“Pak Zul, kayaknya mending cepat dibawa pulang ke rumah aja. Kasihan Sofianya kedinginan. Bapak bawa mobil apa motor?”
“Bapak enggak bawa mobil, orang ke sini dibonceng Pak Burhan.”
“Hm, Sofia kuat dibonceng?” tanyaku.
Saat itu Sofia juga masih diam saja.
“Grab juga enggak ada jam segini mah, Aku takut Sofianya lemas nanti malah jatuh dijalan.”
“Bonceng 3 aja, kondisinya ‘kan darurat.”
“Ya sudah hayu! Musa yang nyetir ya! Bapak pegangin Sofia dari belakang.”
“Oke.”
Di perjalanan pulang, tiba-tiba saja Sofia yang semula hanya diam saja malah membuka suara.
“Bapak.”
“Ya, Sayang? Kenapa? ada yang kamu rasa? Sakitnya sebelah mana? Kamu pasti kedinginan.”
“Aku enggak mau pulang ke rumah.”
Aku bukannya mau mencuri dengar ucapan mereka hanya saja, karena aku berada di dekatnya
“Punya kontak Dera, enggak?”“Itu dia masalahnya. Nomornya Dera udah enggak aktif, dari kita pulang dari camping waktu itu.”“Kalian sebenarnya camping sama siapa aja?”“Cuma bertiga, tapi ternyata di sana ada anak kelas lain yang ikutan juga.”“Siapa?”“Aku enggak terlalu kenal sih, cuma anak sini juga.”“Punya fotonya enggak?”“Kamu mencurigai sesuatu ya?”“Iya, Sofi itu enggak mungkin tiba-tiba loncat ke sungai gitu aja, kalau enggak ada masalah.”“Aku juga mikirnya gitu, orang aku udah kenal Sofi dari SMA. Dia itu ‘kan ngerti agama masa ia tiba-tiba seputus asa itu? Kalau enggak ada masalah yang bener-bener besar, enggak mungkin Sofia senekat itu.”“Aku curiga jadi curiga sama Dera. Di puncak ada kejadian aneh enggak?”Saat itu Rani malah terdiam cukup lama. Sampai ke
“Bendera kuning, Mus!” ucap Tobi.“Udah terlanjur ke sini. Lanjut aja!”Sungguh aku benar-benar takut jika yang meninggal adalah Dera.“Tanya dulu! ‘kan belum tentu Dera yang meninggal.”Akhirnya kami berusaha mendekat dan mulai mencari informasi pada tetangga yang kala itu juga ikut bertakziah.“Bu maaf, yang meninggal siapanya Dera ya?”“Oh, itu ayahnya Dera. Semalam katanya kena serangan jantung.”“Tapi, Deranya ada?”“Aduh saya enggak tahu, katanya Dera langsung diusir dari rumah. Setelah kematian ayahnya. Mas ini siapa? Kok saya baru lihat kalian berdua? Mesti bukan orang kampung sini, ya?”“Oh, iya Bu. Kami temannya Dera di—““Kamus. Kami satu kamus sama Dera.”Tobi tiba-tiba saja mendadak memotong ucapanku.“Oh, Masnya dari Bogor ya? Pacarnya Dera?”“
Sungguh kenapa kejutan demi kejutan terus saja terjadi. 20 mobil bukanlah main-main.“Mobilnya juga mewah-mewah. Sepertinya mereka memang dari orang berada.”“Tujuannya apa mereka datang ramai-ramai begitu, Bun?”“Mau melamar Sofia.”Aku shock bukan main. Sampai-sampai aku yang saat itu sedang menyeruput minuman pun terbatuk dibuatnya.“Ya Allah Musa, makanya kalau diajak ngobrol jangan sambil minum.”Saat itu sebenarnya, meski kami berseberangan aku bisa melihat Sofia tengah melirik ke arahku tepat ketika aku tersedak. Aku yakin dia tahu kalau sedang diperhatikan. Kau tahu, saat itu rasanya waktu seperti berhenti sejenak, mana kala pandangan kami saling beradu. Cukup lama sampai kami hanyut dalam perasaan yang entah.Kenapa wanita penuh teka-teki, sungguh membingungkan. Jika masih cinta kenapa tidak berjuang bersama. Bahkan, tanpa peduli apa yang terjadi denganmu malam itu sama
Aku yang semula hanya bisa menundukkan kepala pun seketika menjadi membusungkan dada karenanya. Meski aku tidak ada apa-apanya dibandingkan pria itu, kenyataannya lamarannya juga sudah pasti ditolak.“Loh, Bapak serius mau nikahin anak Bapak sama pria ini? Anak saya jelas lebih bisa membahagiakan Sofia.”“Sofia sepertinya belum mengenal putra Bapak. Saya saja baru mendengar namanya. Mohon maaf sepertinya sudah terjadi kesalahpahaman. Sofia juga tidak pernah cerita kalau hari ini akan ada keluarga Pak Erik yang akan datang melamar.”“Saya enggak terima loh Pak, dipermainkan seperti ini.”“Loh, saya sendiri saja tidak tahu kalau Bapak dan keluarga akan berkunjung kemari. Bagaimana mungkin saya berniat mempermainkan. Seharusnya yang Bapak pertanyakan itu putra Bapak, Salim. Bagaimana bisa datang meminang perempuan yang sudah jelas-jelas memiliki pasangan? Nak Musa, ke sini dulu sebentar!”“Oh, iya
“Oke kalau itu mau kamu. Aku enggak akan pernah mampir ke rumah lagi.”“Bagus, kalau begitu mulai sekarang aku juga enggak akan mengajar mengaji anak-anak lagi.”“Kamu boleh marah sama aku, tetapi seharusnya kamu cukup bijak. Jangan sampai mengorbankan anak-anak yang masih butuh kamu!”“Mereka bukan anakku. Jadi, bukan tanggung jawabku mendidik mereka. Banyak kok sekolah yang jauh lebih bagus dan tentunya punya tenaga pengajar yang lebih kompeten dibandingkan aku.”“Kok kamu mendadak jadi enggak punya empati begini sih, Sofia?""Aku memang begini kok dari dulu. Kamunya aja yang enggak tahu.”“Kamu tuh berubah banget tahu, kamu bukan lagi Sofi yang aku kenal.”“Terserah kamu mau ngomong apa. Keputusan aku sudah bulat.”“Setidaknya kamu pamitan dulu sama mereka. Apa karena ada aku kamu memutuskan untuk berhenti?”“Enggak k
“Nah gitu atuh bro, jangan mikirin cewek mulu! Nanti kalau kita udah punya segalanya mau cari model bagaimana juga dapet. Timbang cewek yang udah nolak mentah-mentah. Ngapain sih, kayak di dunia ini enggak ada cewek lain aja?” tanya Arya.Dia juga temanku di pabrik. Arya sudah menjalani kuliah sambil bekerja 3 tahun, sedangkan Tobi baru semester awal. Arya berencana untuk keluar dari pabrik setelah ia lulus kuliah dan menemukan pekerjaan yang lebih baik. Sejujurnya nasibnya juga tak kalah tragis denganku.Pacarnya dijodohkan dengan anak Tuan Tanah di kampung, padahal ia sudah menjalani hubungan dengan wanita itu bertahun-tahun lalu. Sehingga, lihatlah sekarang! Arya menjadi orang yang ambisius. Tak hanya giat bekerja, ia juga giat menempuh pendidikan yang lebih tinggi.Aku menyukai semangat dan ambisinya.~Kami tinggal di satu kos yang sama. Setelah melakukan pendaftaran, kami menyempatkan diri makan di sekitar kampus. Namun, karena Arya
Aku berlari sekencang yangakubisa. Mencoba membangunkan Sofia, sayangnya gagal. Meski aku sudah memanggilnya berkali-kali, juga sedikit menepuk wajahnya ia masih saja tak sadarkan diri.“Bunda buka gerbangnya!” teriakku.Tak lama Bunda lantas membuka gerbangnya dengan panik, hampir saja ia memarahiku. Namun, ketika melihat Sofia yang tak sadarkan diri di pangkuanku. Wanita itu tak banyak bertanya.“Aku bawa ke dalam dulu, ya! Boleh ‘kan?”“Ya, bolehlah! Ayo bawa!”Syukurlah Bunda tak banyak bertanya, karena sejujurnya aku masih bingung kenapa Sofia bisa tidak sadarkan diri. Aku meletakkan Sofia di kamarku.“Atuh kenapa dibawa ke kamar kamu? Kenapa engga di kamar Bunda aja yang deket?”Sebenarnya kamar Bunda yang paling dekat dengan ruang tamu.“Aku panik Bun, maaf.”“Aku cuma nyenggol Bun, beneran! Enggak bohong.”&ldqu
Bunda yang panik bercampur bingung pun lantas hanya bisa memeluk gadis itu. Sejenak ia biarkan Sofia“Kamu kenapa Sofia, kalau ada apa-apa itu cerita Sayang! Jangan dipendam sendiri terus! Enggak semua masalah akan selesai kalau terus dibiarkan berlalu begitu saja.”“Aku baik-baik aja kok, Bun.”“Maafin aku ya, udah nyakitin anak Bunda. Aku cuma merasa enggak pantas nikah sama Musa. Dia terlalu baik buat aku, hiks. Makasih buat semuanya Bunda, Sofi permisi dulu.”Tanpa basa basi setelah mengucap terima kasih Sofia malah melarikan diri.“Aku susul Sofia dulu!”Bunda hanya sedikitmenggerakkan kepalanya. Lantas, aku buru-buru mengejar gadis itu. Bukan apa-apa hanya saja aku khawatir jika dugaan kami benar, maka seharusnya ia pasti masih sangat kesakitan.“Sofia, tunggu!” pintaku.Benar saja begitu sampai halaman depa rumahku, Sofia sudah berhenti melangk