(POV Davina)Aku bosan berada di rumah Hendri seharian ini. Hanya makan tidur, makan tidur, tidak ada kerjaan lain. Ingin sekali rasanya aku jalan-jalan, shopping, nyalon, tapi mas Rendi tidak ada. Tapi aku akan terus bersabar, semoga saja mas Rendi berhasil mendapatkan apa yang aku inginkan.Andai aku masih berada di rumah Risa, mungkin sekarang ini aku masih bisa berduaan dengan mas Rendi.“Heh, Vin, bisa nggak sih kalau bekas makan tuh beresin,” ujar Hendri.Aku menoleh ke arah Hendri, yang berdiri tai jauh dari tempat dudukku.Aku tidak menggubris ucapannya, aku anggap dia hanya angin lalu saja.Aku memainkan ponselku tanpa menghiraukan Hendri.“Woy! Jawab dong, malah asyik main ponsel. Kalau habis makan tuh beresin ke dapur, bukan malah di taruh di ubin kayak gini.” Hendri menggerutu, namun aku berusaha tak mendengarkannya.“Ck … dasar nggak guna, sudah numpang nggak tahu diri, lagi,” lirihnya.“Apa kamu bilang?” Aku melotot tajam ke arah Hendri. Aku tak terima disebut menumpang
(POV Davina)Suara nyanyian sekumpulan pengamen itu masih saja belum selesai. Aku sempat merasa kesal, sehingga memutuskan untuk mematikan panggilan telepon secara sepihak dari mas Rendi.“Berisik ih,” gumamku kesal.Aku memberikan uang receh kepada mereka, supaya mereka berhenti bernyanyi dan pergi dari hadapanku.Tapi hari ini aku cukup puas, ada dua hal yang membuatku bahagia hari ini. Pertama, bisa berkenalan dengan Jona, lelaki yang sangat tampan, dan yang kedua mendengar kabar bahwa mas Rendi berhasil mengusir si Risa.Aku sudah tak sabar ingin melihat kesengsaraan si Risa setelah diusir dari rumahnya sendiri.Gegas aku masuk ke dalam toko, memilih-milih baju yang akan aku pakai sekarang. Walaupun banyak yang menatapku heran, aku tak peduli. Aku tahu, pasti mereka heran kenapa bajuku sampai belepotan kotor seperti ini.Setelah baju yang aku sukai didapat, lanjut aku membayarnya di kasir. Aku mengganti baju di dalam toilet.“Sudah selesai, aku harus segera pergi ke rumah si Risa.
(POV Risa)“Tidak, jangan pernah kamu berani ambil anakku, Mas!” Aku berusaha melindungi Kania, supaya tidak dibawa pergi oleh mas Rendi.“Tapi dia anakku juga, aku berhak atas Kania.” Mas Rendi menghampiri Kania yang berada di gendongan bu Lela.Dengan cepat aku mengambil Kania dari bu Lela. Sebisa mungkin aku akan tetap mempertahankan anakku.“Lepaskan anakku, aku yang akan mengurusnya. Masa depan Kania akan lebih baik jika bersamaku,” sergah mas Rendi.“Rendi, jangan kamu pikir, dengan membawa Kania, Kania akan bahagia sama kamu. Tidak, Kania lebih membutuhkan seorang Ibu. Risa bisa merawatnya dengan baik,” timpal Dela.“Jangan ikut campur kamu, Del. Kamu bukan siapa-siapa, dan kamu tidak berhak mencampuri urusanku. Kania memang membutuhkan seorang ibu, ya, Davina lah yang akan menjadi ibunya Kania,” sarkas mas Rendi.Dari jalan, tampak orang-orang berhenti di depan rumahku. Mereka seakan sedang menyaksikan sebuah pertunjukan, dimana kami adalah pemainnya. Sebenarnya malu dipertont
(POV Rendi)Owek … owek … owek!Kania terus saja menangis di pangkuan Davina. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk menenangkannya. Tapi Kania tidak mau diam, dia terus saja menangis tiada henti.“Jangan nangis dong, kan Tante ada disini. Tante bisa jadi ibu yang baik buat kamu,” ujar Davina.Aku senang Davina menyayangi anakku. Aku yakin, dia pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku. Aku terus melajukan mobilku, aku ingin segera beristirahat. Ngomong-ngomong istirahat, hari ini aku akan menumpang di rumah Hendri untuk sementara waktu. Setelah itu, akan aku pikirkan untuk membeli sebuah rumah untuk aku huni dengan anakku dan juga Davina.“Sepertinya kamu sangat lelah, Mas. Yang sabar, ya, kamu sudah terbebas dari jeratan Risa. Sekarang tinggal kita pikirkan bagaimana kita kedepannya,” ujar Davina.“Terima kasih, sayang. Kamu memang sangat mengerti aku. Tapi yang aku sayangkan, rencana aku tidak sampai finish. Padahal tinggal 20% lagi, rencanaku akan berhasil. Tapi ya sudahlah, n
(POV Rendi)Aku melihat Kania menangis di bawah tempat tidur. Lantas aku buru-buru mengambilnya. Davina terbangun karena teriakanku barusan. “Mas kamu sudah pulang?” tanyanya dengan mata menahan kantuk.“Kenapa kamu tidak menjaga Kania dengan benar? Kania jatuh dari tempat tidur, sementara kamu enak-enakan tidur di atas kasur. Dimana otak kamu?” berangku.Dahi Davina mengernyit, kemudian duduk di tepi kasur.“Kania jatuh? Aku tidak tahu, Mas. Aku sangat mengantuk dan ketiduran,” sahutnya tanpa rasa bersalah.Aku bergeming, rasanya sangat marah pada Davina.“Aku minta maaf, Mas. Aku janji tidak akan ceroboh lagi seperti tadi,” ucapnya.“Awas saja, kalau terjadi apa-apa sama Kania, itu salah kamu. Tolonglah, kamu belajar jadi ibu yang baik, walaupun Kania bukan anak kandungmu,” sahutku.“Iya, Mas, aku janji bakalan jadi ibu yang baik buat Kania. Mana susunya? Biar aku buatin susu dulu di dapur,” kata Davina.Aku memberikan kantong kresek berisi susu formula itu. Kemudian gegas Davina
(POV Dela)Pagi ini aku akan membantu Risa mencari Kania. Kami berdua berpencar, Risa akan mencari ke kantor Rendi, sementara aku akan meminta bantuan kepada teman-temanku. Semoga saja, dengan cara ini, Kania bisa cepat ketemu.Risa berinisiatif mencari tahu dengan cara mendatangi kantor tempat Rendi bekerja. Meskipun ia tahu, itu akan sangat berisiko. Kedatangan Risa kesana pasti akan menimbulkan keributan lagi, dan tak segan mereka yang ada disana akan mengusirnya lagi. Tapi Risa tidak peduli akan hal itu. Yang ia inginkan sekarang, hanya Kania. Risa ingin Kania kembali ke dalam pelukannya.“Kamu yakin, akan pergi kesana?” tanyaku memastikan, saat kami berdua telah bersiap mencari Kania.“Ya, aku yakin. Aku yakin Rendi hari ini bekerja. Dengan itu, aku akan mencari tahu Rendi tinggal dimana sekarang ini. Maka itu akan memudahkanku untuk mengetahui dimana keberadaan Kania,” jawab Risa.Aku mengangguk, aku sangat prihatin melihat Risa. Dia tidak secerah seperti biasanya. Setelah Kania
(POV Dela)Aku segera mengangkat panggilan telepon dari Risa.“Halo, Ris,” sapaku dalam telepon.“Halo, Dela, hari ini Rendi tidak masuk kerja. Aku juga diusir lagi dari kantor itu, gara-gara penampilanku ini. Kamu dimana? Lebih baik kita lapor polisi saja. Bagaimana menurut kamu?” balas Risa memberi usul.Mulutku terasa kaku, sulit untuk membicarakan perihal kenyataan ini terhadap Risa. Rasa tak tega menggelayut dalam dadaku.“Halo, Del, kok diam saja. Bagaimana menurut kamu?” ulang Risa.Aku menyeka kedua mataku yang basah ini, sebelum menjawab ucapan Risa.“Halo, Risa, sebaiknya kamu pulang saja. Tidak perlu lapor polisi, tidak perlu kamu mencari Kania lagi ….” Ucapanku terpotong. Rasanya tak sanggup melanjutkan ucapanku.“Kenapa? Kenapa kamu bicara seperti itu, Del? Kania itu anakku loh, kalau kamu tidak mau bantu, ya sudah, aku bisa cari dia sendiri,” balas Risa.Aku menarik nafas dalam, berusaha tenang supaya Risa tidak syok mendengar kabar ini. Aku harus mencari kata-kata yang
(POV Risa)“Aku masih hidup, Davina. Kamu salah besar kalau mengira aku sudah mati,” timpalku yang baru saja keluar dari dalam kamarku.Aku mendengar kegaduhan di ruang tamu. Ternyata itu ulah Davina, yang mengira aku yang meninggal.Aku berdiri bersandar di daun pintu, sembari melipat kedua tanganku menatap Davina.“Oh, bukan kamu, ya yang mati? Sayang sekali,” cetusnya sangat tidak sopan.Davina semakin berani berbicara semaunya. Beruntung aku dan Dela sudah mengusirnya dari sini malam itu. Kalau tidak, mungkin Davina akan semakin bertingkah kurang ajar kepadaku, bahkan melakukan hal yang lebih parah dari ini.“Mau apa kamu kesini?” tanya mas Rendi kepada Davina. Davina terlihat mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan dari mas Rendi.“Ya nyari kamu lah, Mas. Mau apa lagi? Aku cariin kamu dari tadi, tapi malah kamu ada disini, di rumah janda gatel.” Davina semakin kurang ajar. Berani sekali dia menghinaku. Padahal dia sendiri yang merebut mas Rendi dariku. Tapi tak apalah, to
(POV Rendi)Keesokan paginya, sejak subuh tadi aku sudah bangun dan melaksanakan shalat subuh.Sudah terlalu lama aku meninggalkan kewajiban ku karena terlalu sibuk mengejar dunia. Namun setelah diberikan ujian bertubi-tubi, aku sadar, bahwa aku telah melupakan-Nya. Sungguh aku manusia tak tahu diri. Sudah diberi kenikmatan namun aku merasa selalu kurang, kurang dan kurang.Selesai melaksanakan shalat subuh, hatiku merasa tenang dan tentram. Aku melipat sajadah dan sarung lalu menaruhnya di atas meja.Kemudian aku mencuci baju-bajuku lalu memasak untukku sarapan pagi ini.Jam 07.00, semua pekerjaan rumah sudah selesai. Kini aku bersiap untuk pergi ke kios beras milik Bams.“Bismillahirrahmanirrahim.” Aku mengucap doa saat kaki kananku melangkah keluar. Semoga pekerjaan yang aku lakonin sekarang menjadi rezeki yang berkah.Dengan berbekal uang sepuluh ribu sisa membeli nasi aking kemarin, aku berjalan menuju jalan raya untuk menyetop angkutan umum.Aku berdiri dengan penuh percaya diri
(POV Rendi)“Dengan begitu, saudari Davina akan dijatuhkan hukuman selama 5 tahun!”Tok! Tok! Tok!Hakim mengetuk palu sebanyak tiga kali, itu artinya Davina sudah divonis hukuman penjara.Keputusan hakim membuatku hancur, bagaimana tidak, sudah dua bulan aku mencari Davina, tapi saat aku mendapat kabar, ternyata dia terkena kasus percobaan melenyapkan nyawa seseorang.Davina menunduk, perutnya mulai membesar. Terpaksa Davina harus melahirkan di dalam penjara. Aku tak kuasa mendengar kenyataan ini.Aku menoleh ke arah belakang, terlihat Risa dan Jona sedang duduk dengan keluarga Darian, karena sidang ini terbuka untuk umum. Aku baru tahu, jika Davina masih memiliki kakak. Dela yang memberitahu saat tak sengaja bertemu. Parahnya lagi, Davina sempat mengakui jika kami telah berpisah. Sungguh itu merupakan kebohongan yang besar.Setiap hari aku bela-belain keliling menjual makanan asongan demi mencukupi kebutuhan Davina, tapi Davina sungguh telah membuatku kecewa, sama sekali dia tak men
(POV Darian)Melihat pemandangan yang tampak di depan mataku, aku segera berjalan cepat ke dalam kamarku untuk mengambil ponselku yang ketinggalan.“Kamu diam disini, jangan kemana-mana!” ujarku kepada Davina.Aku masuk ke dalam kamarku dan mengambil cepat ponselku.Aku pun berinisiatif mengirimkan pesan kepada satpam untuk menutup pintu gerbang dan menguncinya. Namun sebelum itu, aku menyuruhnya untuk memberitahu mama yang masih berada di dalam mobil di luar gerbang, supaya lebih dulu masuk.Aku kembali ke ruang tamu, dimana Davina masih berada disana.“Lepaskan, biarkan saya pergi!” teriak Davina dari arah luar. Ternyata benar, dia berusaha kabur namun beruntung pak satpam segera menghalanginya.Aku juga segera menghubungi polisi, supaya cepat datang kesini.“Papa!” teriak mama yang baru saja masuk ke dalam rumah. Mama teriak histeris saat mendapati Papa tak sadarkan diri dengan perut bersimbah darah.Kemudian satpam penjaga rumah datang dengan menyeret Davina. Dia dibantu oleh sop
(POV Darian)Hari ini aku merasa bahagia karena telah dipertemukan dengan adikku. Rasanya seperti mimpi, aku masih memiliki keluarga kandung. Namun respon mama dan papa seperti kurang antusias menyambut adikku, terutama mama, mama memberitahu jika Davina sempat menyiramnya dengan minuman. Yang lebih parahnya, Davina juga sempat bersitegang dengan Dela, sampai dahi Dela terluka.Aku tak tahu ada masalah apa Dela dan Davina. Sehingga mereka ribut seperti itu. Tapi walaupun begitu, aku akan memaafkan Davina.“Darian, obati dahi Dela, kasihan dia. Sebentar lagi acara akan segera dimulai, kamu tidak usah menunggu Davina, karena acara ini untuk kalian berdua bukan untuk Davina,” imbuh mama.“Benar kata Mama kamu, Darian. Nanti Davina bisa menyusul setelah mandi dan berganti pakaian,” timpal papa.Aku pun mengangguk, walaupun aku ingin sekali menunggu Davina.Acara pun dimulai setelah dahi Dela diobati. Sekarang kami saling menyematkan cincin di jari manis kami. Acara ini cukup meriah, karen
(POV Davina)“Aaaaaaa!” Aku menjerit kesakitan saat rambutku dijambak oleh Dela.“Terus, terus jambak saja rambutku. Tidak akan lama lagi kamu akan tahu siapa aku, Dela,” batinku tersenyum.Semua tamu undangan menjadi gaduh dan mengelilingi kami yang sedang berseteru ini.“Tolong … dia menyakitiku,” jeritku.Satpam rumah ini pun berusaha melerai pertikaian kami. Namun aku akan terus memancing kemarahan Dela, sampai kakakku benar-benar keluar.“Cukup! Apa-apaan ini?” teriak seseorang menggema. Keadaan menjadi hening. Apakah itu kakakku?Kemudian datang seseorang berpakaian hitam-hitam seperti seorang sopir. Mungkin dia sopir keluarga kakakku.“Kamu siapa? Apakah kamu tamu undangan disini? Kenapa kamu bikin ulah disini?” tanyanya.“Bikin ulah? Dia yang bikin ulah,” tunjukku ke arah Dela.“Lagipula, tidak penting juga saya memberitahu kamu dan kalian siapa aku sekarang. Nanti juga kalian akan tahu dan akan terkejut jika tahu aku ini siapa,” lanjutku.“Ya, aku sudah tahu kamu siapa. Janga
(POV Davina)Sumpah demi apapun, aku sangat geram terhadap bi Imah. Semenjak dia kenal dan tinggal dengan Risa, dia menjadi sombong.Bi Imah sama sekali tidak kasihan dengan keadaanku sekarang ini. Aku sedang hamil, tapi hidupku menjadi sengsara begini.Aku kira menikah dengan mas Rendi, hidupku akan lebih baik, aku akan menjadi orang kaya. Tapi ternyata semuanya salah. Iya kaya, tapi hanya sebentar.Bi Imah mendiamkanku setelah ia memberitahu alamat rumah kakakku. Aku tak menyangka, aku bakalan bertemu dengan kakak kandungku. Dulu aku hanya mendengar cerita saja dari bi Imah bahwa aku memiliki seorang kakak. Tapi keadaan yang memaksa kami untuk berpisah.“Imah, ayo kita pergi sekarang!” Seorang pria menghampiri bu Imah. Aku tidak tahu dia siapa.Pria itu kemudian membukakan pintu mobil untuk bi Imah. Melihat pemandangan itu, mataku terbelalak. Kenapa bisa bi Imah menaiki mobil mewah seperti itu? Apakah mereka sudah menikah? Tubuhku menjadi panas, bukan karena panas demam atau cuaca t
(POV Bu Imah)Seminggu kemudian, setelah Risa resmi menikah dengan Jona. Kini aku tinggal seorang diri di rumah Risa. Awalnya aku berniat pergi dari rumah ini. Namun Risa mencegah, dia tak tega jika aku pergi dari sini. Aku merasa tidak enak kepadanya, karena ini bukan rumahku, aku hanya menumpang disini. Tapi sungguh hati Risa sangat baik, entah terbuat dari apa hatinya, dia tidak mempermasalahkan aku tinggal di rumah ini sampai kapanpun. Baginya aku sudah seperti ibunya.Risa pun sempat menawariku untuk tinggal di rumah barunya bersama Jona. Namun aku menolak dan memilih tinggal seorang diri. Bukan aku tak menghargai niat baiknya, namun aku tidak mau jika sampai mengganggu mereka dengan keberadaanku di tengah-tengah mereka.Ting ….“Bibi, aku barusan sudah memesan makanan buat Bibi. Sebentar lagi ada kurir yang mengantarkannya. Bibi tidak usah repot-repot memasak hari ini. Oh iya, kalau perlu apa-apa, hubungi aku ya, Bi. Bibi juga bebas mau main ke rumahku. Mama sama Papa juga tidak
(POV Risa)“Risa!” teriak Jona, bu Imah dan pak Willy kompak.Tubuhku terhempas ke sisi jalan raya saat aku berusaha menyelamatkan bu Diva dari pengendara motor yang ugal-ugalan. Tubuhku rasanya sakit, namun beruntung aku tidak sampai pingsan.“Ya Tuhan, dahi dan kaki kamu berdarah.” Jona panik melihat keadaanku.Sementara pak Willy membantu bu Diva berdiri.“Tolong bawa Risa ke rumah sakit, Nak Jona. Kasihan dia pasti kesakitan,” imbuh bu Imah terlihat khawatir.Tanpa berlama-lama, Jona mengangkat tubuhku dan memasukkan ku ke dalam mobilnya.Beberapa kali aku mengaduh kesakitan. Dahiku terasa perih, terlebih kakiku selain berdarah mungkin juga terkilir.Dengan cepat Jona membawaku ke rumah sakit dekat-dekat sini.“Kamu yang kuat ya, sayang. Sebentar lagi kita sampai,” ujar Jona.Aku hanya mengangguk sambil meringis menahan sakit.Lima belas menit kemudian, kami sudah berada di rumah sakit. Aku segera ditangani oleh dokter. Dahi dan kakiku diperban supaya darah tidak terus menerus men
(POV Risa)Aku menunduk kala bu Diva sedari tadi memperhatikanku tanpa ekspresi dan tanpa banyak bicara. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, namun itu membuatku merasa was-was.“Risa, rencananya kami mau mengajak kamu makan bersama. Apakah kamu sedang tidak sibuk?” tanya pak Willy.“Em … rencananya hari ini kami mau keliling lagi jualan, Pak,” jawabku.“Begini saja, semua jualan kamu biar saya borong semuanya untuk makan siang semua karyawan di kantor. Saya akan panggil rendra untuk datang kesini menjemput semua makanan itu. Sekarang kamu dan Ibu kamu segera bersiap-siap. Saya ingin mengenal lebih dekat dengan calon menantu saya,” imbuh pak Willy.Aku pun menyetujui permintaannya. Aku meminta izin untuk bersiap berganti pakaian, begitupun dengan bu Imah.Di dalam kamar, aku segera berganti pakaian dengan pakaian terbaik menuurutku yang aku punya. Semoga aku tidak malu-maluin dengan penampilan ini.Selesai berganti pakaian, aku keluar dari kamar dan bergabung kembali dengan keluarg