"Iya. Aku menyiapkan semua ini untukmu, sayang. Candle light dinner," ujar Roy membisikkan Gera.
Wanita pujaannya tersenyum, sejenak melupakan apa yang tadi sempat membuatnya kecewa. "Bagaimana bisa?" tanya Gera penasaran.
"Sayang, kalau aku sudah ingin melakukannya, semuanya bisa terjadi," tutur Roy angkuh. Ia selalu membanggakan dirinya sendiri. Namun mengubah itu semua juga tidak mungkin, pikir Gera.
Roy mempersilahkan Gera untuk duduk di kursi yang sudah disiapkan di sana. Saat Gera menatap ke depan, di belakang Roy tepatnya, Gera tak henti-hentinya berdecak kagum. Sejauh mata memandang, hamparan bebukitan terbentang luas. Hal inilah yang membuat Gera selalu ingin kemari selain menemui Putri, temannya. Ia juga ingin berkunjung berjumpa dengan ribuan bukit di tanah Waingapu ini.
"Bukit Wairi
"Roy, satu hari lagi. Dan kita akan kembali ke kota. Aku masih betah di sini," gerutu Gera sambil menopang dagunya. Ia duduk santai di balkon hotel menikmati pemandangan desa yang sangat damai. Roy terkekeh dan berjalan mendekati Gera. Ia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku bisa saja memperpanjang liburan kita. Tapi apa kau lupa kalau triplets pasti merindukan Mamanya?" "Iya. Aku egois sekali. Baiklah. Mungkin akan lebih baik jika lain kali kita pergi bersama mereka," gumam Gera lemas. Ia lupa, kewajibannya sudah menanti di rumah. Anak-anak pasti sudah sangat merindukan dirinya juga Roy. Melihat Gera yang masih suntuk, Roy memiliki ide. "Bagaimana jika hari ini kita jalan-jalan sebelum packing. Besok pagi kita sudah harus kembali." "Kau mau mengajakku ke mana?" tanya Gera penasaran. "Aku akan mengajakmu ke daerah Sumba Barat Daya. Atau kita berangkat pulang
"Apa?" Roy langsung berdiri. Gera menggelengkan kepalanya lemah. Tangisnya pecah, ia terduduk lemas di sofa. "Tidak mungkin, Bi. Bagaimana bisa itu semua terjadi?" Gera benar-benar tidak percaya akan apa yang ia dengar hari ini. Roy menggendong Gera yang kini sudah terjatuh pingsan. Ia membawa Gera menuju kamar dan menyuruh Iem untuk menjaga Gera ketika dia pergi. Rencananya Roy akan mencari Luis terlebih dahulu. Menanyakan kronologi sebenarnya seperti apa. Dengan kecepatan tinggi Roy menyetir mobilnya. Bahkan ia sudah tidak peduli jika ada polisi yang mengejarnya. Anaknya bisa saja sedang dalam bahaya sekarang. "Siapa pun pelakunya, aku tidak akan memberi ampun. Apa pun alasannya. Dia sudah sangat berani mengacaukan hidup anak-anakku." Roy menggeram hebat dan membanting kasar tangannya ke setir mobil. Sampai di rumahnya, terlihat semua anak buahnya dan juga anak buah David sudah berkumpul di sana. "Luis, bagaimana semuanya terjadi?" Tegas Roy bertanya. "Kenapa kau tidak menghubu
"Siapa kamu? Tidak tahu sopan santun. Asal masuk rumah orang saja!" bentak Ibu itu marah. Luis yang bertugas masuk sendiri tetap dengan pembawaannya, tenang. "Maaf, Bu. Saya kemari mau menjemput anak dari Bos saya," jawab Luis sopan. Wanita itu melotot. "Bos kamu siapa?" "Bos Roy." Mendengar jawaban Luis, Ibu itu langsung diam dan tegang. Seakan bibirnya tidak bisa digerakkan lagi. "Kenapa, Bu? Ada masalah?" Luis mendekati Ibu itu. Senyum licik yang Luis tampilkan berhasil membuatnya semakin ciut. "Ternyata kamu yang membuat ulah!" Roy datang dari arah belakang dan mengepung Ibu itu bersama beberapa anak buahnya. "A-apa maksudmu? Jangan kurang ajar pada orang tua seperti itu!" bentak Ibunya Sinta terbata-bata. Roy mendekati wanita tua itu dengan langkahnya yang begitu angkuh. "Kurang ajar? Dan orang tua kau bilang? Tingkahmu saja tidak layak dikatakan dewasa. Itu perbedaan yang sangat jauh." Sisi kasar Roy mulai terlihat sekarang. "Bu, tolong bekerjasamalah dengan ka
Roy menerima panggilan dari Raden untuk kelanjutan kasus penculikan anaknya. Roy sendiri sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa pelaku sebenarnya dibalik semua ini. Selain dibantu petugas kepolisian, seluruh anak buah Roy juga ikut andil mencari dalang masalah ini. Toni yang bisa melacak apapun yang berbau elektronik, ia memanfaatkan ponsel Ibunya Sinta untuk mencari identitas pelaku yang sebenarnya. "Bagaimana?" tanya Roy saat menghampiri Raden. Ia tidak mau berbasa-basi lagi. Raden mempersilahkannya untuk duduk dulu. "Ibu itu sudah mau menyebut nama pelaku yang menyuruhnya melakukan penculikan ini. Dengan dalih akan memberinya lima puluh juta," terang Raden. "Nama pelakunya Deri." "Tunggu dulu! Aku tidak mengenal seseorang dengan nama itu. Lalu siapa dia? Apa hubungannya denganku?" Roy memijit pelipisnya yang terasa sedikit berdenyut. "Itu yang masih kami selidiki sekarang. Tersangka sudah memberikan sketsa jelas orang yang bernama Deri itu. Tinggal mencari yang cocok saj
