Bab 90. Pengakuan Cinta Amelia Telepon ditutup oleh Haga. Amelia menurunkan ponselnya pelan. Gelisah dan cemas melanda hati. Sempat dia melihat rona kecewa di wajah Andre. Pria itu bahkan menghela napas beberapa kali dengan sangat panjang. Lalu mengembuskannya pelan-pelan. Mungkin untuk menenangkan hati agar tak emosi demi mendengar dusta gadis yang dicintainya itu sudah terbongkar. “Amelia, entah apa yang ada di dalam pikiran kamu! Aku bingung! Tapi, terserahlah! Aku akan ikuti apa maumu! Toh, aku tak bisa memaksakan kehendakku. Apa lagi memaksamu mengakui perasaan hatimu yang sesugguhnya. Aku akan menunggu, sampai kamu merasa lelah dengan dustamu, lalu kau datang padaku dan mengakui rasa di hatimu. Karena aku yakin sekali, rasa itu akan semakin menyiksa kamu, Mel. Kua pasti akan menyerah di pelukanku,” bisik batin Andre menguatkan hatinya. Amelia mendesah kian resah. Betapa dia ingin meminta maaf. Tetapi, melihat sikap Andre yang acuh dan seolah tak mendengar apa-apa, membuat g
Bab 91. Vito Menebus Kesalahan Masa lalu Hari ini Anwar sudah boleh pulang. Tetapi dari hasil kesepakatan, dia tak akan pulang ke rumah. Dr. Vito sudah mengurus cuti. Sesuai janjinya pada Amelia, dia akan membawa Anwar ke desanya. Desa Telagah, lebih kurang 120 KM dari kota Medan. Pengobatan secara tradisional aka dia upayakan, untuk kesembuhan stroke yang diderita oleh Papa Amelia. Itu adalah cara Dr. Vito untuk menebus kesalahan di masa lalu. Meskipun berulangkali Amelia menolak, tetapi pria itu tak surut. Kegagalan pernikahannya adalah karma. Begitu pikirnya. Karma karena dulu dia dan mantan istrinya pernah mengolok-olok bahkan mempermalukan Amelia. Kasus bulliying itu bahkan sempat membuat Amelia trauma parah, dan memilih keluar dari sekolah mereka. Tak ada hubungan kasus masa remaja itu dengan nasip pernikahan Dr. Vito. Tetapi, sang dokter tetap merasa dikejar-kejar rasa berdosa. Itu sebab dia meminta maaf dengan segala cara. Termasuk kesembuhan Papa Amelia. “Mama juga ma
Bab 92. Mantan Madu Mengamuk ====== “Eh, lifnya terbuka, Non. Ayok, Non ke ruang administrasi, saya langsung ke parkiran, ya! Pak Dadang masih nunggu di sana, kok. Bilang sama Bapak, yang semangat berobatnya! Saya akan doakan semoga serasi berobatnya, cepat sembuh, udah, ya, Non! Saya langsung pulang! Hati-hati nanti di jalan, dan pulangnya, ya, Non! Assalamualaikum!” Bik Jum berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit, lalu berbelok menuju parkiran. Sementara Amelia masih terpaku di depan lif, hingga sosok ART kebanggannya itu lenyap dari pandangan mata, gadis itu belum juga mampu bergerak dari sana. Ada ngilu yang menusuk kalbu Amelia. Wanita baik hati itu sukses membuat sudut matanya mengembun. Kecewa yang dibalut dengan senyum di bibir Bik Jum justru lebih tajam daripada mata pisau. Mata pisau yang serasa mengiris halus hatinya. “Maafkan aku, Bik!” bisiknya pelan. “Papa menginginkan Tante Regina, bukan Bibik. Maafkan aku yang tak bisa mengalihkan rasa di hati Papa kepa
Bab 93. Om Nurdin Meninggal “Mau dibawa ke mana Papa saya!” Yati kembali histeris saat dua orang perawat mendorong kursi roda Nurdin kembali menuju ruang rawat. Dia berusaha menahan kursi roda itu sekuat tenaga. “Maaf, Bu! Pasien akan kembali kita rawat. Lepasin, Bu! Selang infus akan kembali kita pasang dan suntikan obat kembali kita berikan. Tolong jangan dihalangi, pasien semakin lemah, Bu!” jawab perawat menerangkan. “Aku udah gak sanggup bayar! Sekarang aja aku udah terutang! Liat rincian biayanya sana! Aku gak bisa bayar!” “Maaf, Bu! Kata bagian Adm, ada seseorang yang udah menangungjawabi mengenai biaya. Maaf, Bu! Kita harus cepat! Tolong lepasin! Pasien makin lemah!” “Siapa? siapa yang mau menolong kami, ha? Gak mungkin ada? Kalian pasti salah!” “Yang tadi, Bu. Yang sempat berbicara dengan Ibu juga. Ibu itu, hari ini papanya pulang karena sudah sembuh. Kalau tidak salah, namanya Bu Amelia.” “Apa? Si Kribo …. Dia mau membiayai pengobatan Papa?” lirih Yati tak percaya.
Bab 94. Dendam Membakar Istri Pertama Segera Amelia menghubungi Bahrum, orang kepercayaan yang mengurusi keuangan peternakan milik papanya. Tanpa meminta persetujuan Yati, gadis itu memerintahkan Bahrum agar datang ke rumah sakit mengurus segala sesuatunya, membantu Yati hingga penguburan jenazah. Rumah Nurdin sudah tak ada, ke mana jenazah akan disemayamkan? Itu semua tak luput dari pemikiran gadis itu. “Kamu memang gadis yang baik, Mel!” ucap Regina dengan mata berkaca-kaca. “Om Nurdin sahabat Papa, Tante. Papa pernah menganggapnya sebagai saudara di kota ini. Sebab Papa tak tak punya siapa-siapa di sini. Seburuk-buruknya Almarhum, dia pernah berjasa bagi Papa.” Regina mengangguk, wanita itu kini bertambah yakin akan pilihan putranya ini. Semoga Andre tak pernah berubah. Tidak akan berubah meski banyak pilihan yang lain. Wanita itu mendesah gundah. Entah mengapa, ada resah yang tiba-tiba menyeruak di dalam dadanya. Sejak dia menangkap tatapan takjub Andre saat melihat Vera. T
Bab 95. Kerikil Percintaan Amelia dan Andre “Gak perlu! Aku gak butuh bantuan kamu! Aku bisa selesaikan sendiri! Dan mengenai balas dendamku pada si Kribo, kau tak perlu ajari aku! Aku bisa membuat perempuan itu menangis darah dengan caraku. meskipun dia telah membantuku.” “Kau gak bisa sendirian, Sayang! Kau butuh aku! Kau butuh pendukung!” “Tidak! Aku tidak butuh dirimi, Mas! Justru aku ingin memperingatkanmu untuk bersiap-siap! Karena setelah membalas si Kribo, giliranmu juga akan tiba!” “Apa maksudmu?” “Kau telah mempermainkanku, Mas! Kau telah membunuh Papaku dengan membujukku mencuri surat perjanjian pra nikah itu! Asal kau tahu, Papaku meninggal karena kehilangan surat itu! dan itu, kau pencurinya. Kau harus bertanggung jawab! Tunggu pembalasan dariku!” “Yati! Yat …! Yati …!” Yati tersenyum tipis. Lebih tepatnya menyeringai. Api dendam tiba-tiba membakar hati dan pikiran. Berbagai rencana keji berseliweran di otak. Setelah pemakaman sang Papa, akan segera dilaksanaka
Bab 96. Kerikil Kian Tajam “Jangan seperti anak kecil, dong!” Deva masih berusaha membujuk. “Ya.” Amelia tetap acuh. “Kamu tahu, Sayang? Apa yang paling dibutuhkan dalam membina satu hubungan? Kepercayaan. Kita harus saling percaya. Gak boleh ada salah paham. Hubungan ini, teramat sulit kita bina awalnya, bukan? Begitu sulit aku mendapatkan pengkuan dari kamu. Aku gak mau tiba-tiba rusak hanya karena sebuah kesalah pahaman. Kau sependapat, bukan?” Andre menatap lembut wajah Amelia. “Ya.” Hanya itu tetap yang keluar dari mulut gadis itu. “Kenapa hanya ‘ya’ terus?” gerutu Andre mulai putus asa. Amelia tak menjawab lagi. “Ngomong, dong, Mel! Kalau mau marah, ya, marah aja! Aku siap menerima marah kamu! Jangan diam saja seperti ini!” “Aku gak marah, Mas! Aku juga gak diam. Tadi aku jawab ‘ya’ salah. Aku gak jawab, kamu bilang aku diam saja. Lalu, aku harus bagaimana?” sergah Amelia mematikan ponselnya. “Iya, aku yang salah. Aku tadi itu spontan aja, Sayang. Gak ada maksud yan
