Andira akan segera ke rumah ibunya, Pak Mamat sendiri yang akan antar, Martin melihat kepergian gadis itu di teras rumahnya. Andira sama sekali tidak melambai, padahal Martin mengharapkan lambaian tangan dari Andira. Martin sendiri akan segera ke kantornya. Dia sudah lama tidak masuk, namun sebelum ke kantor dia menemui putranya dulu. Dia bersiap dan segera berangkat ke rumah sakit, dalam perjalanan dia mendengarkan musik dari speaker mobil, musik yang tidak terlalu keras suaranya dan begitu lambat. Martin menikmati musik dan perjalanannya, dia juga menikmati imajinasinya. Bibirnya melengkungkan senyum saat mengingat apa yang dia lalui dengan Andira. Awalnya dialah yang agresif namun pada akhirnya, takdir berpihak padanya. Andira adalah keinginan Martin yang terwujud. Perasaan Martin penuh bunga, ibaratkan suatu tempat, hatinya kini menjadi taman bunga. Dia terus tersenyum, dia berusaha mengabaikan masalahnya, dalam benaknya dia menolak mengingat hal yang buruk, dia hanya ingin baha
Setelah mengantar Nadira, Hatice langsung pergi namun bukan ke rumah sakit, Hatice pergi ke suatu tempat. Dia mengirimkan pesan pada seseorang, siapa lagi kalau bukan kekasih gelapnya. "Aku akan segera tiba."Pesan itu terkirim dan Hatice langsung mematikan ponselnya dan semakin melajukan laju mobilnya. Dia sampai alamat dimana rumah-rumah di sana dipenuhi orang-orang, di teras rumah banyak sekali warga, tidak seperti sebelum Hatice datang. Beberapa orang memandangi mobilnya dan terlihat penasaran saat melihat Hatice keluar dari rumah itu. Hatice mengetuk pintunya dan terbukalah dari dalam. Hatice tersenyum saat melihat Ibrahim berdiri di hadapannya. "Masuklah." Dengan langkah pelan Hatice masuk ke dalam rumah itu. Ibrahim menutup pintunya, dia menguncinya dari dalam. Mereka saling memandang dan akhirnya Hatice memeluk Ibrahim, mereka saling berpeluk. "Sejak semalam aku sudah ingin bertemu denganmu." "Sekarang kau sudah bertemu dengan ku." Mereka berlepas peluk, kedua tangan Ib
Mobil Pak Mamat akhirnya sampai di hadapan rumah sederhana Bi Ana. Namun Pak Mamat kedua matanya menyipit saat melihat sesuatu yang dia kenali. Dia mencondongkan wajahnya ke depan dan melihat mobil yang dikenalinya. "Bukankah itu mobil Nyonya Hatice?" Pak Mamat dan membuat Andira juga ikut mencondongkan wajahnya, dia menelan ludah dan mulai menyadari sesuatu. "Plat nomornya sama?""Sama persis Neng." "Apa yang dilakukannya di sini?" Andira yang masih terlihat heran. Dia mengernyit namun dia tetap harus turun dari mobil. Dalam perjalanan dia membeli banyak hal untuk ibu dan adiknya. Dia meminta Pak Mamat untuk masuk dan bertamu di rumah Bi Ana namun Pak Mamat menolak dan hanya akan menunggu di mobil. Andira keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu. Dia mengetuk dan tak lama dibukakan pintu dari dalam. "Kakak!" Adiknya langsung memeluk Andira. Mereka berdua saling memeluk. Mereka masuk ke dalam rumah. "Bu, Kak Andira datang!"Mereka berjalan ke arah kamar, dimana ibu dan seor
Martin sendiri mengunjungi alamat yang diberikan Fainah padanya, itu karena dia ingin mencari tahu tentang adiknya. Setelah sampai dia melihat mobil putih Hatice yang terparkir beberapa jarak dari rumah sederhana di sana. "Itu mungkin rumah Ibrahim," monoloognya. Dia memantau dari dalam mobilnya, kapan kiranya Hatice akan keluar. Dia juga ingin tahu kapan dia mengunjungi tempat itu. Namum mungkin sudah lama dia tak berkunjung jadi lupa dengan alamatnya.Karena kesal hanya menunggu, Martin menghubungi nomor Hatice, namun Hatice sama sekali tak bisa dihubungi. Martin yang kesal, tentu saja kesal memilih untuk keluar dari mobil. Dia bertanya pada orang di sana dan begini jawabannya, "Wanita itu memang sering datang ke rumahnya. Mereka sudah sejak jam sepuluh pagi berada di dalam rumah. Tapi sekarang belum keluar-keluar." "Ibrahim kadang menjadi sangat supel namun kadang juga menjadi sangat dingin, dia gampang berubah sikap.""Iya Ibrahim punya anak, dan anaknya selalu dititipkan, hari i
Andira menatap keluar jendela, dia memikirkan sesuatu. Dia memikirkan apa yang dilakukan Hatice di rumah Ibrahim? Apa mereka juga saling menyukai? Apa yang terjadi? Ini bukanlah urusannya, namun dia merasa pemasaran akan hal itu. Saat asik merasakan hembusan angin dari luar jendela yang terbuka, tiba-tiba pesan masuk ke dalam ponselnya. Pesan dari Martin. "Datanglah lebih cepat, aku ingin bicara." Andira hanya membacanya tanpa membalas pesannya. Dia mematikan kembali ponselnya dan hanya menatap keluar jendela. Kepalanya sudah banyak dipusingkan banyak hal. "Kita langsung pulang atau mau singgah ke tempat lain Neng?" tanya Pak Mamat. "Langsung pulang saja Pak." Andira menjawab singkat, dan Pak Mamat hanya mengangguk. Laju mobilnya tidak begitu cepat, dan juga tidak lambat, sehingga hembusan angin yang menerpa wajah Andira begitu lembut dan terasa nikmat. "Aku mendapatkan apapun yang kuinginkan, termasuk dirimu, Andira." Ucapan Martin yang tiba-tiba muncul dibenaknya. "Dia betu
Martin tahu semuanya. Makan malam akhirnya tiba. Kaki Sarah melangkah turun dari tangga dengan perasaan cemas, jemarinya gemetar. Martin tidak mengatakan apa-apa pada Sarah setelahnya. Sarah hanya menganga dan langsung pergi dari sana. Malam tiba, Hatice dan suaminya datang. Saat melihat Sarah, Hatice langsung berlari kecil dan memeluk kakak iparnya."Kenapa memelukku? Bukankah kita bertemu di rumah sakit?" Sarah yang berusaha agar tetap tenang. Lutfi yang berada di belakang Hatice terlihat menatap Sarah dengan senyum. Walau Sarah tidak melihatnya. "Aku hanya senang kau sudah bisa kembali ke rumahmu, bersama Randy," jawab Hatice, dan mereka melepas peluk. Lalu bel rumah berbunyi kembali, Andira dengan cepat berjalan ke arah pintu, melewati Sarah dan yang lainnya. Hatice memandanginya sejenak dengan tatapan tidak suka. Sarah lalu mengajak mereka berjalan ke arah meja makan. Mereka saling bergandengan, Sarah dan Hatice. Namun perasaan Sarah begitu gundah sangat-sangat gundah. "Aku t
Martin yang tiba-tiba datang, dia yang ditunggu sejak tadi. Kini Martin duduk di kursinya. Dia sedikit heran kenapa Randy dan Nadira ada di meja makan padahal dia sudah bilang untuk tidak mengajak kedua anaknya itu bergabung selain Raisi. "Bukankah Papa sudah bilang kalau Randy dan Nadira tidak seharusnya ikut?" Mata Martin mengarah pada Sarah. "Kau bilang ini untuk merayakan kesembuhan Randy, jadi tidak baik jika tidak mengajak anak kita untuk ikut makan bukan?" balas Sarah dengan tatapan yang sama tajamnya pada Martin. "Lagi pula kau bilang ini hanya untuk keluarga, kau tidak mengundang adikku tapi mengundang orang lain tang tidak aku kenal!" Dengan kesal, membuat Ibrahim tersinggung, namun Martin membela Ibrahim dengan berkata, "Aku mengundangnya karena dia adalah karyawan terbaik di kantorku, aku menyukainya sebagai pekerjaku, aku mengundang siapapun yang ingin aku undang!" Matanya mengitari orang-orang yang ada di sana. Martin menghela nafas, dia melihat masih ada satu kursi y
Semuanya menganga mendengar apa yang dikatakan Martin. Martin Dailuna, dia mengeluarkan sesuatu, dia lembar kertas ke atas meja. Bukan hanya perceraiannya dengan Sarah, namun Hatice juga Lutfi."Aku tidak hanya akan bercerai dengan istriku, namun juga, Lutfi dan Hatice." Semuanya semakin membulatkan mata mereka. Bahkan Andira yang tadinya tidak menatap Martin kini menatap ke arah Martin. Nadira yang tidak peduli sejak tadi kini terlihat cemas dan kuatir, dia menatap ayahnya dengan sangat heran. Randy semakin kecewa, dia menatap dengan tatapan yang berkaca-kaca kepada ayahnya. Dia juga menatap ke arah Andira. Raisi juga sama, namun tegangan dalam dirinya menyurut karena dia yakin pasti bahwa orang tuanya akan bercerai. "Apa Maksudmu?" Lutfi yang sejak tadi diam kini membuka mulut. "Ibrahim." Sambil mengulurkan tangannya ke arah Ibrahim. Langsung saja Ibrahim memberikan map coklat yang tadi dibawanya. Martin meraih map coklat itu dan membukanya perlahan. Sarah sendiri mulai menundu
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap
Lalu ketika itu, Martin yang tidak berdaya dan diseret paksa oleh Nigel membuat pria ini, yang sangat tak berdaya dan seolah tak bisa apa-apa dijatuhkan ke atas rerumputan yang lembab. Dia tentu tak bisa melakukan apa pun karena tak bersenjata dan tak ada yang bisa menyelamatkan Martin sekarang, dalam benak Martin mungkin inilah saatnya dia akan tiada. Tetapi apakah Martin akan menyerah bahkan sebelum dia bertemu dengan Andira dan juga Raisi, bagaimana jika kondisi Raisi dan Andira saat ini tidak lagi naik-naik saja dan dalam masalah yang besar? Martin tentu tidak ingin semua itu terjadi apa lagi untuk kehilangan seorang anak lagi, dia tidak mau dan tidak akan membiarkan hal yang tidak senonoh itu terjadi pada keluarganya. "Lihat sekarang diri mu, Martin, kau bukan siapa-siapa lagi dan kau tidak punya apa-apa, kau bahkan tidak tahu caranya melawanku, seakan kau bukan lagi Martin Dailuna." Tawa terdengar dari bibir Nigel, dia kemudian terbahak-bahak dan tak punya belas kasihan kep
Martin menendang senapan yang berada di tangan Nigel dan akhirnya senapan itu terjatuh di atas rerumputan basah di malam hari, dia berlari sekuat mungkin dan Nigel hanya tertawa, berpikir bahwa Martin tidak akan lolos. Senyum jahat tampak di bibirnya yang di mana saat ini, Martin berusaha keras untuk menghindari moncong senjata panas dari Nigel. Sementara itu, langkah kaki Nigel semakin cepat, dan mengikut dengan langkah kaki Martin yang berlari. Nigel menganggap bahwa pantang dilakukan oleh Martin adalah sesuatu yang sia-sia yang membuat Nigel tertawa terbahak-bahak. "Kali ini siapa yang akan menyelamatkan kau, ha, bukanlah yang telah memenjarakan aku selama ini! Martin. Aku selama ini menjadi pelindung kau, tapi apa balasan mu, ha!" Nigel membentak dan ketika Martin terjatuh, dia seolah terjatuh ke dalam sebuah memori yang pernah dialami olehnya sebelumnya, dia dikejar oleh Nigel ketika itu, saat Nigel diperintahkan oleh Mark untuk memata-matai Martin. "Aku tidak mungkin t
Masa lalu adalah yang paling menyakitkan dan yang paling ingin dilupakan oleh Martin Tapi sayangnya orang-orang yang berada di sekitar Martin selalu mengingatkan Martin terhadap Apa yang membuat pria setengah baya ini selalu terluka. Tak ada yang bisa dilakukan Martin sekarang di hadapan moncong senapan yang dihadapkan ke arah kepala Martin dan hanya satu gerakan saja ketika jari Nigel menarik pelatuk itu maka meledak lah kepala Martin. Sementara pria ini hanya menunggu kapan Nigel akan meledakkan kepalanya dan dia akan terbebas dengan apa yang selama ini terjadi tetapi sayangnya hal yang paling diinginkan Martin saat ini adalah untuk membebaskan Raisi dan Andira. Tetapi di mana Andira saat ini? Tentu Hal itu membuat Martin merasa bingung luar biasa dan ingin segera menemukan di mana mereka berdua karena jika Martin tiada sebelum menemukan Andira dan Raisi, maka kehidupan Martin akan berakhir dalam ketidaktenangan. "Sebelum kau menarik pelatuk itu, sebaiknya kau katakan apa yang s
"Aku tidak percaya aku bisa menemukan kau di sini, Martin Dailuna." Suara yang begitu mengagetkan, Martin yang berada di tengah hutan saat ini, di malam hari dan masih dalam perjalanan di mana dia harus menemukan bangunan tua di mana Nigel menyembunyikan Andira. Ketika Martin berbalik kemudian Martin melihat siapa yang berada di belakang Martin, yang di mana saat itu dan yang berada di belakang Martin ternyata adalah Nigel. Dengan senapan di tangan Nigel dan ditodongkan tepat ke arah kepala Martin membuat pria setengah bahaya ini langsung mengangkat kedua tangannya dan saling berhadapan dengan Nigel Dailuna. Beberapa kali Martin menelan saliva dan tentu saja terkejut dengan apa yang baru saja dilihat oleh Martin dan siapa yang berada di hadapan pria setengah baya ini. "Sangat mengejutkan bahwa aku bisa menemukan engkau di malam hari tepat di tengah hutan ketika aku sedang ingin berburu, yang pada akhirnya buruhan ku pun aku temukan." Nigel membuat Martin merasa bahwa Martin haru
Terjadi kekacauan antara Sarah dan Randy, di mana mereka berdua tidak ada satu pun yang bisa saling meredakan, kini hanya ada Ray yang melihat aksi Sarah dan Randy yang sekarang berlutut di lantai sambil meraih pecahan demi pecahan yang ada di atas lantai. Pecahan biola yang kini remuk dan tidak utuh lagi serta tali biola dan tak akan bisa utuh secara instan, atau mungkin dia harus membuang biola itu, Sarah langsung tersadar bahwa dia sedang melakukan sebuah kesalahan yang membuat hati Randy patah. Tentu hal ini membuat Sarah menyesal luar biasa, dia lalu dengan perlahan ikut berlutut di hadapan Randy sementara Ray hanya diam sambil menggelengkan kepala melihat aksi kakaknya itu. "Keluar." Randy bergumam dan Sarah mengabaikan ucapan Randy, dia tetap membantu Randy memungut serpihan biola itu, yang hanya membuat Randy merasa kesal dan berkata, "Aku bilang keluar dari sini!" Sebuah suara yang kini membentak dan membuat Saran terhentak. "Ibu minta maaf, sayang," kata Sarah tapi Randy
"Ibu hanya ingin memastikan, Randy bahwa sama sekali tidak ada masalah di sekolah lagi, agar kau bisa belajar dengan tenang, atau Ibu mungkin akan membawa kau ke sekolah lain," kata Sarah yang mengelus lembut rambut Randy tapi Randy memalingkan wajah dan tidak senang dengan jawaban sang ibu. "Itu hanya akan memperburuk masalah Ibu, jika Ibu datang ke sekolah dan memarahi anak nakal itu, maka mereka tidak akan berhenti mengganggu aku," kaya Randy dengan nada suara yang kesal. "Tapi sayang ibu hanya berusaha melakukan sesuatu yang terbaik untukmu," ucap Sarah sekali lagi tapi Randy tidak peduli, dia memalingkan wajah dan tidak senang dengan sang ibu, membuat Sarah merasa tersindir, dia sudah melakukan hal yang luar biasa untuk Randy tapi bahkan untuk saat ini Randy masih saja tidak melihat kepedulian ibunya sendiri. "Kenapa Ibu tidak bisa diam, seharusnya ibu duam saja dan tidak usah melakukan apa pun," kata Randy sambil menghentakkan tangan Sarah yang mengelus lembut rambut Randy, k