“Oke kalau itu mau kamu. Aku enggak akan pernah mampir ke rumah lagi.”
“Bagus, kalau begitu mulai sekarang aku juga enggak akan mengajar mengaji anak-anak lagi.”
“Kamu boleh marah sama aku, tetapi seharusnya kamu cukup bijak. Jangan sampai mengorbankan anak-anak yang masih butuh kamu!”
“Mereka bukan anakku. Jadi, bukan tanggung jawabku mendidik mereka. Banyak kok sekolah yang jauh lebih bagus dan tentunya punya tenaga pengajar yang lebih kompeten dibandingkan aku.”
“Kok kamu mendadak jadi enggak punya empati begini sih, Sofia?"
"Aku memang begini kok dari dulu. Kamunya aja yang enggak tahu.”
“Kamu tuh berubah banget tahu, kamu bukan lagi Sofi yang aku kenal.”
“Terserah kamu mau ngomong apa. Keputusan aku sudah bulat.”
“Setidaknya kamu pamitan dulu sama mereka. Apa karena ada aku kamu memutuskan untuk berhenti?”
“Enggak k
“Nah gitu atuh bro, jangan mikirin cewek mulu! Nanti kalau kita udah punya segalanya mau cari model bagaimana juga dapet. Timbang cewek yang udah nolak mentah-mentah. Ngapain sih, kayak di dunia ini enggak ada cewek lain aja?” tanya Arya.Dia juga temanku di pabrik. Arya sudah menjalani kuliah sambil bekerja 3 tahun, sedangkan Tobi baru semester awal. Arya berencana untuk keluar dari pabrik setelah ia lulus kuliah dan menemukan pekerjaan yang lebih baik. Sejujurnya nasibnya juga tak kalah tragis denganku.Pacarnya dijodohkan dengan anak Tuan Tanah di kampung, padahal ia sudah menjalani hubungan dengan wanita itu bertahun-tahun lalu. Sehingga, lihatlah sekarang! Arya menjadi orang yang ambisius. Tak hanya giat bekerja, ia juga giat menempuh pendidikan yang lebih tinggi.Aku menyukai semangat dan ambisinya.~Kami tinggal di satu kos yang sama. Setelah melakukan pendaftaran, kami menyempatkan diri makan di sekitar kampus. Namun, karena Arya
Aku berlari sekencang yangakubisa. Mencoba membangunkan Sofia, sayangnya gagal. Meski aku sudah memanggilnya berkali-kali, juga sedikit menepuk wajahnya ia masih saja tak sadarkan diri.“Bunda buka gerbangnya!” teriakku.Tak lama Bunda lantas membuka gerbangnya dengan panik, hampir saja ia memarahiku. Namun, ketika melihat Sofia yang tak sadarkan diri di pangkuanku. Wanita itu tak banyak bertanya.“Aku bawa ke dalam dulu, ya! Boleh ‘kan?”“Ya, bolehlah! Ayo bawa!”Syukurlah Bunda tak banyak bertanya, karena sejujurnya aku masih bingung kenapa Sofia bisa tidak sadarkan diri. Aku meletakkan Sofia di kamarku.“Atuh kenapa dibawa ke kamar kamu? Kenapa engga di kamar Bunda aja yang deket?”Sebenarnya kamar Bunda yang paling dekat dengan ruang tamu.“Aku panik Bun, maaf.”“Aku cuma nyenggol Bun, beneran! Enggak bohong.”&ldqu
Bunda yang panik bercampur bingung pun lantas hanya bisa memeluk gadis itu. Sejenak ia biarkan Sofia“Kamu kenapa Sofia, kalau ada apa-apa itu cerita Sayang! Jangan dipendam sendiri terus! Enggak semua masalah akan selesai kalau terus dibiarkan berlalu begitu saja.”“Aku baik-baik aja kok, Bun.”“Maafin aku ya, udah nyakitin anak Bunda. Aku cuma merasa enggak pantas nikah sama Musa. Dia terlalu baik buat aku, hiks. Makasih buat semuanya Bunda, Sofi permisi dulu.”Tanpa basa basi setelah mengucap terima kasih Sofia malah melarikan diri.“Aku susul Sofia dulu!”Bunda hanya sedikitmenggerakkan kepalanya. Lantas, aku buru-buru mengejar gadis itu. Bukan apa-apa hanya saja aku khawatir jika dugaan kami benar, maka seharusnya ia pasti masih sangat kesakitan.“Sofia, tunggu!” pintaku.Benar saja begitu sampai halaman depa rumahku, Sofia sudah berhenti melangk
Detik itu juga kami langsung mendatangi rumah Pak Zul dan mulai menceritakan apa yang terjadi di hari kemarin. Bu Yeni sendiri bahkan sampai shock.“Ibu udah nyangka sebenarnya kalau terjadi sesuatu sama Sofia pada dia camping, tapi anak itu memilih buat nutupin kejadiannya sama kita, hiks.”“Sabar, Bu. Ini juga kita lagi usaha biar Sofia bisa ketemu,” ucap Pak Zul.“Bu, maaf kalau benar Sofia sedang hamil dan kemungkinan keguguran. Bukannya harusnya dia sedang di rumah sakit ya sekarang? Bagaimana kalau kita pergi ke rumah sakit tempat kami periksa kemarin. Barangkali saja Sofia sedang melakukan tindakan kuretase hari ini,” ucap Bunda.Aku sendiri masih bingung entah apa yang harus kukatakan, kalau sampai bayinya kenapa-kenapa akulah orang yang pantas disalahkan. Aku yang membuat Sofia jatuh hingga pendarahan.“Benar juga, ayo kita ke sana Pak. Ya Allah kasihan sekali anak kita, Pak hiks.
Tok tok.“Musa! Kamu belum tidur?”Sudah pukul 2 dini hari kenapa juga Bunda sampai mengetuk pintu kamarku.“Bunda boleh masuk enggak?”“Sebentar, Bun!”Aku membuka pintu, setelah sebelumnya mengusap wajah dengan kasar. Melihatku yang kacau, Bunda malah menatapku dengan pandangan yang khawatir.“Kenapa Bun, tumben bangunin malem-malem?”“Bunda tahu kamu pasti belum tidur.”“Kata siapa, ini udah tidur malah kebangun.”“Jangan bohong, Bunda tahu kamu enggak akan pernah tenang. Pasti kepikiran terus soal Sofia ‘kan?”“Ya kepikiran sih pasti. Cuma kalau waktunya tidur ya tidur aja Bun, hehe.”“Mata kamu enggak bisa bohong. Nah itu kertas apa yang di tangan kamu?”“Oh bukan apa-apa kok.”“Coba Bunda lihat!”“Jangan Bun, ini enggak penting?”
Di pabrik, sembari menikmati makan malam kau melihat postingan Salim yang ramai hujatan.“Lihat apa sih? Sampai segitunya?” tanya Tobi.Kebetulan kami memang satu shift. Ia lantas mendekat dan langsung mengintip layar ponselku di mana Salim sedang meminta ampun dengan celana yang basah.“Kerjaaan kamu?”“Gak tahu.”“Alah, paham banget aku Musa.”“Ya udah sih.”“Dendam ya kamu gara-gara Sofia direbut?”“Gak bisa dibilang direbut, orang dia aja ditolak lamarannya.”“Eh, serius?”“Ya, ke mana aja kamu.”“Berarti bener ‘kan dugaan aku, Sofia emang cewek baik-baik. Enggak kayak dugaan kamu yang suka mandang harta.”“Ah, sudahlah. Lupakan saja!”“Cewek banyak juga move on kenapa sih? Tuh Sabrina di kampus juga ngejar-ngejar terus. Parah, malah dicue
“Musa kenapa? kok malah pulang, tanggung juga mau salat isya?”Saat hendak pulang aku malah bertemu ayah di jalan. Rupanya ia hendak pergi ke musala.“Ayah, aku mau bicarain soal kasus dugaan pembunuhan temannya Sofia yang ikut dilecehkan juga.”“Boleh aja, tapi mendingan kamu salat dulu. Kita bahas abis selesai salat isya.”“Bener Ayah?”“Iya. Azan gih! Udah masuk waktunya.”“Ayah aku kayaknya gak bisa.”“Gak bisa azan?”“Iya.”“Tapi, salat jamaah bisa ‘kan.”Aku hanya mengangguk, entahlah pikiranku kacau.“Musa, kita punya Allah. Satu-satunya dzat yang mampu kita andalkan di saat seperti ini.”“Aku tahu Ayah, hanya saja semakin aku mencoba untuk pura-pura lupa. Aku jadi semakin merasa bersalah?”“Kamu masih merasa bersalah, karena tak sengaja membuat
Terhitung sudah setengah tahun berlalu sejak Sofia pergi aku tidak pernah tahu kabar tentangnya. Sayangnya untuk mengumpulkan bukti mengenai penggelapan dana bansos tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Hanya perlu persiapan yang matang, mengingat yang aku lawan adalah pemerintah. Aku juga tidak ingin mati konyol, setidaknya mesti ada data untuk bisa menggoyahkan jabatannya. Sekedar desas-desus saja tidak cukup untuk menggulingkan Pak Erik.Bulan berlalu hingga berganti tahun, tak menyangka, kasus itu masih saja menjadi pembahasan publik. Aku hanya menyayangkan, padahal aku sudah berkali-kali mengirimkan beberapa bukti kuat, jika Pak Erik terlibat dalam Tindakan pencucian uang. Namun, lagi-lagi ketika postingannya viral akun sosial media yang kubuat khusus untuk mengkritik pemerintah kembali terhapus.Malam itu entah ada angin apa, tiba-tiba saja seseorang yang mengaku anak buah dari Pak Erik menghubungiku. Katanya ada sesuatu yang ingin ia bicara. Saat itu