"Silvi ..., kunci mobilnya ada gak?"
Suara panggilan dari Mas Dio di luar membuatku tersadar bahwa mereka sedang menungguku di luar sana. Gegas saja aku menutup kembali dompet kunci itu, tak ingin sampai ketahuan jika aku telah mengetahui bahwa Mas Dio-lah pemilik mobil itu.
Sebenarnya ingin sekali aku langsung menanyakan padanya soal semua ini, tapi pasti ia akan mengelak dan mencari alasan untuk menutupinya. Memang seperti itu kan cara kerja seorang pembohong, mereka akan terus melakukan kebohongan untuk menutupi kebohongan lainnya yang sudah mereka buat
Jika memang Mas Dio tak berniat menyembunyikan apa pun, seharusnya dia jujur sejak awal, bukan malah berbohong seperti ini. Sepertinya untuk saat ini aku harus mencoba mengikuti permainan mereka dan berusaha mencari tahu sendiri tentang apa yang mereka sembunyikan dariku.
"Ini Mas, kunci mobilmu!" Sengaja aku memberikan kunci itu pada Mas Dio, ingin tahu apa reaksinya ketika aku mengatakan bahwa itu mobilnya. Tapi sepertinya Mas Dio sedang tidak fokus, buktinya ia bersikap biasa saja seperti tak mendengar apa pun.
Sementara itu kulihat malah Dewa yang menjadi salah tingkah. Sekilas ada raut ketakutan di wajahnya. Ia pun menggaruk tengkuknya lalu dengan cepat mengambil kunci mobil dari tangan Mas Dio.
"Ayo, Kak, cepat kita pergi, nanti takut kemalaman sampai rumah."
Dewa seketika menarik tangan kakaknya keras. Tak menghiraukan ucapan Mas Dio yang katanya ingin sekali lagi berpamitan dan memeluk Dita.
Sikap Dewa barusan kentara sekali menunjukan jika memang ada yang mereka sembunyikan dariku.
Dengan tetap mencoba tenang, aku mengikuti langkah kakak beradik itu yang berjalan tergesa menaiki mobil h*nda j*azz yang tampak mentereng di depan sana.
Melihat mobil itu lagi, beribu pertanyaan kembali mencuat di pikiran. Apa sebenarnya yang dilakukan Mas Dio sampai bisa mendapatkannya?
Aku sungguh takut di luar sana dia melakukan hal yang dilarang oleh agama. Menjadi pencuri, penadah barang gelap, berjudi, atau jangan-jangan ia sudah melakukan hal musyrik untuk mendapatkan kekayaan instan?
Naudzubillah, sepertinya aku harus bergerak cepat untuk mencari tahu apa yang ia dan Dewa lakukan sehingga bisa menghasilkan banyak uang dalam waktu singkat.
"Silvi, aku pergi dulu, ya! Ingat jangan terlalu kecapekan, jika uang yang kuberi kurang bilang saja, biar nanti aku tambah," ucap Mas Dio saat telah duduk di mobil.
Aku hanya mengangguk mengiyakan, rasanya tak bisa berkata-kata apa pun kini karena menahan sesak di dada saking banyaknya pikiran jelek tentang lelaki yang kupanggil suami itu.
Lalu tiba-tiba saja mobil pun segera melaju kencang begitu saja tanpa aba-aba. Meninggalkan aku dan Dita yang bahkan belum melambaikan tangan pada Mas Dio.
****
Selepas kepergian Mas Dio aku memutar otak mencari cara bagaimana untuk membongkar semuanya. Namun, rasanya semua buntu, bahkan aku tak tahu di mana suamiku tinggal kini.
Jalan satu-satunya yang dapat kulakukan mungkin hanya mencari info dari mertuaku, ibunya Mas Dio. Ia selalu bercerita apa pun pada semua orang. Tak pernah bisa menyaring sesuatu yang rahasia sekali pun.
Kebetulan juga sudah cukup lama aku tak mengunjungi orang tua Mas Dio. Hampir empat bulan lamanya aku tak menginjakkan kaki ke rumah di mana suamiku tumbuh itu. Semoga saja ia tak akan curiga bahwa aku datang untung mengorek informasi darinya.
Keesokan harinya dengan membawa oleh-oleh kue bolu dan buah-buahan, aku dan Dita mengendarai motor yang biasa dipakai Mas Dio mengojek sebelumnya untuk ke rumah mertua. Jarak perjalanan yang seharusnya satu jam kami tempuh lebih lama karena aku mengendarai dengan perlahan saja.
