(POV Davina)“Mas, kamu masih marah sama aku? Padahal aku sudah minta maaf, loh!” ucapku.Mas Rendi bergeming, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku kesal, suasana kini berubah menjadi canggung. Mas Rendi terlalu fokus menyetir, sehingga aku seperti tak dianggap ada.“Masalah Kania mati, itu bukan salahku. Itu sudah takdir dari Tuhan. Aku juga tidak tahu, kalau kejadiannya akan seperti ini. Lagipula, kalau ada yang harus disalahkan itu kamu, Mas, bukan aku. Kenapa kamu membawa Kania, sudah bagus dia sama ibunya,” ucapku.Aku seperti berbicara dengan patung. Mas Rendi sama sekali tidak menyahut perkataanku. Bahkan menyebut kata oh saja dia tak ada.Geram rasanya melihat tingkah lakunya yang seperti ini. Semenjak kematian anaknya, dia berubah menjadi sangat dingin.“Jawab dong, Mas!” bentakku.Aku meraih tangannya, dan tanpa diduga mobil yang dikendarainya oleng.“Aaaaaaa ….”Beruntung Mas Rendi bisa mengendalikan mobilnya. Kalau tidak, kami bisa mati karena hampir menabrak k
(POV Jona)“Mau pesan apa, Mas?” tanya seorang pelayan kafe.“Creamy latte saja,” jawabku.Aku duduk seorang diri di dalam kafe ini. Termenung, seperti tak ada tujuan, dan bahkan aku seperti orang mati. Tak ada keinginan, tak tahu kaki ini mesti melangkah kemana.Dulu, hidupku punya tujuan dan memiliki banyak keinginan seperti orang-orang pada umumnya. Tapi karena terjerumus pergaulan yang salah. Hidupku hancur dan mungkin aku akan menyesal seumur hidupku.Aku memijat pelipis, entah bagaimana kelanjutan hidupku jika terus menerus seperti ini.Brak!Aku dikejutkan oleh suara seseorang yang menggebrak meja. Seorang wanita yang berada di depan mejaku, hanya terhalang beberapa meja, dia menggebrak meja dengan sangat keras. Sehingga membuat pengunjung yang lain menoleh ke arahnya termasuk aku.Aku tidak dapat melihat jelas siapa wanita itu, karena posisinya membelakangiku.Wanita itu beranjak dari meja itu, dan keluar dari kafe. Namun sesuatu terjatuh dari tasnya yang sepertinya tidak dit
(POV Jona)“Lah, kenapa juga aku lari. Bukannya kesini aku mau menemui Risa!” batinku.Konyol sekali kelakuanku, baru melihatnya teriak seperti itu, aku sudah lari. Bagaimana kalau melihat dia marah? Sangat memalukan.Aku berhenti berlari, kemudian duduk di dalam pos ronda, sambil mengatur nafas yang ngos-ngosan.Setelah lumayan lama aku duduk, aku memutuskan untuk kembali ke tempatku berdiri di seberang rumah Risa.Sampai disana, Risa sudah tidak ada. Kemungkinan Risa sudah masuk kembali ke dalam rumahnya.Kring! Kring! Kring!Dering ponselku berbunyi, dengan cepat aku pun mengangkatnya.“Halo!”“Halo, Jo! Lo dimana? Kesini lo ke tempat biasa. Teman-teman sudah pada nungguin.”“Nggak, terima kasih, gue lagi sibuk!”Aku mematikan panggilan telepon itu. Malas rasanya jika harus kumpul-kumpul dengan teman-teman ses4tku. Karena pengaruh mereka, hidupku jadi berantakan.Setelah menerima telepon, ternyata ada pesan masuk dari Davina.Aku pun segera membukanya dan membalas pesan darinya, se
(POV Rendi)“Pulang sama siapa, kamu?”Davina berjingkat kaget, saat mendapati aku berdiri di dekat gerbang bagian dalam.“Ojek!” jawabnya.Aku iseng mengintip ke luar gerbang. Ternyata benar, Davina baru saja pulang diantar oleh tukang ojek. Terlihat masih muda, namun aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena tertutup masker.Davina masuk ke dalam rumah, aku mengikutinya dari belakang.“Vin, aku ….”“Aku mau istirahat, aku kekenyangan dan ngantuk!” potongnya.Padahal ada yang ingin aku sampaikan kepadanya. Perihal rumah dan pernikahan kami. Keputusanku sudah bulat, setelah membeli rumah aku akan menikahi Davina. Dan beruntungnya tadi aku mendapat informasi tentang rumah yang akan dijual dari temanku. Tak apa-apa rumah bekas, yang penting masih layak huni dan nyaman. Aku melihat foto dan video rumah itu yang dikirim dari temanku, terlihat menarik dan nyaman. Rencananya besok aku akan mengajak Davina untuk melihat-lihat rumah itu. Ingin sekali aku berdiskusi sekarang ini dengan
(POV Jona)“Jona!”“Rendi!”Aku dan Rendi akhirnya bertatap muka setelah sekian lama aku tak bertemu dengannya lagi. Penampilannya sangat berbeda. Jika dilihat dari penampilannya, aku bisa menilai jika dia sudah mapan.Rendi, lelaki yang aku tahu saat dulu dia orang yang selalu mengejar-ngejar Risa saat dia masih gadis, dan sekarang sudah menjadi suaminya.Terlihat aura kemarahan dalam wajahnya. Wajar, karena mungkin dia sudah tahu perbuatanku yang dengan tega merusak Risa. Aku sudah mendahuluinya sebelum dia menikahi Risa. Akibat taruhan dengan teman-temanku, aku telah merenggut sesuatu yang sangat berharga dalam diri Risa. Dan aku sangat menyesali perbuatan terkutuk itu.Seandainya jika Rendi akan meluapkan amarah padaku, aku akan terima dengan lapang dada. Bagaimanapun, aku adalah lelaki yang tidak bertanggung jawab atas perbuatanku sendiri. Aku adalah lelaki pengecut.Rendi keluar dari dalam mobil, kemudian berjalan menghampiriku.Rendi berhenti tepat di depanku, aku pun turun dar
(POV Jona)Saat aku mengintip lewat jendela, benar saja, aku tidak salah lihat. Aku melihat Risa tergeletak di dalam rumah ini.“Risa!”Aku berusaha membuka pintu rumah ini. Namun ternyata dikunci dari dalam.Perasaan khawatir menggelayut dalam diri ini. Aku terus saja mencoba membuka pintu ini, namun tetap saja tidak bisa.Aku mundur beberapa langkah, berupaya untuk mendobrak pintu ini. Dalam hitungan satu, dua ti ….“Hey, mau ngapain kamu?” Aku terjingkat kaget saat mendengar seseorang teriak dari arah jalan.“Maaf, Pak. Saya mau bertamu ke rumah ini. Tapi ternyata pemilik rumahnya pingsan di dalam. Kalau nggak percaya coba Bapak lihat!” ucapku menunjuk ke arah jendela.Bapak-bapak itu kemudian menghampiriku.“Masa sih pingsan, coba saya lihat!” Tak percaya dengan ucapanku, Bapak-bapak itu mengintip lewat jendela.“Wah benar … Neng Risa pingsan. Ya Tuhan … kasihan sekali dia. Mana sekarang dia tinggal sendirian,” imbuhnya terlihat cemas.Dahiku mengernyit, tidak paham dengan ucapan
(POV Jona)“Om kesini, Om kesini ….”Aku berdiri di luasnya bukit yang berwarna hijau, dengan berbagai macam bunga yang terhampar luas, berwarna-warni yang mengeluarkan aroma harum. Aku tak tahu aku berada dimana. Aku pun tak tahu ini tempat apa. Yang jelas ini sangat indah, benar-benar indah. Sangat sulit aku jelaskan, karena ini memang benar-benar indah.“Om kesini!” Terdengar kembali suara anak kecil yang memanggil-manggil Om.Aku menengok kesana kemari, mencari sumber suara anak kecil itu.“Aku disini, Om!” panggilnya lagi.Anak kecil itu ternyata berada di bawah pohon bunga yang lumayan besar. Dia sedang bersembunyi, seolah sedang mengajakku bermain petak umpet.Aku tersenyum ke arahnya. Benar-benar anak yang manis dan cantik.“Om kesini!” Anak kecil itu melambaikan tangannya.Aku menunjuk diriku sendiri, memastikan apakah anak kecil itu sedang memanggil diriku.Anak kecil itu mengangguk, dia kembali melambaikan tangannya ke arahku.Aku pun mendekati anak kecil itu. Saat mendekat
(POV Jona)Aku menjatuhkan tubuhku tepat di dekat kaki Risa. Dengan cepat aku memegangi kakinya, mencium kedua kakinya. Aku kira Risa sudah memaafkanku, tapi ternyata dia masih belum bisa memaafkan kesalahanku. Dia masih terus menyalahkanku.“Maafkan aku, Risa. Aku tahu aku sangat salah. Tapi adakah sedikit saja kata maaf dari kamu untuk aku? Aku mohon, aku ingin hidupku tenang. Jika kamu mau, kamu boleh menghukumku. Kamu bebas melakukan itu, asalkan kamu mau memaafkan aku, Risa!”Risa bergeming, bahkan menjauhkan kedua kakinya dariku. Aku tidak tinggal diam, aku kembali bersimpuh di hadapan Risa, dan mencium kakinya lagi.“Berdiri!” ucap Risa.“Tidak, aku tidak akan berdiri sebelum kamu mau memaafkan aku.”“Aku bilang berdiri,” lirihnya, namun penuh penekanan.Aku pun berdiri menuruti permintaannya.Aku menatap Risa dengan air mata yang sudah membasahi pipi ini.“Aku sudah memaafkan kamu!” lirihnya.“Apa? Kamu serius, Risa? Apa kamu hanya bercanda?” tanyaku tak percaya.“Aku sudah me