Bab 97. Tekat Vera Untuk Menaklukkan Andre “Iqis mau sama Papa aja! naik mobin Papa …,” rengek Bilqis memeluk kaki Dr. Vito. Vera berusaha membujuk, tetapi sia-sia. Gadis kecil itu malah makin melengkingkan suara tangisannya. Dr. Vito tampak kebingungan. Segera Amelia bertindak untuk membantunya. “Iya, Bilqis ikut di mobil Papa aja! Ayo, Sayang, sama Tante juga. Kita duduk di depan, ya! Tante yang pangku Bilqis biar gak ganggu Papa saat nyetir!” bujuknya menggendong tubuh mungil itu masuk ke dalam mobil Dr. Vito. Tangis Bilqis langsung reda. “Mel, lebih baik kamu ikut mobilku aja. Biar Vera yang di mobil Dr. Vito!” Andre mengusulkan. “Tidak usah, Mas! Aku bisa jagain Bilqis sambil jagain Papa di sini,” tolak gadis itu seraya menutup pintu mobil. Andre menghela napas panjang, lalu masuk ke dalam mobilnya dengan langkah lesu. Vera mengikutinya dengan rasa lega yang membuncah. Gadis itu bahkan memilih duduk di samping Andre sekarang. Itu membuat Andre makin gelisah. “Suster Ayu
Bab 200. Tamat (Malam Pertama Amelia)Amelia bersimpuh di pangkuan sang Papa. Memohon doa restu dengan derai air mata haru. Daffin mengikuti berbuat yang sama.Amelia bergeser ke bangku Rahayu. Andy ada di sampingnya. Wanita itu memeluk gadis bergaun pengantin itu. Membisikkan kalimat restu dan menguntai doa sakral. Semoga pernikahan putra semata wayangnya dengan gadis ini penuh keberkahan, abadi, tanpa pernah ada lagi perpisahan.“Terima kasih Tante,” ucap Amelia surut masih dengan berjongkok. Lalu berbisik pada Daffin, pria yang baru saja menghalalkannya. “Mas, minta restu pada Tante Rahayu, ya! Juga kepada Pak Andy, papa kandung Mas Daffin. Lakukan itu, seperti Mas meminta restu pada papaku! Agar pernikahan kita ini berkah, Mas!”Daffin menatap mata wanitanya, lembut. Lalu mengangguk. Pria itu melakukan seperti yang Amelia ucapkan. Untuk pertama kalinya, Rahayu memeluk tubuh putranya. Air mata haru tak henti mengalir deras membasahi kedua pipi kurusnya. Sama harunya sepert
Bab 199. Sentuhan Karena Cemburu Daffin Di Dalam Lif“Ada apa dengan Mas Andre? Aku tahu, kok, dia dirawat di sini,” tanya Amelia penasaran.“Dia ingin bertemu kamu, tanpa Pak Daffin. Mungkin kamu bisa luangkan waktu kamu menjenguknya sebentar.” Dr. Vito mengusulkan.“Waw, Andre ingin bertemu Amelia tanpa aku? Hebat! Apa yang kalian rahasiakan dariku?” Daffin mendelik pada Amelia, pria itu kembali terbakar.“Amelia juga belum tahu, Pak Daffin. Tak ada rahasia. Tapi, Andre memang takut kalau Pak Daffin ikut,” sela Dr. Vito.“Takut apa? Dia mau mengambil Amelia lagi dariku, begitu?” sergah Daffin dengan wajah mengetat.“Bukan tentang Amelia, Pak, tapi … wah, saya tak enak mengatakannya. Tapi, alangkah lebih baiknya kalau Amelia menemuinya!”“Baik, terima kasih, Vito! Aku dan Mas Daffin akan menemuinya! Antara aku dan Mas Daffin tak pernah ada rahasia. Terserah, Mas Andre setuju, takut, dan sebagainya! Ayo, Mas kita ke rungannya! Ayo, Mela! Kami duluan, ya! Dadaah, Bilqis!”Amelia me
Bab 198. Daffin Cemburu Buta“Jangan seperti anak kecil, dong, Mas! Enggak ada angin, enggak ada badai, tiba-tiba aja, Mas Daffin sewot, aku gak paham, ada apa, sih?” Amelia menahan lengan Daffin.“Gak ada! Maaf aku buru-buru!” Pria itu menepis dengan sedikit kasar. Hampir saja gadis itu tersungkur. Sebuah tangan menahan tubuhnya.“Ati-ati, dong, Om! Kacian Antenya!” Seorang anak kecil berteriak dengan lantang. “Untung dipegangi mama Iqis, kalau enggak Antenya udah jatuh! Oom dahat!” sungut bocah perempuan itu lagi. Daffin dan Amelia tersentak kaget. Keduanya menoleh ke sumber suara. Suara itu sepertinya tak asing di telinga Amelia.“Ante Amel?” sang bocah malah lebih dulu mengenalinya. “Ini Ante Amel, kan? Mama, ini Ante Amel!” teriak bocah lincah itu kepada wanita yang bersamanya.“Bilqis?” gumam Amelia seraya merunduk lalu memeluk gadis kecil itu. Daffin terpana. “Ini Mama Iqis, Ante! Mama, ini Ante Amel, temannya Papa! Iqis mau Ante Amel jadi mama Iqis, tapi kata Papa, A
Bab 197. Telepon Dari Dr. Vito“Kalau memang Om Andy dengan Tante Ayu udah ada niat menikah, gak boleh ditunda lagi! Kalau saya dan Mas Daffin, bisa kok, nunggu dulu. Pokoknya Om dan Tante aja duluan! Mas Daffin enggak suka kalau Om Andy menunda lagi, ya, Om, Tante!” kata Amelia menekankan.Kedua calon mertuanya itu saling tatap. Lalu menghela napas kasar.“Mama cepat sembuh, pokoknya! Pak Andy jangan banyak pikiran lagi! Ini, pakai untuk keperluan Bapak! Tentang biaya sekolah Klara dan Indah, jangan pikirkan lagi, sudah diurus oleh anggota saya!” tukas Daffin sembari menyerahkan sebuah kartu kredit kepada Andy.“I-ini apa, Nak?” Andy tergagap. “Ti-tidak usah, Nak Daffin, tidak usah! Bapak akan burusaha bekerja semaksimal mungkin untuk mengumpulkan biaya pernikahan. Bapak tidak mau membebani Nak Daffin!” tolaknya mendorong dengan halus di tangan Daffin.“Pakailah, mulai sekarang Bapak akan saya anggap papa saya. Setelah menikahi Mama, Bapak akan saya bawa ke kantor, bantu saya m
Bab 196. Suasana Tegang Di Rumah Sakit“Tidak perlu sungkan, Ma! Pak Andy, saya terima lamaran Anda terhadap Mama saya, kapan rencana pernikahan kalian, kalau bisa secepatnya, ya!”Tiba-tiba Daffin muncul di ambang pintu.“Daff-daffin …!” Rahayu dan Andy serentak menoleh. Wajah keduanya memucat sesaat. Tetapi langsung terang benderang begitu Daffin menyelesaikan kalimatnya.“Terima kasih, Bapak sudah menjaga mama saya sepanjang malam ini?” ucap Daffin melangkah masuk.Andy langsung bangkit, memberi ruang kepada Daffin untuk mendekati Rahayu. Daffin segera menyalam ibunya, lalu duduk di kursi itu. Senyum semringah mekar di wajah tampannya.Rahayu sadar, hari ini putranya terlihat berbunga-bunga. Ada binar di wajahnya. Bukan karena lamaran Andy pada dirinya. Ada sesuatu, entah itu apa. Apakah ada hubungannya dengan Amelia? Rahayu menerka-nerka.“Jadi bagaimana Pak Andy, kapan rencana Bapak menikahi mama? Saya mau secepatnya. Kalau bisa begitu Mama boleh pulang kata dokter, esoknya
Bab 195. Daffin Menerima Lamaran Andy Untuk Ibunya Pagi ini Andy terjaga karena gerakan di atas ranjang pasien. Rahayu menggeliat di sana. Pria itu perlahan mengangkat kepala yang dia letakkan di tepi ranjang. Persis di sisi sang pasien. “Hey, kamu sudah bangun, Sayang?” sapanya sembari mengucek mata. “Maaf, gerakanku membuat Mas terganggu. Pindah saja tidurnya ke sofa sana, Mas! Kasihan, sepertinya Mas kurang tidur beberapa malam ini,” usul Rahayu menatap iba pria yang sangat dia cintai itu. “Tidak, aku juga sudah bangun. Gimana, kamu mau ke kamar mandi, ayo, aku bantu!” “Tidak usah, Mas. Itu terlalu merepotkan kamu. Aku tunggu perawat saja.” “Tidak Rahayu, kenapa kau masih sungkan. Tolonglah, jangan perlakukan aku seperti orang asing!” “Tapi, kamu memang orang lain, kan, Mas? Kita bukan muhrim, kamu juga bukan suamiku. Aku sungkan kamu membantuku ke kamar mandi. Aku akan minta tolong perawat saja nanti.” “Aku sangat sayang padamu, Yu. Aku sangat sedih kau bicara seperti
Bab 194. Papa Amelia Batal Melamar Regina “Hem.” “Terima kasih, Mel!” Tanpa ragu, Daffin meraih tubuh kekasihnya, membenamkan di dalam pelukan erat. “Aku akan minta pada Papa kamu, agar mau mengalah. Dia boleh melamar Bu Regina, tapi pernikahannya ditunda dulu. Aku mau, kita duluan, Sayang.” “Ya, Papa setuju!” Sontak Daffin melepas pelukan. Anwar telah berdiri tak jauh dari meja makan itu. Suster Ayu dan Bik Jum mengiring di belakangnya. Entah sejak kapan mereka ada di sana. Sedikitpun kedua insan yang sedang dimabuk asmara itu menyadarinya. “Maaf, Non. Bibik udah berusaha menghalangi agar Bapak jangan masuk ke ruang makan ini, tapi makin dihalangi, Bapak makin maksa masuk,” lirih Bik Jum merasa bersalah. “Papa khawatir, papa minta maaf. Papa kira putri papa sedang ada masalah lagi. Ternyata, papa salah duga. Anak gadis papa rupanya sedang dilamar oleh seorang pria hebat. Papa sangat bahagia. Jangankan menunda pernikahan papa, membatalkan lamaran esok pun, papa bersedia, Nak.”
Bab 193. Lamaran Daffin Di Meja Makan “Apa?” Amelia tersentak kaget. Salah dengarkah dia? Daffin memintanya menyuapi. “Ya, sudah, enggak jadi. Maaf!” ucap daffin dengan wajah sedikit memerah. Telunjuk pria itu langsung mengusap symbol hijau di layar ponselnya. “Ada apa lagi Pak Sastro?” sergahnya meninggikan suara melalui benda pipih itu. “Bu Lidya sudah kami tahan di pos depan, Pak. Tapi, dia tidak berhenti menjerit-jerit. Itu memancing perhatian semua orang yang kebetulan melintas juga warga sekitar. Mohon petunjuk, apa yang harus kami lakukan?” lapor Sastro dari ujung sana. “Hem, perempuan sial! Tidak usah menungguku, bawa ke kantor polisi! Lalu telepon pengacaraku, minta dia mengurus semuanya! Bukti-bukti kejahatan perempuan itu sudah ada di tangan pengacara itu! Sekaligus Bik Rum jadikan sebagai saksi!” kata Daffin menjelaskan. “Siaap, baik, Pak!” Daffin mematikan ponsel, lalu menghela napas panjang seraya menyenderkan tubuh lelahnya ke sandaran kursi. Matanya terpeja
Bab 192. Lidya mengamuk“Tolong jangan seperti anak kecil, Mas! Mas Daffin itu udah dewasa! Tolong bijaklah dalam berpikir, bijaklah dalam berbicara dan juga dalam memutuskan segala sesuatunya!”“Aku masih kurang bijak, ya?”“Ya!”“Baik, aku minta maaf!”“Aku mencintaimu, Mas! Tolong jangan pernah kamu ragukan! Jangan pula kamu kaitkan dengan hal lain!”“Boleh aku bertanya?”“Ya.”“Kenapa istri Papa yang bernama Tina itu mau bermesraan dengan pria selingkuhannya itu, bahkan mereka tak peduli itu di tempat umum? Karena cinta, bukan? Lalu kamu?”“Bukan. Yang mereka lakukan bukan karena cinta. Tapi karena napsu!”“Begitukah? Lalu kamu mengira aku …?”“Tolong jangan tersinggung! Aku hanya merasa ini terlalu cepat! Satu hal yang perlu Mas Daffin ketahui. Meskipun aku sudah pernah menikah, sudah juga pernah menjalin hubungan dengan Mas Andre. Tetapi hingga detik ini aku masih perawan.”“Mel?” sergah Daffin tersentak kaget. Perempuan yang sangat dia cintai ini ternyata begitu sempurna.“Ya