Aku berharap kami akan menjadi mitra bisnis yang bisa bekerja sama untuk ke depannya.
***Di sinilah sekarang, sebuah kafe dekat toko pakaian milikku, bersama kedua anakku. Tempat yang sama yang kudatangi sebelumnya bersama ibu mertua. Kedua anakku asyik menyesap jus buah naga kesukaan mereka.Menunggu sepuluh menit, seseorang dengan kemeja batik mendekat ke arah kami. Ya, aku telah memberikan nomer meja tempatku duduk sebelum ia datang."Selamat siang ibu Lisa. Hai anak-anak yang manis," ucapnya menyapa kami.Pak Ilham nampak mengernyitkan saat melihat dua anak yang duduk bersamaku."Mereka anak-anak saya, Pak. Maaf ya, saya harus membawa mereka serta," jelasku sebelum beliau bertanya. Tak lupa aku menangkupkan kedua tengan sebagai permintaan maaf."Oh, tidak apa-apa Bu Lisa. Jadi begini, maaf langsung saja ya. Jadi saya sedang membuat sebuah toko kue.Nah, saya mencari pemasok yang bisa mengisi toko saya. TSore menjelang, ponselku berbunyi saat kedua anakku menonton kartun kesayangan sambil menikmati cemilan.Putri memanggil. Aku bergegas menerima panggilannya."Sa, aku otw, kamu siap-siap ya, nanti kujemput. Masih di toko, kan?"Celoteh Putri memberondong indera pendengaran begitu tombol hijau kuklik."Masih Put, ya udah hati-hati.""Bye Sa, salam buat anak-anak, ya.""Oke Putri."Klik. Panggilan terputus. Aku berusaha memaklumi, mungkin Putri sedang terburu-buru, hingga tak mengucap salam."Siapa, Bu? Tante Putri?" tanya anak sulungku begitu aku meletakkan ponsel di atas nakas."Iya sayang. Kita siap-siap yuk, habis ini kita jalan sama Tante Putri," ajakku kemudian. Keduanya mengangguk, kemudian memilih pakaian yang mereka suka dari dalam lemari. Kebetulan mereka berdua sudah selesai mandi."Kita mau ke mana, Bu?""Mau jalan-jalan. Kakak sama adik, mau lihat rusa, nggak?"
"Hem ... Sepertinya kamu salah orang kalau mau minta nasehat, bukankah kamu sendiri tahu kalau aku sudah gagal, Put.""Enggak Sa, buat aku kamu tuh enggak gagal, justru kamu hebat bisa bertahan sampai sejauh ini. Mungkin jodoh kamu bukan dia, iya kan? Kamu jangan sedih ya?"Digenggamnya lenganku. Wajahnya mulai terlihat khawatir. Kugelengkan kepala, menyangkal ucapannya. Aku memang tak lagi bersedih atas perpisahan yang terjadi."Enggaklah, sudah biasa aku Put. Aku kuat begini ya karena anak-anak. Aku harap, pernikahan kamu nanti langgeng sampai maut memisahkan.""Aamiin ... .""Udah sore nih, kita cari makanan yuk, laper nih."Kebetulan juga kangkung yang dipegang kedua anakku sudah habis, kini mereka bergerak mendekati aku dan Putri yang duduk manis di pinggir kandang besar berisi puluhan rusa."Ibu, haus Bu, beli itu boleh, nggak?"ucap anak bungsuku sambil menunjuk penjual es krim putar yang sedang melayani pembe
Aku baru turun dari taxi saat mendengar namaku dipanggil. Sontak aku menoleh dan mencari sumber suara. Ada Mas Ari serta Mama di sana, di depan toko. Mau apa lagi mereka?"Ayah … !" seru kedua anakku, kemudian menghambur ke pelukan ayahnya.Mama bergerak mendekati aku, kemudian membisikkan sesuatu.Aku tak peduli dengan apa yang beliau ucapkan, karena hanya memicu gemuruh di dada ini."Anak-anak, kita masuk dulu, yuk," ajakku pada keduanya.Bukan aku tak menghargai kedatangan Mama serta Mas Ari. Namun aku tak mau anak-anak melihat keributan antara dua orang tuanya. Mereka juga terlihat lelah sejak dalam perjalanan tadi."Biarkan kami melepas kangen dulu, Dek, kan sudah lama kami nggak ketemu.""Ayah, kami capek, adik sudah ngantuk, lihat," si Kakak menunjuk adiknya yang sedang menguap.Mas Ari nampak kecewa. Tanpa aku berkata, ia telah mendengar sendiri dari lisan Arsy."Hem … padahal ayah kangen, lho sama k
Hari masih gelap saat ponselku bergetar. Kedua anakku masih anteng di kasur. Aku sendiri baru selesai merapikan mukena setelah menjalankan sholat Subuh.Memeriksa ponsel, ada puluhan pesan dari Mas Ari. Entah mengapa ia mengirim pesan sebanyak ini. Baru teringat kalau sejak semalam aku belum memeriksa ponsel. Setelah makan bersama anak-anak serta dua orang karyawan, aku langsung naik ke tempat tidur mengelus kepala buah hatiku. Tanpa disadari aku ikut terlelap. Sedangkan pekerjaan masih ada, yaitu mengurus toko online.Di antara puluhan pesan dari Mas Ari, ada satu pesan yang terselip di sana. Justru pesan itu menuntun jemariku untuk memeriksa lebih dulu. Dari Pak Ilham."Selamat malam, Bu Lisa. Mohon maaf, sekedar mengingatkan, kalau pembukaan toko saya, dilakukan lima hari lagi. Untuk pesanan, saya mau nambah ya, Bu. Pizza boks besar, Pizza mini lima ribuan, pizza mini. Kesemuanya masing-masing dua ratus piece."Pesan itu ku
"Sepi ya, Mbak, nggak ada anak-anak."Ucapan Karin menghentikan gerakanku yang sedang menyuapkan potongan buah naga ke mulut. Sudah jam sembilan pagi, dan perutku baru terisi sedikit makanan. Nasi bungkus pemberian Mas Ari kuberikan pada pengemis yang datang saat aku masih menunggu ojek yang kupesan.Bukan tak menghargai pemberian mantan suamiku. Namun, rasa iba melihat bibir pucat serta badan renta yang lemah, membuat aku tergerak mengulurkan sebungkus makanan yang berada di tanganku, selain selembar uang yang kuselipkan di sana.Aku juga sudah lama mengubah pola makan. Setiap pagi aku hanya makan buah, baru makan besar saat jam dua belas siang. Aku bersyukur asam lambungku membaik setelah mengubah pola makan ini.Kuterapkan ini juga pada kedua anakku. Mereka mulai bersedia mengganti sarapan biskuit maupun roti dengan potongan buah serta jus buah. Dulu, hampir setiap hari ada biskuit untuk mereka sarapan."Ini nanti kenyangnya awet."Selalu seperti
"Alhamdulillah ibu sehat. Ada yang mau bicara nih, sama kamu.""Siapa, Bu?" tanyaku ingin tahu.Terdengar suara kresek-kresek dari seberang telepon."Aku Mbak, adikmu yang cantik tiada duanya. Mau ngucapin makasih sama Mbak Lisa yang makin tua makin cantik."Suara tertawa pelan terdengar dari sana. Memanglah adikku ini, suka sekali menggoda kakaknya."Astaghfirullah, orang kalau muji itu yang ikhlas kenapa, pakai embel-embel tua segala," ucapku, lalu tertawa kecil."Eh, tapi makasih ya, udah bilang Mbak cantik, Dek," tambahku lagi."Iya, sama-sama. Bajunya bagus banget lho, Mbak. Modelnya kekinian, bahannya juga adem, terus nggak nerawang kalau dipakai. Pasti mahal, ya?"Terbayang wajah adikku jika sedang antusias seperti sekarang. Bola mata itu pasti sedang membesar sebab merasa kagum sekaligus penasaran."Ya, sesuai kualitas, Dek. Mahal murah itu kan relatif."Kujawab apa adanya, sebab mengal
POV AriHari sudah sore saat Lisa menghubungi aku. Akhirnya, yang kutunggu sejak pagi tadi terwujud juga. Pasti nasi krawu itu meluluhkan hati mantan istriku. Mana mungkin ia menolak, secara itu makanan favorit dia. "Mas, aku kangen sama ... .""Tentu Dek, Mas juga kangen sama kamu," potongku sebelum ia menyelesaikan kalimatnya. Nggak nyangka ia masih menyimpan rindu, pasti dia nyesel sudah menceraikan aku, meski aku belum rela pisah sama dia. Coba kalau masih hidup bersama, pasti bisa puas kangen-kangenannya."Yey, ge er. Aku kangen sama anak-anak, bukan sama kamu. Tolong ya, Mas, aku mau vicall sama mereka, sebentar saja."Dia pasti gengsi mengakui kalau kangen sama aku. Anak-anak cuma dijadikan alasan untuk menutupi gengsinya. Dasar, orang kok gengsian. Nggak capek apa, pura-pura bilang enggak kayak gitu?Hampir saja kujawab kasar karena ia meledekku, untung saja dia cantik. Ya, aku tak bisa tidur semalama
"Bunda?"Terlihat Lisa mengernyitkan kening. Aduh, jangan sampai Lisa tau kalau ada Citra di sini. Aku kan lagi pedekate, biar dapat hatinya, lalu ambil hartanya."Iya Bu, kata Nenek, adek sama kakak punya Bunda di sini."Arsy tak mengerti meski sudah kukasih kode supaya diam. Tapi biarlah, nanti aku cari alasan kalau Lisa mencari tahu tentang Bunda yang disebutkan oleh Arsy. Asyik juga kan, kalau punya dua istri yang banyak uang?"Oh, begitu. Baiklah sayang, nanti pulangnya jangan malam ya, kan besok pagi harus sekolah, oke?""Oke Bu, tenang saja."Tiba-tiba saja Mama mengambil ponsel yang sedang dipakai video call. Mama bergerak menjauhi kami bertiga. Aku tak bisa mendengar apa yang dibicarakan oleh Mama, tapi aku melihat ekspresi Mama yang tak enak dilihat.***Mobil Mama melaju di tengah keramaian jalan raya. Akhir pekan kali ini jalanan ramai sekali. Kami bersiap menuju rumah Mama. Di sanalah aku
Ekstra partUsia Arsy kini sudah menginjak angka lima belas tahun. Ia menempuh pendidikan di pesantren yang sama dengan adiknya, Arkan.Akhir pekan ini, mereka libur selama tiga hari. Lisa dan Mirza menjemput mereka, karena tak sanggup lagi menahan rindu yang terus bertumpuk.Rasa rindu yang besar pula, membawa keluarga kecilnya menuju kediaman Dirga, ingin bertemu dan melepas rindu pada si kecil Wahyu. Awal perginya Rahmi, Lisa ingin membawa keponakannya supaya tinggal bersamanya, lalu tumbuh besar bersama Najwa dan Alif. Namun, melihat rasa kehilangan dan kasih sayang yang besar dari Dirga serta keluarga besarnya, membuat Lisa mengurungkan niat. Ia lebih memilih sering menjenguk keponakannya yang menjadi piatu di usia yang sangat muda.Kedatangan mereka disambut antusias oleh Wahyu, yang segera bermain dengan keempat sepupunya. Terlebih dengan si kecil Alif yang berusia dua tahun di bawahnya. Sekitar satu jam kemudian, sebuah mobil berhenti di h
Tiga hari di rumah sakit, Citra diijinkan pulang. Tetangga dan kerabat dekat mulai berdatangan untuk menjenguk, demikian pula dengan Lisa. Bersama ketiga anaknya serta suami tercinta, mereka menjenguk dan berdoa untuk kesembuhan Citra.Melihat keluarga mantan istrinya, Ari diserang rasa iri yang besar. Iri sebab Lisa dikelilingi oleh anak-anak yang manis dan penurut. Ia menganggap Lisa dan Mirza berhasil sebagai orang tua, sebab kedua anaknya tumbuh sebagai anak yang santun, selain itu juga hafalan Alquran kian bertambah.Arsy bercerita tentang rencana masuk ke pesantren setelah lulus SD nanti, begitu pula dengan Arkan. Hal ini membuat hati Ari sedikit tenang, karena kebersamaan anaknya yang beranjak remaja dengan ayah sambungnya tentu berkurang banyak.Ari mendukung penuh rencana anaknya. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih karena Mirza telah menjalankan peran sebagai ayah dengan baik. "Ayah, nanti libur sekolah aku mau dikhitan," lapor Arkan pada ayahnya."Wah, hebat, anak ayah sud
Keesokan harinya, teman-teman Citra mulai berdatangan menjenguk ke rumah sakit. Sebuah foto selang infus yang dipajang di story WhatsApp lah, yang membuat Ratna mencari tahu, lantas memberi kabar pada teman yang lain.Wajah cantik Citra yang semalam suram karena bertemu dengan Papanya, kini terlihat semringah. Kehadiran teman-teman nongkrongnya telah memberikan suntikan semangat tersendiri bagi proses kesembuhannya."Aku harap ini bukan awal dari karma karena kamu sengaja pakai IUD secara sembunyi-sembunyi," bisik salah salah satu temannya saat berpamitan.Citra mendelik tajam, sementara Dita justru melengkungkan senyum. Wanita yang berbaring di ranjang pasien itu tak menyangka kalau di antara sepuluh orang yang datang, ada satu yang berprasangka dan membisikkan kalimat mematikan. "Jaga bicaramu. Semua orang punya potensi disambangi penyakit ini. Aku salah satunya. Jangan sampai kamu juga mengalami kesakitan yang sama," desis Citra, menatap wajah
"Lisa, sebenarnya aku penasaran, kenapa kamu pergi berempat, kemana suami kamu?"Putri bertanya dengan menatap intens sahabatnya itu. Pemilik tahi lalat di sudut dagu itu beberapa kali melihat Lisa menatap kosong ke arah anak-anaknya yang sedang bermain. Tak dipungkiri kalau hatinya cemas, sebab tak biasanya Lisa seperti ini. Bahkan ketika ia menemukan Mawar di rumahnya, Lisa terlihat baik-baik saja. Tapi sekarang … .Pada saat itu pula ponsel Lisa berbunyi. Seketika ia membulatkan bola mata saat membaca pesan dari sang suami. Ekspresinya tentu saja terbaca oleh sosok yang duduk di depannya.Merasa sedang diperhatikan, Lisa melukis senyuman, "Sebentar lagi Mas Mirza ke sini. Nggak usah kuatir, Putri.""Bener, ya, kalian nggak apa-apa?" curiga Putri. Ia mengenal sahabatnya dengan baik. Istri dari Arlan itu meyakini telah terjadi sesuatu hingga membuat Lisa tertegun beberapa kali, meski memasang wajah terbaik sejak mereka bertemu. Terlebih saat mendengar kabar kehamilan yang dia sampaika
Kini Lisa telah tiba di rumah adiknya. Rumah besar itu langsung ramai dengan celotehan para bocil. Dirga langsung mengambil alih anak-anak saat melihat mereka mulai jenuh, sekaligus membiarkan sang istri bebas mengobrol dengan kakaknya.Rahmi bercerita banyak hal tentang bayinya, juga suka duka sebab tak bisa memberi ASI secara langsung, serta harus bangun tengah malam dan menyiapkan ASIP ke dalam botol. Tentang ibu mertua serta suami yang sering mengambil alih tugasnya sebagai ibu, memberikan waktu istirahat yang cukup untuknya, tak luput dari hal yang ia ceritakan.Sang kakak mendengarkan dengan sabar. Sesekali menimpali curahan hati adik bungsunya."O iya, Mas Mirza kok, nggak ikut, Mbak?" celetuk Rahmi tiba-tiba."Eh, lagi ada perlu, Dek," jawab Lisa apa adanya.Ibu tiga anak itu pun membiarkan adiknya istirahat saat Rahmi mulai menguap.Kini Lisa duduk di hadapan sang ibu, sementara ketiga anaknya diajak bermain oleh Dirga. Meski wajahnya tersenyum, tapi, kegelisahan hati sang ana
Beberapa hari lagi pesta pernikahan Mawar akan digelar. Akan tetapi, agenda itu terlupakan oleh Lisa, karena sibuk dengan adiknya yang baru bersalin dan butuh donor ASI.Istri dari Mirza itu justru harus merelakan kepergian sang suami ke luar kota selama dua hari di akhir pekan ini."Hanya sebentar. Nanti kalau sudah selesai, secepatnya bakalan pulang, kok," pamit Mirza, menyisakan cemas di hati sang istri.Pasalnya, lelaki bermata elang itu terlihat kurang sehat saat berangkat. Dan lagi, kenapa akhir pekan yang dipilih untuk pergi?Namun, setelah diyakinkan berulang kali kalau semua akan baik-baik saja, akhirnya Lisa merelakan juga kepergian ayah dari anak-anaknya. Ia hanya berharap kalau semua akan baik-baik saja..Sebuah alarm di ponselnya lah yang kemudian menjadikan pengingat hari istimewa Mawar keesokan harinya."Bagaimana ini, datang apa enggak, ya? Mas Mirza belum pulang lagi," gumam Lisa gelisah.Ibu tiga anak itu kemudian menghubungi ponsel sang suami, hendak meminta pendapa
Waktu sudah mulai malam. Kediaman Lisa mulai senyap setelah semua penghuni berada di kamar masing-masing.Istri dari Mirza itu sudah mencoba memejamkan mata, tapi belum berhasil juga. Ada banyak hal yang memenuhi pikirannya. Wajah keponakan barunya mendominasi ingatannya kali ini.Sebuah tangan melingkar di pinggangnya, membuat ia menoleh pada pemiliknya. Lalu wajah tampan suaminya, segera memenuhi ruang pandangnya."Sudah malam, masih terjaga aja kamu, Sayang," ucap Mirza masih dengan mata terpejam.Lisa sedikit terkejut saat mendapati sang suami masih terjaga. Ia pun menghela napas, lalu berkata, "Aku kepikiran Wahyu, Mas. Kasihan dia. Sudah dapat donor ASI apa belum, ya?" Lisa berucap pelan."Coba aku masih mengASIhi Najwa, ya, kurasa mereka tak akan sibuk mencari donor ASI. Aku dengan senang hati membagi ASI untuk keponakanku," ucap Lisa dengan menatap tirai jendela yang bergerak-gerak. Rupanya angin malam menyelusup masuk, hingga membuat tirai putih itu meliuk perlahan. Ada sesal
Lisa bergegas kembali ke butik. Masih banyak pekerjaan yang perlu ia selesaikan. Meski dengan rindu pada anak-anak yang terus menumpuk jika ia bepergian seorang diri seperti sekarang, tapi, ia merasa tenang sebab memiliki asisten yang bisa dipercaya.Mbak Asih meski masih muda, tapi sangat telaten menghadapi anak-anak. Pun Bu Marni, ikut andil juga dalam tumbuh kembang ketiga anaknya.Memasuki ruangan untuk beristirahat sejenak, Lisa pun membaur ke depan bersama karyawannya. Saat meneliti sebuah gaun berwarna merah marun, tiba-tiba saja Maya memberikan kode, kalau ia harus melihat ke suatu tempat.Kepala itu pun menoleh, lantas melebarkan mata sejenak, saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berada di balik pintu kaca. Tepatnya di seberang tokonya."Itu adik Mbak Lisa, bukan?" tanya Maya dengan berbisik. Lisa mengangguk, tapi ada sedikit keraguan. Alih-alih menjawab, sosok dengan tinggi seratus enam puluh centimeter itu justru mengajukan tanya."Boleh Mbak minta tolong?" pinta Lisa
Lisa sedang memeriksa stok pakaian serta beberapa desain yang baru masuk di butiknya, saat ponselnya berdering."Mbak Lisa, keponakan kamu sudah lahir."Itulah kalimat yang pertama menyapa saat sambungan telepon tersambung. Suara yang dikenali sebagai suara Rahmi."Cowok, Mbak. Lahir normal dua jam lalu. Maaf, baru kasih kabar," sambung Rahmi lagi sebelum Lisa sempat berucap sepatah kata. Kedua sudut bibir Lisa langsung membentuk lengkungan senyum menerima kabar itu."Alhamdulillah, selamat ya, Dek. Selamat menjadi ibu," ucap Lisa dengan suara tercekat. Ia teringat perjuangan adiknya selama menjalani kehamilan. Beberapa kali harus dirawat di rumah sakit sebab lemahnya kondisi.Usai mengucapkan selamat, ia pun berjanji akan segera berkunjung setelah pekerjaannya selesai.Dan rasa bahagia sebab bertambahnya anggota keluarga baru, membuat Lisa menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Pucuk pimpinan Lisa Boutique itu pun segera mene