Ketika tinggal beberapa meter saja sampai tujuan aku melihat ada tumpukan bata dan pasir di depan rumah mertua. Apa mereka sedang merenovasi rumah? Tapi kenapa Mas Dio sama sekali tidak menceritakan apa-apa?
Kuparkirkan motorku di sebrang jalan agar bisa leluasa mengamati. Ternyata benar, rumah mertuaku sedang di renovasi secara total. Nampaknya rumah tua itu akan berubah menjadi rumah tingkat karena kini sudah berdiri tiang-tiang di atas lantai satu yang menandakan akan segera diproses ke lantai dua.
Lalu di mana Ibu, Bapak, dan keluarga Kak Desi tinggal kini sementara rumah di renovasi?
Tiba-tiba sebersit pertanyaan pun singgah di benakku, dari mana semua biaya untuk merenovasi rumah ini?
Bukannya merendahkan, tapi memang aku sangat tahu kondisi keluarga Mas Dio. Bapak mertua sudah tak bekerja sejak beberapa tahun lalu karena penyakit struknya. Kak Desi yang merupakan anak pertama mereka masih tinggal menumpang dengan Ibu dan Bapak karena suaminya hanya seorang kuli bangunan yang bekerja jika hanya ada proyek saja. Untuk hidup sehari-hari Ibu dan Kak Desi berjualan kue-kue kering dan menitipkan ke warung-warung di sekitar. Lalu jika siang, Ibu bekerja sebagai buruh cuci gosok di rumah tetangga. Sedang Kak Desi sibuk dengan anak-anaknya yang masih kecil.
"Silvi, ngapain kamu kesini?" Sebuah suara menghentikan lamunanku Ternyata Mas Ratno suami Kak Desi yang tengah menghampiriku. Tampaknya ia turun langsung dalam proses renovasi rumah mertuaku itu.
"Eh, Mas Ratno, tadinya aku mau nengokin Ibu sama Bapak. Tapi sepertinya Ibu dan Bapak ga ada di rumah, ya?"
"Iya, mereka gak ada. Lain kali saja kalau kamu mau main!" jawabnya ketus dengan nafas terengah-engah. Mungkin masih kelelahan bekerja.
"Rumahnya mau diapain emang, Mas?" tanyaku pura-pura polos.
"Sedikit di rombak, kasihan rumah itu sudah hampir roboh," jawabnya singkat.
Sedikit katanya, padahal jelas mereka merenovasi total rumah itu sampai menghancurkan bangunan aslinya.
"Lalu kalian tinggal dimana sementara rumah di rombak? Biar aku menyusul saja kesana, sudah lama gak ketemu Bapak dan Ibu," tanyaku, berharap mendapatkan sebuah jawaban.
"Ada di sana, nanti saja kau kerumahnya, aku tak bisa mengantarkanmu. Banyak kerjaan ini. Biar cepat kelar bangun rumahnya! Sudah ya, aku mau lanjut kerja," jawab Mas Ratno ketus, sambil berlalu meninggalkanku kembali ke pekerjaannya.
Sebenarnya aku kecewa karena Mas Ratno tak mau mengantarkan aku bertemu Ibu. Jika begini bagaimana caranya aku bisa mendapatkan informasi? Sepertinya aku harus memikirkan cara lain agar bisa membongkar semuanya.
Aku pun harus menerima bahwa rencana kali ini tak menghasilkan apa pun. Dita sudah mengeluh kepanasan dan ingin segera pulang. Saat sedang membelokkan motor, aku melihat Pak Slamet, tetangga yang dulu istrinya sempat dekat denganku saat aku tinggal di rumah mertua, menghampiriku.
"Mba Silvi, loh, ada apa ke sini?" tanyanya dengan senyum semringah.
"Mau liat progres rumah mertuamu, ya?" belum juga aku menjawab pertanyaannya, ia sudah menebak jawabannya sendiri.
"Ini loh, sudah hampir lima puluh persen. Alhamdulillah berkat suamimu yang mau merenovasi rumah ini saya jadi kecipratan rejekinya, bisa kerja jadi tukang di sini," jelasnya lagi tanpa kuminta sedikit pun.
Membuatku seketika kembali tersentak, Mas Dio yang merenovasi rumah ini? Apa aku tidak salah dengar?
"Bilangin sama Dio, semoga rejekinya makin lancar, karena secara gak langsung dia sudah membantu beberapa warga sini juga yang ikut serta kerja di rumah ini. Nanti kalau ada proyek lagi, bisa kontek saya gitu ya, Silvi!" ucap Mas Slamet sambil tertawa nyengir, sementara aku masih merasa tak percaya atas semuanya.
"Slamet, ngapain di situ, sini cepet bawa adukan itu!"
Dari seberang terdengar teriakan Mas Ratno memanggil Pak Slamet dengan keras. Dengan tergesa Pak Slamet pun pamitan dan berlari menghampiri Mas Ratno.
Sebuah fakta tentang ketidakjujuran Mas Dio kembali terkuak dan kali ini sungguh membuatku tercengang karena ternyata semakin banyak yang disembunyikannya dariku. Juga kenyataan besar bahwa keluarga besarnya turut andil untuk menyembunyikan semua ini benar-benar menyakitiku.
Aku tak bisa diam lagi, harus segera bertindak atas semua ini.
[Mas, tadi aku ke rumah Ibu, ternyata sedang di renovasi, ya? Kata Pak Slamet kamu yang biayai, apa benar, Mas?] Setelah mempertimbangkan banyak hal, aku memutuskan untuk menanyakan langsung terkait renovasi rumah yang katanya suamiku-lah yang membiayainya. Ingin tahu juga apa dia akan mengatakan yang sebenarnya padaku, atau memilih kembali tidak jujur.Semenjak Mas Dio bekerja di luar kota, komunikasi kami tidak lancar. Aku harus menunggu lebih dari satu jam untuk menunggu balasan darinya. Bahkan sering juga ia baru membalas di tengah malam.Jika aku mau menelepon pun, aku harus membuat janji terlebih dahulu. Sudah seperti menghubungi orang penting saja. Pernah aku tanyakan kenapa ia jarang membalas pesanku, katanya ia tidak diperbolehkan membawa ponsel saat bekerja. Ia harus bersembunyi dulu di kamar kecil jika mau melihat ponselnya.Sambil menunggu jawaban dari Mas Dio, aku membuka warung kecil-kecilanku. Kebetulan banyak anak-anak yang sedang bermain. Pasti akan ramai pembeli. D
"Ada apa, Silvi? Kenapa wajahmu tiba-tiba lesu?" tanya Kak Gema seraya mengernyitkan keningnya.Apa sebegitu terlihatnya di wajahku tentang kegelisahan yang tengah kuhadapi ini?"Kenapa? Cerita padaku, kamu sedang bertengkar dengan Dio? Apa Dio bersikap tidak baik padamu? Atau ... dia selingkuh? Jangan bilang kalian sedang pisah ranjang, Silvi!" Kak Gema memberondongku dengan pertanyaan. Raut khawatir terlihat jelas di wajahnya."Silvi, jangan pikir kamu bisa menyembunyikannya dariku, aku tidak akan tinggal diam jika Dio menyakitimu!" tegas Kak Gema kali ini sambil menatapku sungguh-sungguh.Sepertinya aku memang harus memberitahukan padanya, walau sebenarnya aku sangat menghindari membahas masalah rumah tangga dengan Kak Gema. Sebisa mungkin ingin membuktikan bahwa aku bahagia menjadi istri Mas Dio walau dalam keterbatasan.Masih teringat jelas di benak saat Kak Gema pernah mengatakan ingin menjadikan aku istrinya walau dengan nada bercanda. Hal itulah yang membuatku segera mendesak
"Ka-kamu Silvi? Ke-kenapa bisa tahu kami ada di sini?" tanyanya tak percaya. Aku hanya tersenyum puas, berhasil membuat kejutan pada Ibu dan Kak Desi."Harusnya kamu bilang kalau mau kesini! Jadi kami bisa siap-siap lebih dulu!" Ujar Ibu setelah Dita kuminta untuk kembali duduk tenang di ruang tamu. Raut wajah Ibu dan Kak Desi tampak tak suka akan kedatanganku. Pastinya, karena mereka memang tak mengharapkanku."Bagaimana aku bisa bilang, Bu? Ibu dan Bapak kan gak ada ponsel, nomor Kak Desi pun gak aktif lagi," jawabku sambil menata kue-kue yang kubawa di piring agar bisa dinikmati bersama."Ada apa perlu apa kemari?" tanya Ibu sambil melipat kedua tangannya di dada, tak sedikit pun menatapku."Dita kangen pada Ibu dan Bapak, sudah lama juga kita gak ketemu!" "Ya sudah kalau begitu, Bapak ada di kamarnya, aku mau keluar dulu sebentar. Kalau mau apa-apa ambil sendiri saja, ya!" ujar Ibu sambil berlalu pergi meninggalkanku begitu saja. Sementara Kak Desi entah berada di mana.Sepertin
Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku."Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah
Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam
Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb
Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir
"Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana
Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge
Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.
Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika
Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T
Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab
Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper
POV DioApa yang selama ini kutakutkan terjadi, bahkan lebih cepat dari dugaanku sendiri. Akhirnya hari itu datang juga, kami tak lagi dapat mengandalkan Arni lagi sama sekali.Hari itu Arni datang dengan kondisi mengenaskan, menangis tersedu-sedu. "Aku bangkrut, Kak!" lirihnya."Kak ..., apa kakak masih mau nerima aku? Aku miskin sekarang!" lanjutnya lagi, sambil terdiam di ujung gerbang menatapku dengan tatapan sendu.Ada rasa iba di hati melihat kondisinya yang mengenaskan. Tak ada lagi Arni yang dulu kini, wajahnya pucat tanpa make up dan baju seadanya. Ia datang dengan membawa dua koper baju yang tidak seberapa besar."Kak Dio ...!"Tiba-tiba saja Arni terduduk lemas, isakannya pun berubah jadi raungan keras.Dengan perlahan aku pun menghampirinya. Berjongkok untuk menyamakan posisi, lalu memberikan sedikit pelukan agar dia lebih tenang. Walau bagaimana pun dia masih istriku. Kuenyahkan seluruh rasa kesal yang bersemayam padanya. Memberikannya sedikit sentuhan lembut.*****"Tida
Setelah pertemuan itu, memang sesekali Pak Roni menghubungiku. Sempat ia mengonfirmasi juga hubungan Arni dan Dio padaku, sepertinya ia mencari tahu sendiri soal itu."Jika kamu tak memberitahukan kebohongan Dio, aku tak akan tahu kebobrokan-kebobrokan lain yang Arni lakukan. Terima kasih, karena kamu perusahaan masih bisa aku selamatkan!" ujarnya suatu hari.Dari berita yang kudengar, Dio dan juga Arni kini sudah tidak bekerja lagi di Granita Group. Dio kembali menjadi tukang ojeg saat ini sedang Arni membantu ibu menjual kue-kue jajanan pasar.Hal itu juga lah yang membuatku mudah mendapatkan hak asuh Dita saat persidangan cerai kemarin. Awalnya kukira Dio akan menjadikan kekayaannya sebagai senjata. Tapi ... kenyataan berkata lain, karena sebelum sidang berlangsung, mereka sudah dinyatakan bangkrut.*****"Nadya, ini ada agen baru dari kota Palu, dia memesan sebesar 20 juta, tolong kau follow up, ya!" ucapku pada Nadya, bagian admin kantor.Ya, Setelah menitipkan Dita di rumah Bu
POV SilviAku menatap langit-langit kamar, meresapi semua yang telah terjadi selama empat bulan ini. Bagaimana pahit getirnya jalan perjuanganku untuk mendapatkan Dita kembali ke pelukan.Semua terbayar sudah, aku kembali bisa bernafas lega kini. Hak asuh Dita sudah resmi ada padaku. Kini aku bisa puas memeluk dan memandangi wajah mungil Dita yang tengah terlelap di samping.Menurut Pak Abi jika aku ingin mendapatkan Dita kembali aku harus dapat segera berjalan dan memiliki penghasilan. Karena kondisi itulah yang akan menjadikan alasan Dio untuk merebut hak asuh Dita.Maka dari itu Pak Abi dan Kak Gema, mengajak aku untuk mengelola sebuah toko sepatu dan tas yang berbasis online milik mereka. Tidak hanya aku, mereka juga melibatkan beberapa karyawan dari pabrik sebelumnya. Ternyata Pak Abi dan Kak Gema memang sudah menyiapkan semua ini jauh hari sebelumnya. Setelah pabrik yang tutup mereka ingin dapat kembali merangkul orang-orang dengan potensi tinggi di sebuah bisnis baru. Tak disa