"Bunda, kenapa nenek ke sini?"
Saat itu aku memilih untuk masuk ke kamar anak-anak diam-diam. Sebenarnya aku juga tidak sengaja untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Niatku sebenarnya hanya untuk meminta bantuan Musa agar mengantarkan Ibu ke kantor polisi. Kedatangannya kali ini bukannya membuat, senang malah membuat sakit kepala. Aku pikir Lara juga begitu.
Namun, satu kemajuan bagiku melihat Lara begitu berani mengungkapkan kekesalannya. Menurut artikel yang aku baca, itu akan lebih baik untuk kestabilan emosinya. Lagi pula ibu memang keras kepala, jika tidak diutarakan dengan baik dan gamblang ia tidak akan pernah mengerti, kalau yang ia lakukannya adalah sebuah kesalahan yang fatal.
"Bunda aja nggak tahu, mungkin Ayah yang undang ke sini."
"Ayah mah ada-ada aja, aku pikir udah berubah."
"Sudahlah jangan terlalu berharap, sama yang enggak pasti! Emang dari dulu ayam begitu 'kan? Makanya, Bunda susah buat percaya lagi."
"Sabar ya Bun, t
"Jadi kamu juga sama? Kekeh, enggak mau nolong ibu buat bujuk Jimmy, supaya bebasin adik-adiknya di polisi?""Sebagai sorang Istri saya hanya bisa menuruti apa yang suami saya katakan."“Tapi, keputusan suami kamu ini salah. Kamu juga sebagai istri harus bisa mengarahkan dong, Lara! Kalay begini malah jadi perpecahan keluarga. Kakak adik sudah pasti akan bermusuhan. Jangan-jangan Jimy kayak begini atas permintaan kamu, ya?”“Kenapa juga saya harus meminta Akang memenjarakan adiknya sendiri? Saya enggak pernah ikut campur masalah keluarga Akang.”“Dulu, Jimy enggak kayak begini. Sekarang-sekarang aja dia jadi berani melawan.”“Kalau aku diam aja dan malah membiarkan ketidakadilan jelas aku yang salah. Sudahlah Bu, masalah ini itu enggak ada kaitannya sama sekali sama Lara. Salah banget kalau ibu melimpahkan kesalahan sama dia. Kalau memang ibu khawatir, ayo diantar Musa. Dia udah siap tuh dari tadi?”
“Segitu enggak percayanya kamu sama Akang?”“Kalau ada niat berubah, kita aja udah hampir 20 tahun menikah, tapi ini apa? Masih begini-begini aja. Sudahlah Kang, aku juga capek debat terus. Mungkin emang sampai kapan pun kita enggak akan pernah sejalan. Biar aku yang ngalah, kalau kita pisah nanti, tenang saja aku enggak akan melarang Akang buat ketemu anak-anak. Kita masih bisa jadi orang tua buat mereka.”“Akang enggak mau cuma jadi orang tua, kalau kamu sekeras ini buat pisah. Jadi ayo bertarung, doa siapa yang lebih didengar Tuhan. Istri yang selalu minta pisah atau suami yang ingin mempertahankan pernikahan. Pernikahan itu ‘kan ibadah terlama, tolong jangan terlalu mengedepankan nafsu Lara. Enggak semua hal yang diputuskan saat emosi itu adalah benar. Bisa jadi saat emosi kita mulai mereda, disanalah kita mulai menyesali keputusan yang terlanjur dibuat.”“Enggak ada orang yang bercerai lantas bahagia, se
“Mau Akang temani ke psikiater? Kayaknya apa yang kamu rasakan udah enggak bisa dianggap sepele, Ra.”“Aku mendapatkan obat-obatan itu juga dari psikiater.”“Kenapa enggak bilang dari awal sih?”“Aku pikir bisa menangani ini sendirian.”“Hal sebesar ini kamu tutupi. Namanya menikah ‘kan harus saling terbuka. Bagaimana Akang bisa mengerti kamu, kalau kamu selalu memendam semuanya sendiri?”“Kenyataannya pernikahan kita enggak sesederhana itu. Dulu Akang juga enggak seperhatian itu, sampai mau bertanya tentang keadaanku.”“Maafin Akang, ya.”“Sayangnya kata maaf juga enggak akan menyelesaikan masalah.”“Akang sudah tawarkan kamu dulu buat pulang, kamunya enggak mau.”“Aku ini seorang ibu, enggak ada jaminan anak-anakku akan baik-baik saja di sini, kalau enggak ada bundanya.”“Kamu engga
Dasar anak manja! Timbang nyamuk saja dipermasalahkan, kalau harimau wajar dia merengek. Bukannya kasihan mendengarnya bicara seperti itu malah membuatku makin naik pitam. Bisa-bisanya anak usia 20 tahun merengek hanya, karena nyamuk yang tak seberapa. Aku yang sudah mengantuk pun sampai mendadak segar kembali karenanya.Saat itu aku memilih keluar demi menghilangkan amarahku. Siang itu aku memilih untuk ke ruangan olahraga, beberapa pukulan pada samsak yang menggantung di sana mungkin bisa meredakan emosiku yang terlanjur memuncak.Setengah jam berlalu aku mulai berkeringat. Ini masih siang, tetapi aku bahkan sangat haus karena nekat berolahraga saat puasa. Ini tidak akan benar jika diteruskan. Saat itu aku memilih menyudahi aktivitas ini. Sedang haus-hausnya, aroma sup ikan yang khas mendadak tercium, sungguh menggoda.Saat itu kebetulan sekali Lara sedang menyantap makan siangnya. Makanan yang aku pesan rupanya sudah datang. Bukannya menyantapnya di ruang mak
“Mau ke mana Yah?”“Ke kantor polisi.”“Nyamperin Om Ari lagi? Berubah pikiran nih mesti.”“Enggak, justru Ayah ke sana mau kasih pelajaran sama anak kurang ajar itu. Kamu diapain tadi sama si Ari?”“Biasa itu mah.”“Biasa bagaimana? Ibu bilang kamu didorong-dorong sampai ditampar.”“Giitu doang mah bukan apa-apa Yah, timbang enggak ada tenaganya.”Anak ini terlalu sombong.“Tetap saja Ayah enggak terima kamu diperlakukan kasar sama dia.”“Enggak apa-apa. Sudahlah enggak perlu ke sana. Lagian jam besuknya juga sudah habis.”“Haduh.”Saat itu aku hanya bisa meremas pergelangan tanganku.“Ayah jangan cari gara-gara itu ‘kan kantor polisi. Salah-salah pakai kekerasan malah jadi boomerang buat kita.”Benar juga aku bahkan tak bisa berpikir jernih.“
“Hm, maaf Bu. Sudah hampir 5 tahun aku enggak pernah nengokin makan Abah sama Umi. Aku takut kalau makamnya mala hilang, karena enggak ada yang rawat. Kalau ibu memang keberatan. Enggak masalah, aku bisa pulang sendiri. Akang biar nemenin ibu di sini. Permisi.”Lara malah pergi begitu saja. Padahal saat itu ibu juga belum menjawab apa-apa. Ibu bahkan sampai dibuat heran dengan tingkah Lara.“Istrimu kenapa, Jim? Ibu salah ngomong ya?“Enggak kok. Jimy sama Lara emang berencana buat mudik 2 hari lagi. Cuma aku sih nganter doang, karena harus jaga Hafsah. Biar kalau kenapa-kenapa ‘kan ada orang di sini yang bisa langsung pergi ke rumah sakit. Kalau mau ibu di sini aja dulu. Paling aku juga cuma sebentar di sana.”“Enggak apa-apa Jim, ibu biar pulang ke Sukabumi aja. Nanti tolong kabari kalau memang mereka sudah bebas.”“Ibu enggak apa-apa lebaran sendirian? Kalau enggak nanti pulang dari Garut bia
Baru saja keluar kamar, pandanganku langsung tertuju pada ibu yang berada persis di samping pintu kamar. Melihatku di sana, seketika ia menunduk.Ah, ia pasti mendengar apa yang baru saja kami bicarakan.“Ibu engga apa-apa?”“Ibu merepotkan kalian ya, di sini.”“Enggak, bukan begitu.”“Enggak apa-apa kok ibu biar pulang sekarang aja. Ibu tahu Lara pasti enggak suka sama keberadaan ibu di sini.”“Lara bukan enggak suka, memang dia itu orangnya enggak enakkan.”“Ibu pulang sekarang aja, Jim. Lagian ibu juga harusnya tahu diri. Udah bawa kabur uang kamu, bikin anak kamu kurang gizi. Sekarang karena mikirin semua itu Lara ada kemungkinan jadi gila.”Aduh, lagi-lagi ibu berbicara tentang gila. Kenapa susah sekali menjelaskan hal seperti ini pada orang yang suda terlanjur lanjut usia. Aku hanya khawatir jika Lara mendengarnya dan malah kembali tersinggung, karena
“Tapi, itu ibu Akang. Emang enggak takut apa dicap anak durhaka?”“Tapi, kamu kamu juga istri Akang. Nanti kamu malah bilang Akang suami zalim lagi.”“Pasti nanti ibu semakin enggak suka sama aku.”“Itu hanya ada di pikiranmu Lara, memangnya tadi kamu lihat ibu marah enggak?”“Ya ‘kan biasanya di depan Akang juga ibu baik sama aku. Enggak ada yang tahu apa sebenarnya yang ada dalam hatinya.”“Insyaallah enggak, Sayang. Akang udah ngobrol sama ibu. Dia juga mengerti keadaan kamu yang baru melahirkan. Pasti butuh istirahat. Apa lagi kamu juga melahirkan secara caesar, jadi pemulihannya akan lebih lama.”“Oh.”Lara masih saja bersikap acuh tak acuh. Padahal, aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk membuatnya bahagia.Hari berlalu, Lara juga semakin menjadi pendiam. Rumah ini bahkan berubah menjadi dingin karenanya. Tidak ada lagi keceriaa