“Ibu, kok ke sini enggak bilang-bilang?”
“Iya, Jim. Ibu dapat informasi katanya Tia dan Ari sudah akan dibawa ke Bogor.”
“Dari siapa?”
“Kepolisian yang kasih kabar ke ibu.”
“Iya, tapi aku akan menemui mereka nanti agak sorean aja.”
“Kenapa, enggak sekarang? Bukannya mereka juga sudah sampai.”
“Duduk aja dulu, Bu! Baru sampai ‘kan?” ucap Lara.
Ah, ternyata dia juga sama gemasnya denganku. Bagaimana tidak ia jauh-jauh datang dari Sukabumi ke Bogor, hanya untuk anak-anak kesayangannya. Ia bahkan datang ke rumahku, tanpa bertanya bagaimana keadaanku. Setidaknya, meski hanya sekedar basa-basi itu sudah cukup membuatku merasa dianggap ada.
Sepertinya, aku memang harus sadar posisi, karena selamanya di mata ibu aku tak ubahnya seperti ATM berjalan. Di mana ia hanya akan menghubungi, jika butuh uang.
“Lara, kamu….”<
"Bunda, kenapa nenek ke sini?"Saat itu aku memilih untuk masuk ke kamar anak-anak diam-diam. Sebenarnya aku juga tidak sengaja untuk mencuri dengar pembicaraan mereka. Niatku sebenarnya hanya untuk meminta bantuan Musa agar mengantarkan Ibu ke kantor polisi. Kedatangannya kali ini bukannya membuat, senang malah membuat sakit kepala. Aku pikir Lara juga begitu.Namun, satu kemajuan bagiku melihat Lara begitu berani mengungkapkan kekesalannya. Menurut artikel yang aku baca, itu akan lebih baik untuk kestabilan emosinya. Lagi pula ibu memang keras kepala, jika tidak diutarakan dengan baik dan gamblang ia tidak akan pernah mengerti, kalau yang ia lakukannya adalah sebuah kesalahan yang fatal."Bunda aja nggak tahu, mungkin Ayah yang undang ke sini.""Ayah mah ada-ada aja, aku pikir udah berubah.""Sudahlah jangan terlalu berharap, sama yang enggak pasti! Emang dari dulu ayam begitu 'kan? Makanya, Bunda susah buat percaya lagi.""Sabar ya Bun, t
"Jadi kamu juga sama? Kekeh, enggak mau nolong ibu buat bujuk Jimmy, supaya bebasin adik-adiknya di polisi?""Sebagai sorang Istri saya hanya bisa menuruti apa yang suami saya katakan."“Tapi, keputusan suami kamu ini salah. Kamu juga sebagai istri harus bisa mengarahkan dong, Lara! Kalay begini malah jadi perpecahan keluarga. Kakak adik sudah pasti akan bermusuhan. Jangan-jangan Jimy kayak begini atas permintaan kamu, ya?”“Kenapa juga saya harus meminta Akang memenjarakan adiknya sendiri? Saya enggak pernah ikut campur masalah keluarga Akang.”“Dulu, Jimy enggak kayak begini. Sekarang-sekarang aja dia jadi berani melawan.”“Kalau aku diam aja dan malah membiarkan ketidakadilan jelas aku yang salah. Sudahlah Bu, masalah ini itu enggak ada kaitannya sama sekali sama Lara. Salah banget kalau ibu melimpahkan kesalahan sama dia. Kalau memang ibu khawatir, ayo diantar Musa. Dia udah siap tuh dari tadi?”
“Segitu enggak percayanya kamu sama Akang?”“Kalau ada niat berubah, kita aja udah hampir 20 tahun menikah, tapi ini apa? Masih begini-begini aja. Sudahlah Kang, aku juga capek debat terus. Mungkin emang sampai kapan pun kita enggak akan pernah sejalan. Biar aku yang ngalah, kalau kita pisah nanti, tenang saja aku enggak akan melarang Akang buat ketemu anak-anak. Kita masih bisa jadi orang tua buat mereka.”“Akang enggak mau cuma jadi orang tua, kalau kamu sekeras ini buat pisah. Jadi ayo bertarung, doa siapa yang lebih didengar Tuhan. Istri yang selalu minta pisah atau suami yang ingin mempertahankan pernikahan. Pernikahan itu ‘kan ibadah terlama, tolong jangan terlalu mengedepankan nafsu Lara. Enggak semua hal yang diputuskan saat emosi itu adalah benar. Bisa jadi saat emosi kita mulai mereda, disanalah kita mulai menyesali keputusan yang terlanjur dibuat.”“Enggak ada orang yang bercerai lantas bahagia, se
“Mau Akang temani ke psikiater? Kayaknya apa yang kamu rasakan udah enggak bisa dianggap sepele, Ra.”“Aku mendapatkan obat-obatan itu juga dari psikiater.”“Kenapa enggak bilang dari awal sih?”“Aku pikir bisa menangani ini sendirian.”“Hal sebesar ini kamu tutupi. Namanya menikah ‘kan harus saling terbuka. Bagaimana Akang bisa mengerti kamu, kalau kamu selalu memendam semuanya sendiri?”“Kenyataannya pernikahan kita enggak sesederhana itu. Dulu Akang juga enggak seperhatian itu, sampai mau bertanya tentang keadaanku.”“Maafin Akang, ya.”“Sayangnya kata maaf juga enggak akan menyelesaikan masalah.”“Akang sudah tawarkan kamu dulu buat pulang, kamunya enggak mau.”“Aku ini seorang ibu, enggak ada jaminan anak-anakku akan baik-baik saja di sini, kalau enggak ada bundanya.”“Kamu engga
Dasar anak manja! Timbang nyamuk saja dipermasalahkan, kalau harimau wajar dia merengek. Bukannya kasihan mendengarnya bicara seperti itu malah membuatku makin naik pitam. Bisa-bisanya anak usia 20 tahun merengek hanya, karena nyamuk yang tak seberapa. Aku yang sudah mengantuk pun sampai mendadak segar kembali karenanya.Saat itu aku memilih keluar demi menghilangkan amarahku. Siang itu aku memilih untuk ke ruangan olahraga, beberapa pukulan pada samsak yang menggantung di sana mungkin bisa meredakan emosiku yang terlanjur memuncak.Setengah jam berlalu aku mulai berkeringat. Ini masih siang, tetapi aku bahkan sangat haus karena nekat berolahraga saat puasa. Ini tidak akan benar jika diteruskan. Saat itu aku memilih menyudahi aktivitas ini. Sedang haus-hausnya, aroma sup ikan yang khas mendadak tercium, sungguh menggoda.Saat itu kebetulan sekali Lara sedang menyantap makan siangnya. Makanan yang aku pesan rupanya sudah datang. Bukannya menyantapnya di ruang mak
“Mau ke mana Yah?”“Ke kantor polisi.”“Nyamperin Om Ari lagi? Berubah pikiran nih mesti.”“Enggak, justru Ayah ke sana mau kasih pelajaran sama anak kurang ajar itu. Kamu diapain tadi sama si Ari?”“Biasa itu mah.”“Biasa bagaimana? Ibu bilang kamu didorong-dorong sampai ditampar.”“Giitu doang mah bukan apa-apa Yah, timbang enggak ada tenaganya.”Anak ini terlalu sombong.“Tetap saja Ayah enggak terima kamu diperlakukan kasar sama dia.”“Enggak apa-apa. Sudahlah enggak perlu ke sana. Lagian jam besuknya juga sudah habis.”“Haduh.”Saat itu aku hanya bisa meremas pergelangan tanganku.“Ayah jangan cari gara-gara itu ‘kan kantor polisi. Salah-salah pakai kekerasan malah jadi boomerang buat kita.”Benar juga aku bahkan tak bisa berpikir jernih.“
“Hm, maaf Bu. Sudah hampir 5 tahun aku enggak pernah nengokin makan Abah sama Umi. Aku takut kalau makamnya mala hilang, karena enggak ada yang rawat. Kalau ibu memang keberatan. Enggak masalah, aku bisa pulang sendiri. Akang biar nemenin ibu di sini. Permisi.”Lara malah pergi begitu saja. Padahal saat itu ibu juga belum menjawab apa-apa. Ibu bahkan sampai dibuat heran dengan tingkah Lara.“Istrimu kenapa, Jim? Ibu salah ngomong ya?“Enggak kok. Jimy sama Lara emang berencana buat mudik 2 hari lagi. Cuma aku sih nganter doang, karena harus jaga Hafsah. Biar kalau kenapa-kenapa ‘kan ada orang di sini yang bisa langsung pergi ke rumah sakit. Kalau mau ibu di sini aja dulu. Paling aku juga cuma sebentar di sana.”“Enggak apa-apa Jim, ibu biar pulang ke Sukabumi aja. Nanti tolong kabari kalau memang mereka sudah bebas.”“Ibu enggak apa-apa lebaran sendirian? Kalau enggak nanti pulang dari Garut bia
Baru saja keluar kamar, pandanganku langsung tertuju pada ibu yang berada persis di samping pintu kamar. Melihatku di sana, seketika ia menunduk.Ah, ia pasti mendengar apa yang baru saja kami bicarakan.“Ibu engga apa-apa?”“Ibu merepotkan kalian ya, di sini.”“Enggak, bukan begitu.”“Enggak apa-apa kok ibu biar pulang sekarang aja. Ibu tahu Lara pasti enggak suka sama keberadaan ibu di sini.”“Lara bukan enggak suka, memang dia itu orangnya enggak enakkan.”“Ibu pulang sekarang aja, Jim. Lagian ibu juga harusnya tahu diri. Udah bawa kabur uang kamu, bikin anak kamu kurang gizi. Sekarang karena mikirin semua itu Lara ada kemungkinan jadi gila.”Aduh, lagi-lagi ibu berbicara tentang gila. Kenapa susah sekali menjelaskan hal seperti ini pada orang yang suda terlanjur lanjut usia. Aku hanya khawatir jika Lara mendengarnya dan malah kembali tersinggung, karena
Setengah jam berlalu, kami masih juga belum mengantuk.“Dek kamu udah tidur?” tanyaku.“Belum, kenapa Kang?” tanya Sofia sambil membalikkan tubuhnya yang semula terlentang jadi menghadap ke arahku.“Sebenarnya Akang ini udah ngajuin resign, Dek,” ucapku.“Loh, kapan?”“Di hari menjelang pernikahan kita, yang jelas sebelum Aa pulang ke Bogor.”“Kenapa Aa melakukan itu?”“Aa pikir enggak ada gunanya juga kita bertahan di sini. Lihat saja Sabrina, dia aja masih nekat datang ke resepsi kita, padahal enggak diundang.”“Alhamdulillahnya masa kerja Akang juga sudah habis, jadi besok kita pulang.”“Jadi hari ini terakhir?”“Iya, Sayang.”“Ya Allah kenapa enggak kasih tahu jauh-jauh hari. Jadi, Adek bisa beres-beres dari jauh-jauh hari.”“Sengaja kok. Akang emang e
“Sofia.”“Hm.”“Makasih ya,” ucapku sembari menikmati betapa indahnya wajah Sofia jika dipandang dalam jarak yang sedekat ini.Sofia tak menjawabnya, selain tersenyum saja, sepertinya dia sudah sangat mengantuk. Mungkin juga lelah. Aku tidak tahu pastinya, tetapi saat itu Sofia langsung menutup matanya. Ia tertidur begitu pulas dan aku masih saja tak puas menatap wajah cantiknya ketika ia tertidur.Pagi hari tiba, saat itu aku terbangun lebih dahulu, karena kumandang azan subuh. Namun, begitu melihat ke samping Sofia masih tertidur di lenganku. Melihatnya tertidur begitu pulas, rasanya menggemaskan sekali.Tanpa sadar aku malah mencium keningnya, apa lagi saat itu jarak kami memang sangat dekat. Sayangnya, saat itu Sofia malah jadi bangun.“Akang….”Sofia memanggilku, tetapi matanya masih tertutup.“Kalau ngantuk tidur lagi enggak apa-apa kok, Sayang.”“Enggak kok, Akang kenapa bangunin aku? Butuh sesuatu?” tanya Sofia.“Enggak butuh apa-apa. Ini sudah masuk waktu subuh.”“Hah, masa?”
“Cie, salting ya!” godaku.“Siapa yang salting biasa aja kok,” elak Sofia sambil berusaha menolehkan wajahnya ke arah lain.Jelas-jelas ia sedang salah tingkah, kenapa juga enggan mengakuinya. Aku yang semula sudah berada di depan, lantas kembali menyusul Sofia yang masih tertinggal di belakang.“Mau apa?” tanya Sofia yang mendadak panik.Kedua bola matanya bahkan mendadak membesar dan itu lucu. Ia tak ubahnya seperti boneka barbie koleksi Hafsah yang bermata besar.“Kepedean, siapa juga yang mau gendong kamu!”Saat itu tanpa menunggu persetujuannya, aku lantas menggandeng lengan Sofia dengan lembut. Sejenak bukannya langsung maju kami malah terpaku di tempat. Sialnya kenapa juga aku harus begitu kaku, padahal baru pegangan tangan.“Ya udah jalan!” ajakku.Sayangnya baru beberapa langkah Sofia malah terkekeh.“Kenapa kamu ketawa?” tanyaku yang kesal.
Sungguh aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Ternyata apa yang selama ini aku harapkan benar-benar terjadi. Pada akhirnya aku bisa menikahi Sofia. Meskipun harus melewati perjuangan yang panjang. Namun rasanya lega sekali bisa memiliki Sofia sebetulnya. Ia tampak sangat menggemaskan ketika malu. Sayangnya, meski ia sudah memohon padaku, pada akhirnya kami harus tetap melakukan sesi foto cium kening. Cukup mendebarkan, karena memang Ini pertama kalinya aku menyentuh perempuan. "Akang juga gugup 'kan?" bisik Sofia pelan, kala bibirku masih menempel di keningnya. "Kata siapa? Biasa aja kok nggak ada gugup sama sekali." "Jangan bohong Kang, bibirmu bergetar." "Memang terasa?” “Iya.” Seketika aku mendecak. “Namanya orang ngomong, ya bergetar kamu suka aneh ah!" Untung saja saat itu fotografer meminta kami untuk melepaskan kecupan di kening. Sungguh, lega sekali akhirnya kami bisa menyelesaikan satu sesi f
[Ya ampun Sof, enggak bisa romantis sedikit apa?][Lagian kamu aneh, tiba-tuba telepon katanya penting tahunya malah sayang-sayangan.][Emang enggak boleh?][Enggak boleh.][Pelit amat.][Sabar! Ya sudah kamu matikan deh, kalau enggak ada yang penting!][Kenapa buru-buru amat sih, kamu yang matikanlah!][Tanganku lagi di henna.][Oh gitu, ya sudah vidio call sebentar! Aku pengen lihat.][Enggak bisa.]Tiba-tiba saja suara tertawa terdengar di saat aku kesal karena Sofia lagi-lagi menolak menunjukkan hennanya.[Kamu ketawa?] tanyaku.[Bukan aku yang ketawa, Musa.][Terus siapa?][Tadi 'kan aku bilang lagi lukis henna.]Ya Tuhan jadi dari tadi percakapan kami didengar oleh orang lain? Sumpah malu sekali. Apalagi orang itu sepertinya masih saja menertawakan kami.Sebelum semua hal menjadi kacau aku segera mematikan panggilan tersebut. Bahkan, aku sampai lupa mengucap sa
“Aku cuma bercanda kok. Hehehe. Memangnya kamu beli di mana, aku jadi penasaran juga!”“Enggak beli, dikasih.”“Dikasih siapa?” “Calon istri.”Uhuk-uhuk!”Seketika itu juga Sabrina malah terbatuk, padahal ia tidak sedang minum atau menelan sesuatu. Saat itu, karena ia cukup lama terbatuk, sontak saja suaranya yang keras mengundang rasa penasaran orang sekitar. Saat itu juga kami menjadi perhatian semua orang.Dari pada memicu kesalahpahaman semua orang, aku memilih menunggalkan air mineral yang kebetulan memang belum aku buka untuknya. “Minum!”Pergi, menurutku adalah pilihan yang terbaik.Lagi pula, di antara kami juga tidak ada hal penting yang perlu dibicarakan.“Musa, makasih!”Sialnya aku sudah melangkah cukup jauh, ternyata gadis itu masih saja mengikuti. Aku sudah malas sekali menjawab pertanyaannya itu.“Kamu akan menikah bukan? Kapan?”“Lusa.”“Kenapa aku enggak diundang?”“Seharusnya kamu tahu ala
[Aku pikir kamu akan setuju, baguslah kalau kamu tidak mengizinkannya.][Aku hanya realistis.][Realistis atau cemburu?][Aku enggak cemburu. Seharusnya kamu tahu langkah apa yang harus kamu ambil. Rasa sayang itu kan bisa tumbuh dari rasa kasihan juga. Aku hanya menghindari hal itu. Aku pikir seharusnya Musa, lebih tahu langkah apa yang harus diambil, jika dihadapkan pada hal seperti itu. Kenapa malah tanya aku?][Kamu tahu kenapa aku bertanya padamu?][Kenapa?][Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga menginginkan pernikahan ini.][Terus sekarang udah dapat jawabannya belum?][Sudah.][Apa?][Aku sikapmu yang tegas.][Aku mah enggak munafik, berpura-pura baik tapi di balik itu aku harus menahan kesal, karena membiarkanmu bertemu dengan wanita yang jelas-jelas menyukaimu.][Hehe.][Jangan ketawa!][Sudah ketawa!][Enggak ada yang lucu.][Ada, kamu lucu sekali Sofia. Aku su
“Jadi, bagaimana Pak Musa?”“Saya tetap mengajukan resign.”“Kalau begitu mungkin tanggalnya bisa diganti untuk 1 bulan ke depan.”“Oke, tapi tolong saya ambil cuti 3 hari untuk tanggal 20, 21 dan 22 Juni.”“Baik Pak.”Saat itu aku keluar ruangan dengan perasaan yang entah. Rasanya kesal sekali, aku seperti sedang dipermainkan. Tadinya niatku ingin langsung berbenah pada akhirnya aku harus kembali kerja. Apa lagi itu sepertinya Pak Hamzah memberikan kasus yang berat.Manusia satu ini rupanya masih saja belum menyerah. Lagi pula untuk apa memperjuangkan hal yang sebenarnya sia-sia. Hanya akan buang-buang waktu.Ada banyak lelaki di dunia ini, kenapa harus memaksaku untuk menyukai keponakannya.~Di jam makan siang aku memutuskan untuk menghubungi orang tuaku, tentang prosedur pengunduran diri yang mendadak berubah.[Ya sudah, itu terserah kamu saja. Bunda sama ayah enggak pernah maksa kamu buat
Bunda malah melarikan diri, menyebalkan sekali. Sayangnya saat itu ia malah dihalangi ayah.“Musa, pasangan yang mau nikah itu biasanya banyak godaan. Kuat-kuatan kitanya aja.”“Iya, Yah.”“Kamu yakin mau ke Bali sendirian?”“Yakin, Yah. Aku juga udah biasa bolak-balik sendiri kok.”“Ayah tahu, tapi kalau memang kamu butuh teman ngobrol selama di perjalanan, ajak aja Sean. Dia juga udah mau lulus sekolah, sekalian refreshing juga ‘kan?”“Tapi, tiket pesawatnya ‘kan cuma untuk satu orang.”“Aku bisa ke sana sendiri kok, nyusul juga enggak apa-apa,” sahut Sean yang saat itu kebetulan memang berada tak jauh dari tempat kami berbincang.Sebelumnya Sean memang sering kuajak ke Surabaya jika liburan tiba. Jadi, sebenarnya aku tidak terlalu khawatir jika ia akan tersesat nanti.“Tuh anaknya aja mau.”“Sekalian nyari kerjaan di sana. Barang kali aja dapat,” ucap Sean.Tahun ini Sean memang bar