Martin memasuki kamar Andira, matanya mengitari ruangan kecil namun bersih dan rapi. Dia melihat biola milik Andira tersimpan rapih di atas meja, di sebalah biola itu terdapat buku bersampulkan coklat yang membuat Martin penasaran apa isi buku itu. Bisa jadi catatan Andira, atau resep makanan yang membuat makanannya sangat nikmat.
Andira sendiri berdiri di samping tempat tidurnya, terpaku di sana sambil memandang Martin menggeledah kamarnya. Martin berjalan menuju meja yang di atasnya terdapat biola dan buku bersampulkan coklat.
"Darimana kau mendapatkan uang untuk satu biola, aku pikir biola cukup mahal untuk anak pembantu sepertimu?" tanya Martin. Ucapan yang mampu membuat Andira seketika menelan ludah, sepertinya Martin sedang meremehkan dirinya karena statusnya sebagai anak pembantu di rumah kaya milik Dailuna. "Itu milik ayahku, dia seorang pemusik, sampai dia meninggal dia berikan itu padaku," jawab Andira, untuk pertama kalinya dia berani memandang ke arah mata Martin.
Martin yang menyadari tatapan Andira menaikkan kedua alisnya dan terlihat senyum miring di bibir tipisnya. Dia juga terlihat mengangguk-anggukkan kepalanya.
Martin melangkahkan kakinya, dan berdiri tepat di hadapan gadis berkulit putih susu itu.
Matanya yang dibingkai kacamata memandang mata milik Andira yang sedang memandang ke bawah. Andira terlihat memainkan kedua telapak tangannya yang sudah berkeringat dingin.
Martin merasakan kegugupan Andira, namun dia malah semakin mendekatkan tubuhnya di hadapan gadis muda itu. Tangan kekar Martin mulai terangkat, dan jemarinya mengangkat pelan dagu Andira, dia kini dapat merasakan langsung tatapan milik Andira yang langsung menatap matanya namun dengan mata ketakutan dan berkaca.
"Katakan, apa kau yang mencuri uang di brangkasku?" tanya Martin, nada bicaranya
tenang, namun tatapannya masih saja mengintimidasi."Bukan," jawab Andira sambil menggelengkan kepalanya.
Mendengar itu, Martin mulai kehilangan kesabarannya, jari telunjuk yang tadinya berada
di dagu Andira kini perlahan melangkah turun ke leher Andira, jemarinya itu bermain di leherAndira.Gadis berusia 21 tahun itu kini tak mampu mengatur nafasnya dengan baik. Sedang
Martin mulai membentuk tangannya seperti sabit melingkari leher Andira, sesekali Andira menelan ludah, dan sekarang rasa takutnya semakin memuncak, dia menutup matanya, dan mengeluarkan air mata. Melihat Martin yang kini seperti akan mencekik Andira jika ia tak mengaku."Sekarang katakan, apakah kau melihat orang lain berada di ruangan ku siang tadi?" tanya Martin, tangannya masih berada di leher Andira.
Mendengar itu Andira lalu mengingat Nadira yang mengusir dirinya saat dia membersihkan
ruang kerja Martin.Andira mengangguk, dan membuat Martin tersenyum, lalu bertanya, "Siapa?" tanya Martin.
"Nadira," jawab Andira.Mendengar itu Martin lalu melepaskan tangannya dari leher Andira, seketika Andira kemudian mempercepat nafasnya dan merasa lega terlepas dari cengkaraman tangan Martin. "Kau serius?" tanya Martin lagi, namun hanya dijawab dengan anggukan oleh Andira.
Martin menatap Andira dengan tatapan tulus dan kasihan, dia kemudian menepuk lembut pipi Andira, dan pergi dari sana.
Andira yang sedari tadi merasa terancam langsung saja menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidurnya, air matanya kiang mengalir, dia sangat ketakutan melihat cara Martin membuatnya untuk berbicara, dia sekarang memikirkan ibunya di rumah sakit yang dijaga oleh adiknya yang masih berstatus pelajar.
Dia menggantikan ibunya karena sedang sakit dan adiknya yang harus ia biayayi. Tatapan tajam Martin Dailuna masih terbayang di benak Andira, yang tadinya hanya ucapan kasar, kini hampir berubah menjadi tindakan yang agak kasar, dia berfikir betapa tersiksanya ibunya saat bekerja di sini.
Para majikan yang sangat keras dan tak peduli terhadap perasaan pembantunya. Namun hatinya kini mengarah pada Raisi yang memiliki sikap lembut, tampan dan baik hati.
Berbeda dengan ayahnya yang memiliki sikap dingin, agak kasar dan tidak tahu caranya menghargai.
Mengingat Raisi hati Andira berubah menjadi lebih tenang.
Dan Martin, dia berjalan dengan langkah pelan sambil mengingat Nadira yang pernah meminta uang untuk membeli ponsel baru.
Dia tentu saja tidak akan menghukum Nadira dengan cara kasar dia hanya akan melihat apakah Nadira betul-betul membeli ponsel baru sehingga dia akan yakin bahwa memang putrinya sendirilah yang mengambil uangnya.
Dan kode kombinasinya pun adalah tanggal lahir Nadira jadi akan sangat mudah untuknya mengambil uang di dalam brangkas milik Martin.
Saat Martin akan menuju ruangan kerjanya, dia melihat Raisi berjalan yang mengarah ke kamar
Andira.Melihat itu Martin berhenti dan juga menghentikan Raisi.
"Raisi!" panggil Martin, mendengar itu Raisi pun berhenti dan Martin pun menghampirinya.
"Kau mau kemana?" tanya Martin saat berdiri tepat di hadapan putra sulungnya."Tidak kemana-mana," jawab Raisi yang juga mulai berani memandang mata ayahnya.
"Aku tahu, kau akan ke kamar pembantu muda itu kan?" teka Martin, dia terlihat memiringkan kepalanya, menunggu jawaban dari Raisi."Pa, aku bukan anak-anak lagi yang harus memberitahu kemana aku akan pergi," ucap Raisi. Mendengar itu membuat Martin kemudian agak memonyongkan bibir tipisnya.
"Baiklah pergilah kemanapun yang kau inginkan, tapi jangan harap kau bisa jatuh cinta pada gadis yang berstatus pembantu," ucap Martin dengan tatapan sini pada sang putra.Dia memandang berani mata Raisi seakan mengisyaratkan kalau-kalau Raisi jatuh cinta pada Andira, Martin lah yang paling pertama menentangnya.
Bukan karena Martin tidak merestuinya karena Andira adalah anak seorang pembantu, tapi karena dia yang selalu mendapatkan apa yang dia inginkannya, termasuk rasa inginnya pada Andira.
Martin sudah melupakan uang miliknya yang hilang, toh dia sudah tahu siapa pencurinya. Anaknya sendiri, Nadira. Kini dia hanya ingin fokus pada Raisi dan juga Andira, kalau-kalau mereka saling menyukai kemudian saling mencintai itu akan menjadi masalah bagi Martin dan juga anak dan pembantu mudanya.Rasa ingin dekat dengan Andira semakin memuncak, apalagi dia dengan bebasnya menyentuh dagu, pipi, hingga leher Andira. Pria setengah baya itu tak kunjung menghilangkan imajinasi gelapnya terhadap Andira.Dia berada di dalam kamarnya, menunggu waktu membuatnya tertidur, namun tak kunjung karena kepalanya hanya ada Andira di dalamnya. Mata jernih milik Andira yang sangat disukai Martin untuk dipandangnya, kulit putih halus yang sangat ingin disentuh olehnya, hingga bibir merah yang ingin sekali dilumat oleh bibir milik Martin.Dia merenung.Imajinasi kotor Martin terhadap Andira semakin bermain dalam kepalanya. Dalam benaknya dia memikirkan bagaimana cara
"Anda pikir Anda siapa? Ya! Anda mungkin seorang majikan di rumah ini, seorang pemilik kekuasaan di kantor Anda, dan memiliki kuasa yang besar. Namun Anda sama sekali tidak berkuasa sepenuhnya atas diriku, Anda mungkin memiliki banyak hal tapi tidak segalanya. Anda tahu, Anda adalah orang paling menjijikkan yang pernah aku lihat. Dan pecat aku sekarang juga Tuan Martin Dailuna!" ucap Andira dengan nada menentang, dan menatap berani wajah Martin Dailuna.Mendengar itu, kemarahan Martin semakin memuncak, matanya nanar, dan dengan sigapnya, mendorong Andira dengan tangannya yang saat itu memegang tangan Andira dengan keras.Kini tubuh Andira terjepit, tubuhnya terhimpit antar Martin dan meja dapur. Kedua mata mereka saling memandang dengan kemarahan satu sama lain."Siapa kau? Siapa kau yang berkata seperti itu padaku? Dengar baik-baik, aku ini adalah Martin Dailuna, dan aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kau salah saat mengatakan bahwa aku tidak berkuasa a
---------------------------------------------------------------------*****Dunia ini kejam Andira, jika kau tidak menjadi yang kejam, maka siap-siap menjadi korban kekejaman itu sendiri.Selama ini, aku sudah merasakan kekejaman itu, kekejaman dari kuasa ayahku sendiri. Aku pernah mencintai tapi tidak pernah disatukan, aku pernah bermimpi tapi tidak pernah terwujud.Kemudian aku sadar, suatu hari nanti aku akan mendapatkan segala hal yang aku inginkan. Dan aku menyadarinya, bahwa satu-satunya yang aku inginkan saat ini, hanyalah kamu Andira, bukan hartaku, tahtaku, tapi kau, wanitaku*****.---------------------------------------------------------------------Martin kemudian menutup bukunya setelah menulis sesuatu di dalamnya. Selama seharian dia tidak berniat bertemu dengan Andira, dia tahu bahwa Andira saat ini sangat membencinya. Dia sadar bahwa Andira tidak akan jatuh di pelukannya, karena sikap kasar yang selalu dia tunjukkan pada Andira apalagi
"Berikan ransel kamu," ucap Martin sambil mengulurkan tangannya."Kenapa?" tanya Nadira yang saat ini sudah berada tepat di hadapan Martin."Papa bilang berikan ransel kamu," ucap Martin lagi dengan nada biasa namun tatapan tajam memandang ke arah Nadira, yang pada akhirnya menuruti perkataan Martin.Martin membuka ransel berwarna hijau muda, Martin seperti sudah mendapatkan apa yang dicarinya, dua ponsel yang berbeda, ponsel lama Nadira yang masih baik untuk digunakan dan ponsel yang mungkin baru kemarin Nadira beli.Martin mengangkat kedua ponsel itu dan menaruhnya di atas meja kerja miliknya."Apa ini?" tanya Martin menaikkan kedua alisnya menatap mata yang sedikit ketakutan milik Nadira.Nadira menelan ludah dan keringat dingin terasa di sekujur tubuhnya."Hm, yang satu itu ponsel milik temanku Pa," jawab Nadira dengan nada pelan.Martin memasang wajah malas mendengar pengakuan, jawaban dari sang putri."Apa Papa per
Makan malam sudah siap, keluarga Dailuna sudah berkumpul di meja makan, tapi di sana tidak terlihat Martin Dailuna di kursinya. Martin Dailuna masih saja menunggu kedatangan Andira muncul melalui pintu ruang kerjanya.Namun lihat tidak ada tanda-tanda Andira akan datang menemuinya. Martin sudah tidak bisa menahan kesabarannya, dia berniat untuk memarahi Andira di meja makan nanti.Dia keluar dari ruang kerjanya, menuju meja makan, dan betapa terkejutnya mata Martin saat melihat orang yang sama sekali tak disangkanya duduk di samping Sarah istrinya.Martin sudah muak melihat Raynaldi berada di kantornya, sekarang dia ikut makan malam bersamanya di meja makannya. Saat Martin berjalan menuju meja makan, matanya hanya bisa memandang dengan tatapan tidak suka, tanpa bisa berbuat apa-apa. Martin tahu betul bahwa anak-anaknya sangat menyukai Raynaldi dan istrinya sangat menyayangi adiknya itu."Hei Mart, aku pikir kau tidak datang untuk makan malam," canda
Raisi berjalan menuju ruangan Martin dengan membawa nampang makanan dan bersiap akan berhadapan langsung dengan pria yang sangat ia takuti dan hormat, ayahnya sendiri. Martin memang selalu tegas dan tidak pernah bersikap lembek dalam mendidik anak-anaknya. Dari kecil Raisi sudah diajarkan kedisiplinan, patuh dan tunduk pada yang memiliki kekuasaan yang lebih besar jika tidak maka akan terjadi masalah. Itulah yang selalu diajarkan Martin pada anak-anaknya jadi tak seorangpun dari mereka yang berani menentang Martin Dailuna.Raisi mengetuk pintu dan terdengar suara dari dalam pintu masuk."Masuk," ucap Martin. Saat itu Martin sedang ingin meminta maaf pada Andira namun betapa kecewa dan marahnya dia yang datang bukan Andira namun anaknya Raisi.Mata Martin kembali melotot, alisnya terangkat ke atas, kesabarannya pada gadis itu sudah tidak bisa ditahannya lagi."Raisi?" kata Martin."Aku tidak memanggil Andira untuk membawakan makanan Papa karena aku
Beberapa hari tak berbicara dengan Andira, Martin merasa bahwa Andira akan melupakan kejadian yang terjadi di dapur saat itu. Martin juga sudah sangat sibuk dengan pekerjaannya, sampai Sarah datang ke kantornya dan untuk pertama kalinya Sarah memberanikan diri datang ke kantor Martin setelah kejadian saat Sarah mempermalukan Martin dan menuduh Martin berselingkuh dengan sekretaris Martin. Tapi untuk membuktikan bahwa Martin sama sekali tidak melakukan hubungan gelap, Martin langsung memecat sekretarisnya dan hal yang kemudian membuat Sarah harus merasakan betapa cuek dan dinginnya Martin Dailuna setelah kejadian di kantornya.Martin tidak pernah melakukan perselingkuhan dengan gadis manapun, namun sekarang tiba-tiba matanya hanya tertarik pada satu wanita, Andira Mirat, gadis yang membuat Martin terobsesi dalam satu pandangan pertama."Pak Martin, istri Anda datang berkunjung," ucap Fainah, sekretaris Martin yang berpenampilan sederhana, sengaja Martin memilih Fainah k
Martin terdiam memandang lurus dinding yang ada di depannya. Kakinya lurus ke depan, tubuhnya bersandar di kepala tempat tidur. Dia sungguh masih lemas mendengar Nadira mengatakan bahwa Andira libur selama seminggu lamanya. Dalam benak Martin berfikir bahwa semuanya sia-sia, betapa bahagianya dia saat mendengar semua akan memiliki kesibukan masing-masing di luar rumah, dan dia akan berada di rumah bersama Andira, hampir saja Martin mengambil cuti selama seminggu untuk tetap berada di rumahnya, namun rencana itu tidak bisa ia wujudkan.Wajah lemas masih nampap di wajah Martin, dan pandangannya masih kosong ke arah dinding yang ada beberapa sentimeter di hadapannya.Sampai suara pintu yang terbuka pun tidak mampu menggemingkan telinga Martin yang masih merasa terkejut dengan keputusan Sarah meliburkan Andira.Sarah masuk ke dalam kamarnya dan menyadari Martin yang sudah ada di sana dengan wajah pucat yang diperlihatkan oleh Martin.Sarah bingung dengan ting
Ya dia tahu siapa yang membawa Andira, dan anehnya sesuatu menjadi lebih muda baginya, tak ada pengawal sementara Martin memegangi senjata api di tangannya walau dia terlihat terluka di kepala, dan beberapa darah yang mengalir di tangannya, ya sebelum Ibrahim berhasil dijatuhkan oleh Martin, Ibrahim berhasil menyerang Martin dengan irisan balok yang membuatnya terluka. Di sisi yang lain, Martin membuka satu-persatu pintu ruangan yang ada di labirin, sampai akhirnya dia tidak menemukan pintu apa pun, hanya dinding kasar di sekelilingnya, dan yang membuatnya merasa bingung adalah di mana semua orang? Martin tak menemukan siapa pun, tapi dia bisa melihat tanda ayang dia tahu bahwa yang melakukannya pasti Nigel, untuk menjebak Martin, walau Martin paham akan jebakan itu, dia tetap mengikuti pola petunjuk yang dia tidak tahu akan membawa dia ke mana, hanya saja tak ada pilihan lain. "Martin." Langkah kaki Martin terhenti, dia mendengar sesuatu, di belakang, di depan, di samping, lalu s
Rasa lemas menjalar di sekujur tubuh Martin, dia tidak menyangka bahwa Nigel akan sejauh ini, gadis yang selalu bersamanya yang Martin pikir Litzia telah menjadi gadis yang penting bagi Nigel ternyata saat mencoba membalas dendam dan ambisi gadis itu tidak lain hanyalah sekedar hiburan bagi Nigel. Mata Martin redup, dia kebingungan bagaimana harus merespon apalagi rasa panas dikarenakan cahaya lampu yang langsung mengarah kepadanya membuatnya merasa terganggu. Dia meremukkan rambut-rambut nya yang kusut, dan saat mencoba untuk fokus, dia menemukan sesuatu berada di tangan Litzia, gadis itu menggenggam sesuatu, Martin yang merasa apa yang digenggam Litzia penting langsung meraih tangan gadis itu dan membuka telapaknya, di sana terletak kertas yang mungkin berisikan informasi. Tulisan yang Martin tahu bukanlah milik Litzia melainkan milik Nigel, ya jelas kertas dengan tinta yang ditulis Martin dan berisikan, "Putramu dan Andira selanjutnya, oh ya astaga kau tidak akan menemukan putra
Bibir Martin terbuka, dia merasa heran siapa yang mungkin yang telah membukakan pintu untuknya, dan kenapa pintu ini bisa terbuka sendiri. Sia menelan saliva berkali-kali tapi dia tidak bisa diam, ya dia tidak seharusnya seperti ini, dia mengepalkan tangan dengan kemarahan yang luar biasa, pada Nigel, Ibrahim dan sedikit rasa kecewa dan kebencian terhadap Andira, atau dia sedang berusaha untuk membenci gadis itu. Tapi sebelum semua itu harus diselesaikan olehnya, dia berusaha untuk menemukan putranya terlebih dahulu, di mana Raisi, dan kenapa semuanya terlihat kacau, kenapa Tidka ada penjaga dan pintu ruangannya sendiri, sel yang dia miliki sendiri yang seharusnya menjadi tempat dia tertahan kini terbuka. Tapi semua itu tidak penting, Martin dia mencoba untuk melangkah pergi, tetapi dia tidak dengan tangan kosong, di dalam saku-saku celananya dia menyimpan pecahan beling yang dia hancurkan sebelumnya dan akan menjadikannya sebagai pertahanan atau cara untuk melawan. Sayangnya dia
Litzia mencoba menyelematkan siapa pun yang bisa dia selamatkan setelah dia berhasil membantu Raisi, yang entah apakah Raisi berhasil keluar dari labirin rumit yang telah dibangun oleh Nigel selama ini atau usaha mereka hanya akan menjadi boomerang. Dia memastikan bahwa Ibrahim mengetahui rencana Nigel untuk menghabisi mereka semua di tempat itu, sehingga mungkin dalam sesaat dia ingin menyelamatkan semuanya, termasuk Andira, tetapi sebelum itu, dia harus memastikan bahwa Martin tiada di tangannya. Di sisi yang lain Litzia, dia membuka pintu demi pintu, labirin yang begitu membingungkan, dia tidak bisa menemukan di mana kamar Martin, atau di mana sel Martin disembunyikan, langkah demi langkah dia berusaha untuk dapatkan hingga akhirnya dia menemukan satu ruangan yang tak terjaga, cukup jauh dan firasatnya berkata, mungkin itu adalah Martin. Langkahnya menuju sel itu cepat, dan menemukan seseorang yang bersandar tanpa semangat hidup duduk di lantai. Litzia hanya dapat melihat pria i
Beberapa Saat Sebelumnya "Pergilah, kau tidak punya waktu, kau harus meninggalkan tempat ini atau Nigel akan menghabisi mu di hadapan ayahmu. Dia akan mempermainkan Malian berdua sebelum akhirnya mengakhiri semuanya." Dia mencoba membuka gelangan borgol di tangan Raisi sementara Raisi yang terlihat dengan wajah berantakan, darah di sisi wajahnya, dan rambut yang terlihat tak terawat itu memandang bingung. "Bagaimana kau mendapatkan kunci itu ... Astaga kau membahayakan dirimu sendiri Litzia." Raisi menghentakkan tangannya seolah menolak bantuan Litzia tapi gadis ini mencoba untuk tetap membantu Raisi. "Kau tidak tahu bahwa Nigel adalah monster dan dia akan menghabisi kalian, kau, Martin, Andira, semuanya, bahkan Ibrahim tangan kanannya sendiri akan mati di sini jika tidak pergi." "Andira?" Raisi menelan saliva, dia gemetar. "Ya." "Tidak." Raisi yang kedua tangannya sudah terbebas dari borgol itu menggelengkan kepala, "Aku tidak mau meninggalkan Andira. Bawa aku padanya dan akan
Semua tampak jelas, Martin melihat segalanya dalam kesunyian yang tak terhentikan, dia merasa bahwa hidupnya akan selalu seperti ini, menderita. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, Andira, tapi dengan biaya sebesar apa? Dan kini, di mana gadis itu? Di mana putranya? Dan demi keinginan yang ia hasratkan semuanya berakhir kacau, dia terjebak di dalam neraka yang abadi. Nigel menghentakkan kepala Martin dan membiarkan dia tergelatak di dalam sana, kini adalah rencana selanjutnya tapi kapan dia akan melakukan rencana selanjutnya? Oh ya dia akan mempermainkan Martin lebih lama, lebih parah, San jauh lebih menyakitkan sebelum pada akhirnya mengakhiri hidup Martin Dailuna. Di sisi yang lain, Ibrahim tak sanggup menahan amarah dendam yang ingin segera mengakhiri hidup Martin, menghancurkan dinasti Dailuna selamanya. Tetapi semua itu berada di tangan Nigel yang memiliki lebih banyak anak buah. "Apa lagi yang kau tunggu?" Ibrahim bertanya, dia tak sanggup menahan diri untuk segera mengakh
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap