Sering sekali air mata itu lolos dan membasahi pipinya yang mulai tembam. Tubuhnya pun sudah mulai berubah membesar. Pakaian-pakaian yang dulu pas di badannya, kini sudah ketat dan membuatnya kesulitan bernapas.
"Ge, sepertinya kita harus belanja baju baru untukmu." Gera terkekeh geli melihat tubuhnya sendiri dengan perut buncit dan badan gempal.
"Terlihat sangat lucu," ujarnya gemas.
Mereka berdua sangat nyaman tinggal di villa ini. Luisa juga mulai mencari pekerjaan. Rita sebenarnya sudah menanggung semua kebutuhan keduanya, namun Luisa tak terbiasa bergantung. Gera juga ikut bekerja bersama Luisa. Dirinya bertugas yang ringan-ringan saja. Agar tidak membahayakan kandungannya.
Sementara itu, beberapa bulan kehilangan Gera membuat Roy semakin kacau. Ia sangat frustasi karena wanita itu. Roy juga sangat merindukan Gera, terlebih kandungannya. Ia ingin sekali
Wanita malang yang kini menjadi seorang Ibu itu tak bisa tidur hingga semalam suntuk. Ia memikirkan bagaimana caranya ia harus memberitahu dan membujuk Alvin. Tapi ia harus melakukan itu. "Pagi cepat sekali datang." Gera menghempas helaan napas panjangnya saat sinar mentari sudah mengintip dari sela korden rumahnya. Dengan malas ia bersiap dan pergi ke kantor. Ia harus bisa! Demi anak-anak. Entah kenapa ia masih takut akan Roy. Ia takut dendam Roy akan berimbas pada anak-anaknya. "Permisi...." Gera mengetuk pintu pelan. "Hai, Ge! Masuklah!" Suruh Alvin yang sedang duduk sembari menelisik setiap kertas yang ada di depannya. "Ada apa? Tumben sekali kau datang sepagi ini?" Alvin memicingkan mata melihat ke dalam mata Gera yang terlihat begitu sendu. "Alvin, maaf mengganggumu sepagi ini. Aku ingin berbicara penting," kata Gera canggung. Tangannya terasa sedingin es sekarang. Ia sangat gug
Wanita yang terlihat panik itu hanya menggeleng keras, menampik tuduhan kejam Roy. "Maafkan saya, Pak. Sumpah, tidak ada apa pun yang saya taruh di dalam kue itu," jawab Sinta dengan wajah memerah ketakutan. "Aku begini setelah memakan kue darimu!" bentak Roy. Tiba-tiba Roy berlari tergopoh-gopoh menuju Sinta dan menyambar tubuh wanita itu. Sinta menangis dan berusaha berontak. "Ingat sopan santun Anda, Pak! Jangan sentuh saya!" pekik Sinta dengan air mata yang sudah berurai membasahi pipi tembamnya. Namun Roy tidak mengindahkan kata-kata Sinta. Wanita itu bahkan berteriak meminta tolong. Berharap akan ada yang lewat dan menolongnya. "Diam!" bentak Roy kasar. Ia sudah kalap. Roy berusaha menerobos pertahanan Sinta ketika wanita itu mencoba menutupi tubuh dan wajahnya dari Roy. "Tolong, jangan lakuk
"Selamat pagi semua." Datanglah Roy dengan setelan abu-abunya. Seolah sudah ditakdirkan sama, mereka memakai pakaian dengan warna yang sama. Jantung Gera berdegup sangat kencang. Pipinya memerah melihat pria yang selama ini diam-diam ia rindukan. Sedangkan Roy masih belum menyadari kalau Gera ada di sana. Rapat berjalan dipimpin oleh Roy. Ia masih belum menyadari keberadaan Gera. "Kau masih seperti yang dulu. Tidak akan peduli dengan apa yang ada di sekelilingmu. Bahkan keberadaan ku pun tidak kamu sadari, Roy," batin Gera. Ia hampir menangis tapi tidak boleh sekarang. "Ada pertanyaan?" tanya Roy karena ia sudah selesai menjelaskan rencana pembangunan dari proyek yang akan dijalankan. Gera mengangkat tangan. "Apa sebaiknya pembangunan sebelumnya dirampungkan terlebih dahulu agar tidak mengganggu proyek yang ini?"
Bi Iem berlari dan refleks memeluk Gera. Tangis mereka pecah setelah empat tahun tidak bertemu. "Dimana Papa, Bi?" tanya Gera."Papa ada di kamar, Non. Kau bisa mencarinya ke sana. Beliau sering sakit karena memikirkan mu. Dia mengerahkan beberapa anak buahnya untuk mencari mu beberapa kali. Tapi hasilnya nihil," tutur Bi Iem seraya menghapus air matanya."Kasihan sekali Papa," lirih Gera. Dengan langkah lebar ia menuju kamar David. "Pa, Gera pulang." Sangat jelas Gera bisa melihat reaksi Papanya yang langsung terduduk saat mendengar suaranya. "Kau dimana, Nak?""Gera di sini, Pa." Gera berlari kencang menuju Papanya. Mereka berpelukan dan seketika tangis David pecah. Anak dan Ayah itu meluapkan kerinduan
Luisa sudah mendapat perintah dari Gera untuk kembali ke kota dan membawa anak-anak. Ia senang semua ini terjadi, terlebih jika Gera akan bersatu lagi dengan Roy. Ia sempat mendengar dari Alvin bahwa Roy memang sudah sangat berubah. Tidak seperti terakhir kali mereka bertemu. "Kids, kalian sudah siap?" Luisa bertanya. Ketiganya mengangguk antusias. Tak henti-hentinya Luisa terkekeh geli melihat bagaimana ketiga anak itu berjalan riang dengan ransel di pundak mereka. "Rico tidak sabar bertemu dengan Mama," seru Rico dengan senangnya. "Bukan hanya Rico, Rio dan Ray juga sangat merindukan Mama." Celetuk Rio tak mau kalah. Berbeda dengan saudara sulung mereka, jalannya lurus dan tanpa kedipan. Ray dingin dan datar. "Ray! Jangan melamun terus! Kau bisa ketempelan nanti." Rio menegur Kakaknya sambil menahan tawa. Sementara itu, Luisa hanya bisa menggele
"Apa? Itu tidak mungkin, Luis! Clay berbohong padamu!" Roy berteriak tak terima. "Maaf, Bos. Memang Gera mengatakannya kepada Clay seperti itu." Luis berusaha berbohong sebisa mungkin. "Cepat panggil Clay sekarang," geram Roy marah. Sesuai perintah, Luis segera menuju ruangan Clay dan menceritakan kebohongannya pada Roy. "Astaga, Luis! Lagipula kenapa kau berbohong? Aku juga yang kena imbasnya! Astaga!" Clay mondar mandir dan mengomeli kekasihnya ini. "Maaf, sayang. Aku sudah kehabisan akal tadi. Roy benar-benar mendesakku. Kau satu-satunya yang bisa membantuku, Clay," pinta Luis memohon. "Terus aku harus bilang apa?" pekik Clay heboh. "Katakan saja pada Roy, Gera sudah menikah dengan Alvin, temannya," sergah Luis enteng. Clay memelototi Luis tajam. "Kau gila? Itu tidak mungkin!" "Clay, Gera yang m
"Wow! Ge, kau sangat cantik malam ini. Aku sangat kagum padamu," seru Luisa gemas dengan penampilan Gera yang terkesan feminim memakai gaun selutut dengan punggung terbuka. "Kau berlebihan, Luisa! Kau juga sangat cantik! Jika Luis melihatmu, dia tidak akan menyangka kalau kau adalah Luisa." Keduanya tertawa ringan melihat penampilan masing-masing. Luisa celingak-celinguk, namun triplets belum juga keluar. "Astaga! Triplets, apa yang kalian lakukan? Aku sudah lapar, tidak sabar ingin memakan jamuan di sana!" seru Luisa kesal. "Tante, sabarlah! Kami harus terlihat tampan di sana," tegur Ray ketus. "Wah, kalian sudah tumbuh besar dan semakin tampan ya. Juga semakin pintar berbicara!" sindir Luisa membuat Ray memutar bola matanya malas. Gera hanya tersenyum lebar melihat perseteruan antara Tante dengan ponakan ini. Ia kagum melihat anak-anaknya yang t
"Hai cantik," sapa pria itu lagi. Gera ingat betul siapa pria ini. "Devan?" ucap Gera lirih. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu terkekeh melihat kegugupan Gera yang sangat kentara. "Iya, ini aku Devan. Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kau salah! Aku tidak akan mati semudah itu!" "Jangan gugup, sayang!" Devan seakan mengetahui kondisi hati Gera saat ini. "Ti-tidak! Aku tidak gugup! Kau terlalu meremehkanku!" bantah Gera. Devan mengelilingi tubuh Gera sambil memperhatikan wanita yang semakin anggun itu. "Beberapa tahun tak melihatmu, membuatku semakin rindu. Kau semakin cantik, Gera!" puji Devan yang sama sekali tidak nyaman terdengar di telinga Gera. "Beberapa kali aku menanyakan alamatmu pada Roy. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Tapi si keparat Roy tak pernah mau memberikan alamatmu padaku." Seakan-akan ia mencurahkan hatinya pada Gera.&nb
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid