"Kau kah itu? Kau kah yang mencurinya? Ha!? Katakan! Dimana Andira keparat!"Martin dengan suara keras dan berteriak. "Aku lupa mengatakan bahwa kau tidak seharusnya membawa seorang polisi!" Suaranya juga lantang dibalik ponsel. Mendengar perkataan lawan bicaranya di balik ponsel miliknya, Martin langsung menoleh dan melihat ke belakang, dia melihat polisi muda itu bersembunyi diantara malam dan semak. "Sial! Aku tidak menyuruhnya, dia adalah polisi lalu lintas, dia bukan siapa-siapa!" "Oh ya? Kau bisa buktikan? Dengan... Menembaknya di kepala?" "Sial!""Tuan Dailuna, kau inginkan Andira bukan?" Suara dingin dibalik ponsel itu membuat Martin seketika berlutut di pasir-pasir pantai. "Apa yang kau inginkan dariku? Ha! Siapa kau?!" "Siapa aku? Aku adalah orang yang patah hati karena mu, kau... Kau membunuh Mia ku! Dan saat ini, aku hanya ingin... Aku hanya ingin kau menderita, Tuan... Tuan Dailuna, jemput lah jasad kekasih muda mu ini!"Mata Martin langsung membulat dan berkaca-kaca
"Aku menemukannya! Aku menemukannya!" teriak pemuda itu dengan tubuh Andira di dekapannya. Martin muncul dari dalam air dan memalingkan pandangannya pada pemuda dan Andira. Dia berjalan lincah menerobos air laut dan anak-anak ombak. Mereka lalu berjalan ke pinggir pantai, dan meletakkan tubuh Andira dengan kaki dan tangan terikat, mata yang tertutup, dan tubuh yang tak berdaya, tubuh itu kini diletakkan di atas pasir pantai dan dinginnya malam. "Andira, Andira..., Bertahanlah." Martin sambil menepuk-nepuk pipi Andira dan mencoba mengecek denyut leher Andira. Hatinya cukup lega saat menemukan denyut nadi Andira. "Kita harus ke rumah sakit!" Martin dan langsung mengangkat tubuh Andira namun polisi muda itu menahannya dan berkata, "Tunggu, kita tidak punya waktu untuk membawanya ke rumah sakit." Dia lalu setengah jongkok di sebrang Martin dan di samping tubuh tak berdaya Andira. "Kita harus mengeluarkan air yang masuk ke dalam tubuhnya," ucapnya dengan lincah, dan memandang Martin se
Hingga akhirnya mereka sampai di rumah sakit, dan Andira langsung mendapatkan perawatan tercepat di rumah sakit itu, rupanya Hatice belum pulang dan dia sendiri yang akan merawat Andira. "Apa yang terjadi?" tanya Hatice, berjalan dengan tergesa-gesa di samping Martin yang juga tergesa-gesa mengejar Andira di depan. "Aku tidak akan menjelaskannya di sini, cukup selamatkan dia!" Martin dan berhenti tepat di hadapan pintu UGD. "Tunggulah di sini, atau pulanglah, beristirahat, aku akan mengurus semua ini Kak," ucap Hatice dan menahan Martin untuk tetap berjalan masuk ke dalam UGD. "Pulang? Kau ingin aku pulang sementara Andira berada di sini?" Martin merasa tersinggung. "Bukan begitu, tapi itu semua terserah Kakak, aku hanya mengatakan apa yang seharusnya saya katakan!" Lalu Hatice masuk ke dalam ruang UGD dan menangani pasiennya. Martin terlihat begitu panik hingga seseorang datang padanya, oh ya, polisi muda itu sejak tadi membuntutinya. Dia membawa segelas kopi untuk Martin dan
Martin duduk berhadapan dengan polisi muda bernama Syarif. Dia mentraktirnya makan malam di tempat makan berdekatan dengan rumah sakit. Mereka memakan makanan yang tersaji di atas meja. Martin terlihat begitu khusyuk saat memakan makanannya sementara Syarif dia terlihat hanya memandang Martin dengan tatapan heran, atau entahlah, dia hanya menatap Martin dengan kedua kelopak mata yang terlihat bimbang tanpa menyentuh makanan yang disajikan di atas meja. Martin tak membalas tatapan Syarif dia juga tidak memedulikan tatapan itu. Dia terus fokus dengan mengisi perutnya sendiri. Dia berusaha untuk lupa dengan apa yang terjadi sebenarnya, untuk sementara nanti dia pikirkan, saatnya untuk makan. "Gadis muda itu kekasihmu?" sahutnya tiba-tiba, Syarif terlihat masih menatap Martin dengan tatapan kedua matanya yang menunggu jawaban. Martin juga terlihat berhenti menyuap makanannya, dia menaruh sendok dan garpunya di dalam mangkuk. "Apa kau berpikir dia kekasihku?" Martin bertanya balik, dan k
"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu," ucap Hatice dan duduk di sofa berdekatan dengan Ibrahim. "Gadis itu? Siapa maksudmu gadis itu?" tanya Ibrahim sambil meraih ceret yang berisikan teh hangat dan menuangkannya pada gelas Hatice. "Andira, terjadi sesuatu padanya, dia basah kuyup, kakakku juga, dan seorang pemuda yang bersama kakakku," ucapnya lagi, membuat Ibrahim sedikit penasaran. "Pemuda?""Iya, seorang pemuda yang berseragam seorang polisi. Entahlah, tapi itu cukup mengganggu pikiranku." Hatice, sambil meraih segelas teh yang berada di atas meja. "Kenapa tidak bertanya saja pada Martin, kau bisa mendapatkan jawaban darinya.""Hmm, tentu. Tapi aku rasa dia tidak akan berkata jujur, aku juga malas bicara dengannya," jawab Hatice, dia menaruh gelasnya kembali ke atas meja dan menyandarkan kepalanya pada bahu Ibrahim, dimana mereka masing-masing bersandar di pada punggung sofa. "Berbicara soal pembantu muda yang cantik itu, apa Martin...,""Cantik?" T
Raisi pulang ke rumahnya dalam kondisi sedikit mabuk, dia melihat rumah yang terang tanpa penghuni. Dia melihat rumahnya yang begitu sepi. Dia berpikir bahwa orang di rumah sudah tidur, namun tidur begitu cepat? Tidak, ada sesuatu yang ganjal, dan pintu kamar Andira seperti sedang terbuka, memang terbuka. "Dimana Andira?" Raisi saat membuka pintu dengan pelan, dan melihat ponsel milik Andira yang terjatuh dan pecah. Setelah melihat kamar Andira, dia langsung mendaki tangga dan naik ke kamar ayahnya, dan di sana juga tidak ada siapa-siapa. Dan di kamar Hatice, ya Hatice juga tidak sedang berada di rumah. "Apa yang terjadi? Apa ayahku kencang buta dengan Andira?" Raisi yang bertanya sendiri. Karena tak tahu harus bagaimana, dia menghubungi Martin namun ponselnya tidak bisa dihubungi. Seperti yang kita ketahui, ponsel Martin terjatuh di dalam air laut, bukan? Karena tidak mendapat jawaban dari ayahnya dia berusaha menghubungi Hatice namun Hati sedang asik bercinta dengan Ibrahim. Ti
-----------------------------------------Hal yang aku lupakan pada diriku adalah, bahwa aku tua. Tapi hal yang tidak aku lupakan pula adalah bahwa aku kaya.-----------------------------------------"Kita akan segera pulang," bisik Martin di telinga Andira saat pagi telah tiba. Martin terbangun begitu pagi, dia tidur nyenyak sesaat, lalu terbangun saat merasakan sentuhan matahari yang menembus masuk melalui jendela kaca yang sedikit terbuka. Pakaiannya masih basah kuyup sebelum dia tertidur semalam, dia belum menggantinya, mungkin mengeringkannya bersama tubuhnya sejenak namun dia tidak tidak menggantinya, dia tidak memperdulikannya. Saat ini, Martin duduk di samping Andira, samping ranjang Andira dan mulai menggenggam tangan Andira sesaat saat Andira mulai perlahan membuka mata indahnya. Gadis itu kini terbangun dan menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur dan menatap Martin yang juga menatap ke arahnya. Mereka saling bertatap dan tersenyum hingga Martin membuka suaranya dan
Raisi masih kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi? Dia bahkan tidak tidur memikirkan apa yang terjadi. Dia terus menghubungi semua orang yang dia kenapa dan mengenal Andira termasuk ibunya. Namun Sarah dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Martin dan Andira, karena dia sibuk bersama Lutfi, dia sibuk berpacaran dan bermesraan, sama seperti Hatice. "Aku tidak peduli! Kau jangan pedulikan gadis itu! Kalau bisa jangan pernah menyebutnya, aku sangat membencinya! Kau jangan mendekatinya, Mama sangat ingin menghancurkan gadis itu! Kau hancurkan dia demi ibu!" Itulah yang dikatakan Sarah saat dihubungi oleh putra sulungnya, namun bukannya mendapatkan jawaban yang diinginkan Sarah, Raisi malah menjawab, "Mama tidak seharusnya mengatakan itu! Aku sudah sangat bersalah padanya! Karena Mama aku menyiksa Andira, bahkan hingga dia betul-betul membenciku." Jawaban Raisi pada Sarah dan hubungan pembicaraan pun berakhir. Saat ini, Raisi Dailuna tengah duduk dengan lemas di sof
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k