Ciuman dan pelukan kuberikan berulang kali hingga mereka geli sendiri. Rinduku sejak kemarin seakan menemukan muaranya.
Rasa sepi yang menyerang diri mulai menguap dengan sendirinya. Aku berharap bisa terus mendampingi mereka tumbuh serta melimpahi dengan kasih sayang."Pak di depan ada toko buah nanti mampir dulu di situ, ya?" pintaku pada sopir yang masih fokus pada ramainya arus lalu lintas pagi ini."Baik, Bu," jawab beliau, lantas memperlambat laju kendaraan.Kedua anakku ikut menghambur ke luar begitu pintu terbuka. Kubebaskan mereka memilih buah yang mereka suka. Sekalian saja kubeli untuk stok di rumah nanti.Mobil kembali melaju ke sekolah anak-anak. Halaman sekolah masih ramai dengan orang tua yang mengantar saat kami sampai."Selamat belajar, Sayang. Ibu pulang dulu, nanti ibu jemput lagi, oke?" ujarku saat mereka selesai bersalaman."Oke, ibu."Keduanya menjawab bersamaan, lantas bergabung dengan t"Tidak mungkin! Ini pasti salah. Ini tidak benar, Pak!"Teriakan Mama bergema di ruang sidang begitu hakim mengetuk palu dan membacakan putusan. Semua pandangan yang hadir tertuju pada mantan Mama mertua. Termasuk aku."Toko itu milik Lisa, bukan ibunya! Data itu pasti salah!""Ma … sudah, Ma. Ayo kita pulang. Jangan begini, malu dilihat orang."Mas Ari berusaha menarik tangan Mama menuju pintu keluar. Citra melihatku dengan mengernyitkan kening seakan penuh tanya. Aku memilih mengayunkan kaki, bersiap meninggalkan ruang sidang. Banyaknya orang yang hadir untuk menunggu sidang berikutnya, ditambah teriakan Mama, membuat ruangan dengan dua buah kipas angin itu terasa panas kurasa.Aku menghembuskan napas lega, karena semua bisa terselesaikan sesuai harapan. Ya, meski ada insiden di akhir putusan."Heh, menantu kurang ajar kamu, ya!"Aku masih berdiri menunggu ojek langganan, saat mendengar suara Mama yang
Melihat sekeliling, dan benar saja, ada beberapa CCTV di luar gedung pengadilan ini. Salah satunya di dekat pintu keluar, dekat dengan lampu jalan. Aku bisa meminta rekamannya nanti, untuk melihat siapa yang telah melayangkan benda tumpul ke kepalaku."Ayo, kita jemput anak-anak sekarang."Ia meraih lenganku. Aku berusaha melepaskan, namun lenganku seperti dicengkeram. Tak urung aku mengikuti langkahnya memasuki mobil SUV warna silver yang terparkir tak jauh dari pintu masuk."Kita pergi dulu dari sini, nanti saya jelaskan."Ia melajukan kendaraan roda empat yang nampak gagah ini. Aku tak bisa berkata-kata karena masih shock dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Aku sempatkan menoleh ke arah Mama dan Mas Ari berada. Mereka masih ternganga di sana.Aku tak tau mobil ini melaju ke arah mana. Di sebuah halaman rumah makan, tak jauh dari pengadilan agama, pria tak dikenal ini memarkirkan mobilnya."Kita bicara sambil menikmati se
Aku hanya bisa tertegun membaca dua pesan itu. Kutepis dentuman yang masih tersisa. Kucoba mengingat isi goodie bag. Ada beberapa dokumen di dalamnya. Dokumen untuk keperluan sidang, serta dokumen untuk keperluan toko yang belum selesai dibangun. Untung saja dompetku tak kumasukkan di sana.Mendengar suara penjual putu bambu, mengembalikan kesadaranku. Gegas aku melangkah ke luar halaman sekolah. Kupesan beberapa porsi, sekalian untuk Bu guru yang sudah berbaik hati mendidik dan menjaga anak-anak selama di sekolah. Perutku sendiri sudah mulai berbunyi."Nanti biar saya ambil saja, Mas. Terima kasih sudah memberi kabar kalau goodie bag saya ketinggalan."Kukirim balasan untuk Mas Mirza, sembari menunggu pesananku matang. Tak enak juga kalau harus merepotkan dengan mengantar barangku yang ketinggalan. Perasaan aneh menerpa begitu saja saat menyebut 'Mas' untuk orang yang baru kutemui beberapa saat lalu. Selama ini hanya orang dekat yang kupanggil M
Hilda menyerahkan kartu itu padaku. Sebuah kartu dari kertas coklat tebal, serta mini buket berisi bunga edelweis dibalut kain goni. Sebuah tali agel kecil sebagai pengikatnya dengan ujung menjuntai, menambah kesan unik kartu ini.Kertas tipis yang membungkus isi kotak ia sibak. Dan ..."Taraaa ... !"Girang sekali Hilda saat melihat isinya. Kedua bola mataku ikut membesar saat melihat isi kotak itu. Maya yang baru selesai menata barang, ikut mendekat."Ya ampun, Mbak Lisa, ini benar-benar kejutan dari pengagum rahasia. Manis banget sih, Mbak."Hilda mengangkat satu persatu isinya, kemudian meletakkan di lantai beralaskan karpet. Sementara aku masih memegang ponsel untuk merekam. Aku kehabisan kata.***Hari telah beranjak malam. Kedua anakku sudah terlelap sejak satu jam yang lalu. Sementara aku masih duduk di kursi dekat jendela, menikmati lalu lintas jalan di depan toko yang masih ramai.Kulihat langit, mala
Tak terasa hari semakin gelap. Para tamu sudah banyak berkurang. Kedua pengantin sudah meninggalkan pelaminan, untuk berganti dengan pakaian biasa."Lisa nanti nginep aja, ya. Besok masih ada pesta di rumah Arlan, kita ke sana bareng," pinta Putri saat aku hendak berpamitan.Bimbang menerpaku kali ini. Ingin menuruti permintaan Putri di hari bahagianya, akan tetapi aku baru saja mendapat kabar bahwa ibuku mengalami kecelakaan, jatuh di kamar mandi. Seorang tetangga memberi kabar sepuluh menit yang lalu."Putri, tolong maafkan aku, aku nggak bisa nginep dan ikut acara kamu besok. Tadi, aku dapat kabar kalau ibuku jatuh di kamar mandi, jadi, aku mau melihat kondisi ibu sekarang. Maafkan aku, ya?" dengan berat hati kusampaikan maafku pada Putri.Sebenarnya berat sekali, karena ini hari bahagianya. Namun, aku juga tak tega jika tak melihat kondisi ibuku."Ya Allah, Sa … aku turut prihatin, semoga ibu nggak apa-apa, ya. Ya sudah, hati-hati. Na
Pikiranku menerawang ke mana-mana. Berharap tak terjadi hal buruk pada Ibu. Hampir satu jam dalam perjalanan, akhirnya aku sampai di halaman rumah ibu. Semoga saja kondisi ibu tak seburuk yang ada dalam bayanganku.Pak sopir membantu menurunkan anakku yang sudah terlelap, juga bingkisan yang tadi diberi oleh Putri."Terima kasih ya, Pak. Ini ongkosnya.""Terima kasih, Mbak. Tapi, ini kebanyakan.""Nggak apa-apa, Pak, ambil aja.""Waduh, jadi nggak enak. Makasih, Mbak. Mari, saya jalan lagi.""Iya, Pak, hati-hati."Taxi berwarna biru telur asin itu segera melaju, meninggalkan halaman rumah ibu. Derunya segera menghilang di kelokan jalan.Aku bergegas masuk saat taxi tak terlihat lagi, tak sabar hendak melihat kondisi ibu. Arsy dan Arkan sudah kubaringkan di kamar. Kamarku sewaktu masih gadis dulu.Terlihat ibu tertidur. Lek Rumi menemani beliau di sana."Gimana kondisi ibu, Lek?"
"Mbak, badan kamu panas!" seru Hilda ketika tangan kanannya bersentuhan dengan kulit tanganku. Ia menarik tangannya, mungkin terkejut mendapati tanganku yang panas. Ia baru akan pulang karena hari sudah mulai gelap.Aku hanya mengangguk. Sudah sejak pagi tadi aku merasa kurang enak badan. Namun pekerjaan yang sangat banyak membuatku memaksa beraktifitas. Mumpung anak-anak ada di tempat neneknya, pikirku tadi. Jadi cepat kuselesaikan semua rekapan yang tertunda sejak pesta pernikahan Putri."Kamu nggak apa-apa, Mbak? Panas banget lho, ini."Kini ia meletakkan punggung tangannya di dahi dan tengkukku. Wajahnya terlihat cemas. Aku tersenyum melihat kepeduliannya pada kesehatanku."Nggak apa-apa, Dek. Kamu kalau mau pulang, pulanglah, nanti orang tua kamu nyariin, lho," ucapku menenangkan."Nggak apa-apa gimana, orang pucat gini, mana panas. Kita periksa, ya?""Nggak perlu, Dek. Mbak cuma kecapekan, istirahat sebentar nanti juga sehat lagi," ujarku
Ada rasa hangat yang menjalar, melihat ia sekhawatir ini pada kondisiku."Maaf ya, Dek, kalau Mbak sudah membuat kamu kuatir. Dan terima kasih sudah peduli sama Mbak," suaraku ikut parau saat berkata. Rasa haru menyerang begitu saja.Dokter Murni mulai memeriksa kondisiku setelah kami berjabat tangan. Kudengar beliau menghembuskan napas panjang."Hm ... ,Mbak Lisa, ini sepertinya lambung Mbak Lisa bermasalah. Tensi Mbak juga rendah, hanya 70/100. Panasnya juga tinggi ini, Mbak. Sepertinya Mbak Lisa kecapekan, ya?""Sepertinya begitu, Bu. Memang belakangan ini saya agak sibuk," jawabku merasa bersalah. "Coba diingat, apa ada yang salah dimasukkan ke perut? Sudah lama, lho, Mbak nggak pernah begini sebelumnya," ujar dokter Murni.Beliau benar. Hampir satu tahun aku di sini, belum sekali pun aku memeriksa kondisiku di ruang prakteknya. Sebelumnya, hampir tiap bulan aku langganan periksa di sana."Mungkinkah bubuk cabe dalam mi instant tadi pagi ya, Bu?
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene