Ponselku berpendar untuk kesekian kalinya. Namun, aku tak berniat menerima panggilan maupun membuka pesan yang masuk ke sana.
Kedua bocah kecilku telah terlelap sejak tadi. Nampaknya mereka kelelahan setelah puas naik turun tangga dan melompat-lompat di kasur menjelang tidur.Malam pertama kami di sini, di ruko ini, kami lalui dengan tawa dan canda meski tanpa kehadiran Mas Ari. Keduanya nampak baik meski beberapa kali bertanya kenapa ayahnya tak ikut di sini.Kualihkan pandang ke luar jendela ruko. Lalu lalang kendaraan masih ramai meski malam telah mulai larut.Bintang gemintang memenuhi langit malam ini, menambah indah cuaca cerah yang dipersembahkan Sang Pencipta. Tanpa sadar lisanku mengucap kalimat tasbih berkali-kali.Hatiku menghangat seiring munculnya bulan separuh yang tadi tertutup awan. Alam seakan mengerti, bahwa hatiku pun kini tinggal separuh, setelah kuputuskan untuk memulangkan suamiku pada Mama mertua.BiarlaGenderang kembali ditabuh di dalam hati begitu aku selesai mendengar pesan ini. Tak pernah menyangka sama sekali dengan semua yang terjadi padaku selama ini.Tanpa terasa butiran-butiran kristal meluncur dari kedua sudut mata tanpa bisa kucegah."Kenapa baru sekarang kamu kirim video ini, Mas?" ujarku seorang diri di sela isakan.***"Jadi begini kelakuan kamu? Pantas saja kau tinggalkan anakku, ternyata demi lelaki ini?"Bibir Mama tersenyum miring saat bertemu mata denganku. Aku tak menyadari kehadirannya, tiba-tiba saja beliau sudah berdiri di depanku.Aku sedang berada di sebuah restoran untuk makan siang yang terlambat bersama Putri dan Arlan. Kenapa terlambat? Karena sekarang jam dua siang, dan kami baru menerima hidangan yang kami pesan. Putri pamit ke toilet sepuluh menit yang lalu saat Mama datang dan berkata tak menyenangkan. Aku merasa tak enak hati dengan Arlan yang melihatku dengan pandangan penuh tanya.
"Aku nggak tau mesti sedih apa senang, yang jelas aku lega, Sa."Putri memelukku erat, seakan menyalurkan kekuatan padaku. "Kamu kuat ya, sama anak-anak. Pokoknya panggil aku jangan sungkan kalau butuh. Kamu nggak sendirian, ingat itu," ujarnya menegaskan."Iya, makasih ya, tuan Putri."Kami menangis haru bersama. Hampir tiga bulan menjalani proses sidang yang alot karena Mas Ari menolak. Namun begitu rekaman perbincangan mereka kujadikan bukti dan sebab pengajuan cerai, akhirnya hakim memutuskan menyetujui gugatanku. Ditambah lagi dengan video kiriman Mas Imam, semakin memuluskan permohonanku.Hak asuh anak jatuh ke tanganku. Mas Ari meradang, begitu juga dengan Mama.Selama tiga bulan pula Mas Ari tak henti memohon supaya aku berubah pikiran."Pikirkan anak-anak yang akan tumbuh tanpa orang tua yang lengkap, Dek," ujarnya memohon.Bukan aku tak memikirkan hal itu. Namun anak-anak butu
"Apa rencanamu setelah ini, Sa?" Pertanyaan Putri, kembali menyadarkan aku, bahwa kini ada hal yang lebih penting untuk kupikirkan, yakni masa depan.Masa depan yang lebih panjang yang akan kujalani bersama kedua anakku. Tak mau lagi terpuruk oleh perpisahan ini, anak-anak membutuhkan aku."Aku sedang mencari tempat tinggal, kalau ada info tolong kabari ya. Kan nggak mungkin anak-anak tinggal di sini terus-menerus. Di sini terlalu ramai, kadang mereka tidur terlalu malam karena asyik melihat lalu-lalang kendaraan yang melintas di sana."Aku menunjuk jalanan yang masih ramai, sedangkan waktu sudah pukul sepuluh malam. Putri mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, aku mengerti. Nanti kukabari secepatnya."Ia genggam tanganku, menguatkan sekali lagi. Lalu kami saling melempar senyum dan mengangguk bersamaan.Hari baru telah menyambutku dengan status baru. Janda. Status yang menjadi momok bagi sebagian wanita. Stat
Matahari belumlah tinggi. Aku baru saja selesai membantu kedua anakku berganti baju sepulang sekolah. Pintu kamar terdengar diketuk dari luar. Wajah panik Hilda menyembul begitu kubuka lebar daun pintu."Mbak Lisa, ada yang nyari di bawah," ucap Hilda begitu tatapan mata kami beradu.Aku mengernyitkan dahi, mencoba mengingat apa ada janji dengan seseorang hari ini. Hilda nampak gelisah."Sebaiknya Mbak Lisa temui sekarang, ya, soalnya kemarin juga ke sini ngamuk-ngamuk, saya takut, Mbak."Hatiku bertanya, siapa yang mencariku hingga mengamuk di tokoku. Tak banyak kerabat yang mengetahui kalau aku pemilik toko ini. Selain Putri dan ibu serta adikku, tentunya. Pesaing bisnis juga kurasa tak akan melakukan hal sebo doh itu. Hanya membuang energi saja mengamuk di tempat orang lain mencari nafkah. Masih banyak hal yang bisa dikerjakan yang lebih bermanfaat dari sekedar meluapkan emosi di tempat umum."Baiklah, say
"Apa katamu? Mengembalikan anakku?"Mama melebarkan mata. Oh Tuhan, apa beliau lupa kalau aku dan Mas Ari kini sudah mantan?"Iya, Ma. Mama masih ingat bukan, kalau palu hakim sudah diketuk. Lisa dan Mas Ari sudah resmi bercerai, Ma," ujarku menegaskan."Itu benar, Mama tentu masih ingat, dan tak akan lupa dengan perempuan di depan Mama yang sudah menginjak harga diri anak Mama."Mama berhenti sejenak, menjeda kalimat sambil mengatur napas."Yang mau Mama tanyakan, bagaimana kamu bisa tinggal di ruko itu? Ada hubungan apa kamu dengan pemiliknya?" tanya Mama penuh penekanan di setiap kata yang beliau ucapkan.Aku sendiri terkesiap dengan pertanyaan Mama. Untuk apa beliau mencari tahu hubunganku dengan pemilik ruko?"Mama sayang … mungkin ini saat yang tepat untuk Lisa memberi tahu Mama, bahwa Lisa pemilik ruko itu."Aku berusaha menjawab dengan tenang, meski dadaku bergemuruh karena terusik dengan kehadiran manta
Lalu lintas di jalan raya semakin ramai, seiring beranjak naiknya matahari jelang siang ini.Langkah panjangku bergerak meninggalkan kafe. Ingin segera kembali ke kamar, lalu menghabiskan hari bersama kedua anakku. Tak kuhiraukan Mama yang masih duduk di tempat dengan sorot mata yang sulit diartikan.Aku lelah, ya Rabb … ."Lisa!"Aku yang baru akan masuk ke toko, menghentikan langkah seketika. Terlihat Mama tergopoh-gopoh mengejar langkah kakiku."Lisa, tunggu!"Aku berdiri mematung di depan toko, menunggu Mama yang tinggal beberapa langkah lagi sampai. "Ya, Ma? Ada yang bisa Lisa bantu?" tanyaku begitu Mama sampai dengan napas terengah. Keningku mengernyit melihat kehadiran wanita yang telah melahirkan suamiku. Mama memaksakan senyum, terlihat sekali dari gerak bibirnya."Ini … benar toko kamu, kan?"Agak ragu Mama bertanya, yang membuat aku mengernyitkan kening."Benar,
Aku berharap kami akan menjadi mitra bisnis yang bisa bekerja sama untuk ke depannya.***Di sinilah sekarang, sebuah kafe dekat toko pakaian milikku, bersama kedua anakku. Tempat yang sama yang kudatangi sebelumnya bersama ibu mertua. Kedua anakku asyik menyesap jus buah naga kesukaan mereka.Menunggu sepuluh menit, seseorang dengan kemeja batik mendekat ke arah kami. Ya, aku telah memberikan nomer meja tempatku duduk sebelum ia datang. "Selamat siang ibu Lisa. Hai anak-anak yang manis," ucapnya menyapa kami.Pak Ilham nampak mengernyitkan saat melihat dua anak yang duduk bersamaku."Mereka anak-anak saya, Pak. Maaf ya, saya harus membawa mereka serta," jelasku sebelum beliau bertanya. Tak lupa aku menangkupkan kedua tengan sebagai permintaan maaf."Oh, tidak apa-apa Bu Lisa. Jadi begini, maaf langsung saja ya. Jadi saya sedang membuat sebuah toko kue. Nah, saya mencari pemasok yang bisa mengisi toko saya. T
Sore menjelang, ponselku berbunyi saat kedua anakku menonton kartun kesayangan sambil menikmati cemilan.Putri memanggil. Aku bergegas menerima panggilannya."Sa, aku otw, kamu siap-siap ya, nanti kujemput. Masih di toko, kan?"Celoteh Putri memberondong indera pendengaran begitu tombol hijau kuklik."Masih Put, ya udah hati-hati.""Bye Sa, salam buat anak-anak, ya.""Oke Putri."Klik. Panggilan terputus. Aku berusaha memaklumi, mungkin Putri sedang terburu-buru, hingga tak mengucap salam."Siapa, Bu? Tante Putri?" tanya anak sulungku begitu aku meletakkan ponsel di atas nakas."Iya sayang. Kita siap-siap yuk, habis ini kita jalan sama Tante Putri," ajakku kemudian. Keduanya mengangguk, kemudian memilih pakaian yang mereka suka dari dalam lemari. Kebetulan mereka berdua sudah selesai mandi."Kita mau ke mana, Bu?""Mau jalan-jalan. Kakak sama adik, mau lihat rusa, nggak?"
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene