Tes DNA? Perkataan itu berulang kali muncul di kepala Fajar, bahkan ia sendiri tidak pernah memikirrkan tentang Tes DNA. Fajar pun tiba-tiba mematung, bibirnya seakan terkunci.“Ngg ngg kita akan mengadakan tes DNA?” tanya Fajar entah apa maksudnya.Pak Herdiawan mengangguk, “Hmm ya benar, kita akan mengadakan tes DNA untuk mendapatkan pembuktian siapa yang berbohong di sini. Sesuai perkataan anda kalau Bu Naura telah memfitnah anda bukan?”Fajar mengangguk dengan cepat. “Benar Pak, tidak perlu mempercayainya. Lagipula ini adalah kantor seharusnya yang kita bahas adalah masalah pekerjaan. Bukan masalah perempuan ini!” seru Fajar.Pak Herdiawan hanya tersenyum, sama dengan Naura yang tersenyum getir. Namun pria bijak ini pun tak tinggal diam. Ia pun segera menanggapi ucapan Fajar. “Benar sekali Pak Fajar, kita memang seharusnya membicarakan pekerjaan di tempat ini. Seperti yang anda tahu kalau saya sangat menjunjung tinggi kejujuran dan norma kesusilaan. Saya tidak ingin perusahaan yan
Naura menghembuskan napas panjang sambil memperhatikan punggung Fajar. Sementara itu pak Herdiawan pun membuka pintu ruang dewan. Naura mengerti ini saatnya dia untuk pergi meninggalkan kantor.Apa yang dia inginkan saat ini sudah tercapai. Fajar sudah menderita, karirnya pun hancur saat ini.“Pak, terima kasih untuk bantuan yang Bapak berikan. Saya tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan ucapan terima kasih pada Anda. Saya juga mohon maaf karena telah mengganggu waktu Bapak, dan tidak seharusnya masalah pribadi seperti ini dibicarakan di tempat kerja,” ucap Naura sambil berdiri dan bersiap untuk pamitan.“Tidak apa Bu Naura. Saya hanya bisa membantu dengan cara seperti ini saja, memepertemukan kalian berdua. Mengenai sanksi yang saya berikan terhadap Pak Fajar bukan sepenuhnya karena kedatangan Ibu. Namun sejak awal saya sudah menekankan pada semua karyawan saya dan secara tertulis ada pada perjanjian kerja kalau saya tidak akan mentolelir perbuatan asusila.”Naura mengangguk, “Saya
Bu Fatma pun langsung duduk semakin dekat dengan Naura. Wanita tambun itu pun langsung menepuk-nepuk pundak putrinya dengan penuh semangat. “Memangnya kamu punya rencana apa? Seingat Mama, kemarin kamu bermalas-malasan saat ke kantor polisi dan menjalani pemeriksaan.”Saat itu memang Naura berusaha untuk menolak permintaan ayahnya yang mendesaknya untuk melaporkan perkara ini pada pihak kepolisian dan menjalani visum. Saat itu Naura sanagt malu jika harus berbicara pada orang lain dan menceritakan apa yang terjadi kepadanya.Namun sekarang ini ia malah berterima kasih karena ayahnya. Gara-gara laporan itu, Naura jadi punya perlindungan.“Memang Ma, Papa sudah memaksaku untuk ke kantor polisi dan menjalani visum. Hasil visum sudah jelas kalau aku mendapatkan kekerasan dari Fajar, dan aku berencana untuk melanjutkan perkara ini,” kata Naura mantap.“Jadi kamu serius dengan keinginanmu untuk melaporkan Fajar? Membuatnya masuk penjara?”Naura mengangguk, “Ya, Ma. Aku tahu kalau Fajar tida
“Gimana? Makanan dan minuman di restoran Mas? “ tanya Radit sambil menarik kursi dan duduk di hadapan Mila yang sekarang sedang duduk mendampingi Kinan yang sekarang sudah bisa duduk di baby chair.Mila mengangguk kemudian mengacungkan jempol ke arah Radit. “Enak banget Mas. Gurame asam manis ini kesukaan saya. Jadi inget kalau dulu Mas pernah bawain makanan ini ke kos.”Radit hanya tersenyum kemudian membuka bungkus biskuit bayi untuk Kinan. Gadis kecil itu tampak begitu antusias saat melihat makanan kesukaannya. Tangannya mulai meranggai-ranggai tidak sabar untuk memegangnya.“Gemesin banget to kamu Nduk … Nduk, sabar ya sayang. Ayah masih bukain bungkusnya.” setelah mengatakan hal itu Radit pun menoleh ke arah Mila sambil berkata, “Coba lihat wajahnya Kinan, gemesin banget kan?”“Iya, Mas ekspresi nggak sabarannya itu lho.”Kemudian Mila pun memeluk erat bayi perempuannya dan mencium pipinya yang tembem. Mila pun menempelkan bibirnya pada ubun-ubun gadis kecil yang sedang asyik men
Naura jatuh terduduk sambil memegangi perutnya. Ia merasakan perih yang teramat sangat sekarang ini. Seketika wajahnya mulai pucat dengan keringat dingin yang menetes di dahinya.Bu Fatma yang melihat putrinya terjatuh pun segera panik. “Naura, sayang kamu nggak kenapa-kenapa Nak?”“Ma … sa … sakit,” ucap Naura lirih. Suaranya sedikit tertahan dan sepertinya ia memerlukan banyak tenaga untuk mengatakan apa yang ia rasakan.Bu Fatma langsung berjongkok dan mengusap kenong putrinya. Saat itu ia pun memegang paha Naura dan meraakan kain yang basah dan celana panjang Naura pun warnanya semakin gelap. “Astaga Naura!” teriaknya histeris.Kemudian wanita tambun ini pun menoleh ke arah Fajar yang masih berdiri di sana. Tak ada ekspresi terkejut atau ketakutan darinya sama sekali.Laki-laki itu justru berkacak pinggang sambil tersenyum sinis ke arah Naura dan ibunya yang sekarang sedang bersimpuh di lantai. “Kenapa dia? Keguguran? Bagus donk kalau begitu. Artinya keluarga kalian tidak akan men
Wanita yang tinggal di samping kiri rumah Naura pun menyertai Bu Fatma berjongkok di samping Naura. Mereka tampak memperhatikan sosok Naura yang sekarang sedang kesakitan.“Ma … sakit … aku nggak tahan,” ucap Naura lirih sambil memegangi perutnya.Saat ini Naura merasakan denyut-denyut yang tak beraturan di dadanya, hembusan napas terasaberat, dan tubuhnya yang lemas, tak bertenaga sama sekali. Meski Fajar hanya mendorong tubuhnya hingga terjatuh, tapi tetap saja terasa brutal, sampai menyebabkan darah terus mengalir dari organ intimnya.Naura tidak tahu lagi, apakah ia bisa menghentikan pendarahan kali ini atau tidak. Pikiran Naura pun melayang memikirkan bagaimana nasib bayi yang ada dalam kandungannya sekarang. Haruskah ia benar-benar kehilangan bayinya?"Segera bawa dia ke rumah sakit! Cepat, tolong!" teriak Bu Fatma.Beberapa tetangga yang berada di sana pun datang membantu. Salah satu dari mereka berlari menuju masjid untuk memanggil ambulance masjid yang akan membawa Naura.Sua
Entah sudah berapa lama Bu Fatma menunggu dokter melakukan pemeriksaan pada Naura. Jantungnya berdebar-debar cukup kencang, tak henti memikirkan nasib putri semata wayangnya.Tak lama kemudian dokter pun keluar dari ruangan sambil memperbaiki letak kacamatanya. Segera saja wanita tambun ini pun mendekati dokter.“Dokter, bagaimana anak saya? Apa dia baik-baik saja? Anak saya selamat kan, lalu bayinya bagaimana?” tanya Bu Fatma terdengar begitu khawatir.Kali ini pikirannya memang dipenuhi dengan keselamatan Naura dan bayinya. Ia sama sekali tidak peduli dengan keadaan Beberapa jam berlalu, suasana di rumah sakit semakin tenang. Tim medis berhasil menghentikan perdarahan Naura dan menyelamatkan bayi yang ada di kandungannya. Naura masih lemah, tetapi senyum bahagia terukir di bibirnya saat mengetahui bayinya selamat.Selama ini ia berusaha untuk menyembunyikan tentang kehamilan Naura di depan umum. Namun dengan kejadian ini semua tidak perlu disembunyikan lagi, lebih tepatnya ia tidak
Radit mengetuk pintu kamar Mila dengan lembut, tak lama kemudian Mila pun membuka pintu dan tersenyum dengan terpaksa.“Eh, Mas Radit,” kata Mila sedikit gugup.“Kamu kenapa? Kamu udah siap?” tanya Radit kemudian menyibakkan rambut Mila ke belakang.Mila menghembuskan napas panjang dan melirik ke arah Radit kemudian meninggalkannya dan duduk di tepi ranjang sambil mengelus rambut putrinya yang sekarang sedang bermain di atas ranjang.“Mas, apa kita yakin akan ke sana?” tanya Mila.Hari ini adalah hari minggu. Sesuai dengan yang direncanakan sebelumnya kalau mereka akan datang ke rumah orang tua Mila sekaligus bersilaturahmi.Radit sudah membicarakan pada ibunya kalau ingin bertemu dengan orang tua Mila dan menyampaikan niat baiknya. Bukankah ketika ada niat baik seharusnya disegerakan, Bu Wuri sendiri juga khawatir kalau putranya akan melakukan hal yang kelewat batas terhadap Mila.“Mila, apa kamu masih ragu dengan Mas?” tanya Radit lembut.Mila meremas jemarinya lembut kemudian mengh
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap