(POV Davina)Suara nyanyian sekumpulan pengamen itu masih saja belum selesai. Aku sempat merasa kesal, sehingga memutuskan untuk mematikan panggilan telepon secara sepihak dari mas Rendi.“Berisik ih,” gumamku kesal.Aku memberikan uang receh kepada mereka, supaya mereka berhenti bernyanyi dan pergi dari hadapanku.Tapi hari ini aku cukup puas, ada dua hal yang membuatku bahagia hari ini. Pertama, bisa berkenalan dengan Jona, lelaki yang sangat tampan, dan yang kedua mendengar kabar bahwa mas Rendi berhasil mengusir si Risa.Aku sudah tak sabar ingin melihat kesengsaraan si Risa setelah diusir dari rumahnya sendiri.Gegas aku masuk ke dalam toko, memilih-milih baju yang akan aku pakai sekarang. Walaupun banyak yang menatapku heran, aku tak peduli. Aku tahu, pasti mereka heran kenapa bajuku sampai belepotan kotor seperti ini.Setelah baju yang aku sukai didapat, lanjut aku membayarnya di kasir. Aku mengganti baju di dalam toilet.“Sudah selesai, aku harus segera pergi ke rumah si Risa.
(POV Risa)“Tidak, jangan pernah kamu berani ambil anakku, Mas!” Aku berusaha melindungi Kania, supaya tidak dibawa pergi oleh mas Rendi.“Tapi dia anakku juga, aku berhak atas Kania.” Mas Rendi menghampiri Kania yang berada di gendongan bu Lela.Dengan cepat aku mengambil Kania dari bu Lela. Sebisa mungkin aku akan tetap mempertahankan anakku.“Lepaskan anakku, aku yang akan mengurusnya. Masa depan Kania akan lebih baik jika bersamaku,” sergah mas Rendi.“Rendi, jangan kamu pikir, dengan membawa Kania, Kania akan bahagia sama kamu. Tidak, Kania lebih membutuhkan seorang Ibu. Risa bisa merawatnya dengan baik,” timpal Dela.“Jangan ikut campur kamu, Del. Kamu bukan siapa-siapa, dan kamu tidak berhak mencampuri urusanku. Kania memang membutuhkan seorang ibu, ya, Davina lah yang akan menjadi ibunya Kania,” sarkas mas Rendi.Dari jalan, tampak orang-orang berhenti di depan rumahku. Mereka seakan sedang menyaksikan sebuah pertunjukan, dimana kami adalah pemainnya. Sebenarnya malu dipertont
(POV Rendi)Owek … owek … owek!Kania terus saja menangis di pangkuan Davina. Sudah berbagai cara aku lakukan untuk menenangkannya. Tapi Kania tidak mau diam, dia terus saja menangis tiada henti.“Jangan nangis dong, kan Tante ada disini. Tante bisa jadi ibu yang baik buat kamu,” ujar Davina.Aku senang Davina menyayangi anakku. Aku yakin, dia pasti bisa menjadi ibu yang baik untuk anakku. Aku terus melajukan mobilku, aku ingin segera beristirahat. Ngomong-ngomong istirahat, hari ini aku akan menumpang di rumah Hendri untuk sementara waktu. Setelah itu, akan aku pikirkan untuk membeli sebuah rumah untuk aku huni dengan anakku dan juga Davina.“Sepertinya kamu sangat lelah, Mas. Yang sabar, ya, kamu sudah terbebas dari jeratan Risa. Sekarang tinggal kita pikirkan bagaimana kita kedepannya,” ujar Davina.“Terima kasih, sayang. Kamu memang sangat mengerti aku. Tapi yang aku sayangkan, rencana aku tidak sampai finish. Padahal tinggal 20% lagi, rencanaku akan berhasil. Tapi ya sudahlah, n
(POV Rendi)Aku melihat Kania menangis di bawah tempat tidur. Lantas aku buru-buru mengambilnya. Davina terbangun karena teriakanku barusan. “Mas kamu sudah pulang?” tanyanya dengan mata menahan kantuk.“Kenapa kamu tidak menjaga Kania dengan benar? Kania jatuh dari tempat tidur, sementara kamu enak-enakan tidur di atas kasur. Dimana otak kamu?” berangku.Dahi Davina mengernyit, kemudian duduk di tepi kasur.“Kania jatuh? Aku tidak tahu, Mas. Aku sangat mengantuk dan ketiduran,” sahutnya tanpa rasa bersalah.Aku bergeming, rasanya sangat marah pada Davina.“Aku minta maaf, Mas. Aku janji tidak akan ceroboh lagi seperti tadi,” ucapnya.“Awas saja, kalau terjadi apa-apa sama Kania, itu salah kamu. Tolonglah, kamu belajar jadi ibu yang baik, walaupun Kania bukan anak kandungmu,” sahutku.“Iya, Mas, aku janji bakalan jadi ibu yang baik buat Kania. Mana susunya? Biar aku buatin susu dulu di dapur,” kata Davina.Aku memberikan kantong kresek berisi susu formula itu. Kemudian gegas Davina
(POV Dela)Pagi ini aku akan membantu Risa mencari Kania. Kami berdua berpencar, Risa akan mencari ke kantor Rendi, sementara aku akan meminta bantuan kepada teman-temanku. Semoga saja, dengan cara ini, Kania bisa cepat ketemu.Risa berinisiatif mencari tahu dengan cara mendatangi kantor tempat Rendi bekerja. Meskipun ia tahu, itu akan sangat berisiko. Kedatangan Risa kesana pasti akan menimbulkan keributan lagi, dan tak segan mereka yang ada disana akan mengusirnya lagi. Tapi Risa tidak peduli akan hal itu. Yang ia inginkan sekarang, hanya Kania. Risa ingin Kania kembali ke dalam pelukannya.“Kamu yakin, akan pergi kesana?” tanyaku memastikan, saat kami berdua telah bersiap mencari Kania.“Ya, aku yakin. Aku yakin Rendi hari ini bekerja. Dengan itu, aku akan mencari tahu Rendi tinggal dimana sekarang ini. Maka itu akan memudahkanku untuk mengetahui dimana keberadaan Kania,” jawab Risa.Aku mengangguk, aku sangat prihatin melihat Risa. Dia tidak secerah seperti biasanya. Setelah Kania
(POV Dela)Aku segera mengangkat panggilan telepon dari Risa.“Halo, Ris,” sapaku dalam telepon.“Halo, Dela, hari ini Rendi tidak masuk kerja. Aku juga diusir lagi dari kantor itu, gara-gara penampilanku ini. Kamu dimana? Lebih baik kita lapor polisi saja. Bagaimana menurut kamu?” balas Risa memberi usul.Mulutku terasa kaku, sulit untuk membicarakan perihal kenyataan ini terhadap Risa. Rasa tak tega menggelayut dalam dadaku.“Halo, Del, kok diam saja. Bagaimana menurut kamu?” ulang Risa.Aku menyeka kedua mataku yang basah ini, sebelum menjawab ucapan Risa.“Halo, Risa, sebaiknya kamu pulang saja. Tidak perlu lapor polisi, tidak perlu kamu mencari Kania lagi ….” Ucapanku terpotong. Rasanya tak sanggup melanjutkan ucapanku.“Kenapa? Kenapa kamu bicara seperti itu, Del? Kania itu anakku loh, kalau kamu tidak mau bantu, ya sudah, aku bisa cari dia sendiri,” balas Risa.Aku menarik nafas dalam, berusaha tenang supaya Risa tidak syok mendengar kabar ini. Aku harus mencari kata-kata yang
(POV Risa)“Aku masih hidup, Davina. Kamu salah besar kalau mengira aku sudah mati,” timpalku yang baru saja keluar dari dalam kamarku.Aku mendengar kegaduhan di ruang tamu. Ternyata itu ulah Davina, yang mengira aku yang meninggal.Aku berdiri bersandar di daun pintu, sembari melipat kedua tanganku menatap Davina.“Oh, bukan kamu, ya yang mati? Sayang sekali,” cetusnya sangat tidak sopan.Davina semakin berani berbicara semaunya. Beruntung aku dan Dela sudah mengusirnya dari sini malam itu. Kalau tidak, mungkin Davina akan semakin bertingkah kurang ajar kepadaku, bahkan melakukan hal yang lebih parah dari ini.“Mau apa kamu kesini?” tanya mas Rendi kepada Davina. Davina terlihat mengerutkan keningnya saat mendengar pertanyaan dari mas Rendi.“Ya nyari kamu lah, Mas. Mau apa lagi? Aku cariin kamu dari tadi, tapi malah kamu ada disini, di rumah janda gatel.” Davina semakin kurang ajar. Berani sekali dia menghinaku. Padahal dia sendiri yang merebut mas Rendi dariku. Tapi tak apalah, to
(POV Davina)“Mas, kamu masih marah sama aku? Padahal aku sudah minta maaf, loh!” ucapku.Mas Rendi bergeming, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku kesal, suasana kini berubah menjadi canggung. Mas Rendi terlalu fokus menyetir, sehingga aku seperti tak dianggap ada.“Masalah Kania mati, itu bukan salahku. Itu sudah takdir dari Tuhan. Aku juga tidak tahu, kalau kejadiannya akan seperti ini. Lagipula, kalau ada yang harus disalahkan itu kamu, Mas, bukan aku. Kenapa kamu membawa Kania, sudah bagus dia sama ibunya,” ucapku.Aku seperti berbicara dengan patung. Mas Rendi sama sekali tidak menyahut perkataanku. Bahkan menyebut kata oh saja dia tak ada.Geram rasanya melihat tingkah lakunya yang seperti ini. Semenjak kematian anaknya, dia berubah menjadi sangat dingin.“Jawab dong, Mas!” bentakku.Aku meraih tangannya, dan tanpa diduga mobil yang dikendarainya oleng.“Aaaaaaa ….”Beruntung Mas Rendi bisa mengendalikan mobilnya. Kalau tidak, kami bisa mati karena hampir menabrak k