Aku berlari sekencang yang aku bisa. Mencoba membangunkan Sofia, sayangnya gagal. Meski aku sudah memanggilnya berkali-kali, juga sedikit menepuk wajahnya ia masih saja tak sadarkan diri.
“Bunda buka gerbangnya!” teriakku.
Tak lama Bunda lantas membuka gerbangnya dengan panik, hampir saja ia memarahiku. Namun, ketika melihat Sofia yang tak sadarkan diri di pangkuanku. Wanita itu tak banyak bertanya.
“Aku bawa ke dalam dulu, ya! Boleh ‘kan?”
“Ya, bolehlah! Ayo bawa!”
Syukurlah Bunda tak banyak bertanya, karena sejujurnya aku masih bingung kenapa Sofia bisa tidak sadarkan diri. Aku meletakkan Sofia di kamarku.
“Atuh kenapa dibawa ke kamar kamu? Kenapa engga di kamar Bunda aja yang deket?”
Sebenarnya kamar Bunda yang paling dekat dengan ruang tamu.
“Aku panik Bun, maaf.”
“Aku cuma nyenggol Bun, beneran! Enggak bohong.”
&ldqu
Bunda yang panik bercampur bingung pun lantas hanya bisa memeluk gadis itu. Sejenak ia biarkan Sofia“Kamu kenapa Sofia, kalau ada apa-apa itu cerita Sayang! Jangan dipendam sendiri terus! Enggak semua masalah akan selesai kalau terus dibiarkan berlalu begitu saja.”“Aku baik-baik aja kok, Bun.”“Maafin aku ya, udah nyakitin anak Bunda. Aku cuma merasa enggak pantas nikah sama Musa. Dia terlalu baik buat aku, hiks. Makasih buat semuanya Bunda, Sofi permisi dulu.”Tanpa basa basi setelah mengucap terima kasih Sofia malah melarikan diri.“Aku susul Sofia dulu!”Bunda hanya sedikitmenggerakkan kepalanya. Lantas, aku buru-buru mengejar gadis itu. Bukan apa-apa hanya saja aku khawatir jika dugaan kami benar, maka seharusnya ia pasti masih sangat kesakitan.“Sofia, tunggu!” pintaku.Benar saja begitu sampai halaman depa rumahku, Sofia sudah berhenti melangk
Detik itu juga kami langsung mendatangi rumah Pak Zul dan mulai menceritakan apa yang terjadi di hari kemarin. Bu Yeni sendiri bahkan sampai shock.“Ibu udah nyangka sebenarnya kalau terjadi sesuatu sama Sofia pada dia camping, tapi anak itu memilih buat nutupin kejadiannya sama kita, hiks.”“Sabar, Bu. Ini juga kita lagi usaha biar Sofia bisa ketemu,” ucap Pak Zul.“Bu, maaf kalau benar Sofia sedang hamil dan kemungkinan keguguran. Bukannya harusnya dia sedang di rumah sakit ya sekarang? Bagaimana kalau kita pergi ke rumah sakit tempat kami periksa kemarin. Barangkali saja Sofia sedang melakukan tindakan kuretase hari ini,” ucap Bunda.Aku sendiri masih bingung entah apa yang harus kukatakan, kalau sampai bayinya kenapa-kenapa akulah orang yang pantas disalahkan. Aku yang membuat Sofia jatuh hingga pendarahan.“Benar juga, ayo kita ke sana Pak. Ya Allah kasihan sekali anak kita, Pak hiks.
Tok tok.“Musa! Kamu belum tidur?”Sudah pukul 2 dini hari kenapa juga Bunda sampai mengetuk pintu kamarku.“Bunda boleh masuk enggak?”“Sebentar, Bun!”Aku membuka pintu, setelah sebelumnya mengusap wajah dengan kasar. Melihatku yang kacau, Bunda malah menatapku dengan pandangan yang khawatir.“Kenapa Bun, tumben bangunin malem-malem?”“Bunda tahu kamu pasti belum tidur.”“Kata siapa, ini udah tidur malah kebangun.”“Jangan bohong, Bunda tahu kamu enggak akan pernah tenang. Pasti kepikiran terus soal Sofia ‘kan?”“Ya kepikiran sih pasti. Cuma kalau waktunya tidur ya tidur aja Bun, hehe.”“Mata kamu enggak bisa bohong. Nah itu kertas apa yang di tangan kamu?”“Oh bukan apa-apa kok.”“Coba Bunda lihat!”“Jangan Bun, ini enggak penting?”
Di pabrik, sembari menikmati makan malam kau melihat postingan Salim yang ramai hujatan.“Lihat apa sih? Sampai segitunya?” tanya Tobi.Kebetulan kami memang satu shift. Ia lantas mendekat dan langsung mengintip layar ponselku di mana Salim sedang meminta ampun dengan celana yang basah.“Kerjaaan kamu?”“Gak tahu.”“Alah, paham banget aku Musa.”“Ya udah sih.”“Dendam ya kamu gara-gara Sofia direbut?”“Gak bisa dibilang direbut, orang dia aja ditolak lamarannya.”“Eh, serius?”“Ya, ke mana aja kamu.”“Berarti bener ‘kan dugaan aku, Sofia emang cewek baik-baik. Enggak kayak dugaan kamu yang suka mandang harta.”“Ah, sudahlah. Lupakan saja!”“Cewek banyak juga move on kenapa sih? Tuh Sabrina di kampus juga ngejar-ngejar terus. Parah, malah dicue
“Musa kenapa? kok malah pulang, tanggung juga mau salat isya?”Saat hendak pulang aku malah bertemu ayah di jalan. Rupanya ia hendak pergi ke musala.“Ayah, aku mau bicarain soal kasus dugaan pembunuhan temannya Sofia yang ikut dilecehkan juga.”“Boleh aja, tapi mendingan kamu salat dulu. Kita bahas abis selesai salat isya.”“Bener Ayah?”“Iya. Azan gih! Udah masuk waktunya.”“Ayah aku kayaknya gak bisa.”“Gak bisa azan?”“Iya.”“Tapi, salat jamaah bisa ‘kan.”Aku hanya mengangguk, entahlah pikiranku kacau.“Musa, kita punya Allah. Satu-satunya dzat yang mampu kita andalkan di saat seperti ini.”“Aku tahu Ayah, hanya saja semakin aku mencoba untuk pura-pura lupa. Aku jadi semakin merasa bersalah?”“Kamu masih merasa bersalah, karena tak sengaja membuat
Terhitung sudah setengah tahun berlalu sejak Sofia pergi aku tidak pernah tahu kabar tentangnya. Sayangnya untuk mengumpulkan bukti mengenai penggelapan dana bansos tidaklah mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Hanya perlu persiapan yang matang, mengingat yang aku lawan adalah pemerintah. Aku juga tidak ingin mati konyol, setidaknya mesti ada data untuk bisa menggoyahkan jabatannya. Sekedar desas-desus saja tidak cukup untuk menggulingkan Pak Erik.Bulan berlalu hingga berganti tahun, tak menyangka, kasus itu masih saja menjadi pembahasan publik. Aku hanya menyayangkan, padahal aku sudah berkali-kali mengirimkan beberapa bukti kuat, jika Pak Erik terlibat dalam Tindakan pencucian uang. Namun, lagi-lagi ketika postingannya viral akun sosial media yang kubuat khusus untuk mengkritik pemerintah kembali terhapus.Malam itu entah ada angin apa, tiba-tiba saja seseorang yang mengaku anak buah dari Pak Erik menghubungiku. Katanya ada sesuatu yang ingin ia bicara. Saat itu
Aku buru-buru keluar dari toilet, demi memastikan siapa sebenarnya wanita itu. Sayangnya, begitu keluar sudah tidak ada lagi orang yang masih berdiri. Semua penumpang sudah duduk di kursinya masing-masing.Aku masih belum menyerah, setelah memastikan dengan baik, jika aroma parfumnya mirip dengan yang biasa digunakan Sofia, aku memilih untuk memastikan para penumpang satu persatu. Sampai di kursi milik Rina, aku mendadak terhenti.“Kenapa sih?” tanyanya.“Kayaknya Sofia ada di kereta deh.”“Jangan halu deh, Musa!”“Serius, aku tadi ketemu di toilet?”“Hah? Terus mana orangnya?”“Bener Sofia atau hanya perasaan kamu? Jangan bilang, karena dia punya aroma parfum yang sama kamu menganggap kalau orang itu Sofia?”“Hm, itu.”“Alah, kebiasaan kamu Musa. Udah berapa kali kamu salah orang. Ya udah sana terusin aja! Aku enggak mau ikut-ikuta
Saat itu Rina malah melarikan diri. Saat aku mau mengejarnya demi memastikan dia mau atau tidak Rina malah berubah jadi galak. āBerhenti enggak! Jangan ngikutin aku lagi!ā āYa, jawab aja dulu!ā āKan udah aku nolak kamu. Kamu mah bukan mau jawaban, tapi maksa. Sana pergi, ngasih sayuran mentah aja minta pacaran! Besok aku balikin aja, aku bikin versi bala-bala yang lebih enak. Sana pergi! Jangan enggak enakkan makanya jadi orang, tolak aja maaf aku enggak mau pacaran! Gitu doang repot.ā āEnggak segampang itu, aku udah coba.ā āYa, terus kalau mereka tahu kita pacaran. Apa enggak habis aku dikeroyok mereka, hah? Kamu enak aman, lah aku?ā āYa tendangin ajalah, kamu ākan jago taekwondo. Enggak lucu juga kalau aku kasar sama cewek. Kalau, kamu yang ngelawan, itu sebuah pembelaan dan sah-sah aja. Aku yang jamin keselamatan kamu.ā āJamin keselamatan Sofia aja kamu enggak bisa.ā āKok bahasannya jadi gini sih?ā āYa, iyala