Fay berdiri di depan gedung bioskop, tak lepas dari perhatian banyak orang kepadanya. Ia benar-benar merasa malu oleh tindakan Jack tadi. Pasti setelah ini akan terpampang di surat kabar tentang Jack menghajar seorang lelaki hanya karena perempuan. Dan sialnya perempuan itu bukan Fay. Sedang, semua orang pasti sudah tahu hubungannya dengan Jack. Fay adalah calon tunangan Jack.
Fay berdecak kesal sambil menunggu panggilannya tersambung. Ia menempelkan ponselnya ke telinga. " Cepat jemput aku di depan gedung bioskop! Nanti aku share alamatnya." Ponselnya ia taruh kembali ke dalam tas setelah menyuruh seseorang untuk menjemputnya.
Tak menunggu lama, sebuah mobil hitam mulus berhenti tepat di depan Fay. Seorang pria berpakaian serba hitam dan berkacamata hitam melompat turun untuk membukakan pintu bagi Fay.
Fay melempar senyum tipis lalu ia mendudukkan dirinya di jok belakang. Sementara pria tadi sudah kembali ke bangku kemudi. Mobil mulai melaju pelan menyatu de
"Cantik..."Zeta refleks menoleh ke belakang. Ia terkesiap dengan pria yang berdiri di ambang pintu kamarnya.Jack bergerak mendekati Zeta. Ia mengulurkan tangannya untuk menyelipkan rambut Zeta ke belakang telinga agar Jack bisa melihat jelas wajah perempuan itu.Zeta merona. Rasa tegang bercampur senang menjalari tubuhnya. Ia benar-benar malu, segera ia menunduk ketika Jack mencondongkan tubuhnya kepada Zeta."Kau tahu, aku menderita ketika kau pergi." Jack berujar dengan nada rendah, penuh kekecewaan."Eum... Kau semenderita apa?" tanya Zeta polos sambil berkedip pelan.Jack tak menjawab. Ia hanya menurunkan pandangan menuju ke juniornya yang tertidur."Oh..." Zeta segera paham, ia mengangguk cepat. "Nanti malam aku akan melakukan sesi terapi lagi.""Baiklah." Jack menepuk-nepuk kepala Zeta pelan, seakan Zeta adalah anjing peliharaannya yang penurut, anjing jenis bichon frise sangat cocok untuk menggambarkan seor
"Aiden... Kau sudah berjanji akan menjawab pertanyaanku kan?" Zeta berbisik, ia menahan sebelum pria itu pergi, sementara Jack sedang tidak bersama mereka."Iya, Nona." Aiden duduk kembali."Jadi..." Zeta memancing Aiden agar pria itu segera bercerita sebelum Jack menyelesaikan mandinya. Jika tidak, ia akan gagal lagi untuk mengetahui apa yang akan Aiden ceritakan mengenai Jack padanya."Tuan Jack terus mengawasi Nona lewat orang-orang suruhannya." Aiden menjawab dengan jujur, tanpa ada yang ia tutup-tutupi."Ah... Benarkah, Tuan Jack sampai melakukan itu?" Kedua pipi Zeta seketika merona ketika tahu kalau selama ini ia tak lepas dari perhatian Jack."Iya, Nona." Aiden mengangguk pelan."Sampai kapan kau mau menahan Aiden, huh? Sudah malam, dia harus segera pulang," seru sebuah suara dari belakang Zeta dan Aiden.Sontak Zeta dan Aiden menoleh ke belakang dan mendapati Jack masih memakai bathrobe sambil bersedekap."
Jack memincing melihat Merry yang sudah duduk di ruangannya. Ia tahu apa yang telah membawa perempuan setengah baya itu ke mari. Kalau bukan surat kabar apa lagi?Senyum terulas di bibir tipis Jack, seraya bersiul pelan ia memasuki ruangannya. Kedua tangan ia selipkan ke saku celana. Sepertinya hari ini mood Jack sedang membaik.Merry tersentak, memutar badannya ketika ia mendapati kedatangan Jack dengan gaya angkuh pria itu yang semakin membuatnya meremang. Surat kabar di tangannya ia remas erat, sangat erat. Ia tak menyangka kalau putra bungsunya itu berani berbuat ulah lagi. Jack bahkan tega meninggalkan Fay, calon tunangannya sendirian. Padahal, Fay adalah perempuan yang baik, tapi malah disia-siakan begitu saja oleh Jack. Tentu, Merry tak akan terima perempuan pilihannya malah tak diacuhkan, sementara Jack malah lebih memilih perempuan lain yang Merry sendiri tidak tahu siapa. Wajahnya tak terlihat. Merry juga payah jika harus mencari tahu tentang seseorang.
Max melambaikan tangan sebelum ia menjalankan mobilnya, dibalas oleh senyuman dan anggukan oleh Zeta.Mobil Max keluar dari halaman rumah Jack, dan kini sudah tak terlihat. Zeta lalu masuk kembali ke rumah.Zeta menautkan kedua alisnya seraya berpikir. Sikap Max padanya sangat lembut dan perhatian, itu memang sifatnya dan bukan karena pria itu tertarik padanya kan? Semoga saja, Max memang orang yang seperti itu, dia tak hanya memperlakukan hal baik kepada Zeta saja, tetapi kepada semua orang yang pria itu temui. Ya, semoga saja.Zeta menghela napas lega ketika mampu mengalihkan pemikirannya ke hal yang lebih positif. Ia berderap ke kamarnya sendiri untuk membasuh wajah agar lebih segar, ia juga akan memakai skincare pembelian Jack. Ia ingin tampil maksimal ketika pria itu melihatnya.Zeta duduk di pinggir tempat tidur sebentar, ia raih ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Ia ingin menghubungi Sena. Sena pasti terpukul dan juga syok melihat kekas
Max hanya tersenyum menanggapi sindiran Jack. "Kau tahu. Kadang kau terlalu egois, Jack."Sorot mata Max menajam, ia berlalu dengan menabrak bahu Jack kasar.Jack melihat kepergian Max dengan rahang terkatup, kedua tangannya terkepal erat.***Fay melempar surat kabar yang baru ia baca ke tong sampah. Dengan kekesalan penuh ia menggiring kakinya kembali menuju ruang utama apartemennya."Fay..." panggil seorang perempuan yang duduk di sofa dengan menyandarkan kepalanya ke samping."Hmmm..." Fay ikut mendudukkan diri di samping Elle yang kini menegakkan kembali kepalanya itu."Kau pasti kesal ya? Tapi, itu konsekuensimu juga sih karena kau mau bertunangan dengan Jack." Elle memiringkan kepalanya untuk memperhatikan fitur wajah Fay yang nyaris sempurna. Lalu ia berkata lagi, "Sebenarnya Jack melihat apa sih dari perempuan itu. Jelas-jelas perempuan di depanku ini jauh lebih cantik, seperti boneka barbie.""Aku ha
Fay merasakan debaran jantungnya mengencang ketika ia bertemu dengan Aiden tadi. Tidak banyak percakapan di antara keduanya karena Aiden lebih memilih sibuk dengan bukunya.Fay bertanya pada Aiden dengan senyum termanisnya, senyum yang sangat 'mahal' karena hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat senyum tersebut. Namun, Aiden tak membalas senyumnya, bahkan untuk menolehkan kepalanya untuk melihat wajah Fay saja tidak Aiden lakukan. Itu yang membuat Fay gemas.Fay sudah bosan dengan banyaknya pria yang datang kepadanya penuh dengan rayuan, dan tak sedikit yang memamerkan hartanya. Semua akan Fay tolak mentah-mentah. Tapi, Aiden sangat bertolak belakang. Pria itu memancing Fay, ia jadi tergugah untuk membuat pria itu jatuh cinta kepadanya. Lagi pula, Fay sudah banyak menaklukkan banyak hati pria dengan sangat mudah. Begitu pun dengan Aiden, mungkin Fay bisa menaklukkannya juga.Tidak ada yang bisa menolak cinta dariku. Yakin Fay dalam hati penuh percaya
Jack sudah berada di kantor sejak pagi. Harinya diganggu oleh panggilan dari Fay yang berulang kali masuk ke ponselnya. Jack menatap jengah layar ponselnya setiap kali nama Fay muncul di sana. Tak satu pun panggilan perempuan itu yang ia terima. Sementara, di ruang utama apartemen, Fay berdecak kesal ketika panggilannya direject oleh Jack. Padahal, tujuannya menelepon pria itu adalah supaya ia bisa mengajak Aiden jalan-jalan. Tapi, pria itu tak memberinya kesempatan untuk berbicara di telepon. Fay lalu mengirim pesan kepada Jack perihal keinginannya itu. Pesan Fay terkirim, menyembul di layar ponsel Jack. Pria itu mengernyit mendapati Fay yang tak pantang menyerah, dan malah mengiriminya sebuah pesan. Jack menggeser layar ponselnya, ia buka dan baca kiriman dari Fay. Alis Jack menyatu setelah selesai membaca. Ternyata Fay menyuruh Jack mengizinkan dan mendesak Aiden agar pria itu bersedia diajak Fay pergi jalan-jalan. Jack mengulas senyum miring
Fay membuka pintu apartemen dan mendongakkan kepala ke luar. Ia tersenyum malu ketika matanya bertabrakan dengan mata coklat Aiden."Selamat pagi, Nona." Aiden menunduk memberikan salam."Pagi juga, Aiden." Fay memperlebar pintunya dan mempersilahkan Aiden untuk masuk."Tidak, Nona. Lebih baik kita berangkat sekarang," tolak Aiden tegas."Baik, Aiden." Fay merapikan rambutnya dengan tangan. Ia segera menutup pintu apartemen dan menguncinya. Ia lalu mengekor di belakang Aiden.Fay melangkah cepat agar bisa menjajari Aiden. Ia berdehem sembari menyelipkan sebagian rambutnya ke belakang telinga. "Apakah ada tempat yang ingin kau kunjungi, Aiden?"Aiden menghentikan langkahnya, lalu menoleh ke arah Fay. "Tidak ada, Nona," jawab Aiden datar."Baiklah. Kalau begitu biar aku saja yang menentukan tempatnya. Ada satu tempat yang ingin aku kunjungi." Fay meraih tangan Aiden, hendak menggenggamnya. Tapi, Aiden dengan cepat menepisnya.
Zeta dan Jack baru saja keluar dari gedung megah Grands Magasins di kota Paris. Zeta sama sekali tak menyurutkan senyumnya sedari tadi, membuat Jack ikut mengulas senyum melihatnya. "Kau terlihat sangat senang, Zeta. Setelah ini kita mau ke mana?" Jack melirik Zeta sebelum masuk ke taksi yang ia sewa untuk berkeliling kota Paris. "Tentu saja aku senang, Jack. Hari ini aku sudah mengunjungi banyak sekali tempat yang menakjubkan." Zeta menunjuk ke arah kedua tangannya yang membawa dua kantong belanja berisi parfum dan pakaian bermerk yang tadi Jack belikan untuknya. Zeta menarik napas. "Lebih baik setelah ini kita kembali ke hotel. Badanku sudah lelah, Jack. Tapi, sebelumnya aku ingin beli buket bunga," ucap Zeta dengan mata berkedip penuh harap. "Baiklah." Jack mengangguk paham. Ia dan Zeta masuk ke taksi yang segera membawanya ke sebuah toko bunga yang letaknya tak jauh dari lokasi hotel yang mereka inapi. Di dalam taksi, Zeta meletakkan kepal
"Sepertinya kota Paris bagus, Dad. Sekalian aku dan Zeta akan honeymoon kedua di kota romantis itu." Jack menaik turunkan alisnya. Ia tersenyum penuh arti kepada Zeta."Jack, kita kan sudah honeymoon. Masa mau honeymoon lagi?" Zeta bergeleng, menolak ide Jack tersebut.Edwin mengamati Jack dan Zeta bergantian. "Baiklah. Aku akan membelikan dua tiket ke Paris untuk besok.""Apa besok, Om. Eh... Dad?" Zeta terbelalak tak percaya. Ia semakin keras bergeleng."Thanks, Dad." Jack menyela, ia merangkul pundak Zeta dan mengulas senyum manis kepada Edwin.*Aiden menatap bangunan besar yang berdiri angkuh di depannya. Ia tak berpikir panjang lagi dan memilih untuk menggerakkan kaki memasuki gedung tersebut.Kedatangan Aiden disambut oleh para staf yang menjaga rumah sakit jiwa, di mana Lisa sedang dirawat. Terlihat ada beberapa perawat berlarian menuju ke pintu ruangan yang tertutup."Ada yang bisa say
