“Tapi, itu ibu Akang. Emang enggak takut apa dicap anak durhaka?”
“Tapi, kamu kamu juga istri Akang. Nanti kamu malah bilang Akang suami zalim lagi.”
“Pasti nanti ibu semakin enggak suka sama aku.”
“Itu hanya ada di pikiranmu Lara, memangnya tadi kamu lihat ibu marah enggak?”
“Ya ‘kan biasanya di depan Akang juga ibu baik sama aku. Enggak ada yang tahu apa sebenarnya yang ada dalam hatinya.”
“Insyaallah enggak, Sayang. Akang udah ngobrol sama ibu. Dia juga mengerti keadaan kamu yang baru melahirkan. Pasti butuh istirahat. Apa lagi kamu juga melahirkan secara caesar, jadi pemulihannya akan lebih lama.”
“Oh.”
Lara masih saja bersikap acuh tak acuh. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatnya bahagia.
Hari berlalu, Lara juga semakin menjadi pendiam. Rumah ini bahkan berubah menjadi dingin karenanya. Tidak ada lagi keceriaa
“Di rumah aja!”“Sekarang kata Susternya, Dek. Iya ‘kan Sus?”“Lagi puasa juga Akang mah, istighfar!”“Ya sudah kalau ibunya enggak mau. Nanti aja Pak, bisa nanti habis buka puasa dipraktekin di rumah.”Ck, aku pikir sekarang. Memang berharap pada manusia itu tidak perlu berlebihan. Ujungnya lebih sering kecewa. Pada akhirnya aku hanya bisa diam dan memerhatikan tanpa bisa memperagakan langsung.“Enggak nyangka ya pijat laktasi seru banget. Besok Akang antar kamu ke sini lagi ya.”“Besok ke Garut.”“Habis dari Garutlah.”“Kok jadi malah Akang yang semangat.”“Ya, ‘kan demi anak kita. Demi Hafsah biar bisa menyusui langsung sama sumbernya.”“Demi Hafsah atau demi Akang?”Aku hanya tersenyum saja, tetapi Lara malah sepertinya kesal. Ia bahkan sengaja berjalan mendahuluik
“Enggak bisa begitu dek, kamu baru aja perjalanan jauh. Setidaknya harus istirahat.”“Aku mau di sini Kang, kenapa sih? Enggak boleh? Hampir 10 tahun aku enggak pernah pulang. Apa salahnya aku mau di sini sebentar. Akang mau larang juga?”“Bukan begitu Sayang, Akang tuh bukannya melarang, cuma khawatir sama kesehatan kamu.”“Akang mau mengkhawatirkan apa? Dari dulu aja enggak pernah peduli.”“Dek kalau kamu terus bahas masa lalu, sampai kapan pun enggak akan pernah selesai. Akang juga ‘kan enggak mungkin bisa memperbaiki masa lalu. Orang udah lewat, tapi kalau masa depan insyaallah. Ini juga Akang udah berusaha untuk memperbaiki diri. Cuma ‘kan bertahap Dek, mana Akang tahu kalau kejadiannya bakal begini. Kalau, aja tahu Akang pasti enggak akan biarin.”“Akang mah cuma ngomongnya, kalau aku enggak maksa minta pisah, paling sekarang Akang milih buat lebaran di rum
“Ayah enggak pernah ikut begituan.”“Ya sudah lembur aja atuh di pabrik.”“Lembur juga enggak akan kekejar dalam waktu sesingkat itu mah!”“Ya ini mah saran dari Musa, satu-satunya yang bisa menghasilkan uang cepat ya itu.”“Tapi, ‘kan ayah harus kerja.”“Mau gak mau habis tarung pasti enggak akan bisa berangkat.”“Ayah terlalu mengkhawatirkan yang belum terjadi. Aku yakin kok Ayah pasti bisa.”“Lumayannya tuh berapa?”Tiba-tiba saja Musa malah membisikkan jumlah hadiah yang pernah ia dapatkan yaitu sekitar 15 juta.“Sedikit banget.”“Namanya juga hasil taruhan di jalanan. Kalau, resmi pasti lebih besar Yah.”“Enggak bisa Musa, itu terlalu berisiko. Bunda pasti juga enggak akan terima, kalau tahu.”“Bunda enggak usah dikasih tahulah Yah, katanya mau kasih kej
Untung saja saat itu Pak Polisi cukup bijak untuk mengambil keputusan memisahkan Kang Yana dari kami. Kang Yana sepertinya dibawa ke ruangan khusus. Mungkin saja dia akan diisolasi. Mengingat ia begitu agresif."Ibu benar diancam akan dibunuh?" tanya petugas polisi perempuan yang saat itu membantu teh Safira bangun."I-iya Bu."Teh Safira masih terlihat ketakutan. Bicaranya saja sampai terbata-bata."Ibu tenang Ya di sini Bu Aman kok.""Tetap saja Bu, saya takut kalau suami saya keluar dari penjara. Malah aja nekat buat menyakiti anak-anak saya.""Ibu juga bisa kok melaporkan kasus ini sebagai kekerasan dalam rumah tangga. Nanti kami proses. Kemungkinan suami Ibu bisa kena pasal berlapis.""Saya enggak punya biaya untuk mengurusnya. Bukankah semuanya juga butuh biaya?"Polisi itu terdiam."Nggak papa saya memang pantas kok menerima hukuman ini.""Teh Safira maaf, kalau saya memotong pembicaraan. Setelah mendengar
“Ayah yakin? Aku enggak bisa jamin dapet lawan yang seimbang. Di sana mah enggak resmi, bisa dikatakan ilegal. Tempatnya aja enggak jelas. Kadang pindah-pindah, karena sering di razia.”“Kamu meragukan Ayah? Memangnya siapa yang ngajarin kamu bela diri Musa?”Anak itu malah tersenyum sambil menggaruk tengkuknya. Jelas-jelas aku yang mengajarkannya taekwondo.“Ayah ‘kan akhir-akhir ini jarang kelihatan latihan. Aku cuma khawatir kalau dapet lawan yang jago. Bukannya dapat solusi buat beli rumah. Malah jadi masalah baru.”“Sudah yakin aja dulu. Kamu jangan lupa bantu doa!”“Kalian merencanakan apa? Kenapa kamu sampai minta bantu doa segala?” tanya Lara.Entah sejak kapan Lara berada di sana. Membuat kami tegang saja. Baik aku maupun Musa bahkan hanya bisa terpaku di tempat masing-masing. Takut jika pembicaraan kami terdengar olehnya.“Kenapa pada diem?” tegas
“Harus sekarang juga Kang pulangnya?” tanya Lara.“Kenapa memang?”“Baru juga pulang salat ied.”“Ya enggak apa-apa mumpung jalanan biasanya masih sepi.”“Oh gitu.”“Iya.”“Waalaikumsalam kalau gitu.”Saat itu giliran aku yang mengulurkan tangan pada Lara.“Salim?”Lara awalnya ragu, tetapi kemudian ia tetap menarik lengan dan menciumnya dengan takzim.“Nanti kabarin ya, kalau menang atau kalahnya.”“Pasti menang.”“Ayah dari dulu emang paling jago.”Ternyata Musa tidak benar-benar membenci ayahnya. Ia hanya marah dan mencoba protes atas ketidakadilan yang kulakukan pada Lara dan keluargaku.Untunglah jalanan di kota masih lenggang. Kebanyakan orang-orang masih silaturahmi dengan tetangga dekat dan ziarah ke pemakaman. Lagi pula hanya sedikit orang
“Itu dari tadi neleponin terus. Dari siapa sih?” “Biasalah.” “Alah kayak orang kasmaran aja kamu, Jim.” “Biarin aja sih.” “Ya sudah istirahat sana! Udah sampai ini.” Kala itu sudah pukul 12 malam, sepertinya Lara juga sudah terlelap makanya ia tidak lagi berusaha menghubungiku. Saat itu aku memilih untuk menghubungi Musa lebih dahulu. [Musa semuanya aman ‘kan? Kok Bunda nelepon ayah sampai puluhan kali?] [Aduh gawat Yah, bunda udah tahu kalau ayah ikut pertandingan.] [Kok bisa?] [Waktu aku lagi lihat live streaming yang tanding sebelum ayah, malah ketahuan sama bunda.] [Emangnya kamu nonton di mana?] [Di kamar kok, waktu aku lagi pergi ke toilet bunda malah masuk ke kamar dan enggak sengaja lihat hp aku yang nampilin muka ayah sebagai peserta yang akan tampil sesi berikutnya.] [Haduh, terus bagaimana?] [Bunda minta kami pulang saat itu juga, tapi untungnya susah
“Enggak bisa begitu dong Ndra, anakku sudah banyak. Sayang juga kalau rumah tangga kami harus berakhir.” “Lah kenyataannya istrimu mau enggak diajak bangun rumah tangga sama-sama? Orang diperjuangin juga malah tetap jual mahal.” “Masalahnya enggak sesimple itu.” “Ya apa pun itu enggak patutlah istri minta pisah kalau masih dinafkahin suami. Jangan-jangan istrimu malah udah punya yang lain di luar sana.” “Enggak mungkin Lara begitu. Orang sehari-hari dia di rumah aja.” “Sekarang mah zaman canggih. Orang di rumah aja juga ‘kan ada internet. Bisa aja sekarang selingkuh lewat hp. Chating lewat whats app ‘kan enggak ada yang tahu. Dari pada bela-belain beli rumah sampai nyelakain diri sendiri mending bawa cewek aja. Tunjukin ke dia kalau di luar sana masih banyak yang mau sama kamu. “ “Enggak bisa begitulah Ndra, Lara aja baru melahirkan. Masa aku tinggalin dia gitu aja.” “Ya lagian aneh, udah tahu baru melahirkan.
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar