“Oke, panggil satpam,” ujar Rizal akhirnya mengalah demi bisa bicara dengan Anggi dan Nada.“Nada, telpon pak Sarjo,” titah Anggi kemudian berbalik pergi memasuki rumah. Ia akan menunggu Rizal di dalam dan mempersiapkan diri mendengar bujukan demi bujukan yang akan dilontarkan pria itu.“Hapeku di dalam,” ujar Nada sambil melangkah mundur. “Tunggu sebentar.”Dengan segera Nada berbalik dan masuk ke dalam rumah. Sebelum mengambil ponsel di kamar, Nada berlutut lebih dulu di hadapan Anggi.“Mama yakin mau ngomong sama papa?” tanyanya pelan. “Harusnya tadi diancam aja mau dipanggilin satpam, bukan malah diajak ngobrol.”“Nggak papa,” ujar Anggi mengusap pundak Nada. “Tapi, nanti jangan jauh-jauh dari Mama, karena kamu harus merekam semua obrolan dengan diam-diam. Oke?”“Oh ...” Nada akhirnya paham dengan maksud Anggi. “oke!”~~~~~~~~~~~“Maaf, ya, Pak Sarjo kalau sudah merepotkan,” ucap Anggi menatap penjaga keamanan kompleks yang saat ini duduk di samping pintu.“Nggak papa, Bu,” kata Sa
"Aku! Aku! Aku!" Cairo mengambil lipstik yang tergeletak di lantai dengan cepat, lalu membuka tutupnya dengan penuh semangat. Matanya berbinar sebelum ia mendekat dan tanpa ragu mencoret wajah Sastra.Sastra menghela napas, menatap papan permainan di hadapannya. Lemparan dadunya barusan ternyata membawa petaka, karena berhenti tepat di atas kepala ular. Itu berarti, ia harus merosot turun beberapa langkah ke belakang.Begitulah aturan main ular tangga yang diciptakan Nada. Siapa pun yang menyentuh kepala ular dan merosot turun, maka wajahnya akan dicoret oleh lipstik.Sungguh aneh, tetapi Sastra menikmatinya. Tidak hanya Sastra, tetapi kedua bocah itu pun tampak antusias dan selalu berharap bidak lawannya akan berhenti tepat di kepala ular. Karena jika begitu, maka mereka memiliki hak untuk mencoret wajah lawannya tersebut.“Sekarang Cairo yang jalan,” ujar Nada menyerahkan dadu ke tangan mungil Cairo. Bocah itu segera mengambil dan melemparnya, lalu menghitung mata dadunya dengan perl
“Jadi, kamu nggak bisa menceraikan Dina.” Anggi tersenyum tipis, ketika kembali bertemu dengan Rizal di Pengadilan Agama.Setelah pertemuan malam itu, Rizal tidak memberi kabar sama sekali. Bahkan, batang hidungnya pun sama sekali tidak muncul di hadapan Anggi.“Aku bisa menceraikan Dina, tapi syaratmu terlalu berlebihan!”“Kalau syarat Mama berlebihan, itu artinya Papa bakal balik lagi sama Dina,” timpal Nada yang emosi seketika. Jika bukan ayah kandung, Nada pasti sudah melayangkan satu pukulan ke tubuh pria itu.“Nada, Papa ini papa kandungmu.”Berbeda dengan Nada yang tampak emosi, Rizal memilih menekan amarahnya dalam-dalam. Membuat masalah di tempat umum, hanya akan membuat dirinya terpojok. Semua itu tidak akan menguntungkan.“Jadi jaga bicaramu,” sambung Rizal. “Dan berkali-kali Papa bilang, kamu harus bersikap sopan sama bu Dina, karena usianya jauh di atas kamu.”“Pa—”“Nada, sudah,” putus Anggi cepat. Ia tidak ingin hubungan Rizal dan Nada semakin memburuk. Bagaimanapun jug
“Apa bisa dijenguk?” tanya Anggi tetap tenang, setelah mendengar penjelasan Sastra.“Saya bisa kontak pak Hendi, kalau Ibu mau jenguk pak Rizal,” jawab Sastra. “Nanti biar beliau yang urus segala sesuatunya.”“Kalau begitu, saya mau jenguk,” kata Anggi tanpa keraguan. “Dan bagaimana dengan ... harta yang ada sekarang? Kami mau bercerai dan ada harta yang pasti disita, kan?”“Betul,” jawab Sastra dengan anggukan. “Tapi, kita akan menunggu putusan hakim untuk itu. Jadi, biarkan pak Rizal fokus dengan kasusnya utamanya dan kita selesaikan perceraian ini.”“Terima kasih,” ucap Anggi tidak akan mengubah keputusannya. “Kamu baik-baik aja, Nad?”Justru, Anggi khawatir dengan putrinya. Nada pasti semakin terpukul dan kecewa karena papanya kemungkinan akan mendekam di penjara. Setelah mendapati papanya berkhianat, kini Nada harus menerima kenyataan bahwa Rizal adalah seorang koruptor.Bagi seorang anak yang selama ini menganggap ayahnya sebagai sosok yang sempurna, semua kejadian ini tentu men
Nada berbalik cepat. Kembali menaiki tangga ke lantai dua dengan berlari kecil, ketika melihat Mercy berjalan menuju tangga pelataran. Malas rasanya harus berhadapan dengan wanita itu dan terjebak dalam obrolan basa-basi.Untuk itulah, Nada kembali ke lantai dua lalu memantau wanita itu dari atas. Jika Mercy sudah masuk ke mobilnya dan pergi dari kampus, barulah Nada akan turun dan menunggu Sastra menjemputnya.Mengingat Sastra, Nada jadi memikirkan penawaran pria itu. Jika ia menikah dengan Sastra, maka mamanya bisa hidup seperti dulu lagi. Mereka bisa memiliki asisten rumah tangga dan Anggi tidak akan sendirian jika Nada harus berada di luar rumah.Namun, menikah muda tidak pernah ada dalam rencananya. Bahkan, memikirkannya pun tidak pernah. Jangankan soal pernikahan, memiliki pacar saja tidak pernah terlintas di benaknya.Di saat Nada mengawasi wanita itu, ia melihat mobil milik Sastra berjalan pelan menyusuri area parkir. Entah mengapa, Nada berharap jika Mercy dan Sastra tidak ak
“Kalau bukan karena Mama yang minta, aku nggak bakal mau lagi ketemu sama perempuan itu.”Setelah melempar tatapan tajam pada Dina, Nada beralih pada Aldi. Balita tampan itu tampak bersemangat belajar berjalan, sembari berpegangan pada baby sitter-nya.Entah bagaimana nasib Aldi setelah ini. Rizal kini mendekam di penjara, sementara Dina kabarnya tidak memiliki pekerjaan. Bagaimana wanita itu akan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dengan seorang balita dan baby sitter yang harus ia tanggung?“Nggak usah ikut campur,” ujar Sastra ikut melihat sosok balita yang dipandang Nada. “Biarkan ibumu dan bu Dina menyelesaikan sesuatu yang mungkin memang harus diselesaikan.”“Aku nggak bakal lupa hari di mana dia nampar aku.”Sastra sontak menatap datar pada Nada. “Heh! Memangnya aku bisa lupa, hari di mana kamu nendang aku?”Nada menggulir bola matanya seketika. “Aku nggak bakal nyakitin orang, kalau aku nggak disakitin duluan. Jadi, karena Mas duluan nyakitin aku, makanya aku tendang biar
“Papa?”Nada berdiri terpaku di sisi meja restoran. Menatap datar pada pria yang selama ini dipanggilnya Papa dan tengah duduk bersama seorang wanita asing.“Nada!” Rizal tersentak. Ia tidak menyangka akan bertemu dengan putrinya di jam makan siang seperti sekarang. Wajahnya tegang sesaat, sebelum akhirnya memaksakan senyum dan berusaha bersikap tenang. “Kamu ngapain di sini?”“Justru aku yang harusnya tanya, Papa ngapain di sini?” Matanya menyipit tajam. Ia melirik sekilas ke arah wanita asing di sebelah papanya, sebelum bertanya dengan nada dingin. “Lo siapa?”“Dina,” ucapnya sambil mengulurkan tangan. Berusaha terlihat biasa, kendati ada sedikit perasaan was-was di hatinya.“Lo ngapain sama Papa gue?” Nada bersedekap. Intonasinya naik satu oktaf, membuat beberapa orang di sekitar mulai menoleh.Nada hanya menatap Dina sekilas tanpa ekspresi dan membiarkan tangan wanita itu menggantung di udara. Kemudian, pandangannya jatuh pada beberapa paper bag bermerek yang tergeletak di kursi y
“Ini baru yang namanya liar!”Nada mencengkeram rambut Dina, menariknya ke belakang dengan gerakan kasar hingga wanita itu terhuyung, nyaris kehilangan keseimbangan."LEPASIN!" Dina meronta panik, merintih kesakitan. Tangannya menggapai udara, mencoba mencakar lengan Nada, tetapi gadis itu terlalu gesit. Nada terus menarik dan memutar kepala Dina ke berbagai arah, membuat wanita itu terhuyung tidak menentu dan hampir terjatuh.Dina tidak bisa menggapai tubuh Nada, karena gadis itu berada di belakangnya. Ketika ia hendak berputar, Nada dengan gesit tetap memposisikan tubuh di belakangnya."Lo pikir lo siapa!" Nada berteriak. Ia tidak mau peduli dengan banyak mata yang melihat dan merekam tindakan brutalnya. Baginya, semakin banyak yang merekam justru semakin bagus.Jika mau rusak, maka Nada akan merusak semuanya sekalian. Berikut dengan image papanya yang berprofesi sebagai karyawan penting di salah satu perusahaan negara. “Mas,” rintih Dina putus asa.“Nada! Cukup!” Rizal akhirnya m
“Kalau bukan karena Mama yang minta, aku nggak bakal mau lagi ketemu sama perempuan itu.”Setelah melempar tatapan tajam pada Dina, Nada beralih pada Aldi. Balita tampan itu tampak bersemangat belajar berjalan, sembari berpegangan pada baby sitter-nya.Entah bagaimana nasib Aldi setelah ini. Rizal kini mendekam di penjara, sementara Dina kabarnya tidak memiliki pekerjaan. Bagaimana wanita itu akan memenuhi kebutuhan sehari-hari, apalagi dengan seorang balita dan baby sitter yang harus ia tanggung?“Nggak usah ikut campur,” ujar Sastra ikut melihat sosok balita yang dipandang Nada. “Biarkan ibumu dan bu Dina menyelesaikan sesuatu yang mungkin memang harus diselesaikan.”“Aku nggak bakal lupa hari di mana dia nampar aku.”Sastra sontak menatap datar pada Nada. “Heh! Memangnya aku bisa lupa, hari di mana kamu nendang aku?”Nada menggulir bola matanya seketika. “Aku nggak bakal nyakitin orang, kalau aku nggak disakitin duluan. Jadi, karena Mas duluan nyakitin aku, makanya aku tendang biar
Nada berbalik cepat. Kembali menaiki tangga ke lantai dua dengan berlari kecil, ketika melihat Mercy berjalan menuju tangga pelataran. Malas rasanya harus berhadapan dengan wanita itu dan terjebak dalam obrolan basa-basi.Untuk itulah, Nada kembali ke lantai dua lalu memantau wanita itu dari atas. Jika Mercy sudah masuk ke mobilnya dan pergi dari kampus, barulah Nada akan turun dan menunggu Sastra menjemputnya.Mengingat Sastra, Nada jadi memikirkan penawaran pria itu. Jika ia menikah dengan Sastra, maka mamanya bisa hidup seperti dulu lagi. Mereka bisa memiliki asisten rumah tangga dan Anggi tidak akan sendirian jika Nada harus berada di luar rumah.Namun, menikah muda tidak pernah ada dalam rencananya. Bahkan, memikirkannya pun tidak pernah. Jangankan soal pernikahan, memiliki pacar saja tidak pernah terlintas di benaknya.Di saat Nada mengawasi wanita itu, ia melihat mobil milik Sastra berjalan pelan menyusuri area parkir. Entah mengapa, Nada berharap jika Mercy dan Sastra tidak ak
“Apa bisa dijenguk?” tanya Anggi tetap tenang, setelah mendengar penjelasan Sastra.“Saya bisa kontak pak Hendi, kalau Ibu mau jenguk pak Rizal,” jawab Sastra. “Nanti biar beliau yang urus segala sesuatunya.”“Kalau begitu, saya mau jenguk,” kata Anggi tanpa keraguan. “Dan bagaimana dengan ... harta yang ada sekarang? Kami mau bercerai dan ada harta yang pasti disita, kan?”“Betul,” jawab Sastra dengan anggukan. “Tapi, kita akan menunggu putusan hakim untuk itu. Jadi, biarkan pak Rizal fokus dengan kasusnya utamanya dan kita selesaikan perceraian ini.”“Terima kasih,” ucap Anggi tidak akan mengubah keputusannya. “Kamu baik-baik aja, Nad?”Justru, Anggi khawatir dengan putrinya. Nada pasti semakin terpukul dan kecewa karena papanya kemungkinan akan mendekam di penjara. Setelah mendapati papanya berkhianat, kini Nada harus menerima kenyataan bahwa Rizal adalah seorang koruptor.Bagi seorang anak yang selama ini menganggap ayahnya sebagai sosok yang sempurna, semua kejadian ini tentu men
“Jadi, kamu nggak bisa menceraikan Dina.” Anggi tersenyum tipis, ketika kembali bertemu dengan Rizal di Pengadilan Agama.Setelah pertemuan malam itu, Rizal tidak memberi kabar sama sekali. Bahkan, batang hidungnya pun sama sekali tidak muncul di hadapan Anggi.“Aku bisa menceraikan Dina, tapi syaratmu terlalu berlebihan!”“Kalau syarat Mama berlebihan, itu artinya Papa bakal balik lagi sama Dina,” timpal Nada yang emosi seketika. Jika bukan ayah kandung, Nada pasti sudah melayangkan satu pukulan ke tubuh pria itu.“Nada, Papa ini papa kandungmu.”Berbeda dengan Nada yang tampak emosi, Rizal memilih menekan amarahnya dalam-dalam. Membuat masalah di tempat umum, hanya akan membuat dirinya terpojok. Semua itu tidak akan menguntungkan.“Jadi jaga bicaramu,” sambung Rizal. “Dan berkali-kali Papa bilang, kamu harus bersikap sopan sama bu Dina, karena usianya jauh di atas kamu.”“Pa—”“Nada, sudah,” putus Anggi cepat. Ia tidak ingin hubungan Rizal dan Nada semakin memburuk. Bagaimanapun jug
"Aku! Aku! Aku!" Cairo mengambil lipstik yang tergeletak di lantai dengan cepat, lalu membuka tutupnya dengan penuh semangat. Matanya berbinar sebelum ia mendekat dan tanpa ragu mencoret wajah Sastra.Sastra menghela napas, menatap papan permainan di hadapannya. Lemparan dadunya barusan ternyata membawa petaka, karena berhenti tepat di atas kepala ular. Itu berarti, ia harus merosot turun beberapa langkah ke belakang.Begitulah aturan main ular tangga yang diciptakan Nada. Siapa pun yang menyentuh kepala ular dan merosot turun, maka wajahnya akan dicoret oleh lipstik.Sungguh aneh, tetapi Sastra menikmatinya. Tidak hanya Sastra, tetapi kedua bocah itu pun tampak antusias dan selalu berharap bidak lawannya akan berhenti tepat di kepala ular. Karena jika begitu, maka mereka memiliki hak untuk mencoret wajah lawannya tersebut.“Sekarang Cairo yang jalan,” ujar Nada menyerahkan dadu ke tangan mungil Cairo. Bocah itu segera mengambil dan melemparnya, lalu menghitung mata dadunya dengan perl
“Oke, panggil satpam,” ujar Rizal akhirnya mengalah demi bisa bicara dengan Anggi dan Nada.“Nada, telpon pak Sarjo,” titah Anggi kemudian berbalik pergi memasuki rumah. Ia akan menunggu Rizal di dalam dan mempersiapkan diri mendengar bujukan demi bujukan yang akan dilontarkan pria itu.“Hapeku di dalam,” ujar Nada sambil melangkah mundur. “Tunggu sebentar.”Dengan segera Nada berbalik dan masuk ke dalam rumah. Sebelum mengambil ponsel di kamar, Nada berlutut lebih dulu di hadapan Anggi.“Mama yakin mau ngomong sama papa?” tanyanya pelan. “Harusnya tadi diancam aja mau dipanggilin satpam, bukan malah diajak ngobrol.”“Nggak papa,” ujar Anggi mengusap pundak Nada. “Tapi, nanti jangan jauh-jauh dari Mama, karena kamu harus merekam semua obrolan dengan diam-diam. Oke?”“Oh ...” Nada akhirnya paham dengan maksud Anggi. “oke!”~~~~~~~~~~~“Maaf, ya, Pak Sarjo kalau sudah merepotkan,” ucap Anggi menatap penjaga keamanan kompleks yang saat ini duduk di samping pintu.“Nggak papa, Bu,” kata Sa
Suara palu hakim kembali mengetuk, menggema di seluruh ruangan. "Sidang hari ini selesai. Sidang berikutnya akan dilanjutkan pekan depan."Anggi menghela napas pelan, jemarinya mencengkeram lengan kursi roda saat melirik sekilas ke arah Rizal. Pria itu masih duduk di tempatnya, rahangnya mengeras, sementara tangannya mengepal di atas meja.Nada yang sejak tadi duduk diam di bangku belakang segera berdiri dan berjalan menghampiri mamanya. Menatap selidik pada Anggi, yang tetap tenang dan tegar menghadapi semuanya.Sementara itu, Rizal tidak langsung beranjak. Ia menatap hakim yang sudah meninggalkan ruang sidang, barulah ia menghampiri Anggi. "Jadi, kita tetap teruskan persidangan ini?" suaranya terdengar serak, tetapi tetap tegas.Nada menoleh, ingin membalas ucapan papanya, tetapi Anggi sudah lebih dulu meremas tangannya. Memberi isyarat untuk tidak berkata apa-apa.“Kami pergi dulu,” pamit Sastra berujar sopan pada Rizal. Ia tahu Anggi tidak ingin berinteraksi dengan pria itu. Karen
“Nada, rumah ini kecil dan nggak sebesar rumah kita sebelumnya,” ucap Anggi memberi pandangan pada putrinya yang telah “diracuni” oleh perkataan Rizal. “Mau ke belakang atau mau ke depan juga nggak sampe lima menit. Dan semua itu nggak sulit, karena Mama sudah terbiasa hidup di kursi roda selama dua tahun. Mama masih punya dua tangan, Nad. Masih bisa ngapa-ngapain.”Nada menatap mamanya dengan sendu. Meskipun semua ucapan Anggi benar, tetapi tetap saja perkataan Rizal sangat mengganggunya.“Aku takut Mama kenapa-napa,” ucap Nada sambil menekuk kakinya ke atas dan memeluknya. Menatap Anggi yang duduk bersandar pada kepala ranjang. “Misal ada bik Ning, kan—”“Nad, Mama nggak papa,” sela Anggi kembali meyakinkan. “Mama justru lebih bahagia hidup seperti ini, daripada harus balik ke rumah lama dan akhirnya makan hati.”Nada yang sejak tadi duduk di tengah ranjang, lantas mengangguk pelan. Di satu sisi, ia mengerti dengan perasaan Anggi terhadap Rizal. Namun, di sisi lain, sebagai seorang
“Bu Wirda!” Nada berseru pelan, ketika melihat Wirda baru memasuki kantor. Nada berlari cepat menghampir, lalu menggandeng erat lengan wanita itu. “Bu! Yang kemarin di mall, jangan kasih tahu siapa-siapa, ya!” pintanya dengan memohon. “Sumpah, Bu! Saya nggak ada hubungan apa-apa sama mas Sastra.”Wirda terkekeh. Tetap meneruskan langkahnya menuju lift, meskipun Nada sedang memeluk erat tangannya. Sama persis ketika anaknya sedang memohon untuk dibelikan sesuatu.“Ada hubungan juga nggak papa.”“Nggak ada, Bu. Beneran!” seru Nada meyakinkan. “Kemarin itu, mas Sastra aja yang minta temenin nonton. Saya mau nolak, kan, nggak enak. Dia bos saya, sama pengacara mama. Jadi, serba salah, kan?”“Itu artinya, mas Sastra suka sama kamu,” ujar Wirda akhirnya berhenti di depan lift. “Jadiin aja, Nad. Dijamin, masa depanmu glowing kalau jadi menantu pak Adrian.”“Nggak mau.” Nada terpaksa melepas pelukannya di lengan Wirda saat melihat pintu lift baru terbuka. “Yang kemarin, tolong jangan bilang s