Di pabrik, sembari menikmati makan malam kau melihat postingan Salim yang ramai hujatan.
“Lihat apa sih? Sampai segitunya?” tanya Tobi.
Kebetulan kami memang satu shift. Ia lantas mendekat dan langsung mengintip layar ponselku di mana Salim sedang meminta ampun dengan celana yang basah.
“Kerjaaan kamu?”
“Gak tahu.”
“Alah, paham banget aku Musa.”
“Ya udah sih.”
“Dendam ya kamu gara-gara Sofia direbut?”
“Gak bisa dibilang direbut, orang dia aja ditolak lamarannya.”
“Eh, serius?”
“Ya, ke mana aja kamu.”
“Berarti bener ‘kan dugaan aku, Sofia emang cewek baik-baik. Enggak kayak dugaan kamu yang suka mandang harta.”
“Ah, sudahlah. Lupakan saja!”
“Cewek banyak juga move on kenapa sih? Tuh Sabrina di kampus juga ngejar-ngejar terus. Parah, malah dicue
“Musa kenapa? kok malah pulang, tanggung juga mau salat isya?”Saat hendak pulang aku malah bertemu ayah di jalan. Rupanya ia hendak pergi ke musala.“Ayah, aku mau bicarain soal kasus dugaan pembunuhan temannya Sofia yang ikut dilecehkan juga.”“Boleh aja, tapi mendingan kamu salat dulu. Kita bahas abis selesai salat isya.”“Bener Ayah?”“Iya. Azan gih! Udah masuk waktunya.”“Ayah aku kayaknya gak bisa.”“Gak bisa azan?”“Iya.”“Tapi, salat jamaah bisa ‘kan.”Aku hanya mengangguk, entahlah pikiranku kacau.“Musa, kita punya Allah. Satu-satunya dzat yang mampu kita andalkan di saat seperti ini.”“Aku tahu Ayah, hanya saja semakin aku mencoba untuk pura-pura lupa. Aku jadi semakin merasa bersalah?”“Kamu masih merasa bersalah, karena tak sengaja membuat
Terhitung sudah setengah tahun berlalu sejak Sofia pergi aku tidak pernah tahu kabar tentangnya. Sayangnya untuk mengumpulkan bukti mengenai penggelapan dana bansos tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Hanya perlu persiapan yang matang, mengingat yang aku lawan adalah pemerintah. Aku juga tidak ingin mati konyol, setidaknya mesti ada data untuk bisa menggoyahkan jabatannya. Sekedar desas-desus saja tidak cukup untuk menggulingkan Pak Erik.Bulan berlalu hingga berganti tahun, tak menyangka, kasus itu masih saja menjadi pembahasan publik. Aku hanya menyayangkan, padahal aku sudah berkali-kali mengirimkan beberapa bukti kuat, jika Pak Erik terlibat dalam Tindakan pencucian uang. Namun, lagi-lagi ketika postingannya viral akun sosial media yang kubuat khusus untuk mengkritik pemerintah kembali terhapus.Malam itu entah ada angin apa, tiba-tiba saja seseorang yang mengaku anak buah dari Pak Erik menghubungiku. Katanya ada sesuatu yang ingin ia bicara. Saat itu
Aku buru-buru keluar dari toilet, demi memastikan siapa sebenarnya wanita itu. Sayangnya, begitu keluar sudah tidak ada lagi orang yang masih berdiri. Semua penumpang sudah duduk di kursinya masing-masing.Aku masih belum menyerah, setelah memastikan dengan baik, jika aroma parfumnya mirip dengan yang biasa digunakan Sofia, aku memilih untuk memastikan para penumpang satu persatu. Sampai di kursi milik Rina, aku mendadak terhenti.“Kenapa sih?” tanyanya.“Kayaknya Sofia ada di kereta deh.”“Jangan halu deh, Musa!”“Serius, aku tadi ketemu di toilet?”“Hah? Terus mana orangnya?”“Bener Sofia atau hanya perasaan kamu? Jangan bilang, karena dia punya aroma parfum yang sama kamu menganggap kalau orang itu Sofia?”“Hm, itu.”“Alah, kebiasaan kamu Musa. Udah berapa kali kamu salah orang. Ya udah sana terusin aja! Aku enggak mau ikut-ikuta
Saat itu Rina malah melarikan diri. Saat aku mau mengejarnya demi memastikan dia mau atau tidak Rina malah berubah jadi galak. “Berhenti enggak! Jangan ngikutin aku lagi!” “Ya, jawab aja dulu!” “Kan udah aku nolak kamu. Kamu mah bukan mau jawaban, tapi maksa. Sana pergi, ngasih sayuran mentah aja minta pacaran! Besok aku balikin aja, aku bikin versi bala-bala yang lebih enak. Sana pergi! Jangan enggak enakkan makanya jadi orang, tolak aja maaf aku enggak mau pacaran! Gitu doang repot.” “Enggak segampang itu, aku udah coba.” “Ya, terus kalau mereka tahu kita pacaran. Apa enggak habis aku dikeroyok mereka, hah? Kamu enak aman, lah aku?” “Ya tendangin ajalah, kamu ‘kan jago taekwondo. Enggak lucu juga kalau aku kasar sama cewek. Kalau, kamu yang ngelawan, itu sebuah pembelaan dan sah-sah aja. Aku yang jamin keselamatan kamu.” “Jamin keselamatan Sofia aja kamu enggak bisa.” “Kok bahasannya jadi gini sih?” “Ya, iyala
“Harus ada alasan ‘kan? Lo tahu gue nyari dia bertahun-tahun. Gue sampai pindah jurusan biar bisa ngerti hukum, semata-mata supaya bisa membersihkan nama baik Sofia yang terlanjur jelek di mata orang-orang. Lo tahu sendiri bagaimana perjuangan gue sama keluarganya, biar dia mau balik lagi ke rumah. Ibunya aja sampai depresi gara-gara itu, kenapa enggak bilang sih, hah?”Rina malah semakin menangis.“Tolong jangan menangis. Kamu tahu aku tidak tahan dengan tangisan wanita. Bicara saja!”“Karena, aku suka sama kamu Musa.”Alasan macam apa itu.“Aku tahu udah egois banget, tapi aku uds suka kamu jauh sebelum aku mengenal Sofia.”Aku dan Rina memang berada dalam satu komunitas yang sama, sebelum akhirnya kami malah dipertemukan lagi dalam satu kelas yang sama saat SMA.“Aku selalu berpikir, dari sekian banyak kelas kenapa kita harus berada dalam kelas yang sama. Itu pasti karena
“Rina udah ih, kamunya diam dulu!”Zainab bahkan dibuat kesal, karena Rina yang masih saja terus memancing emosiku. Memangnya ada orang yang mau mengalami pelecehan.“Seharusnya dari pada menghina kamu bersyukur, karena malam itu kamu cukup beruntung. Kalau, tidak mungkin yang ada di pemakaman itu bukan Dera.”“Musa udah! Jangan diteruskan! Kamu mending pergi aja dulu! Enggak akan benar kalau kalian terus berdebat,” ucap Zainab, sembari memeluk Rina dengan begitu eratnya.“Enggak enak loh, ini kita ‘kan masih di dekat area makam. Kalian ‘kan tujuan ke sini buat ziarah. Kenapa malah ribut?” tambah Zainab.“Aku enggak akan semarah ini kalau Rina enggak keterlaluan. Bayangin aja 3 tahun dia menyembunyikan semua ini.”“Tapi, ‘kan sekarang dia udah mau jujur. Seharusnya yang kamu tanyakan, alasan apa yang membuatnya dia mau mengungkapkan semuanya hari ini, padahal
Aku tidak mengeluh, aku masih terus meneleponnya sampai akhirnya di percobaan yang ke 99 kali. Akunku malah diblokir.Sungguh saat itu rasanya aku begitu frustrasi pikiranku menemukan jalan buntu.Pada akhirnya aku hanya bisa pulang ke Bogor dengan tangan kosong. Waktu cutiku sudah habis. Jangan kira aku menyerah begitu saja. Aku berkali-kali membuat akun baru dan mencoba menghubunginya, tetapi terakhir kali ia malah menutup akunnya secara permanent.Saat itu aku benar-benar lelah, rasanya 4 tahun perjuanganku mencarinya selalu berakhir dengan cara yang sama.Pada akhirnya aku harus menghadapi kenyataan jika Sofia memang sudah tak lagi mau denganku. Sejak saat itu juga aku bersumpah untuk bekerja keras. Aku bekerja di Surabaya bersama dengan Om Hamzah. Sabrina juga ada di sana. Hubungan kami jadi lebih baik saat di kantor. Aku rasa Sabrina juga mulai berubah. Dia tidak seagresif dulu. Mungkin juga lelah, karena aku tidak pernah merespons kebaikan
“Bunda nyari kamu kok. Lagian kamu kenapa sembunyi?” tanya Sofia sambil mengusap kepala anak kecil itu dengan lembut.Saking shocknya dengan apa yang baru saja kudengar. Kelapa yang tadinya akan kuberikan pada Sofia pun terjatuh begitu saja. Sontak saja hal itu membuat Sofia yang semula tengah menenangkan anak kecil itu mengalihkan perhatiannya padaku. Ia lantas mengambil kelapa itu dan memberikannya padaku.“Kelapanya jatuh,” katanya dengan kelapa yang sudah disodorkan kepadaku.“Musa, kenapa kamu diam aja?”“Sofia, kenapa anak ini panggil kamu Bunda.”“Ya, karena dia Bunda aku.”Sofia saat itu tersenyum canggung.“Kamu sudah menikah.”“Sudah sama ayah aku.”Anak kecil itu terus saja bicara.“Ruqa, hm Bunda antar kamu ke ayah dulu ya,” ucap Sofia.Entah kenapa aku mendadak kesal dengan anak kecil yang tiba-tiba
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar