Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.
Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis.
"Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya.
"Ya, ada apa suster?" jawabnya.
"Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya."
"Incubator?"
"Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. "
"Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."
Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya.
"Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunasi?"
"Benar Pak, sudah termasuk biaya perawatan bayi selama satu minggu dalam inkubator."
"Maaf, apakah satu minggu cukup untuk berada di inkubator?"
"Menurut laporan dokter, kondisi bayi cukup sehat walau berat badan kurang karena prematur, sehingga waktu satu atau dua minggu cukup untuk bayi. Sementara Ibunya tidak mengalami luka serius, mungkin dua atau tiga hari sudah boleh pulang."
"Syukurlah kalau begitu. Baiklah saya akan lunasi pembayaran inkubator selama dua minggu dan perawatan tujuh hari untuk Ibunya. Jika terjadi sesuatu tolong kabari saya," serunya kemudian bersiap-siap menengok pasien di ruang perawatan.
"Baik, Pak!"
Dengan perasaan lega, ia pun berjalan menuju kamar perawatan, dan menengok keadaan korban yang ia tabrak.
"Sepertinya ia sangat lelah," gumamnya saat mendapati perempuan itu sedang tertidur lelap dengan wajah yang pucat.
Diam-diam ia pun menuliskan sesuatu pada buku agenda yang ia bawa, menyobek dan meninggalkan beberapa lembar rupiah. Kemudian menyelipkan di balik selimut pasien.
"Maafkan aku!" gumam Radit kemudian berlalu dan meninggalkan perempuan itu sendirian.
Tak lama setelah Radit pergi, Mila membuka matanya dan memandang sekeliling. Semua tampak asing baginya. Ruangan yang didominasi warna putih, serta tangan kirinya yang diinfus.
Lelah dan sakit ia rasakan di sekujur tubuhnya, bahkan untuk bangun dari tidurnya. Tangannya mencoba meraba perutnya yang kini dirasa mengempis dan pikirannya mulai kacau.
"Bagaimana anakku?" katanya pada diri sendiri.
Mila pun mulai meraba perut dan sekitarnya, mencoba memeriksa apakah mungkin bayinya terjatuh atau di sampingnya. Sebuah pemikiran yang kacau memang, namun itulah seorang Ibu. Sayang, bukan bayi yang ia dapat di samping, melainkan tumpukan kertas.
Segera saja Mila mengambil kertas itu, tumpukan uang seratus ribu dan sepucuk surat serta kartu nama di sana. Membaca dengan was-was takut sesuatu terjadi pada anak yang baru saja di kandungnya.
Dear Newly Mom
Maafkan saya karena lalai berkendara sehingga membuat Anda celaka, bahkan membuat Anda melahirkan lebih awal. Maaf saya tak bisa menemani Anda saat ini, karena ada hal yang harus saya kerjakan. Ini ada sedikit uang untuk pegangan Anda di Rumah Sakit. Saya tinggalkan juga kartu nama dan nomer telepon saya, jika sewaktu-waktu terjadi sesuatu terkait kecelakaan ini.
Salam
Mila pun memperhatikan kartu nama yang tertera di sana, tertulis nama Raditya Prayoga.
***
Radit belum juga dapat memejamkan mata meski hari sudah larut malam. Sedari tadi ia hanya bergulung-gulung di atas ranjang king size yang kini semakin terasa luas.
Kosong, perih, kecewa namun ada haru, Itulah yang dirasakan Radit saat ini. Merasa gagal menjadi seorang suami, hingga istri terkasih yang selalu dibanggakannya pergi dengan menyisakan luka bernama penghianatan.
Masih terekam jelas bagaimana Ibu mertuanya menghina. Melontarkan kata-kata pedas yang merobek-robek hati. Akan tetapi ia tak mampu mengelak, perkataan beliau benar, Radit tak bisa membahagiakan Naura.
Jujur, ia geram dan tak habis pikir dengan sikap Bu Fatma siang tadi. Sempat-sempatnya wanita paruh baya itu menuntut harta gono gini dari rumah yang ia tempati sekarang.
Sepengetahuan Radit, harta yang didapat sebelum menikah tak bisa menjadi harta gono gini. Namun, karena tak ingin menimbulkan keributan, pria yang mendekati empat puluh tahun ini pun memilih untuk menyerahkan semuanya pada pengadilan.
Biar saja pihak pengadilan yang menentukan, mereka ahlinya. Begitulah yang ada dalam pikiran Radit. Lagipula, apapun keputusan yang akan muncul nantinya, Radit tak akan menempati rumah ini lagi. Terlalu banyak kenangan bersama mantan istri di rumah ini.
"Maafkan aku Naura," gumamnya.
Radit menyadari baik buruknya seorang istri itu berasal dari suaminya. Ia mencoba untuk introspeksi diri bagaimana sikap dan perangainya selama menjadi suami Naura.
Mungkin Radit kurang memahami Naura, kurang memperhatikan perasaan atau suasana hati istrinya. Radit ingat kalau ia tak pernah menanyakan tentang hal-hal yang terjadi di kantor pasangannya.
Radit pun menghela napas panjang dan pikiran akan Mila muncul tiba-tiba, perempuan yang ditabraknya siang tadi. Peristiwa yang membuat Radit tersadar akan lamunan.
Kecelakaan yang membuat Radit harus sigap dan melupakan permasalahannya. Ada dua nyawa yang harus menjadi tanggung jawab Radit saat itu.
Beruntung perempuan yang itu tak mengalami luka parah, bayinya selamat walau terpaksa dilahirkan sebelum waktunya. Ia sempat melihat bayi mungil itu melalui kaca, dan itu yang membuatnya sesak.
Tanpa sadar, air mata menetes di pipi Radit saat ini. Memikirkan bagaimana seandainya di rumah ini ada seorang bayi mungil. Sungguh ia sangat mengidamkannya.
Radit hanya berharap semoga Mila segera disembuhkan dan keluarganya pun segera datang menemaninya. Cukup lama Radit berada di rumah sakit siang tadi, niatnya ingin menunggu sampai keluarga Mila datang. Namun apa boleh buat, ada keperluan mendesak yang harus diselesaikan olehnya. Ia pun hanya bisa menitipkan kartu namanya pada suster dan juga Mila yang masih terlelap.
Sementara itu Mila terus saja memompa air susunya, semenjak terbangun tadi ia belum sempat melihat bayi yang telah ia lahirkan. Kondisi tubuh yang masih lemah tak memungkinkan bagi Mila untuk beranjak ke ruang NICU dan menyusui bayinya secara langsung.
"Ini suster," katanya menyerahkan botol susu yang sudah penuh dengan ASI pompanya.
Dengan sabar, perawat muda itu pun meraih botol ASI dari tangan Mila. Ada rasa iba dari dirinya melihat keadaan Mila kali ini. Meski sebenarnya cukup sering dirinya mendapati ada Ibu yang melahirkan, tapi baru kali ini melihat seorang perempuan baru melahirkan tanpa didampingi suami dan tubuhnya terdapat luka lebam.
"Kapan saya bisa melihat anak saya suster?" tanya Mila.
"Mungkin dua atau tiga hari lagi, tergantung kondisi Ibu."
"Berapa lama anak saya akan berada di sana?" tanya Mila.
"Biasanya satu sampai dua minggu Bu."
Mila terlihat menggaruk kepalanya yang tak gatal. Jelas ia merasa pusing dengan biaya yang muncul untuk incubator. Ia sendiri tidak bekerja. Uang yang ada di tabungannya tak lebih dari dua juta, ditambah dengan yang barusan ditemukannya juga tidak mencapai lima juta, tak akan cukup untuk membayar semua.
"Maaf suster, boleh saya tahu rincian biaya untuk perawatan saya dan bayi saya?" tanyanya takut-takut, tapi bagaimanapun juga ia harus tahu.
"Baik Bu, nanti akan saya antarkan. Sekarang saya permisi dulu, hendak menyimpan ASI."
Mila mengiyakan dan menunggu perawat itu kembali sambil berharap-harap cemas. Tak tahu apa yang harus ia lakukan dengan tagihan-tagihannya.
Hampir satu jam Mila memikirkan jumlah tagihan Rumah Sakitnya. Ia masih belum juga sadar kalau dirinya korban kecelakaan. Ia hanya merasa was-was dengan tagihan, apalagi kamar yang ditempati juga bukan kamar yang murah.
Ibu muda itu benar-benar bingung. Di satu sisi ia bahagia dengan status barunya, tapi juga ketakutan tak bisa jadi ibu yang baik. Namun yang terpenting sekarang, ia harus tahu bagaimana bisa melunasi tagihan Rumah Sakit.
"Kenapa aku dibawa di kamar ini. Berapa ya biaya semalamnya. Ya, aku harus meminta suster untuk memindahkan di ruang kelas tiga, kalau perlu rawat jalan saja," gumamnya.
Perawat tadi datang lagi, kali ini ia datang dengan membawa sebuah map hijau dengan logo Rumah Sakit.
"Bagaimana Sus, ada rincian biayanya?" tanya Mila.
"Ada Bu, dan semua sudah dilunasi oleh Pak Raditya Prayoga, suami Ibu," jawab perawat itu menyisakan keheranan pada diri Mila.
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu
Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri
"Suster Alin ... Suster Alin!" seru Heni, perawat dari ruang NICU pada atasannya."Ada apa Suster, kenapa terlihat begitu panik?"Perempuan berseragam putih itu memperbaiki rambutnya yang menjuntai ke depan. Mengatur sirkulasi napas sebelum menatap wanita dewasa di hadapannya."Maaf suster, saya sedikit panik, tapi bayi Ibu Mila Ariani kehabisan stok air susu milik Ibunya. Sementara Bu Mila sendiri sudah dua hari ini tidak berkunjung kemari," lapor Suster Heni."Bayi Ibu Mila Ariani?" tanya Suster Allin sambil memicingkan mata seoalah teringat akan sesuatu."Bukankah seharusnya bayi itu sudah boleh pulang kemarin?" Suster Alin bertanya lagi."Itu juga Suster," jawab Suster Heny."Sudah coba hubungi nomer Bu Mila?" tanya Suster Alin dengan tenang sambil memperhatikan catatan medis para bayi di ruang NICU.Menjadi perawat memang seharusnya bersikap tenang dan tidak mudah panik. Jika panik, dikhawatirkan pekerjaan akan kacau dan bisa berpengaruh pada kondisi pasien. Suster Alin yang suda
Sampai kini, Novia tak kunjung mengerti bayi siapa yang ada dalam gendongannya. Ditambah lagi perangai bos nya yang selalu terlihat gusar. Sungguh hal yang tak biasa ia lihat."Pak," tegur Novia sedikit mengganggu konsentrasi Radit yang tengah mengemudi, dan mencoba mencari keberadaan wanita yang pernah ia tabrak."Eh, iya Nov," jawab Radit tanpa menoleh ke arah asistennya."Maaf Pak, kalau boleh tahu, bayi siapa ini sebenarnya?" tanya Novia sambil mengayun-ayunkan bayi dalam dekapannya dengan begitu luwes.Huft! Radit menghembuskan napas panjang. Sambil memegang kemudi, ia mulai menceritakan perihal peristiwa tabrakan yang melibatkan dirinya. Termasuk tentang bayi yang ada dalam gendongan Novia saat ini.Radit menceritakan pelan-pelan tapi cukup singkat. Meskipun begitu, apa yang diceritakan oleh Radit mampu membuat Novia terkejut."Jadi, Ibu bayi ini sengaja meninggalkan bayinya di Rumah Sakit, Pak. Jangan-jangan hamilnya karena kecelakaan," Novia mulai menduga-duga."Entahlah, tapi
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap