Dia berjalan dengan kaki panjangnya yang cukup lincah ke arah pos satpam, untuk kali ini, karena rasa bosannya dia ingin berbicara dan berbaur sejenak dengan pekerja rumah. Dia memberi senyum pada setiap pekerja rumahnya, Pak Rustam dan Pak Kader memberikan senyum ramah sementara Pak Mamat memberi senyum kecut. "Malam," sapa Martin, dia berhenti tepat di hadapan pos satpam. "Malam Tuan." "Kok Anda belum pulang Pak Rus?" tanya Martin, dia memasukkan kedua tangannya di saku celananya. Menatap dengan ramah pekerjanya. "Masih ingin di sini Tuan. Lagi pula kalau pulang tidak melakukan apa-apa. Di sini bisa bicara dengan Pak Kader dan Pak Mamat." Mendengar penjelasan Pak Rustam, Martin mengangguk-angguk dan memberi senyum. "Kalau boleh tahu, kondisi Nak Randy bagaimana, Tuan?" Pak Kader mulai bertanya. "Syukurlah, dia sudah terbangun, mungkin beberapa hari dia akan pulang dan sembuh." Pak Kader dan Pak Rustam tersenyum menyeringai dan mengangguk. "Nyonya Sarah dan Dek Nadira tidak
Saat Randy sudah tertidur pulas, Sarah menciumi kening putranya itu, lalu keluar dari kamar rawat Randy. Dia melihat malam sudah mulai larut. Nadira dan Hatice juga baru saja pergi, dan rumah sakit mulai terlihat sepi. Para dokter dan suster mulai beristirahat, dokter yang bertugas saat malam berada dalam ruangan mereka. Sarah berjalan-jalan dan keluar dari rumah sakit, dia menghirup udara malam, dan merasakan angin malam menyentuh kulitnya. Dia rindu dengan seseorang, Lutfi tentu saja. Dia ingin bertemu, karena dalam waktu dekat Lutfi akan segera tugas dan melakukan penerbangan. Sarah meraih ponselnya dan menghubungi pria yang telah membuatnya jatuh cinta. "Kemarilah, temani aku." Sarah dengan ponsel yang dia tempelkan di telinganya. "Kau masih di rumah sakit? Bagaimana dengan Hati?" "Dia ke rumahku. Temani aku, aku kesepian sendiri di sini. Randy juga sudah tidur." "Baiklah, aku akan ke sana. Sebelum ke sana, ingin titip sesuatu?" "Minuman soda." "Roti? Atau makanan berat?""T
Hari yang melelahkan, betul-betul melelahkan namun juga hari yang berkesempatan untuk saling bertemu kekasih gelap. Martin yang diam-diam bercinta dengan Andira, Sarah yang menghabiskan malam dengan Lutfi, dan juga Hatice yang menghabiskan sorenya bersama Ibrahim. Mereka masing-masing saling menghabiskan waktu dengan pasangan yang seharusnya tidak mereka jadikan pasangan. Mereka larut dalam cinta yang gelap, kelam, dan akan menghancurkan mereka satu persatu. Sarah dan Lutfi saling bersandar dan Sarah yang tertidur dengan kepala yang bersandar di bahu Lutfi. Lutfi sendiri bahkan tidak tertidur semalaman untuk memastikan Sarah tetap nyaman. Sementara Martin dia tidur nyenyak di kasurnya. Hatice pun demikian, dia tidur berpelukan dengan Nadira. Hatice tidur bersama Nadira di kamar Nadira. Raisi juga sama, dia tidur dengan keadaan yang betul-betul lelah dan sedikit pusing, akibat dari minuman keras yang diminumnya. Andira sendiri tidur dalam keadaan yang terbebani. Hari ini dia akan ber
Setelah mengatakan itu, Andira berjalan keluar dapur, sementara Hatice, dia tercengang. Jika mereka saling menyukai, itu tandanya, sudah terjadi sesuatu di antara mereka. Mungkin itu alasan pasti kenapa Martin ingin bercerai, karena Andira juga sudah menyukainya. Itu yang dipikirkan Hatice. Andira sendiri berjalan keluar, saat akan membuka pintu Martin terlihat turun dari tangga dengan baju tidur yang melekat pada tubuhnya. Andira menyapanya dengan senyum dan Martin dengan lincah menghampirinya. "Roti isi?" "Aku selalu membawakan ini untuk mereka." "Tidak ada untukku?" "Anda bisa buat sendiri di dalam." Martin mengernyit. "Berani sekali nyuruh-nyuruh majikan." Andira hanya tersenyum jengkel. Merkea terdiam, hening sejenak, Martin memijat leher bagian belakangnya dan memandang Andira yang terus memalingkan pandangannya. "Baiklah, bawakan mereka makanan itu." Martin dan membantu Andira membuka pintunya. "Eh tunggu." Martin menahan Andira. Martin ingin memberitahu soal Pak Mam
Martin yang masih dengan pakaian tidurnya berjalan masuk ke dalam area rumah, dia berniat membuat teh kopi sendiri untuk dirinya, namun saat akan ke dapur dia bertemu dengan Hatice yang diam kaku. Melihat adiknya diam tanpa menyapa Martin berniat menyapanya terlebih dahulu. Dia berdiri tepat di hadapan adiknya yang diam kaku. "Pagi, Hati." sapanya dengan menatap mata kecewa Hatice. Adiknya itu tidak menjawab, dan Martin menunggu jawaban, karena tak dijawab, Martin berkata lagi, "Kau baik-baik saja?" Kedua tangannya berada di bahu Hatice. Mendengar sang Kakak dan melihatnya masih berdiri di hadapannya, membuat Hatice merasa kesal dan jengkel. Dia mengangkat kepalanya menatap Martin lalu-- Plak! Dia ditampar, tangan kanan Hatice menampar pipi kiri Martin Dailuna. Wajah Martin sendiri menatap lantai dan tangan kanannya menyentuh lembut pipinya. Dia kembali menatap Hatice dengan tatapan heran dan mulut yang menganga tipis. "Apa yang kau lakukan?" tanya Martin dengan tatapan yang begit
Andira akan segera ke rumah ibunya, Pak Mamat sendiri yang akan antar, Martin melihat kepergian gadis itu di teras rumahnya. Andira sama sekali tidak melambai, padahal Martin mengharapkan lambaian tangan dari Andira. Martin sendiri akan segera ke kantornya. Dia sudah lama tidak masuk, namun sebelum ke kantor dia menemui putranya dulu. Dia bersiap dan segera berangkat ke rumah sakit, dalam perjalanan dia mendengarkan musik dari speaker mobil, musik yang tidak terlalu keras suaranya dan begitu lambat. Martin menikmati musik dan perjalanannya, dia juga menikmati imajinasinya. Bibirnya melengkungkan senyum saat mengingat apa yang dia lalui dengan Andira. Awalnya dialah yang agresif namun pada akhirnya, takdir berpihak padanya. Andira adalah keinginan Martin yang terwujud. Perasaan Martin penuh bunga, ibaratkan suatu tempat, hatinya kini menjadi taman bunga. Dia terus tersenyum, dia berusaha mengabaikan masalahnya, dalam benaknya dia menolak mengingat hal yang buruk, dia hanya ingin baha
Setelah mengantar Nadira, Hatice langsung pergi namun bukan ke rumah sakit, Hatice pergi ke suatu tempat. Dia mengirimkan pesan pada seseorang, siapa lagi kalau bukan kekasih gelapnya. "Aku akan segera tiba."Pesan itu terkirim dan Hatice langsung mematikan ponselnya dan semakin melajukan laju mobilnya. Dia sampai alamat dimana rumah-rumah di sana dipenuhi orang-orang, di teras rumah banyak sekali warga, tidak seperti sebelum Hatice datang. Beberapa orang memandangi mobilnya dan terlihat penasaran saat melihat Hatice keluar dari rumah itu. Hatice mengetuk pintunya dan terbukalah dari dalam. Hatice tersenyum saat melihat Ibrahim berdiri di hadapannya. "Masuklah." Dengan langkah pelan Hatice masuk ke dalam rumah itu. Ibrahim menutup pintunya, dia menguncinya dari dalam. Mereka saling memandang dan akhirnya Hatice memeluk Ibrahim, mereka saling berpeluk. "Sejak semalam aku sudah ingin bertemu denganmu." "Sekarang kau sudah bertemu dengan ku." Mereka berlepas peluk, kedua tangan Ib
Mobil Pak Mamat akhirnya sampai di hadapan rumah sederhana Bi Ana. Namun Pak Mamat kedua matanya menyipit saat melihat sesuatu yang dia kenali. Dia mencondongkan wajahnya ke depan dan melihat mobil yang dikenalinya. "Bukankah itu mobil Nyonya Hatice?" Pak Mamat dan membuat Andira juga ikut mencondongkan wajahnya, dia menelan ludah dan mulai menyadari sesuatu. "Plat nomornya sama?""Sama persis Neng." "Apa yang dilakukannya di sini?" Andira yang masih terlihat heran. Dia mengernyit namun dia tetap harus turun dari mobil. Dalam perjalanan dia membeli banyak hal untuk ibu dan adiknya. Dia meminta Pak Mamat untuk masuk dan bertamu di rumah Bi Ana namun Pak Mamat menolak dan hanya akan menunggu di mobil. Andira keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu. Dia mengetuk dan tak lama dibukakan pintu dari dalam. "Kakak!" Adiknya langsung memeluk Andira. Mereka berdua saling memeluk. Mereka masuk ke dalam rumah. "Bu, Kak Andira datang!"Mereka berjalan ke arah kamar, dimana ibu dan seor
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k