Share

Enam

Author: shinwira
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Karena merasa makin diabaikan di sini, aku pun memilih untuk pulang saja. Dari pada terus berada di rumah mertuaku dan hanya menjadi obat nyamuk saja. Segera kuajak Dita untuk segera pulang. Untuk apa berlama-lama di sini jika hanya terus memakan hati? Toh ku pun tak bisa mengorek informasi apa pun.

Demi sopan santun, aku menghampiri Ibu mertua untuk berpamitan, tapi ia hanya memandangku sekilas, mengangguk mengiyakan, lalu kembali fokus melanjutkan perbincangannya dengan Arni dan Kak Desi.

Kembali sebuah rasa sedih menyeruak di dada. Kemana ibu mertuaku yang dulu? Yang walaupun kami tak pernah terlalu dekat, tapi ia masih menganggapku ada. Menghargai aku sebagai seorang istri dari anaknya, walau perhatiaannya hanya sebatas memberikan sedikit bingkisan oleh-oleh untuk kubawa pulang ke rumah.

Kuabaikan rasa sakitku. Berjalan keluar rumah berdua saja dengan Dita. Memang aku yang salah, tetap memilih datang padahal jelas mereka tak inginkan kehadiranku.

"Mba Silvi ...." Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku. Gegas aku berbalik untuk melihat siapa dan ada apa. Arni berlari kecil menghampiriku.

"Mba pulang karena aku, ya?" tanyanya dengan raut merasa bersalah sekali.

"Enggak kok, memang sudah waktunya pulang saja. Kalau terlalu siang nanti panas. Kasian anakku takut kepanasan," elakku. Karena sejujurnya memang bukan dia yang membuatku memutuskan segera pulang.

"Rumahnya jauh ya, Mba? Naik apa kesini?"

"Lumayan, tapi sudah biasa kok pulang pergi kemari naik motor. Mari Mba Arni, aku pamit duluan," pamitku tak ingin lebih lama berbasa-basi dengan wanita ini.

"Eh ..., tunggu Mba, ini ada sedikit oleh-oleh untuk Mba Silvi, kebetulan aku bawa lebih. Ibu dan Mba Desi juga sudah kebagian. Sepertinya cocok untuk Mba Silvi. Tolong diterima, ya. Mudah-mudahan Mba Silvi suka." Arni tiba-tiba memberikan bingkisan yang dipegangnya sedari tadi, memaksaku untuk mengambilnya.

"Ga usah, Mba, jangan! Gak usah repot-repot. Mba bisa simpan saja, atau berikan lagi pada Ibu atau Mba Desi." Dengan tegas Aku menolak pemberiannya. Rasanya aneh menerima bingkisan dari orang lain yang baru kenal secara sepintas saja seperti ini.

"Loh ..., jangan gitu dong Mba, diterima ya. Anggap saja sebagai hadiah perkenalan dari saya. Saya sedih kalau Mba Silvi menolaknya," bujuknya lagi dengan raut sedih, yang entah kenapa seketika mempengaruhiku.

"Ah ... baiklah kalau begitu, saya terima ya, Mba."

Dengan terpaksa aku pun menerima bingkisan darinya, karena akan semakin tak enak jika aku terus menolak pemberiannya itu.

"Oh ya, Kalau boleh tahu, Mba Arni siapanya Ibu, ya?" Tiba-tiba saja ada keberanian dalam diri untuk menanyakan hal ini.

Mendengar pertanyaanku, Arni tampak terkejut, ia pun tiba-tiba seperti salah tingkah karenanya.

"Emmmh ... siapa ya ..." Arni tampak memikirkan jawabannya yang seharusnya mudah ia jelaskan padaku.

"Silvi, kamu masih di sini?" Belum juga Arni memberikan jawaban, tiba-tiba Ibu datang menghampiri kami.

"Aku kira kamu sudah pulang." Ibu menatapku dengan tatapan tak suka. Seakan akulah yang ingin berlama-lama di sini dan membuat tamunya tertahan. Dari sikap dan tatapannya aku tahu aku harus segera pergi.

"Iya, Bu, ini aku mau berangkat! Terima kasih ya Mba Arni untukku bingkisannya!" tanpa menghiraukan Ibu lagi aku pun berbalik sambil menuntun Dita meninggalkan mereka dan berlalu begitu saja. Tak kujawab lagi salam perpisahan yang Arni teriakan padaku.

****

Sesampainya di rumah, kubuka bingkisan pemberian Arni barusan. Sebuah goody bag kertas berwarna cokelat bertuliskan sebuah merk brand fashion ternama yang berisi sebuah gamis berwarna biru pastel lengkap dengan khimarnya dari salah satu merk yang cukup terkenal, yang kutahu harga-harganya cukup mahal.

Gamis ini sangat pas dengan ukuranku, Mba Arni seperti sudah menyiapkannya sepsial untukku dari sebelumnya. Tapi bagaimna bisa? Bahkan kami baru saja kenal lagipula ukuran tubuhku dengan Ibu juga Kak Desi jauh berbeda. Badan mereka berdua cukup berisi, sedangkan aku kurus dan kecil.

Rasa penasaranku makin menjadi pada sosok wanita cantik itu. Aku pun segera mengetikan nama Arni di sebuah laman pencarian pada ponselku. Ingin memastikan apa Arni benar-benar seorang artis seperti perkiraanku atau bukan. Tapi ternyata tak kutemui satu pun artis yang mirip dengannya. Mungkin dia memang hanya orang kayak yang melakukan perawatan layaknya seorang artis.

Related chapters

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Tujuh

    Sebenarnya ada hal lain yang aku nantikan hari ini. Yaitu kabar dari kak Gema tentang tempat tinggal Mas Dio yang katanya akan dia cari melalui GPS. Tapi sampai nalam tiba, tak sekali pun Kak Gema menggububgiku.Berulang kali aku mengecek ponsel, menunggu kabar dari Kak Gema. Tapi ponselku tetap saja sepi, tak ada yang menghububgiku sama sekali baik Kak Gema ataupun Mas Dio.[Kak Gema, maafkan aku ganggu malam-mala. Sudah ada hasil pencarian keberadaan Mas Dio belum?] Akhirnya aku memutuskan untuk bertanya pada Kak Gema langsung melalui pesan singkat. Berharap Kak Gema akan segera memberikan jawaban.Cukup lama sampai akhirnya ponselku berdering menandakan ada pesan yang masuk. Gegas aku membukanya, ternyata benar dari Kak Gema. Tapi isi pesan tersebut tak sesuai dengan harapanku.[Maaf Silvi, hari ini aku masih belum berhasil mendapatkan alamat Dio, besok jika sudah ada aku akan menghubungimu!] Kecewa? Tentu saja aku merasa kecewa karena usahaku masih juga belum membuahkan hasil sam

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Delapan

    Keesokan harinya, dengan diantar Kak Gema aku berangkat ke Jakarta. Pagi-pagi sekali Kak Gema sudah berada di rumah dengan membawa mobil. Segera aku dan Dita menaiki mobil tersebut. "Mobil siapa ini, kak?" tanyaku penasaran setelah mobil melaju memecah dinginnya pagi.Kak Gema menatapku sambil sedikit tertawa geli. "Gak pantes ya aku punya mobil?" "Eh, punya kak Gema? Waaah ... makin sukses aja nih, kakak kesayanganku!" pekikku. Sungguh aku tak menyangka bahwa ia kini sudah jauh lebih sukses. Masih teringat jelas saat-saat hidup susah kami ketika kecil, bahkan untuk membayangkan bisa menjadi orang kaya pun aku tak berani kala itu.Ayahku dan dan Kakaknya--orang tua angkat Kak Gema-- hanyalah seorang tukang jahit di pabrik tas dan sepatu. Gajinya tentu tak seberapa, itu pun dihitung dari jumlah tas yang berhasil selsai setiap harinya. Jika tidak ada pesanan atau proyek, otomatis orang tua kami tak ada pemasukan. Maka untuk bertahan hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan hasil keb

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Sembilan

    Sepintas aku ragu apa itu Mas Dio atau bukan, karena meski mirip, penampilannya sangat jauh berbeda dengan Mas Dio yang kukenal. Lelaki itu berpenampilan necis dengan kemeja berwana biru muda yang menempel di badannya.Gegas aku memberi kode pada Kak Gema yang ternyata juga sama sedang memerhatikannya."Silvi, kamu ikuti Dio, jangan sampai kehilangan jejaknya, aku harus membayar makanan ini dulu!" titahnya sambil bergegas berdiri.Tak ingin membuang waktu, aku pun segera membawa Dita sambil sedikit berlari kearah pintu keluar. Berharap tak sampai kehilangan sosoknya.Aku sempat keheranan ketika kulihat para pramusaji yang berpas-pasan membungkuk hormat pada Mas Dio. Apa ia sebegitu dihormatinya di sini? Namun, ternyata saat aku melintasi pramusaji di pintu, ia pun sama membungkuk padaku. Emmh ... mungkin memang begitu cara pramusaji itu menghormati para tamunya.Aku kembali fokus mengikuti Mas Dio sambil tetap berusaha menjaga jarak dengannya. Aku tak tahu apa akan langsung menghampir

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Sepuluh

    "Kak Gema, kurasa aku ingin bertemu dengan suamiku di sini dan menanyakan semua secara langsung padanya," pintaku saat Kak Gema bertanya apa rencanaku selanjutnya setelah mengetahui kebenaran tentang pekerjaan Mas Dio.Aku merasa butuh kejelasan atas semuanya, mendengar dari mulut Mas Dio langsung tentang pekerjaannya kini dan kenapa ia harus berbohong padaku dengan mengatakan hanya menjadi seorang sekuriti."Aku takut dia akan kembali berbohong jika sudah berada di rumah nanti. Jika kita memergokinya langsung di sini, Mas Dio tak akan bisa mengelak lagi, kan?" Lanjutku lagi.Kak Gema mengangguk-angguk setuju atas ideku. "Baiklah kalau begitu! Bagaimana kalau kamu menginap di salah satu hotel milik Granita Gruop? Siapa tahu suamimu juga ada di sana?" usul Kak Gema yang terdengar amat cemerlang sekali. Aku pun dengan antusias menyetujuinya."Tapi ... malam ini aku gak bisa nemenin kamu, Silvi. Aku ada sedikit urusan. Besok pagi baru aku akan menjemputmu dan kita bisa mengatur rencana

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Sebelas

    "Masa, Mba,? Bisa tolong pastikan lagi? Kamarnya nomor 156, Mba" Pasti ia sudah salah melihat datanya. Tidak mungkin tidak ada namaku di situ."Maaf Bu, sudah saya pastikan berulang kali tapi tidak ada nama ibu di sini. Kamar nomor 156 juga sudah di isi dan bukan atas nama ibu," terangnya lagi dengan sungguh-sungguh.Seketika membuatku makin panik, jika begini bagaimana aku bisa masuk? Bahkan ponselku pun tertinggal di kamat hotel, jadi aku tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali.Ah, iya aku aku telah melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa nama kak Gema-lah yang dipakai untuk memesan kamar di sini. Karena tadi kak Gema tidak meminta tanda pengenal apa pun padaku"Mba, maaf saya salah. Nama pemesannya adalah Gema Pratama, dia adalah kakak saya, tadi dia yang mengurus semuanya,""Maaf Bu, saya tidak bisa membantu. Kami hanya bisa memberikan kartu akses cadangan pada tamu yang terdaftar di daftar pemesan yang dapat menunjukkan tanda pengenalnya saja,""Tapi aku benar datang bersama Gema

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Dua Belas

    Aku hanya pasrah saja mengikuti sekuriti tersebut. Sungguh pikiranku amat kalut kini. Aku tidak bisa kembali ke kamar hotel sementara semua barangku berada di sana, tak bisa menghubungi Kak Gema sama sekali karena ponselku juga ada di kamar dan parahnya lagi, sepertinya aku telah salah informasi tentang Mas Dio. Dia bukanlah seorang bos seperti yang dikatakan sekuriti di restoran tersebut. Bahkan tak ada yang mengenalnya sama sekali di hotel ini.Hah ... kedatanganku ke Jakarta ini rupanya sia-sia saja, bukannya mendapat titik terang, malah membuatku mendapat kesialan seperti ini.Kutatap wajah Dita yang masih terlelap di kursi. Kasihan anak itu, harus ikut menanggung semua ini karena ulah ibunya yang kekeuh ingin ke Jakarta."Mohon maaf, sebaiknya Ibu segera pergi dari hotel ini ya setelah anak ibu nanti bangun!" tegas seorang sekuriti yang tadi membawaku pergi dari meja resepsionis."Tega kalian memgusirku? Kalau begitu, biarkan aku membawa barang-barangku, Pak! Minimal ponsel dan

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Tiga Belas

    "Silvi ...!" Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkahku.Seketika saja membuat jantungku berdebar dengan kencang. Aku mengenal suara itu, sangat mengenalnya. Sebuah suara dari orang yang telah memporak-porandakan hatiku beberapa hari ini karena rasa curiga, ketakutan dan khawatir. Sebuah suara yang juga menjadi penyebab utama yang membuatku memilih datang ke Jakarta kemudkan terlantar di hotel ini."Ayaaah ...," Dita segera melepaskan genggaman tangannya dariku dan berlari menuju Mas Dio yang berdiri di dekat pintu masuk hotel.Perlahan aku pun membalikkan badan, dapat kulihat sosok lelaki yang masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang kulihat siang tadi di restoran menyambut Dita dengan pelukan hangat.Berjuta rasa kembali membuncah di hati, marah, sedih, kecewa, tapi juga lega. Betapa menyenangkannya bisa bertemu sosok yang membuatku merasa aman setiap kali melihatnya.Dengan mantap Mas Dio menghampiriku yang masih berdiri mematung sambil Dita tetap berada dipangkuannya. Ia

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Empat Belas

    Aku terbangun dari tidur lelap karena mencium wangi masakan yang begitu mengguggah. Badanku terasa pegal dan lelah sekali seperti habis melakukan pekerjaan yang berat. Kembali kucoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum pagi ini datang.Ya, kemarin aku ke Jakarta untuk membuntuti suamiku, lalu aku tak bisa masuk ke kamar hotel, kalang kabut dibuatnya karena harus berdua saja dengan Dita tanpa ada kepastian kapan bisa kembali.Lalu tiba-tiba saja Mas Dio datang dan ia mengajak aku dan Dita kembali pulang ke kampung tanpa menunggu Kak Gema terlebih dahulu.Ah iya ..., aku jadi teringat jika aku belum memberi kabar pada Kak Gema sejak semalam karena ponselku mati kehabisan baterai. Gegas aku pun menyalakan ponsel dan memberi pesan pada Kak Gema. Tak mau membuat ia khawatir karena aku sudah tak ada lagi di Jakarta.[Kak, maafkan aku, semalam aku bertemu dengan Dio dan sekarang aku sudah pulang ke kampung lagi diantar Mas Dio. Maaf baru bisa memberitahu. Semalam ponselku mati kehabi

Latest chapter

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tujuh

    Pak Abi yang masih menggendong Dita pun kemudian menghampiriku. Tersenyum manis sambil menatapku lekat, membuat aku benar-benar merasa malu dan tak bisa menahan senyum di wajahku yang aku tak tahu kenapa.Ia mendekatkan kepalanya pada kepalaku, membuatku makin malu, apa yang akan dilakukannya?"Dita sudah setuju, jadi ... kapan kita resmikan hubungan ini, Silvi?" bisiknya lembut tepat di telingaku yang menimbulkan rasa aneh yang tiba-tiba menggelanyar di hati."Apa Pak Abi kira aku mau?" Aku balik bertanya, karena ada rasa kesal dan juga malu di hati ini."Loh ... bukannya emang mau ya, menikah denganku?" Senyum jahil menghiasi wajahnya."Issh... kapan aku bilang?" Aku memalingkan wajah darinya, berusaha untuk menjaga kesehatan jantungku yang sepertinya mulai kritis ini."Kemarin kan kamu bilang mau menerimaku kalau aku lamar!" Jawabnya penuh percaya diri.Ah ... benar kan, dia mendengar semua pembicaraanku dengan Kak Ge

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Enam

    Keesokan harinya kami bersenang-senang bersama keluarga di acara gathering yang diadakan perusahaan. Semua orang tampak bahagia bersama orang terkasih mereka sambil menikmati serangkaian acara yang diadakan.Aku bersama Dita pun begitu menikmati acara ini. Momen kebersamaan yang sangat jarang bisa kami dapatkan karena kesibukan dalam pekerjaan yang kadang menyita waktu dan pikiran.Beberapa karyawan ada yang membawa pasangan dan anak mereka. Bagi yang masih single ada yang membawa orang tuanya ada juga yang memilih untuk datang seorang diri karena alasan pribadi.Kulihat di salah satu sisi Kak Gema sedang bercanda bersama ibunya, yang juga budeku. Bude Ani memang beruntung menjadikan Kak Gema anak angkatnya, karena Kak Gema memperlakukan bude layaknya ibu kandung sendiri.Tiba-tiba saja aku jadi rindu kedua orang tuaku terutama bapak yang memang meninggal belum lama ini. Andai mereka masih ada, pasti hari ini akan lebih membahagiakan lagi.

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Lima

    Sebenarnya ini memang bukan kali pertama kak Gema menyatakan cinta. Dulu, sebelum aku menikah dengan Dio, Kak Gema juga pernah melamarku. "Kak ...." Dengan suara bergetar aku memberanikan diri bersuara."A-aku gak tahu harus mengatakan apa ... tapi ...-""Tapi kalau kamu mau nolak aku juga aku gak apa-apa, kok!" ucap Kak Gema tiba-tiba menghentikan ucapanku."Kak Gema ....""Katakan saja, Silvi. I'm okay! Seenggaknya kalau kamu tolak aku sekarang, aku udah gak penasaran lagi. Mungkin setelah ini aku akan berusaha move on. Mungkin aku mau lamar Nadya, atau Eris," ucapnya sambil sedikit terkekeh, seakan ia sedang bercanda."Kak ... beneran gak apa-apa?" Aku sudah tak tahu lagi apa yang harus kukatakan padanya. Bagiku Kak Gema hanyalah seorang kakak. Dan itu tak akan pernah bisa berubah. Aku menyayanginya, tapi sangat tak mungkin rasa sayang ini akan berlanjut ke pernikahan. Terlalu sulit untuk menerima kenyataan jika harus menika

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Empat

    Setahun kemudian.Acara gathering dari Tathir Corp, perusahaan tempat aku bekerja bersama Kak Gema dan Pak Abi, dilaksanakan untuk pertama kalinya. Kami semua berencana membawa keluarga masing-masing untuk menginap bersama di sebuah tempat pemandian air panas."Kamu mau bawa siapa, Gema?" tanya Pak Abi. Saat kami sedang makan siang.Awalnya hanya aku sendiri yang makan di ruangan rapat ini. Ruangan yang paling nyaman untuk menyendiri. Tapi tiba-tiba Kak Gema menyusul, begitu juga Pak Abi. Akhirnya kami pun berkumpul bersama.Kulihat Kak Gema menatap sinis sahabatnya itu. "Aku bawa kamu! Karena aku tahu kamu gak akan bawa pasanganmu! Iya, 'kan?" jawab Kak Gema sambil melemparkan sepotong kerupuk pada sosok lelaki di seberangnya itu."Iiih ... ogah!" timpalnya sambil bergidik ngeri.Aku yang sedari tadi memerhatikan mereka hanya bisa tertawa menahan geli."Memang kamu mau bawa siapa, Abi?" tanya Kak Gema balik."T

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Tiga

    Aku tak bisa menjawab apa pun, memang bagiku cukup aneh Arni ada di kampung itu tanpa memberitahukan apa pun padaku. Padahal sebelumnya ia selalu mengatakan kemana pun dia pergi."Aku ingin meminta bantuanmu untuk mencari tahu kebenarannya. Bisa kan?" tanyanya lagi."Untuk apa aku membantumu? Tak ada untungnya untukku!" elakku. Tak mau mengurusi sesuatu yang tidak penting sama sekali."Demi Silvi, Dita dan juga mertuamu! Walau kalian akan segera bercerai tapi walau bagaimana pun mereka pernah ada di hidupmu! Apa kamu tidak kasihan pada mereka?"Ucapannya sedikit mengusik hatiku. Tapi, tetap saja ini bukan urusanku atau pun dia. Polisi saja tidak melakukan penyelidikan. Kenapa harus aku yang malah repot?"Aku tidak mau membantumu! Aku sudah banyak urusan, tak mau lagi pusing dengan masalah lainnya! Kalau memang Arni bersalah, biar saja polisi yang menindaknya!" elakku."Sekarang sebaiknya kamu pergi saja! Jangan ganggu aku lagi!" Aku pun segera mempersilahkannya untuk pergi. Kulihat Ab

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Dua

    Sungguh, jika tidak ingat ada anak-anak di sini pasti sudah kuhabisi lelaki tak bertanggung jawab sepertinya itu."Kalau begitu, setidaknya kamu berusaha bekerja untuk menghidupi istri dan anak-anakmu! Atau minimal untuk dirimu sendiri. Bukannya ongkang-ongkang kaki begini!""Hei ..., baru seperti ini saja kalian sudah berisik begini! Apa kalian lupa, dulu aku juga suka memberikan hasil kerjaku untuk menghidupi kakakmu dan orang tuamu itu? Cari kerja itu sulit sekarang! Kalau ada proyek juga aku tidak akan tiduran seperti ini, kok!" Mas Ratno memelototiku penuh emosi.Aku hanya bisa menggelengkan kepala, tak habis pikir akan sikapnya itu. Bisa-bisanya ada lelaki sepertinya yang tidak tahu malu sama sekali.Padahal jika dia serius mau menghidupi keluarganya, dia pasti akan berusaha mencari pekerjaan. Bukan hanya mengandalkan proyek dari orang-orang kampung sini saja.****"Bu, bagaimana kalau kita jual saja rumah ini?" ucap Kak Desi tiba-tiba pada ibu saat aku sedang membantunya memper

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh Satu

    POV DioApa yang selama ini kutakutkan terjadi, bahkan lebih cepat dari dugaanku sendiri. Akhirnya hari itu datang juga, kami tak lagi dapat mengandalkan Arni lagi sama sekali.Hari itu Arni datang dengan kondisi mengenaskan, menangis tersedu-sedu. "Aku bangkrut, Kak!" lirihnya."Kak ..., apa kakak masih mau nerima aku? Aku miskin sekarang!" lanjutnya lagi, sambil terdiam di ujung gerbang menatapku dengan tatapan sendu.Ada rasa iba di hati melihat kondisinya yang mengenaskan. Tak ada lagi Arni yang dulu kini, wajahnya pucat tanpa make up dan baju seadanya. Ia datang dengan membawa dua koper baju yang tidak seberapa besar."Kak Dio ...!"Tiba-tiba saja Arni terduduk lemas, isakannya pun berubah jadi raungan keras.Dengan perlahan aku pun menghampirinya. Berjongkok untuk menyamakan posisi, lalu memberikan sedikit pelukan agar dia lebih tenang. Walau bagaimana pun dia masih istriku. Kuenyahkan seluruh rasa kesal yang bersemayam padanya. Memberikannya sedikit sentuhan lembut.*****"Tida

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Lima Puluh

    Setelah pertemuan itu, memang sesekali Pak Roni menghubungiku. Sempat ia mengonfirmasi juga hubungan Arni dan Dio padaku, sepertinya ia mencari tahu sendiri soal itu."Jika kamu tak memberitahukan kebohongan Dio, aku tak akan tahu kebobrokan-kebobrokan lain yang Arni lakukan. Terima kasih, karena kamu perusahaan masih bisa aku selamatkan!" ujarnya suatu hari.Dari berita yang kudengar, Dio dan juga Arni kini sudah tidak bekerja lagi di Granita Group. Dio kembali menjadi tukang ojeg saat ini sedang Arni membantu ibu menjual kue-kue jajanan pasar.Hal itu juga lah yang membuatku mudah mendapatkan hak asuh Dita saat persidangan cerai kemarin. Awalnya kukira Dio akan menjadikan kekayaannya sebagai senjata. Tapi ... kenyataan berkata lain, karena sebelum sidang berlangsung, mereka sudah dinyatakan bangkrut.*****"Nadya, ini ada agen baru dari kota Palu, dia memesan sebesar 20 juta, tolong kau follow up, ya!" ucapku pada Nadya, bagian admin kantor.Ya, Setelah menitipkan Dita di rumah Bu

  • Nafkah Sepuluh Juta Perbulan   Empat Puluh Sembilan

    POV SilviAku menatap langit-langit kamar, meresapi semua yang telah terjadi selama empat bulan ini. Bagaimana pahit getirnya jalan perjuanganku untuk mendapatkan Dita kembali ke pelukan.Semua terbayar sudah, aku kembali bisa bernafas lega kini. Hak asuh Dita sudah resmi ada padaku. Kini aku bisa puas memeluk dan memandangi wajah mungil Dita yang tengah terlelap di samping.Menurut Pak Abi jika aku ingin mendapatkan Dita kembali aku harus dapat segera berjalan dan memiliki penghasilan. Karena kondisi itulah yang akan menjadikan alasan Dio untuk merebut hak asuh Dita.Maka dari itu Pak Abi dan Kak Gema, mengajak aku untuk mengelola sebuah toko sepatu dan tas yang berbasis online milik mereka. Tidak hanya aku, mereka juga melibatkan beberapa karyawan dari pabrik sebelumnya. Ternyata Pak Abi dan Kak Gema memang sudah menyiapkan semua ini jauh hari sebelumnya. Setelah pabrik yang tutup mereka ingin dapat kembali merangkul orang-orang dengan potensi tinggi di sebuah bisnis baru. Tak disa

DMCA.com Protection Status