"Apa? Itu tidak mungkin, Luis! Clay berbohong padamu!" Roy berteriak tak terima.
"Maaf, Bos. Memang Gera mengatakannya kepada Clay seperti itu." Luis berusaha berbohong sebisa mungkin.
"Cepat panggil Clay sekarang," geram Roy marah.
Sesuai perintah, Luis segera menuju ruangan Clay dan menceritakan kebohongannya pada Roy.
"Astaga, Luis! Lagipula kenapa kau berbohong? Aku juga yang kena imbasnya! Astaga!" Clay mondar mandir dan mengomeli kekasihnya ini.
"Maaf, sayang. Aku sudah kehabisan akal tadi. Roy benar-benar mendesakku. Kau satu-satunya yang bisa membantuku, Clay," pinta Luis memohon.
"Terus aku harus bilang apa?" pekik Clay heboh.
"Katakan saja pada Roy, Gera sudah menikah dengan Alvin, temannya," sergah Luis enteng.
Clay memelototi Luis tajam. "Kau gila? Itu tidak mungkin!"
"Clay, Gera yang m
"Wow! Ge, kau sangat cantik malam ini. Aku sangat kagum padamu," seru Luisa gemas dengan penampilan Gera yang terkesan feminim memakai gaun selutut dengan punggung terbuka. "Kau berlebihan, Luisa! Kau juga sangat cantik! Jika Luis melihatmu, dia tidak akan menyangka kalau kau adalah Luisa." Keduanya tertawa ringan melihat penampilan masing-masing. Luisa celingak-celinguk, namun triplets belum juga keluar. "Astaga! Triplets, apa yang kalian lakukan? Aku sudah lapar, tidak sabar ingin memakan jamuan di sana!" seru Luisa kesal. "Tante, sabarlah! Kami harus terlihat tampan di sana," tegur Ray ketus. "Wah, kalian sudah tumbuh besar dan semakin tampan ya. Juga semakin pintar berbicara!" sindir Luisa membuat Ray memutar bola matanya malas. Gera hanya tersenyum lebar melihat perseteruan antara Tante dengan ponakan ini. Ia kagum melihat anak-anaknya yang t
"Hai cantik," sapa pria itu lagi. Gera ingat betul siapa pria ini. "Devan?" ucap Gera lirih. Masih tak percaya dengan apa yang ia lihat. Pria itu terkekeh melihat kegugupan Gera yang sangat kentara. "Iya, ini aku Devan. Kau mungkin mengira aku sudah mati. Tapi kau salah! Aku tidak akan mati semudah itu!" "Jangan gugup, sayang!" Devan seakan mengetahui kondisi hati Gera saat ini. "Ti-tidak! Aku tidak gugup! Kau terlalu meremehkanku!" bantah Gera. Devan mengelilingi tubuh Gera sambil memperhatikan wanita yang semakin anggun itu. "Beberapa tahun tak melihatmu, membuatku semakin rindu. Kau semakin cantik, Gera!" puji Devan yang sama sekali tidak nyaman terdengar di telinga Gera. "Beberapa kali aku menanyakan alamatmu pada Roy. Aku ingin mengajakmu jalan-jalan. Tapi si keparat Roy tak pernah mau memberikan alamatmu padaku." Seakan-akan ia mencurahkan hatinya pada Gera.&nb
"Baiklah. Aku akan pulang bersamamu. Aku akan ke kamar dulu," ujar Gera. Ia mencari ponselnya. Dan Untung saja Roy menaruhnya di atas meja dekat ranjang. Ia harus menelpon Luisa sekarang. "Luisa, maafkan aku, tadi malam ada masalah. Makanya aku tidak pulang." Gera sudah tahu Luisa akan ngamuk karena dirinya tak bisa dihubungi. "Akan ku ceritakan nanti. Tapi sekarang aku membutuhkan bantuanmu," pinta Gera. "Tolong, bawa triplets pergi dari sana. Beritahu saja mereka aku baik-baik saja dan masih bekerja. Nanti akan kususul. Roy akan mengantarku pulang ke rumah Papa. Cepatlah," suruh Gera gugup. Hanya itu yang bisa ia lakukan. Gera terkejut bukan main ketika pintu tiba-tiba terbuka dan menampakkan Roy di sana. "Kau menelepon siapa? Terlihat sangat cemas," tanya Roy dengan wajah menyelidik. Gera menggeleng gugup. "Bu-bukan siapa-siapa, Roy. Hanya rekan kantorku yang mengatakan b
"Mama, Rico ingin selai nanas!" "Rio selai coklat, Mama!" Rio tak kalah. Sementara Ray, dia lebih memilih diam dan seperti biasa, melakukan apapun dengan caranya sendiri. Sangat mirip dengan Roy. "Ray, mau Mama bantu?" tawar Gera lembut. Ray menggeleng. "Terima kasih, Mama. Ray masih bisa melakukannya sendiri," jawabnya dingin. Gera hanya tersenyum menanggapinya. Ia sudah terbiasa akan sikap dingin anak sulungnya itu. David hanya tertawa ringan melihat duo ribet ribut meminta bantuan Mamanya. Hal yang David lihat dari Gera saat ini adalah, putrinya sedang tidak baik-baik sekarang. Ia tahu karena ia adalah Papa dari Gera. Sejak kecil Gera tidak pernah mau menceritakan masalahnya dan sebisa mungkin menyelesaikannya sendiri. "Kids, setelah sarapan, kalian pergilah bermain ke taman belakang. Mama kalian sedang kurang sehat. Jadi jangan diganggu dulu," ujar
Sebelum berterus terang, Gera menghembuskan napasnya pelan. Membuang semua beban yang selama ini ia pikul."Roy... pertama, aku mohon maafkan aku. Aku sudah menghilang dan berpikir buruk tentangmu. Aku tidak tahu selama ini kau mencariku. Karena yang aku pikirkan hanyalah bagaimana agar aku bisa jauh darimu. Tapi aku munafik, aku tidak bisa tidak merindukan dirimu." Air mata lagi-lagi keluar begitu saja. Segera Gera menyeka dengan kasar."Aku tidak pernah menikah ataupun menjalin hubungan dengan siapa pun. Jujur, aku masih mencintaimu seperti dulu. Hanya saja aku tidak mau kamu tahu kebenarannya.""Selama ini aku dan Luisa hidup luntang lantung hingga bertemu dengan Alvin, temanku yang dulu sempat kau ancam karena makan malam denganku." Gera terkekeh geli mengingat itu. David masih menunduk mendengarkan cerita putrinya. Ia sedih mendengar bagaimana kehidupan putrinya sebelum kembali ke rumah.
Dua jam berlalu, mereka sudah melakukan permainan yang semakin menguatkan romantisme dalam hubungan yang sudah sempat merenggang. "Kau benar-benar meluapkan semua bebanmu, Roy!" ujar Gera dengan napas tersengal. "Bagaimana bisa aku menahan diri, sayang? Aku sudah sangat merindukanmu." Roy membuat Gera malu dan memukul pelan dadanya. Keduanya bermesraan seperti anak remaja yang sedang kasmaran. Mereka melupakan semua hal bahkan anak-anak mereka. "Mama! Kami mau masuk!" Itu suara Ray yang memanggil. Gera kelimpungan karena dia dan Roy belum memakai apa pun. "Wait! Mama akan bukakan," jawab Gera sedikit berteriak. "Apakah Papa ada di sana?" Giliran Rico yang bertanya. Namun Gera diam dan tetap fokus memakaikan Roy pakaiannya sementara orangnya tertidur pulas. "Sebentar! Tunggu Mama!" seru Gera lagi. Merasa sudah bersih dan siap, Gera membuka pintu dan menyam
"Roy, setengah jam lagi jam makan siang habis. Aku tidak mau terlambat," tegas Gera menutupi tubuhnya dengan bantal sofa. Tak peduli dengan apa yang Gera katakan, Roy hanya fokus melanjutkan langkahnya. "Roy, kita bisa melakukan itu nanti di rumah," kata Gera lagi. Namun Roy sudah terlalu dekat. Gera harus segera mencari alasan agar Roy tak jadi melakukan itu padanya. "Sudah terlanjur sampai, sayang!" bisik Roy. "Roy, aku janji kita akan melakukannya di rumah. Tapi tolong, saat ini aku sangat lapar!" Gera memekik tertahan. Ia benar-benar tak tahu harus beralasan apa pada Roy. "Gera! Kau membuatku harus menahan semuanya!" Roy menggeram kesal. Jika sudah menyangkut kesehatan Gera, ia tak bisa menolak itu semua. Ia kesal sendiri dan terpaksa menelan keinginannya yang sudah membara di ubun-ubun. Wanitanya hanya merespon dengan cengiran kha
Gera bersama Roy turun. Mereka mengekor triplets yang sangat semangat di rumah ini. "Papa, kapan kita akan tinggal di sini? Ray ingin tinggal bersama Papa," tanya Ray. "Iya. Rico juga ingin tinggal di sini agar bisa bermain bersama Papa. Kakek sudah tidak bisa bermain lama-lama. Mudah kelelahan," tambah Rico. "Secepatnya kita akan tinggal di sini bersama Mama," jawab Roy mengundang sorak gembira anak-anak mereka. Rio berhenti tiba-tiba, membuat yang lain juga ikut menghentikan langkah mereka. "But wait! Papa dan Mama pergi bekerja. Akan lebih baik bersama Kakek. Walau sudah tua tapi tetap bersama kita. Kasihan juga Kakek. Tidak ada teman," ujar Rio. Gera senyum dan terenyuh mendengar apa yang dikatakan oleh Rio. Dia memang yang paling teliti dalam segala hal. Dia yang paling lama berpikir. Namun selalu menjawab dengan etis. "Rio benar! Kita bersama Kakek saja. Kan
"Kira-kira apa yang akan dibahas oleh Mama?" tanya Rico."Aduh... jangan-jangan masalah nikah lagi," ujar Rio dengan wajah malas. Berbeda dengan Ray, dia beranjak keluar tanpa berbicara. Saat mereka bertiga sudah sampai di ruang keluarga, di sana sudah ada Roy dan Gera. Diam-diam Ray mulai berkeringat dingin. Dia ingin minta maaf pada Roy, namun entah kenapa saat ini dia begitu gugup. "Terima kasih sudah mau meluangkan waktu sebentar," kata Gera saat triplets duduk di sofa. "Apa yang mau Mama bicarakan?" tanya Rio. Rio dan Rico masih marah pada Roy. Mereka memalingkan pandangan dari Roy dan hanya fokus menatap Gera. Hanya Ray yang sudah tahu kebenarannya. "Bukan Mama yang mau berbicara... tapi Papa." Triplets menatap Roy dengan tatapan bertanya-tanya. "Oke, silahkan!" Rio berujar malas. Dia masih sakit hati pada Roy karena sudah berkali-kali menyakiti hati Mamanya. Roy mengepalkan tangannya yang mulai dingin dan berkeringat. "Papa... Papa ingin meminta maaf pada kalian. Selama
"Katakan apa yang kau inginkan dan tolong jauhi Bos Roy!" Luis meminta dengan tegas saat duduk di samping wanita yang menjadi pengganggu rumah tangga temannya ini. Saat ini mereka di klub milik Roy. Wanita itu hanya menatap Luis dengan malas, "Omong kosong!" serunya sambil tertawa renyah. "Kau mau uang, emas, atau apapun itu cepat sebutlah. Dan lenyaplah dari kehidupan Bos Roy dan keluarganya!" "Kau kira aku bodoh? Kalau aku melepas Roy, impianku untuk menjadi nyonya besar akan musnah begitu saja." Luis tertawa, "Lalu, apakah dengan bertahan kau mengira Roy akan suka padamu dan menjadikanmu istri?" Lagi-lagi Luis tertawa dengan keras, "Bermimpilah selagi kau masih bisa bernapas," sindir Luis. "Kenapa tidak? Aku bisa melakukannya. Tunggu dan lihatlah!" kata wanita itu dengan sangat percaya diri. Dia menghabiskan alkohol dalam gelasnya dengan sekali teguk lalu meninggalkan Luis begitu saja. "Wanita ini benar-benar liat," gumam Luis. ***Sejak kejadian itu Gera lebih banyak diam p
Satu minggu sejak kepulangan Gera dari rumah sakit, triplets masih tinggal di rumah orang tua mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ray, "Malas sekali meninggalkan Mama jika kondisinya belum sembuh betul." Pernyataan itu disetujui juga oleh dua saudaranya yang lain. "Urusan di Brazil juga masing-masing sudah ada yang menangani," timpal Rio. "Mama tidak enak jika harus terus menerus melihat kalian melayani Mama seperti ini," ujar Gera. Ketiga putranya serentak menggeleng dan beringsut mendekat untuk bersama-sama memeluk Gera, "Mama tidak pantas berkata seperti itu! Perjuangan Mama dulu tidak sebanding dengan apa yang kami lakukan." Mendengar apa yang anak-anaknya katakan, Gera terharu hingga meneteskan air mata. Triplets yang masih begitu manja padanya, ternyata saat ini mereka sudah beranjak dewasa."Kalian selalu saja melupakanku seperti orang asing!" tegur Geeta dengan wajah kusut. Triplets sampai tercengang karena gaya bicara Geeta yang tergolong masih anak-anak bisa dewasa seper
Perlahan, mata Gera mulai mengerjap. Berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam matanya. Dokter yang datang segera memeriksa kondisi Gera. "Perlahan saja. Jangan terlalu dipaksakan. Semuanya perlu adaptasi juga," ujar dokter yang menangani Gera saat wanita itu berusaha membuka mata. "Mama...." desis Rico memanggil.Sementara Roy, dia sedikit demi sedikit menjauh dari ranjang rawat Gera. Rasa bersalah membuat dirinya merasa kecil dan tidak pantas untuk bertemu dengan Gera, walaupun wanita itu adalah istrinya sendiri. Saat kesadaran Gera mulai terkumpul, hal pertama yang dia ingat adalah bagaimana Roy bergumul dengan wanita itu dan tidak merasa bersalah sama sekali. Lalu dia teringat akan dirinya yang mencoba melakukan aksi bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya. Hal itu membuat Gera terus melamun dan pada akhirnya berteriak histeris, membuat dokter dan anak-anaknya terkejut. Bahkan Luis dan yang lain yang sedang menunggu di luar segera masuk ke ruangan. Mereka mengira
"Bukti apa yang bisa kau berikan, Luis?" tanya Roy meremehkan. Karena pertikaian itu, mereka sampai melupakan kondisi Gera. Clay sudah malas berbicara karena itu akan percuma saja. "Aku akan tunjukkan buktinya padamu besok pagi. Agar kau puas!" Luis berlalu meninggalkan Roy yang masih tertawa kecil merendahkan niat Luis. Luis beranjak keluar dari rumah sakit. Menenggak air mineral dan menyalakan rokoknya, berharap dengan ini dirinya akan bisa sedikit saja lebih tenang dan stabil. Jika dipikir-pikir, percuma juga melawan Roy beradu mulut. Dia tidak akan mau kalah, batin Luis. ***"Apa Gera sudah sadar?" tanya Luis pada Ros. Wanita itu terduduk sembari memangku kepala Clay yang tengah tertidur lelap. Mendengar suara Luis, Clay terbangun, "Kau ke mana saja semalaman? Aku mencarimu! Apa kau pulang tadi malam?" tanya Clay dengan wajah cemberutnya. Bibirnya mengerucut dan membuat Luis menjadi gemas. "Tidak, sayang. Aku hanya menenangkan diri di taman rumah sakit. Merokok. Jika aku teta
"Ge... kau di mana?" Semakin lama suara Luis yang memanggil Gera terdengar semakin besar. Bahkan membangunkan sebagian pelayan yang bekerja di sana."Ada apa, Luis? Gera sepertinya sudah masuk ke kamar," seru Ros sembari menyesuaikan penglihatan dengan cahaya ruangan yang berpendar sangat terang. Luis menggeleng lemah, "Gera sedang tidak baik-baik saja. Aku khawatir," lirih Luis. Dengan cepat dia menghapus air mata yang menetes begitu saja. Begitu tak terbendung karena rasa kasihannya pada Gera. "Ada apa? Kau bisa menceritakannya padaku!" suruh Ros dengan raut wajah cemas. Terlebih dirinya, jika menyangkut tentang Gera, dia akan sangat cemas. Rasa sayangnya pada wanita itu seperti kasih sayangnya pada anak sendiri. "Aku tidak bisa menceritakannya sekarang. Maafkan aku," lirih Luis lemah. Luis menegakkan kepala, "Aku harus memeriksa keadaan Gera, Bi. Sebagai temannya aku tidak bisa hanya diam saja di sini." Dengan langkah cepat Luis menuju kamar Gera. Mencari sosok wanita yang rap
"Apa maksudmu, Steve?" tanya Luis dengan wajah terkejut. Steve meneleponnya dan mengatakan bahwa Roy sedang berada di klab dan membawa seorang wanita. Steve sendiri sangat bingung... bagaimana bisa Roy menggandeng seorang wanita dengan sangat mesra? Bukankah Bosnya itu sangat mencintai Gera? Lalu apa maksud semua ini, pikirnya. Luis tidak mau memberitahu Gera, tetapi dia langsung beranjak menuju klab dan akan menemui Bosnya itu."Di mana Bos?" Luis bertanya tanpa basa-basi pada pegawai di sana. "Luis, Bos sudah memberi pesan agar tidak seorang pun masuk mengganggunya. Termasuk kau," ujar seorang barista. Luis menatap kaget dan tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Apa maksudnya itu?" Luis menggeram kesal. Luis tersentak kaget saat tiba-tiba sebuah tangan dingin menyentuh permukaan kulit lengannya yang terbuka. "Kau bisa masuk bersamaku, Luis." "Gera?!""Bagaimana bisa kau di sini? Aku sudah menyuruhmu untuk istirahat, bukan?" "Aku mendengar percakapan mu dengan Steve tadi.
"Roy...."Dua insan yang tengah memadu kemesraan itu menghentikan kegiatan panas mereka sesaat setelah mendengar suara lirih Gera.Air mata Gera sudah menetes sejak tadi. Wanita itu menutup mulut dengan tangannya yang gemetar. Tak menyangka suaminya akan berbuat sehina ini. Yang membuat Gera lebih tidak menyangka adalah respons Roy setelah melihat kehadirannya. Bukannya terkejut atau merasa bersalah, Roy malah memperbaiki kemejanya yang kusut akibat terkaman wanita asing itu dengan santai."Siapa dia, Roy?" tanya wanita itu memecah keheningan."Istriku.""Oh."Hati Gera menganga lebar. Bukan hanya hatinya yang perih, tetapi napasnya terasa seakan hendak habis saat itu juga. Jawaban acuh Roy dan wanita itu menjadi batu panas yang menghantam Gera. Sama sekali tidak ada rasa bersalah dari mereka, walaupun hanya dari raut wajah saja."Kau bisa menjelaskannya sekarang, Roy," ujar Gera lirih. Berhar
"Kau harus membersihkan dirimu, sayang. Kau juga terlihat sangat lelah." Gera benar-benar merasa tersindir oleh apa yang Roy katakan barusan. Bukannya mendekati Gera atau bahkan bergelayut manja seperti biasanya, Roy hanya duduk dan memperhatikan Gera dengan wajah dinginnya dari kejauhan. "Kau sudah makan?" tanya Gera kikuk. "Itu bukanlah hal penting. Sekarang pergilah mandi dan istirahat!" Roy menyampaikannya biasa, namun terdengar sangat tegas dan sedikit ada geraman. "Aku akan menyiapkan makan malammu dulu." "Tidak ada makan malam. Dan lihatlah arlojimu, ini sudah pukul delapan malam. Cukup mandi dan istirahatlah!" tegas Roy tanpa mau menatap istrinya. Gera ingin bertanya, tetapi lidahnya kelu. Seakan dirinya tertahan untuk berbicara pada Roy. Namun sikap Roy sudah sangat cukup untuk menggambarkan bahwa suaminya sedang dalam kondisi perasaan yang tid