"Kau mau ikut, Merry?" Edwin berdiri lalu menghampiri Merry yang bersedekap di depannya."Tidak. Kau saja yang pergi." Merry membalas dengan acuh tak acuh."Kau tidak mau melihat cucumu? Kau tidak penasaran seperti apa rupanya?" Edwin menyentuh pelan kedua pundak Merry.Merry bergeleng. "Tidak.""Hmmm... Kau berubahlah, Merry. Kau jangan terus menaruh rasa bencimu itu kepada Jack, apalagi kepada cucumu yang baru saja lahir. Dia tidak tahu apa-apa. Ya... Meski kau begitu, karena merasa tertekan sejak kau melahirkan Jack sampai sekarang. Tapi, Jack juga darah dagingmu. Berhentilah membencinya, Merry." Edwin menatap Merry dengan sendu.Merry terbungkam oleh perkataan Edwin. Sejak kapan pria itu berubah? Merry merasa Edwin kembali seperti masa mudanya, ketika mereka masih berpacaran dulu. Edwin begitu peduli, dan ucapannya selalu meneduhkan. Sosok Edwin itu telah tenggelam lama dalam ambisius pria itu yang ingin mendirikan perusahaan besar, sampa
Jack menggendong Max kecil, berusaha untuk menenangkannya. Ia lalu membaringkan Max ke atas ranjang yang kemudian diperiksa oleh dokter sebelum bayi tersebut diperbolehkan pulang.Zeta yang ada di sisinya menatap Jack. Ia baru saja diperiksa dan keadaannya baik. Maka, besok pagi ia sudah diizinkan meninggalkan rumah sakit."Jack..." panggil Zeta yang langsung ditanggapi oleh senyuman lembut Jack."Apa Zeta?" Jack bergerak mendekati Zeta. Ia membawa dirinya untuk berdiri tepat di sisi Zeta."Besok aku sudah diperbolehkan pulang, Jack. Tinggal menunggu Max selesai diperiksa." Zeta menyentuh punggung tangan Jack yang dipakai pria itu untuk menyangga tubuhnya di tepi ranjang, sementara wajahnya mencondong pada Zeta.Jack mengangguk mengerti. "Jadi, apa kau ingin membuat pesta kecil untuk menyambut bayi kita? Pesta baby newborn?"Zeta beralih memandang langit-langit ruangan seraya berpikir sejenak. "Sepertinya, boleh juga, Jack. Harus ada h
"Tuan..." Aiden menunduk pelan di depan Edwin. Ia lalu menegakkan kembali kepalanya, menanti ucapan apa yang akan Edwin lontarkan ketika dirinya kedapatan hendak meninggalkan kantor tanpa izin.Edwin mengamati Aiden dengan alis terangkat satu. "Kau mau ke mana, Aiden?"Aiden tidak langsung membalas pertanyaan Edwin tersebut. Ia mencoba mencari jawaban lain, namun tak kunjung dapat. Maka, ia berucap jujur. "Saya hendak ke rumah sakit untuk menegok Tuan Jack dan Nona Zeta."Edwin melipat kedua tangannya di depan dada. "Zeta sudah melahirkan?"."Sepertinya belum, Tuan. Maka dari itu saya hendak ke sana untuk mencari tahu karena... Tuan Jack sulit untuk saya hubungi." Aiden nyaris keceplosan. Ia tadi hampir saja mengatakan kalau Jack tak memperbolehkannya ke rumah sakit. Kalau saja ia sampai berkata demikian, ia tak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan pria paruh baya di depannya.Edwin hanya mengangguk. Ia berbalik, berderap meninggalkan Ai
Sembilan bulan telah berlalu, semenjak kematian Max. Jack kini meluangkan banyak waktunya untuk menemani Zeta. Ia tak pernah jenak jika harus meninggalkan Zeta sendirian, bahkan untuk bekerja. Pikirannya akan dipenuhi Zeta dan itu membuatnya tidak bisa berkonsentrasi.Untung saja, Edwin memaklumi itu, bahkan dirinya ikut membantu mengelola Baron group sehingga pekerjaan Jack jadi tidak terlampau berat. Entah kenapa, sejak kematian Max semua telah berubah.*Jack duduk di tepi ranjang, ia mengulurkan tangan untuk memberikan sapuan lembut kepada Zeta yang terbaring di sisinya. Perempuan itu tersenyum padanya.Zeta sudah memasuki usia kandungan sembilan bulan. Perutnya sudah buncit dan jika menurut prediksi dokter, ia akan melahirkan di waktu dekat ini."Jack, kau tidak bekerja lagi hari ini?" Zeta mendongak dengan alis yang tertaut.Jack menggeleng. "Tidak. Aku ingin menemanimu terus, Zeta," tekan Jack seraya mengulas senyum lembut
Jack menggenggam erat tangan Zeta sesampainya ia di pemakaman. Ia melihat langsung bagaimana peti Max dimasukkan ke dalam liang lahat. Menatapnya dengan perih.Zeta mengusap punggung tangan Jack dalam diam. Kedua matanya terasa panas, ingin menangis lagi. Ia segera mengerjap ketika Jack menggeser pandangan padanya."Aku kan sudah bilang kalau kau sebaiknya berada di penthouse. Bagaimana kalau kesehatanmu down lagi dan membahayakan bayi di kandunganmu?" Jack berkata lirih dan sangat lembut, sampai Zeta tak kuasa menahan tangis. Pria di depannya itu telah kehilangan orang yang teramat dicintai, tapi tetap saja Jack mau memperhatikan Zeta."Aku tidak apa-apa, Jack." Zeta mengusap kasar pipinya, menghilangkan jejak air mata dari sana."Hei... Udah dong." Jack mengusap pipi Zeta dengan pelan. Ia menghentikan usapan kasar dari tangan Zeta yang bisa saja melukai pipinya yang kini terlihat kemerahan."Jadi merah kan pipimu," imbuh Jack memaksakan sen
Napas Jack memburu. Ia menghentikan langkah ketika ia sudah berdiri tepat di depan sebuah rumah yang telah lama tak ia singgahi. Rumah itu sekarang terlihat lebih suram.Jack berjalan pelan, semakin mendekati pintu utama rumah keluarganya. Rumah ini terasa asing setelah ia tinggalkan, dan tak pernah memberikan kenangan indah baginya. Bahkan ketika Jack menginjakkan kakinya lagi di sini. Ia pun disuguhkan dengan hal yang membuatnya seolah tak mau bernapas lagi. Sesak dan sakit rasanya.Jack terus bergerak. Ia menerobos tanpa permisi beberapa orang yang menghalangi pemandangannya. Ia kini sudah berdiri di depan sebuah peti. Peti yang sangat Jack takutkan jika ia melihatnya.Merry menangis sambil memeluk peti itu, tak mau melepaskannya meski Edwin berusaha menarik Merry dari peti tersebut.Edwin mendesah berat ketika usahanya gagal. Ia lalu melempar pandangan yang tak sengaja menangkap Jack yang diam mematung di tempatnya berdiri."Jack," lirih Edwin
"Olivia... Kau datang?" Jack memperlebar senyumnya."Ya, tentu saja. Aku datang, Jack. Selamat ya atas penikahan kalian. Aku sangat senang." Olivia beralih menatap Zeta yang juga balas menatapnya dengan raut wajah ramah."Jack, istrimu sangat cantik. Kau harus menjaganya," bisik Olivia memperingatkan Jack."Tentu saja, Olivia. Aku akan menjaga Zeta, bahkan dari jangkauanmu." Jack menarik Zeta agar menempel padanya."Ho... Ho... Kau sangat protektif, Jack," kekeh Olivia menggoda."Kau tinggal di Chicago sekarang?" tanya Jack seraya meletakkan tangannya ke pundak Zeta, merangkulnya dengan gestur melindungi."Tidak. Aku akan kembali ke New York. Aku di Chicago hanya karena menghadiri pernikahanmu." Olivia mengedikkan bahu."Sebelum kau pergi, tidak bisakah kau mengunjungi Max di rumah sakit? Setelah ini aku dan Zeta rencananya juga akan ke sana untuk menjenguknya." Senyum Jack tak pernah luruh dari wajah tampannya."Ah... Iya... A