wa-alaikumsalam," jawab Arya kelu. "Kamu?"Dua alis tebal lelaki itu tertaut dengan mata menyipit. Seolah telah menyelidik, dan menduga-duga tujuan wanita itu datang ke rumahnya.Nara tersenyum tipis. Ia celingukan ke dalam seperti tengah mencari perhat
"Jadi keluhan Anda?" Nara meletakkan dua tangan di atas meja. Menatap lurus pada pasiennya yang berada di seberang meja."Aku tak bisa melupakanmu." Suara itu meluncur begitu saja. Seolah tak lagi ada sesuatu yang menahan Arya untuk bicara. Mungkin karena dia berhadapan dengan seorang psikiater. Bukan orang lain yang tidak ia mengerti motif mereka dekat dengannya."Apa?""Maksud saya, aku tak bisa melupakannya." Arya tersentak, meralat ucapan. Sadar pikirannya terlalu fokus pada Dara."Siapa?" "Namanya Dara." Arya masih menatap wanita tersebut. Hingga mereka saling tatap. "Dara? Nama itu tak asing." Nara tersenyum tipis. Ia kemudian ingat, cerita sang ibu kala kakak sepupunya di kota yang bernama Dara meninggal. Lalu, semua orang yang mengenal gadis itu, mengatakan wajah mereka sangat mirip. Ia sempat berpikir bahwa kedatangan Yahya ada hubungannya dengan pasien ini dan nama gadis yang ia sebut. Namun, itu terlalu jauh. Tidak layak baginya mencampur soal pribadi dengan masalah ya
"Da-dara?" Suara Arya terdengar lirih. Namun, orang di sampingnya mampu mendengar dengan jelas. Yahya mengulum senyum, apa yang dipikirkan benar terjadi. Kali ini Arya pasti akan kembali terpikat oleh sosok berwajah sama. Barangkali ini juga bisa menjadi obat mujarab untuk trauma Arya yang tiba-tiba datang tanpa ada tanda-tanda lebih dulu.Lelaki tampan berusia 37 tahun itu menoleh pada Yahya, dengan tatapan penuh tanya. Garis lengkung di bibir pria yang lebih tua darinya itu memanjang. Arya menyelidik arti ekspresi tersebut. Apa yang direncanakan Yahya? Apa selama ini sebenarnya Dara masih hidup? Namun, melihat sosok wanita berjilbab itu, sepertinya usianya masih sekitar 25 tahun."Dia bukan Dara Mas Arya. Dia seorang Psikiater." Yahya mengucap enteng. "Mari!" ajak lelaki tersebut mendekat ke arah wanita yang membuat Arya terpana.Kaki-kaki mereka bergerak, Arya mengikuti Yahya dengan ragu. Ia sangat penasaran dengan wanita tersebut, tapi berusaha mengendalikan diri. Arya yakin, bah
"Apa Mas Arya sakit?" Yahya bingung melihat lelaki bersamanya tampak syok. Lelaki yang telah menjadi ayah tiri bagi Anya dengan menikahi Mira tersebut terlanjur percaya pada Arya. Pasti yang ditangkap dari ucapan Arya tak seperti dalam pikirannya. Mana mungkin Dara, gadis yang dulu selama bertahun-tahun dijaga pria tampan itu mati di tangannya. Tak mungkin.Lagi pula selama lebih sepuluh tahun, Yahya tak mendapati hal mencurigakan dari Arya. Semua prasangka buruk sudah terpatahkan sejak kali pertama Yahya mendapati kebaikan anak majikannya itu. Hal mustahil pula, jika ia pembunuhnya akan mengidap trauma karena kehilangan, yang menyiksa seluruh sisa hidupnya.Kakak Arga tersebut tersenyum samar mendengar pertanyaan yang Yahya lontarkan. Sebagai lelaki sakit itu aib baginya, apalagi sakitnya seperti seorang pengecut. Ia tak bisa menguasai diri kala trauma datang."Maaf, sebelumnya Mas. Jika saya lancang. Dulu tanpa sengaja saat keluar dari ruang kerja Tuan Admaja, saya mendengar perbin
"Aku tutup ya, Om." Anya tersenyum sambil mengangkat tangan akan memencet icon merah di video callnya. "Ish, gak boleh gitu lah ... durhaka sama suami namanya." Arga mendecih. Entah, kenapa rasa rindunya makin sulit dikendalikan belakangan. "Hem. Senjata ya. Durhaka sama suami." Anya kembali menggosok rambutnya yang basah. Karena riweh dengan bayinya, ia menunda mandi hingga matahari mulai meninggi. Padahal subuh sudah mandi, tapi suaminya yang 'nakal' membuatnya terpaksa mandi lagi. "Eh, Sayang. Ada yang datang. Nanti lagi, ya.""Bukan cewek, kan. Kenapa dimatiin?" Mata Anya menyipit. Mendekat ke layar ponsel yang di letakkan di samping cermin. "Iya, sudah kupecat manajer dan sekretaris ceweknya ganti cowok semua. Ini klien pun aku pilih laki lho.""Duh, sadis.""Hem. Demi kamu. Itu pun masih dicemburui. Ya udah aku matiin.""Hem. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam." Arga mematikan ponselnya. Lalu merapikan pakaiannya agar tampak berwibawa di depan Mister Denward yang sudah
"Eum, ayolah. Jangan dilepas," protes Arga yang dagunya menempel di pundak Anya.Arga memeluk erat tubuh seorang wanita yang berada di depan cermin, kala mengeringkan rambutnya yang masih basah. Anya hanya tersenyum melihat suaminya berkelakuan gak sangat manja. Padahal mereka sudah melalui malam panas, ia bahkan mampu membuat Arga tumbang dalam puncak kesenangan berkali-kali."Masih kurang juga." Anya menahan tawanya. Ia pasrah dan tak mengadakan perlawanan ketika tubuh kekar ayah dari anaknya itu mendekap."Habisnya ... gak terus bisa gini. Apalagi kalau Rania bangun." Arga menenggelamkan kepala di leher Anya yang sebagian tertutup rambut panjang."Hem ... ya, tapi ... tadi malam 'kan ...." Ucapan wanita yang masih mengenakan handuk itu terpotong. Tatapan Anya mengarah pada cermin yang memantulkan bayangan sepasang kekasih dengan tubuh saling merapat.Cinta kadang sekonyol itu. Mereka yang dulu saling membenci dengan kebencian teramat, kini bisa saling dekat. Sangat dekat malah. Sa
"Pasal apa yang Anda sebutkan?" Pengacara Arya mengangkat kertas yang dipegangnya. "Klien kami tidak pernah menyebut nama person." Diangkat pula benda di tangan satunya. Barang bukti yang disiapkan untuk membela Arya."Bagaimana dia disebut mencemarkan nama baik? Sejauh ini narasi yang ditulisnya berdasarkan fakta, dan sebagai koreksi sosial. Bagaimana kebijakan yang telah dibuat hanya berpihak pada pengusaha. Lihat tulisan ini ....." Pengacara tersebut menyodorkan barang bukti pada hakim untuk diperiksa, bahwa yang dikatakannya adalah benar. Psycho Man, tak pernah menuliskan sesuatu atau menamabah-nambah informasi yang berbeda dengan di lapangan.Hakim manggut-manggut. Namun, dengan cepat jaksa kembali memberatkan. Mereka bilang, "Membuat gaduh dan menggoyang stabilitas keamanan dan politik juga bagian dari tindakan kriminal."Diserahkan tumpukan kertas yang berisi track record Psycho Man pada hakim."Apa?" gumamnya nyaris tak terdengar. Arya melebarkan mata. Jadi dia sudah diseret-s