"Roy, kau akan sangat terkejut jika mendengar ini!" Belum juga duduk, Raden sudah membuat Roy semakin penasaran dengan informasi yang sudah mereka dapat. Tatapan bingung Roy menghentikan langkahnya otomatis. "Duduklah, dan tenang. Kau akan mendapatkan jawabannya sekarang!" Ekspresi wajah Raden tidak bisa digambarkan. Ada senyuman tetapi juga ada raut wajah kaget dan cemas di dalamnya. Dengan perasaan berdesir Roy mendudukkan bokongnya dengan tenang. "Katakan saja langsung, Raden!" desak Roy sudah tak bisa menahan rasa penasarannya. "Kau ingat pria bernama Deri yang beberapa hari lalu terlacak oleh kepolisian?" Roy mengangguk. "Anak buahku, Toni juga berhasil melacak dan menemukan nama yang sama," tutur Roy dengan tampang seriusnya. "Oke. Sekarang, tim sudah berhasil menyelidiki sosok bernama Deri yang kau bilang kau sama sekali tidak mengenalnya." "Roy, dia suruhan musuhmu. Kau ingat Devan? Dia yang memberi perintah pada Deri. Dan ternyata Deri ini adalah adik kandung Devan yang m
"Aku tahu kau sangat kaya, Roy. Tapi itu bukan berarti kau bisa merendahkan pekerjaanku. Aku mengorbankan usaha yang begitu besar untuk dapat menjadi seorang marketing manager. Kau tidak tahu saja bagaimana susahnya aku meraih itu semua," lirih Gera. "Kau bahkan tahu sendiri kalau Papa juga bukan orang sembarangan. Jika aku berniat hanya menghamburkan uang, untuk apa aku memilih hidup sendirian dari dulu? Aku benci harta instan, Roy. Makanya aku mau mendidik anak-anak dengan caraku sendiri." Gera mengangkat wajah dan menatap teduh Roy. "Jika kau tetap tidak terima, tolong, pergilah sekarang juga. Aku bisa membesarkan anak-anak sendirian. Pergi!" Gera menekan kata pergi sambil menunjuk lurus daun pintu kamarnya. "Ge, jangan seperti ini. Aku minta maaf, aku hanya khawatir padamu. Kenapa jadi seperti ini?" ujar Roy bingung. "Caramu yang salah, Roy. Pergi dan rubah sikapmu dulu jika kau masih ingin di sini," bantah Gera dingin. "Tapi, Ge...." "Pergi sekarang atau aku ya
"Aku?" Roy tergelak melihat anak itu mengangguk cepat. "Bagaimana bisa aku menjadi Daddy-mu, Nak? Anakku hanya mereka saja. Dan ini istriku." Triplets mengangguk antusias dan menatap sinis si anak perempuan itu. "Pergi saja, gadis cilik!" suruh Ray dingin. Gera menggeleng, memberi isyarat agar Ray tidak seperti itu. "Jangan bilang begitu, sayang. Mungkin saja dia tamu di sini." "Mama, dia mau mengganggu kita!" Giliran Rico yang berseru marah. Ia tak terima Papanya diakui juga oleh anak lain. "Ray, Rico, Mama benar. Kita tidak boleh memarahinya. Nanti dia nangis, gimana?" Seperti biasa, Rio yang menengahi. Gera tersenyum mendengar apa yang Rio katakan. Roy berjongkok menyejajarkan tingginya dengan anak perempuan itu juga Gera. "Paman akan bantu mencari Daddy-mu, oke?" Gadis itu menggeleng. "Kau Papaku. Itu yang Mommy katakan," ujarnya lirih. Matanya memerah menahan tangis. Gera me
Saat ini Roy dan Gera sudah sampai di Bandar udara Rio de Janeiro/Galeao-Antonio Carlos Jobim. Terlebih Gera, ia bernapas lega karena sudah menginjakkan kakinya di tanah kelahiran Roy dengan selamat. Roy memeluknya erat. "Tenanglah. Jangan terlalu dipikirkan," bisik Roy sembari mengecup pelan puncak kepala istrinya. Gera tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, Roy. Aku sudah sedikit lebih lega sekarang." Sejak kemarin Gera stress berat karena masalah Alea. Roy sendiri juga sangat pusing mencari jalan keluar. Gera ingin membatalkan penerbangan menuju Brazil, tetapi sudah terlanjur ada perjanjian kerja di sana. Sekaligus untuk mengunjungi Nenek Rita. Hingga salah satu teman Gera yang menjadi psikolog, menganjurkan agar Alea dibawa rehabilitasi dulu. Dan untuk sementara waktu berpisah dari mereka, itu untuk kebaikan Alea juga. "Tenang saja, Ge. Leva pasti bisa menga
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid