"Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada gadis itu," ucap Hatice dan duduk di sofa berdekatan dengan Ibrahim. "Gadis itu? Siapa maksudmu gadis itu?" tanya Ibrahim sambil meraih ceret yang berisikan teh hangat dan menuangkannya pada gelas Hatice. "Andira, terjadi sesuatu padanya, dia basah kuyup, kakakku juga, dan seorang pemuda yang bersama kakakku," ucapnya lagi, membuat Ibrahim sedikit penasaran. "Pemuda?""Iya, seorang pemuda yang berseragam seorang polisi. Entahlah, tapi itu cukup mengganggu pikiranku." Hatice, sambil meraih segelas teh yang berada di atas meja. "Kenapa tidak bertanya saja pada Martin, kau bisa mendapatkan jawaban darinya.""Hmm, tentu. Tapi aku rasa dia tidak akan berkata jujur, aku juga malas bicara dengannya," jawab Hatice, dia menaruh gelasnya kembali ke atas meja dan menyandarkan kepalanya pada bahu Ibrahim, dimana mereka masing-masing bersandar di pada punggung sofa. "Berbicara soal pembantu muda yang cantik itu, apa Martin...,""Cantik?" T
Raisi pulang ke rumahnya dalam kondisi sedikit mabuk, dia melihat rumah yang terang tanpa penghuni. Dia melihat rumahnya yang begitu sepi. Dia berpikir bahwa orang di rumah sudah tidur, namun tidur begitu cepat? Tidak, ada sesuatu yang ganjal, dan pintu kamar Andira seperti sedang terbuka, memang terbuka. "Dimana Andira?" Raisi saat membuka pintu dengan pelan, dan melihat ponsel milik Andira yang terjatuh dan pecah. Setelah melihat kamar Andira, dia langsung mendaki tangga dan naik ke kamar ayahnya, dan di sana juga tidak ada siapa-siapa. Dan di kamar Hatice, ya Hatice juga tidak sedang berada di rumah. "Apa yang terjadi? Apa ayahku kencang buta dengan Andira?" Raisi yang bertanya sendiri. Karena tak tahu harus bagaimana, dia menghubungi Martin namun ponselnya tidak bisa dihubungi. Seperti yang kita ketahui, ponsel Martin terjatuh di dalam air laut, bukan? Karena tidak mendapat jawaban dari ayahnya dia berusaha menghubungi Hatice namun Hati sedang asik bercinta dengan Ibrahim. Ti
-----------------------------------------Hal yang aku lupakan pada diriku adalah, bahwa aku tua. Tapi hal yang tidak aku lupakan pula adalah bahwa aku kaya.-----------------------------------------"Kita akan segera pulang," bisik Martin di telinga Andira saat pagi telah tiba. Martin terbangun begitu pagi, dia tidur nyenyak sesaat, lalu terbangun saat merasakan sentuhan matahari yang menembus masuk melalui jendela kaca yang sedikit terbuka. Pakaiannya masih basah kuyup sebelum dia tertidur semalam, dia belum menggantinya, mungkin mengeringkannya bersama tubuhnya sejenak namun dia tidak tidak menggantinya, dia tidak memperdulikannya. Saat ini, Martin duduk di samping Andira, samping ranjang Andira dan mulai menggenggam tangan Andira sesaat saat Andira mulai perlahan membuka mata indahnya. Gadis itu kini terbangun dan menyandarkan tubuhnya di kepala tempat tidur dan menatap Martin yang juga menatap ke arahnya. Mereka saling bertatap dan tersenyum hingga Martin membuka suaranya dan
Raisi masih kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi? Dia bahkan tidak tidur memikirkan apa yang terjadi. Dia terus menghubungi semua orang yang dia kenapa dan mengenal Andira termasuk ibunya. Namun Sarah dia sama sekali tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Martin dan Andira, karena dia sibuk bersama Lutfi, dia sibuk berpacaran dan bermesraan, sama seperti Hatice. "Aku tidak peduli! Kau jangan pedulikan gadis itu! Kalau bisa jangan pernah menyebutnya, aku sangat membencinya! Kau jangan mendekatinya, Mama sangat ingin menghancurkan gadis itu! Kau hancurkan dia demi ibu!" Itulah yang dikatakan Sarah saat dihubungi oleh putra sulungnya, namun bukannya mendapatkan jawaban yang diinginkan Sarah, Raisi malah menjawab, "Mama tidak seharusnya mengatakan itu! Aku sudah sangat bersalah padanya! Karena Mama aku menyiksa Andira, bahkan hingga dia betul-betul membenciku." Jawaban Raisi pada Sarah dan hubungan pembicaraan pun berakhir. Saat ini, Raisi Dailuna tengah duduk dengan lemas di sof
Setelah melihat apa yang telah dilihatnya, Raisi berjalan menyusuri tempat itu dan menemukan jalan keluar, ke sebuah jalan normal, yang ternyata keluar menembus jalan raya. Setelah itu Raisi berjalan keluar dan mengabaikan apa yang dilihatnya untuk sementara, namun dia masih merasakan rasa penasaran terhadap gadis lain, Mirat? Siapa dia? Kenapa begitu mirip dengan Andira. Kini Raisi kembali masuk ke ruang rumahnya yang luas dan mendengar suara pintu yang mulai terbuka, oh ya, Hatice baru saja kembali. "Tante Hati!" Raisi memanggil dan membuat Hatice berhenti dari jalannya. "Iya?" "Dari mana saja? Kenapa papa dan Andira tidak berada di rumah?" tanyanya, "Dan kenapa Tante juga tak berada di sini semalam?" "Oh soal itu? Aku berada di rumah sakit, aku juga sibuk akhir-akhir ini. Andira dan papa mu juga berada di rumah sakit.""Rumah sakit?" "Terjadi sesuatu pada Andira," kata Hatice lagi. Raisi terdiam dan tak lagi berbicara. Hatice melanjutkan jalannya dan mendaki tangga untuk naik
Raisi menatap mobil ayahnya yang baru saja keluar dari area rumah sakit, namun dia mengabaikannya dan langsung saja memasukkan mobilnya ke area parkir dan dia sendiri bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit, dan bertanya dimana Andira menginap. Dia membuka pintu kamarnya dan melihat Andira menatap keluar jendela. Dan Andira yang merasakan kehadiran seseorang langsung menoleh ke arahnya. Kelopak matanya membulat melihat Raisi. "Kau tidak usah takut." Raisi dan dengan pelan membuka pintu ruang kamar itu. Andira menganga dan hanya diam, dia mencengkeram selimut dan menatap Raisi dengan tatapan yang penuh dengan rasa tidak senang atau mungkin kebencian. "Aku meminta maaf sekali lagi Andira." Andira tidak menjawab, hanya diam dan kesal. Sementara Raisi dia semakin mendekat dan duduk di tempat Martin duduk tadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Raisi. "Kau yang melakukannya bukan?" tanya Andira membingungkan bagi Raisi. Raisi sendiri mengernyitkan keningnya dan bingung. "Ap
Setelah membawa ibu dan adik Andira ke rumah sakit, Martin bergegas ke kantornya dan memberitahu Fainah bahwa dia tidak akan berada di kantor sepanjang hari. Dia hanya menengok beberapa berkas penting dan menyapa beberapa karyawannya, setelah itu pergi dan bertemu Rami. Mereka berjanji akan bertemu saat jam makan siang, tentu mereka bertemu di restoran yang menampilkan kesederhanaan namun menyajikan makanan mewah. Mereka terlihat duduk berhadapan dengan meja yang memisahkan mereka. Mereka berdua memesan beberapa makanan yang bisa mengenyangkan perut mereka. "Baiklah katakan tentang media yang kau maksud." Martin, duduk dengan tegas menatap Rami yang terlihat begitu rapi. "Apa kau tidak mandi?" tanya Rami tiba-tiba membuat Martin seketika tersinggung lalu terlihat mengendus lengan juga kemejanya. "Kau tidak bau, hanya saja pakaian dan rambut mu terlihat begitu kusut," kata Rami lagi, membuat Martin berhenti mengendus. "Oh, ya..., Memang aku belum mandi," jawabnya sedikit ragu. "
Syarif terlihat bimbang karena tidak menemukan apa-apa di pantai itu, dia mungkin melihat seseorang yang mencurigakan dan bahkan berbicara dengan orang yang mencurigakan itu, namun dia sama sekali tidak mengejarnya atau juga memperdulikannya, oh sial! Itu yang selalu dikatakan Syarif terus menerus, dan saatnya bertemu Martin, namun dengan apa? Dia tidak tahu bagaimana dia menghubungi Martin. Atau mungkin dia datang saja ke perusahaan Martin Dailuna, tentu, dia akan ke perusahaan Dailuna bagaimana tidak. Semua orang tahu perusahaan itu. Dia bergegas dengan motornya dan langsung saja menuju ke perusahaan besar Dailuna. Dan betapa kecewanya dia saat dia tidak menemukan Martin di sana. "Apa? Dia tidak berada di sini?" Syarif saat dia sampai dan bertanya pada resepsionis, seorang wanita tinggi dengan wajah yang menawan. "Iya Pak, Tuan Dailuna akhir-akhir ini tengah disibukkan beberapa hal, sehingga dia tidak sempat untuk ke kantor sepanjang hari ini," jawab resepsionis cantik itu. "Oh,
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k