Andira terus saja memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya, apa rencana Ibrahim, dan Nigel, juga apa yang terjadi pada adiknya, Sabina. Dia tidak tahu apa-apa tentang keadaan di luar, karena saat ini dia hanya duduk di atas pinggir ranjangnya dan terkurung di dalam ruangan yang dirinya bahkan tidak tahu dia berada di kota mana. Dia menggigit dengan lembut bibirnya, berdiri dari duduknya dan mondar-mandir dengan kepala yang sangat penat, dan tubuh yang jenuh, dia rindu dunia luar dan memikirkan bagaimana dia bisa keluar dan terlepas dari permainan Ibrahim dan misi balas dendamnya. Terbersit di kepalanya sesuatu yang bisa membahayakan dirinya namun bisa juga menyelamatkannya. Yang dia bisa lakukan hanya satu, dia akan memecahkan vas bunga yang ada di ata laci dekat ranjangnya. Pyuar! Suara kaca yang pecah, sebuah vas bunga transparan berada di lantai. Beling yang bisa digunakan olehnya. Dia meraih beling yang terpecah dan menaruhnya di atas urat nadinya, di pergelangan tangann
"Kau tidak bisa pergi begitu saja! Bertahun-tahun aku merencanakan semua ini, dan kau ingin menghancurkannya, tepat saat aku hampir menyelesaikan semuanya!" Ibrahim mengoceh sambil membawa Andira ke tempat yang dipenuhi dengan para dokter yang ahli. Dia lebih memilih untuk memanggil dokter dibandingkan membawanya ke rumah sakit, karena jika Andira ke rumah sakit maka dengan mudah akan ada yang tahu, siapa yang tahu bahwa Martin Dailuna mengirimkan mata-matanya bahkan keluar kota. Andira dirawat sedemikian rupa, tangannya yang berdarah dibersihkan, dan tubuhnya terbaring lemah di atas tempat tidur. "Jangan sampai terjadi apa-apa padanya, karena salah satu dari kalian tidak akan berhasil keluar dari sini jika tidak berhasil membuka matanya!" Dengan kepanikan yang terjadi di dalam dadanya, dan rasa yang berdebar setelah mendengar bahwa Andira, gadisnya telah melakukan aksi yang akan merugikan seluruh rencananya. Dia tentu memiliki rencana yang diperuntukkan untuk Andira pada Martin, u
"Kau yakin bahwa markas tersembunyi Nigel ada di sini?" tanya Martin, dia menoleh pada Tom yang berjalan pincang di sampingnya. "Tidak yakin, tapi mungkin ini salah satunya," jawabnya. Jawaban itu tentu membuat Martin merasa kesal. Syarif sendiri ditinggalkan dan tidak ikut bersama Tom dan Martin. Mereka kini hanya berdua saja mencari markas tersembunyi dari Nigel yang entah ada dimana. Saat turun dari kapal, dan mengembuskan udara yang tidak terasa laut, betapa bersyukurnya Tom yang membenci udara seperti itu. Dia hany menyukai laut saat dia bersama putrinya, dikarenakan putri-putrinya begitu mencintai pantai. Ya tentu, bukan hanya pantai saja, namun tentu lautnya juga. "Kau tahu, aku membenci laut sangat membencinya," katanya saat berjalan di samping Martin. "Aku pernah sangat mencintai pantai dan laut," balas Martin yang awalnya malas berjalan bersama seorang pria yang berjalan pincang. "Hmm, tapi putri-putri ku sangat mencintai pantai dan laut," kata Tom lagi, yang hanya memb
"Dia belum makan sejak kemarin Tuan, itupun aku hanya berhasil membuatnya minum air putih saja," kata seorang pesuruh yang berdiri di belakang Nigel. "Tentu dia tidak akan makan, wajahnya kau buat babak belur hingga bibirnya bahkan tidak bisa terbuka," balas Nigel. Dia memandang keponakannya itu duduk dengan wajah yang sudah hampir hancur karena pukulan bersandar di dinding dengan tubuh tak berdaya. "Lalu apa yang harus aku lakukan, Tuan?" Nigel tidak menjawab, dia diam sejenak menatap Raisi yang terluka parah. Langkah kakinya mengarah pada pemuda yang terlihat begitu hancur itu. Dia seperti sangat tidak berdaya di sana. Sangat-sangat tidak berdaya. Nigel berlutut di hadapan Raisi yang begitu terluka parah. "Bagaimana kabar mu keponakan ku?" tanyanya dengan nada lembut yang mengejek. Raisi tidak menjawab, dia hanya diam dan tertunduk dengan wajah yang tak lagi dapat dikenali. "Ah, kau bahkan tak ingin menjawab. Baiklah akan aku katakan sesuatu, kau tahu? Ayahmu yang luar biasa
Syarif terlihat bingung, dia mondar-mandir di pelabuhan setelah kepergian kapal yang membawa Martin dan Tom pergi. Sebenarnya Syarif berniat untuk pergi, namun Martin melarangnya dan menyuruhnya agar tetap tinggal untuk menjaga Randy dan Sarah, juga Hatice yang baru kembali dari trauma yang luar biasa. Tentu Syarif mengangguk tidak keberatan saat Martin mengatakan itu. Namun pria yang akan segera setengah baya ini merasakan sesuatu yang lebih baik jika dia ikut dengan Martin namun kapal itu sudah membayar jauh dan dia lupa bertanya kemana kapal itu akan membawa Martin pergi. Dia betul-betul berhutang budi pada Martin selama ini. Berkat Martin dia bisa mendapatkan posisi yang baik di kepolisian, dan juga Martin sendiri adalah sosok yang baik walau saat ini media telah mempermainkan namanya dengan sosok yang biadab. Seorang ayah yang membuat putrinya sendiri terbunuh karena seorang gadis simpanan sahaja. Itu yang berada di dalam sosial media saat ini. Semuanya beredar begitu saja. Bah
"Kita sudah mondar-mandir di sini, berputar-putar setengah hari, bahkan aku sudah lelah dengan pencarian ini. Kau yakin, bahwa mereka bersembunyi di sini?" Martin sekali lagi bertanya pada Tom yang diam saja. Di sana mereka berada di belantara hutang yang cukup besar. Namun bukan hanya mereka yang sedang mencari, rupanya Tom memiliki orang-orangnya sendiri. "Sepertinya kita harus berganti kota, aku cemas kalau-kalau kita berada di markas orang yang salah," katanya, membuat Martin mengernyit. Lalu kemudian muncul seorang pemuda yang juga mencari-cari, dia datang dan berkata pada Tom, "Aku mendapatkan saluran pembuangan di ujung hutan," katanya."Apa hutan ini memiliki ujung?" Martin yang kembali mengernyit. Tom tidak menghiraukan apa yang dikatakan Martin, dia menatap lurus ke depan dan terdengar suara, "Dor!" Dengan sangat terkejut, Martin dan juga Tom menatap ke arah langit. "Ada seseorang, apa itu mereka?" Martin menatap ke arah suara. "Entah siapa mereka, tapi sebaiknya kita
"Jangan lakukan hal bodoh lagi. Misi ini akan menjadi yang terakhir, tenang saja. Kau akan menemukan fakta tentang orang tuamu, sayangku." Ibrahim menatap dengan tatapan penuh pengharapan pada Andira yang baru saja terbangun. Luka perban di tangannya bisa dilihat dengan jelas, dan itu terdapat rasa perih yang luar biasa. "Apa peduliku tentang fakta yang tidak pernah ada. Aku sudah tidak tertarik lagi," balas Andira, dia bahkan tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Ibrahim, sudah lama dia bosan dengan janji yang sama dan misi balas dendam yang memuakkan. Matanya juga tak lagi menatap ke arah Ibrahim. "Andira, jika Nigel tahu soal ini, maka dia akan marah besar, dia akan membuat kita berdua berada di dalam masalah." "Itu salahmu, bukan salahku. Siapa yang suruh ingin bekerja sama dengan manusia seperti dia, menyakitkan dan tidak berbelas kasih." Andira membalas dengan judes perkataan Ibrahim. Ibrahim hanya bisa menghela nafas kesal, dia tak lagi tahu apakah keputusan balas dendamn
"Dia tidak ada di sini, lalu ke mana kita akan cari?" tanya Martin, dia sudah ngos-ngosan karena berlari cukup kencang. Tapi sayangnya mereka tidak begitu jauh dari hutan besar. "Bukannya mendapatkan untung kita malah ketemu musuh baru." Tom membalasnya. "Lalu? Astaga, kau hanya membawaku saja dalam masalah. Kalau begitu aku akan pulang saja dan menyerah. Biarlah aku mati, asal anakku dan Andira bisa selamat," ujar Martin. Rasa-rasanya sudah sangat lama dia melakukan misi menemukan Nigel namun tak kunjung ia temukan. Dia merasa letih dan lelah. Kedua pria yang hampir menginjak kepala lima ini berdiri bersebrangan dan tidak tahu akan ke mana lagi. "Jadi semuanya hanya begini? Lalu kenapa kau memanggilku, idiot!" Tom merasa kesal. "Aku tidak ingin berdebat, ini melelahkan, sungguh. Aku hanya ingin kembali dan lebih baik langsung menghubungi Ibrahim atau Nigel." Martin berjalan menjauh, dia berjalan cukup lancar sementara Tom, dia harus menggunakan tongkatnya dan cukup kesulitan dal
Ya dia tahu siapa yang membawa Andira, dan anehnya sesuatu menjadi lebih muda baginya, tak ada pengawal sementara Martin memegangi senjata api di tangannya walau dia terlihat terluka di kepala, dan beberapa darah yang mengalir di tangannya, ya sebelum Ibrahim berhasil dijatuhkan oleh Martin, Ibrahim berhasil menyerang Martin dengan irisan balok yang membuatnya terluka. Di sisi yang lain, Martin membuka satu-persatu pintu ruangan yang ada di labirin, sampai akhirnya dia tidak menemukan pintu apa pun, hanya dinding kasar di sekelilingnya, dan yang membuatnya merasa bingung adalah di mana semua orang? Martin tak menemukan siapa pun, tapi dia bisa melihat tanda ayang dia tahu bahwa yang melakukannya pasti Nigel, untuk menjebak Martin, walau Martin paham akan jebakan itu, dia tetap mengikuti pola petunjuk yang dia tidak tahu akan membawa dia ke mana, hanya saja tak ada pilihan lain. "Martin." Langkah kaki Martin terhenti, dia mendengar sesuatu, di belakang, di depan, di samping, lalu s
Rasa lemas menjalar di sekujur tubuh Martin, dia tidak menyangka bahwa Nigel akan sejauh ini, gadis yang selalu bersamanya yang Martin pikir Litzia telah menjadi gadis yang penting bagi Nigel ternyata saat mencoba membalas dendam dan ambisi gadis itu tidak lain hanyalah sekedar hiburan bagi Nigel. Mata Martin redup, dia kebingungan bagaimana harus merespon apalagi rasa panas dikarenakan cahaya lampu yang langsung mengarah kepadanya membuatnya merasa terganggu. Dia meremukkan rambut-rambut nya yang kusut, dan saat mencoba untuk fokus, dia menemukan sesuatu berada di tangan Litzia, gadis itu menggenggam sesuatu, Martin yang merasa apa yang digenggam Litzia penting langsung meraih tangan gadis itu dan membuka telapaknya, di sana terletak kertas yang mungkin berisikan informasi. Tulisan yang Martin tahu bukanlah milik Litzia melainkan milik Nigel, ya jelas kertas dengan tinta yang ditulis Martin dan berisikan, "Putramu dan Andira selanjutnya, oh ya astaga kau tidak akan menemukan putra
Bibir Martin terbuka, dia merasa heran siapa yang mungkin yang telah membukakan pintu untuknya, dan kenapa pintu ini bisa terbuka sendiri. Sia menelan saliva berkali-kali tapi dia tidak bisa diam, ya dia tidak seharusnya seperti ini, dia mengepalkan tangan dengan kemarahan yang luar biasa, pada Nigel, Ibrahim dan sedikit rasa kecewa dan kebencian terhadap Andira, atau dia sedang berusaha untuk membenci gadis itu. Tapi sebelum semua itu harus diselesaikan olehnya, dia berusaha untuk menemukan putranya terlebih dahulu, di mana Raisi, dan kenapa semuanya terlihat kacau, kenapa Tidka ada penjaga dan pintu ruangannya sendiri, sel yang dia miliki sendiri yang seharusnya menjadi tempat dia tertahan kini terbuka. Tapi semua itu tidak penting, Martin dia mencoba untuk melangkah pergi, tetapi dia tidak dengan tangan kosong, di dalam saku-saku celananya dia menyimpan pecahan beling yang dia hancurkan sebelumnya dan akan menjadikannya sebagai pertahanan atau cara untuk melawan. Sayangnya dia
Litzia mencoba menyelematkan siapa pun yang bisa dia selamatkan setelah dia berhasil membantu Raisi, yang entah apakah Raisi berhasil keluar dari labirin rumit yang telah dibangun oleh Nigel selama ini atau usaha mereka hanya akan menjadi boomerang. Dia memastikan bahwa Ibrahim mengetahui rencana Nigel untuk menghabisi mereka semua di tempat itu, sehingga mungkin dalam sesaat dia ingin menyelamatkan semuanya, termasuk Andira, tetapi sebelum itu, dia harus memastikan bahwa Martin tiada di tangannya. Di sisi yang lain Litzia, dia membuka pintu demi pintu, labirin yang begitu membingungkan, dia tidak bisa menemukan di mana kamar Martin, atau di mana sel Martin disembunyikan, langkah demi langkah dia berusaha untuk dapatkan hingga akhirnya dia menemukan satu ruangan yang tak terjaga, cukup jauh dan firasatnya berkata, mungkin itu adalah Martin. Langkahnya menuju sel itu cepat, dan menemukan seseorang yang bersandar tanpa semangat hidup duduk di lantai. Litzia hanya dapat melihat pria i
Beberapa Saat Sebelumnya "Pergilah, kau tidak punya waktu, kau harus meninggalkan tempat ini atau Nigel akan menghabisi mu di hadapan ayahmu. Dia akan mempermainkan Malian berdua sebelum akhirnya mengakhiri semuanya." Dia mencoba membuka gelangan borgol di tangan Raisi sementara Raisi yang terlihat dengan wajah berantakan, darah di sisi wajahnya, dan rambut yang terlihat tak terawat itu memandang bingung. "Bagaimana kau mendapatkan kunci itu ... Astaga kau membahayakan dirimu sendiri Litzia." Raisi menghentakkan tangannya seolah menolak bantuan Litzia tapi gadis ini mencoba untuk tetap membantu Raisi. "Kau tidak tahu bahwa Nigel adalah monster dan dia akan menghabisi kalian, kau, Martin, Andira, semuanya, bahkan Ibrahim tangan kanannya sendiri akan mati di sini jika tidak pergi." "Andira?" Raisi menelan saliva, dia gemetar. "Ya." "Tidak." Raisi yang kedua tangannya sudah terbebas dari borgol itu menggelengkan kepala, "Aku tidak mau meninggalkan Andira. Bawa aku padanya dan akan
Semua tampak jelas, Martin melihat segalanya dalam kesunyian yang tak terhentikan, dia merasa bahwa hidupnya akan selalu seperti ini, menderita. Dia mendapatkan apa yang dia inginkan, Andira, tapi dengan biaya sebesar apa? Dan kini, di mana gadis itu? Di mana putranya? Dan demi keinginan yang ia hasratkan semuanya berakhir kacau, dia terjebak di dalam neraka yang abadi. Nigel menghentakkan kepala Martin dan membiarkan dia tergelatak di dalam sana, kini adalah rencana selanjutnya tapi kapan dia akan melakukan rencana selanjutnya? Oh ya dia akan mempermainkan Martin lebih lama, lebih parah, San jauh lebih menyakitkan sebelum pada akhirnya mengakhiri hidup Martin Dailuna. Di sisi yang lain, Ibrahim tak sanggup menahan amarah dendam yang ingin segera mengakhiri hidup Martin, menghancurkan dinasti Dailuna selamanya. Tetapi semua itu berada di tangan Nigel yang memiliki lebih banyak anak buah. "Apa lagi yang kau tunggu?" Ibrahim bertanya, dia tak sanggup menahan diri untuk segera mengakh
"Kau sudah mendapatkan, dia kan?" tanya Ibrahim yang sekarang berada di hadapan Nigel. "Cepatlah akhiri ini, Nigel. Kau pasti akan segera mendapatkan apa yang kau inginkan, bukan?" Ibrahim yang saat ini duduk di hadapan meja Nigel dan Nigel tampak berpikir tetapi tidak senang dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Ibrahim. "Jangan terlalu tergesa-gesa, Ibrahim. Aku tahu kau sangat ingin membunuhnya sama seperti aku ingin sekali melenyapkan dia. Tapi kita tunggu, ya tunggu." Ibrahim tidak senang dengan aoa yang dikatakan Nigel, dia berdiri dan menghentakkan kursi, "Menunggu? Astaga aku sudah sangat lama menunggu dan menantikan momen ini, aku tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Apa yang sebenarnya kau rencanakan!" Nigel tersenyum dan ikut berdiri, "Aku sudah katakan padamu. Kau cukup menjaga Andira dan biarkan dia merasa nyaman di sini, karena sebentar lagi dia akan berguna," kaga Nigel yang sekarang berjalan ke arah pintu. Dia membuka pintu ruangan itu dan mempersilahkan Ibrah
"Nigel berhasil menangkap ayahmu, Raisi." Suara Litzia tenang. Sedangkan Raisi yang tampak tak berdaya itu hanya bisa menundukkan kepala. Dia lemas dan tidak tahu bagaimana dia akan merespon. "Akhirnya, dendam Nigel akan terselesaikan. Dia bisa menghabisi ayahku kapan saja. Tapi kenapa dia hanya menangkapnya?" Tatapan Raisi kini mengarah kepada Litzia yang terlihat tidak menemukan jawaban apa pun dari pertanyaan Raisi. Dia bahkan tidak tahu kenapa Nigel tidak menghabisi Martin saat ini juga. Kenapa dia harus menunggu waktu yang lama. "Entahlah, tapi untuk saat ini aku hanya mau kondisi mu lebih baik Raisi, kau harus makan sesuatu," kata Litzia yang masih menawarkan makanan untuk Raisi, "Jika tidak maka kau akan berada dalam kondisi yang buruk." "Saat ini aku bahkan jauh lebih buruk dari kematian itu sendiri, Litzia. Aku bahkan tidak tahu bagaimana rasanya makanan." Litzia lalu meraih piring itu dan berusaha untuk membuat Raisi memakan sesuatu, dia menyuapi Raisi dan tidak akan pe
Martin terjatuh dan tidak bisa merasakan tubuhnya, apa yang baru saja dikatakan oleh Nigel adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Martin sudah kehilangan Nadira dan dia tidak bisa kehilangan anak lagi. Tubuhnya yang sudah mulai kurus itu terus dihentakkan lelah Nigel yang penuh dengan kebencian dan dendam. Yang pada akhirnya Nigel mendapatkan Martin hidup-hidup. Ini adalah sebuah kesempatan baginya. Bagi Nigel untuk memberikan penderitaan mutlak pada Martin Dailuna. Martin yang tidak berdaya diseret menuju bangunan tua yang cukup terlihat besar, dan tubuh itu langsung dijatuhkan di atas lantai yang lembab. "Bawa dia ke tempat yang seharusnya." Nigel yang terlihat berjalan pergi dan meninggalkan tubuh Martin yang setengah sadar dan tak berdaya. Dan kemudian dibawalah tubuh itu menuju ke tempat yang seharusnya, dan kemenangan Nigel sudah di depan mata. Andira, Raisi dan Martin, adalah pion untuk balas dendam Nigel. Di sisi lain ada Ibrahim yang sama sekali tidak terima Dnegan sikap