Naura masih menunduk saat kembali ke ruang tamu setelah mengantar Fajar ke depan rumah dan menutup pagar. Radit suaminya masih duduk di sofa dan menoleh ke arahnya. “Duduk di sini Naura, Mas mau bicara!”
Naura mematung, tak langsung menuruti permintaan Radit, sampai suaminya harus mengulang dua kali. “Naura!” panggil Radit dengan suara yang masih lembut.
Naura langsung mengambil tempat di samping suaminya sambil melihat ke arah lantai. "Naura, sekarang Mas minta kamu jujur sama Mas!" tegur Radit lembut sambil memegang kedua bahu istrinya.
"Maafkan saya Mas."
"Naura kecewa dengan Mas? Naura cinta dengan Fajar?"
Naura hanya tertunduk dan terisak. Ia tak bisa menjawab pertanyaan suaminya. Semua terasa berat, ia tahu ia bersalah namun ia sadar kalau saat ini perasaannya untuk Radit telah pudar seiring kedekatannya dengan Fajar.
"Maaf, Mas. Seharusnya saya nggak tergoda."
"Naura bahagia?" tanya Radit santai dan malah terkesan membingungkan.
"Eh, mmm,—" Naura tampak tak bisa melanjutkan kalimatnya.
Ingin rasanya mengatakan ya ia bahagia bersama Fajar. Namun sepertinya ia takut mengatakannya, Bagaimana kalau suaminya marah?
"Fajar ingin menikahi saya Mas," jawabnya takut-takut.
"Kamu sendiri bagaimana? Mau atau tidak?" tanya Radit masih lembut berusaha untuk menahan emosi, tapi jika ia meluapkannya sekarang artinya ia kalah.
Naura diam, tapi beberapa saat kemudian ia mengangguk pelan. Radit menghembuskan napas panjang dan kembali memandang ke arah istrinya. "Kalau memang kamu bahagia, Mas akan melepaskan kamu. Kemasi barang-barangmu dan Mas akan antar ke rumah orang tuamu."
"Mas Radit,—" Kedua mata Naura berkaca-kaca entah apa yang bisa dikatakan olehnya.
"Naura, Mas minta kamu pada Papa dan Mama dengan baik, maka Mas juga harus memulangkanmu dengan baik. Terakhir kali Mas minta sama kamu, tolong kalian berdua jangan bertemu dulu sebelum masalah kita selesai."
"Mas," panggil Naura kemudian memegangi tangan Radit, tapi langsung ditepiskan dengan pelan, dan Radit kembali mengingatkannya untuk membereskan semua milik Naura.
"Aku ... Aku minta maaf Mas. Aku,—" Naura terdiam tak melanjutkan kalimatnya.
Sebenarnya Naura sudah menyiapkan jawaban khusus kalau misalnya suaminya memergoki apa yang dilakukan bersama Fajar. Naura akan mengungkapkan seluruh uneg-unegnya selama berumah tangga bersama Radit. Mengatakan betapa nyamannya ia bersama dengan Fajar
Namun reaksi yang ditampilkan oleh Radit sungguh di luar dugaan. Pria beralis tebal itu justru bersikap seolah tidak ada apa-apa, tenang dan sangat bijak.
Bingung, menyesal atau mungkin merasa bersalah. Hanya Naura sendiri yang mampu menggambarkan perasaannya saat ini.
"Mas, apa Mas nggak pengin tahu alasanku?" tanya Naura disambut gelengan kepala suami yang kini akan menjadi mantan.
Radit memandangi Naura dengan tatapan yang bersahabat. Menyentuh pundak wanita ramping itu dengan lembut dan berkata,—
"Naura, maaf aku tak ingin tahu lebih lanjut tentang hal ini. Aku hanya tahu kalau kamu terlihat nyaman bersamanya."
"Kenapa, Mas?"
Radit hanya menghela napas panjang mendengar pertanyaan Naura. Jangan ditanya bagaimana perasaannya saat ini, tentu saja hancur sehancur-hancurnya. Pria mana yang tahan melihat istrinya tidur dengan pria lain di depan mata kepala sendiri.
Bukan Radit tak peduli akan istrinya. Ia hanya tak ingin hatinya semakin terluka mengetahui alasan perselingkuhan wanita berambut panjang itu.
Bagi pria berambut klimis itu, sudah jelas kalau istrinya sudah tak nyaman bersamanya. Terlihat dari bagaimana Naura tak berusaha mencegahnya mengembalikan pada mertuanya. Tak terlihat pula keinginan Naura berusaha untuk memperbaiki rumah tangga mereka.
"Naura, Mas minta maaf selama menjadi suami, Mas belum bisa membahagiakanmu."
Naura hanya memandang pria di hadapannya yang kini mulai mengangkat kopernya keluar rumah, kemudian berjalan mengekor. Setelah menyimpan koper di bagasi, Radit pun duduk di balik kemudi menunggu dirinya untuk masuk.
Sampai saat ini Naura belum juga bisa memahami sikap suaminya yang tetap tenang. Namun dari sorot mata Radit ia tahu kalau suaminya memang terpukul dengan kejadian itu. Delapan tahun pernikahan cukup membuat Naura tahu bagaimana karakter suaminya itu.
***
Kedua orang tua Naura tampak heran melihat putrinya datang dengan membawa kopor yang dulu dipakai saat meninggalkan rumah untuk menikah dengan Radit.
"Ada apa ini?" tanya Rustam, ayah Naura.
"Mmm begini Pa, kedatangan saya bersama Naura kemari karena,—" Radit menghentikan kalimatnya dan menoleh ke arah Naura sambil mengangguk dan meminta persetujuan.
"Bilang saja, Mas," ucap Naura.
Setelah menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata sejenak, Radit pun mengatakan pada kedua orang tua Naura. "Maafkan saya Pa, saya bermaksud untuk memulangkan Naura pada Papa dan Mama.”
"Jadi kalian mau berpisah?" tanya Ayah Naura.
"Maafkan saya Pa, saya telah gagal menjadi panutan untuk Naura," kata Radit.
"Tapi kenapa?"
"Mungkin Naura yang bisa menjelaskannya," jawab Radit menoleh pada Naura.
Ia tak ingin menjelekkan wanita yang sudah delapan tahun ia nikahi. Karena itulah ia ingin mertuanya mendengar dari versi putri mereka.
"Saya mencintai pria lain," jawab Naura yang sekali lagi membuat kedua orang tuanya terkejut. Keterkejutan mereka pun semakin bertambah saat Naura menceritakan kronologi kejadian hari ini.
"Apa Naura? Bisa-bisanya kamu melakukan itu. Mau ditaruh dimana muka Papa, Nak?" ungkap Pak Rustam geram sementara Naura hanya bisa diam. Saking marahnya pria itu sampai mengangkat tangannya hendak memukul Naura.
“Sudah Pa, sabar! Tidak perlu seperti ini!” ucap Radit mencegah mertuanya untuk memukul Naura. Sementara Naura menutupi wajahnya dengan kedua tangan menghindar tamparan ayahnya.
Radit pun mengambilkan air putih kemasan yang memang ada di meja dan memberikan pada Pak Rustam untuk meredam emosi. “Tenang Pa … tenang. Kita tak perlu emosi menghadapi masalah ini, nanti urusannya bisa melebar kemana-mana.”
"Nak Radit, Papa selaku orang tua Naura meminta maaf padamu. Terus terang Papa malu dengan perbuatan Naura,” kata Pak Rustam setelah merasa emosinya lebih tenang.
"Saya yang minta maaf Pa, karena saya tidak bisa menjadi seorang suami yang baik untuk Naura."
"Jelaslah Naura milih laki-laki lain. Ngapain juga hidup lama-lama sama laki-laki mandul seperti kamu," Kali ini Bu Fatma, Ibu Naura yang kurang suka pada Radit pun berkomentar.
"Maafkan saya Ma!" jawab Radit menunduk.
"Ma!" cegah Pak Rustam agar istrinya diam saja.
"Apa sih Pa. Malah bagus kan kalau mereka bercerai. Apa bagusnya Naura hidup dengan laki-laki nggak berguna ini. Lihat saja bagaimana dulu dia pernah nyusahin Naura dengan tidak memiliki pekerjaan. Kalau Naura milih laki-laki lain ya itu namanya waras."
"Tapi Ma, Naura melakukan itu saat ia masih sah menjadi istri dari Radit."
"Kalau gitu cerai saja, tapi ingat Radit! Rumah yang kalian tempati itu ada haknya Naura! " tambah Bu Fatma.
"Nggak bisa donk Ma, Mas Radit beli rumah itu kan waktu belum nikah sama Naura," cergah Naura.
"Eh Naura, yang namanya sudah nikah ya harta bersama. Lagipula dia kan dulu sempat numpang hidup sama kamu!" tambah Bu Fatma.
Wanita paruh baya itu mengangkat dagunya dengan bangga setelah menyatakan argumennya barusan. Namun Naura merasa risih dan seperti tertampar dengan sikap ibunya itu dan memprotes,"Ma, tapi kan,—""Naura benar Ma," jawab Pak Rustam tegas."Pokoknya Mama nggak mau tahu, rumah itu ada hak nya Naura!" Bu Fatma bersikeras.Bu Fatma memang keras kepala. Jika sudah berkeinginan maka harus terlaksana. Tentu ini membuat suaminya, Pak Rustam dan putri semata wayangnya Naura merasa malu."Naura, ingat nggak waktu suamimu yang nggak berguna ini jadi pengangguran? Siapa yang bayar listrik, air belum kalau ada genteng bocor, itu pakai uang kamu kan, berarti ada hak kamu donk di sana!" seru wanita paruh baya ini bersikeras."Tapi, Ma,—""Nggak ada tapi-tapian, kamu nurut saja sama Mama. Dari dulu kamu sudah Mama suruh untuk ninggalin laki-laki nggak berguna ini, tapi apa, kamu keukeuh kan? Sekarang kamu sendiri yang tahu akibatnya, menikah delapan tahun nggak punya anak juga karena suamimu mandul."
Mobil SUV itu segera berhenti di depan UGD Rumah Sakit. Dengan sigap petugas paramedis pun membawa wanita yang tertabrak itu. Kondisinya cukup parah, darah pun mulai menetes pada bagian pangkal paha wanita korban kecelakaan itu.Sambil mengacak-acak rambutnya yang biasanya klimis, Radit bersandar dan terlihat sangat cemas. Telapak tangannya terasa dingin, menunggu hasil penanganan tim medis."Maaf, Pak," tegur seorang perawat tiba-tiba mendatanginya."Ya, ada apa suster?" jawabnya."Sebentar lagi pasien akan dipindahkan ke ruang perawatan, sementara bayinya harus berada di incubator. Bapak bisa menyelesaikan administrasinya.""Incubator?""Benar Bapak, karena berat badan lahir rendah dan belum cukup umur. ""Oh, ya baik-baik suster. Saya akan segera mengurus administrasinya."Radit pun segera ke kasir dan mengurus administrasi pasien atas nama Mila Ariani. Memberikan fasilitas kamar kelas satu dan melunasi semua biaya perawatannya."Maaf Mbak, apa hanya ini biaya yang harus saya lunas
“Raditya Prayoga?” gumam Mila sendirian disaat suster telah meninggalkan ruangannya. Yang lebih mengejutkan untuknya, kenapa suster mengatakan kalau laki-laki itu adalah suaminya.Nama Raditya Prayoga memang terdengar asing baginya. Ia mencoba berpikir dimana ia pernah mendengar nama itu.Mila pun memijat-mijat pelipisnya yang terasa pusing sambil mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ia hanya ingat saat itu tengah berjalan mencari tempat berteduh dan tiba-tiba semua berubah gelap.Kembali ia memperhatikan salinan tagihan Rumah Sakit yang jumlahnya tak sedikit. Biaya kamarnya saja mendekati dua juta per malamnya. Kemudian memperhatikan surat dan kartu nama Raditya Prayoga yang ia terima.Tadi ia hanya membaca suratnya sekilas, dan kini ia tahu kalau dia adalah korban kecelakaan dari pria bernama Raditya Prayoga. Mila merasa lega sekarang, karena pria yang menabraknya bertanggung jawab. Ia bersyukur dirinya tak mendapat luka serius dan bayinya selamat."Hmm sepertinya Raditya
Radit berjongkok di depan lemari, dan mengambil dokumen yang diperlukan untuk melayangkan gugatan pada Naura. Saat itulah ia menemukan album bersampul beludru merah hati.Itu album foto pernikahannya dengan Naura. Mendadak Radit lupa akan tujuannya membuka lemari. Justru memperhatikan album foto di sana dan membuka lembar demi lembar. Gambar Naura dengan riasan paes ageng dan alis tanduk kijang benar-benar mengganggu pikirannya. Sedih, tentu saja, sampai-sampai berhasil membuat matanya memerah."Kecantikan ini tak lagi bisa kupuja," gumamnya.Bohong jika Radit tak lagi mencintai Naura. Sampai hari ini hanya Naura yang mampu mengisi ruang di hatinya. Meskipun ia selalu berusaha untuk terlihat baik-baik saja.Sungguh berat hari-harinya untuk terus berpura-pura. Namun apa mau dikata Naura sudah tak menginginkan pernikahan ini lagi.Dengan kekuatan yang dipaksakan, Radit menutup album foto pernikahan mereka. Kemudian ia menyimpan dalam sebuah kotak dan menutupnya rapat-rapat."Selamat ti
Pernyataan Radit yang tiba-tiba memang memberikan kejutan bagi Ibunya. Beliau tak mengira, hubungan putranya yang sudah berjalan selama delapan tahun dan terlihat baik-baik saja akhirnya kandas.Apa yang bisa dilakukan oleh wanita yang sebagian besar rambutnya sudah memutih ini hanyalah mendengarkan keluh kesah. Bersikap seperti layaknya seorang Ibu pada umumnya dan memberi ketenangan.Perlahan ia mengangkat wajah Radit yang berada dalam pangkuan. Menatap lekat-lekat wajah sang putra.Radit menatap wajah teduh di hadapannya. Wajah yang selalu memberi kedamaian untuknya dan juga saudara-saudaranya. Sosok panutan bagi mereka."Tidak bisa membimbing bagaimana Le?" tanya Ibu Wuri pada sang putra."Pernikahan Radit dengan Naura sebentar lagi berakhir Bu. Radit baru saja melayangkan gugatan cerai."Kembali wanita lanjut usia itu mengusap rambut putranya dengan lembut. Seperti yang selalu dilakukan saat anak-anaknya masih kecil dulu."Apa permasalahan rumah tanggamu tidak bisa lagi diselesai
Setelah berjalan tanpa arah yang jelas, akhirnya perempuan berambut panjang itu berhenti pada sebuah rumah berlantai dua. Rumah bercat putih yang tak terlalu mewah dan bertuliskan 'Menerima Kost'."Mungkin aku harus berada di sini sambil mencari pekerjaan. Semoga saja di sekitar sini masih ada lowongan kerja untukku," gumamnya kemudian mendorong pagar. Perempuan itu Mila, yang terpaksa meninggalkan bayi mungilnya di Rumah Sakit. Sambil menghela napas panjang dan menghitung sampai tiga dalam hati, ia memberanikan diri mengetuk pintu. "Permisi, Assalamualaikum!" serunya saat mengetuk pintu berwarna cokelat terang. Terdengar seorang berteriak 'sebentar' dari dalam dan langkah kaki menuju tempatnya berdiri. Kriet! Pintu cokelat terang itu pun terbuka. Seorang wanita paruh baya, yang mungkin seumuran dengan Ibunya muncul dengan daster putih bermotif bunga biru. Wajah wanita itu tampak teduh dan penuh kasih, sangat berbeda dengan ibu kosnya yang lama."Waalaikumsalam," jawabnya sambil
Pria bertubuh tinggi ini berjalan dengan tergesa menuju ruang mediasi. Sosok wanita berdagu belah tengah duduk di kursi yang ada di depan ruangan itu. Ia tak sendiri, ada wanita lain dan seorang pria berdasi yang sepertinya seorang pengacara.Seketika itu Radit merasa sangat tidak nyaman melihat mereka. Sebenarnya bukan pria berdasi dan wanita berdagu belah itu yang membuatnya terganggu. Namun wanita paruh baya yang turut serta. Siapa lagi kalau bukan Bu Fatma. Wanta yang telah melahirkan perempuan cantik berdagu belah, Naura. Radit hanya menghembuskan napas panjang, berharap segalanya berjalan lancar. Atas nama adab dan kesopanan Radit tetap menyalami mantan mertuanya. Namun sayang, wanita itu justru menepiskan tangannya. Naura sendiri memandangnya dan tersenyum malu karena merasa tidak enak akan sikap Ibunya. "Kamu ini nggak berubah ya Radit, tetap menggampangkan masalah. Sidang pertama, malah datang terlambat," cecar Bu Fatma padanya. Pria berkulit cokelat itu menyipitkan kedu
Mila kembali merapikan pakaian dan juga riasannya di toilet uumum. Ia baru saja mengeluarkan semua ASI yang seharusny diberikan pada putrinya. Namun bagaimana lagi, keadaan saat ini tidak memungkinkan baginya merawat bayi.Mila kembali melihat ke arah cermin dan berkata pada dirinya sendiri kalau ia harus kuat. Mila tidak boleh lemah dan menyerah dengan pilihan yang telah ia buat. Semua yang dilakukannya saat ini untuk kepentingan putri cantiknya semata. Agar bayinya bisa mendapatkan kehidupan yang layak dan memiliki masa depan.“Aku pasti bisa!” gumam Mila kemudian berbalik dan melangkah menuju kantor SPBU dan mengikuti wawancara untuk mendapatkan pekerjaan.Begitu dipersilakan masuk, Mila pun duduk sambil menunggu giliran. Di sana sudah ada dua orang laki-laki seumurannya yang tengah menunggu giliran. Sesekali kedua pemuda itu mencuri pandang ke arahnya dan membuatnya risih.Salah satu dari mereka pun mulai mendekat pada Mila dan mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri, “Aku Ri
Kali ini Mila duduk di depan meja rias sambil mengenakan kebaya putih yang panjang. Rambutnya yang hitam legam sudah disanggul modern.Ia mengusap-ngusapkan telapak tangannya yang terasa dingin. Bu Laely yang menganakn kebaya kuning gading pun menepuk pundak putrinya yang belum juga beranjak dari meja rias.“Ma, apa Mas Radit udah datang?” tanyanya masih menatap ke depan kaca.“Sudah sayang, keluarganya sudah datang semua. Penghulu pun juga sudah datang.”Mila pun berdiri perlahan. Kali ini ia terlihat begitu anggun, dan lebih cantik dari biasanya. Balutan kebaya yang melekat di tubuhnya menunjukkan siluet yang indah.“Kamu cantik sekali nak. Akhirnya hari ini tiba juga,” kata Bu Laely sambil memperhatikan putrinya.“Makasih Ma. Kira-kira Mas Radit suka nggak ya? Apa Mas Radit nggak bakal batalin pernikahan ini?” tanya Mila.Bu Laely menggandeng tangan putrinya yang saat ini dihiasi oleh hena. “Mila, kenapa kamu berpikir begitu? Radit adalah laki-laki yang tepat untukmu. Apa kamu tida
Mila menghembuskan napas panjang, “Sebenarnya kasihan juga, tapi aku takut mereka akan menyakiti Kinan.”“Mereka nggak akan berani. Di sini ada Mas, Mbak Rima, Mas Rangga dan Mas Andar. Mereka semua akan bantu Mas untuk menjaga kalian berdua.”Mila memperhatikan sekitar. Calon kakak iparnya benar-benar pasang badan sekarang ini. Radit duduk bersebelahan dengan Doni. Mas Rangga berada di dekat pintu keluar, Mbak Rima dekat dengan Ibu Doni, mas Andar dekat dengan ayah Doni.“Sepertinya mereka akan sulit untuk berbuat macam-macam,” batin Mila kemudian mengangguk.“Baik, aku ijinkan kalian untuk menggendong dan memeluk Kinan. Namun aku tidak mengijinkan kalian membawanya pergi!” kata Mila dengan tegas.“Makasih nak Mila.”Mila pun mulai melonggarkan pelukannya pada Kinan dan bersiap menyerahkan putrinya pada Doni. Namun belum sempat bayinya berpindah, Radit sudah mencegah.“Tunggu sebentar! Meskipun kalian ada hubungan darah dengan Kinan, tapi kalian harus tahu kalau dia masih bayi dan ti
Mila mempererat pelukannya pada putri kesayangannya dan bersembunyi di balik punggung Radit. Saat ini napas Mila terdengar memburu, jelas ia mulai ketakutan dengan kehadiran seseorang yang ada di depannya.Radit yang melihat keadaan Mila yang merasa tidak nyaman pun menoleh sekilas ke arah Mila. “Kamu masuk dulu ke mobil sama Kinan, biar Mas yang urus dia!”Mila yang sedang ketakutan pun mengangguk dan langsung meraih kunci mobil Radit untuk segera masuk ke dalam SUV putih dan menguncinya rapat-rapat.Radit memicingkan mata lalu berdiri sambil berkacak pinggang. “Ada apa kamu datang kemari? Apa masih kurang puas dengan pelajaran yang saya berikan kemarin? Kamu masih mau mengganggu calon istri dan anak saya?”Laki-laki yang ada di depan Radit sekarang adalah Doni. Beberapa waktu sebelumnya, Doni pernah membuat masalah dengan Mila dan meneror Mila hingga menyisakan trauma.Namun Radit tidak tinggal diam dan dengan mudahnya membuat Doni tak bisa berkutik. Saat itulah Doni berjanji untuk
Radit membalas ucapan ayah Naura dengan senyum. Kemudian dengan ramah, Radit pun menawarkan tumpangan pada mantan mertuanya itu.Meskipun Naura dan ibunya bertingkah menyebalkan, tapi tidak dengan Bapaknya. Pria yang berdiri di hadapannya selama ini benar-benar menjadi sosok yang mengayomi dan bisa menjadi panutan.“Nak Radit, tidak perlu. Saya masih bisa naik bis nanti,” tolak Pak Rustam.Radit tahu, ucapan pria di hadapannya memang benar-benar tulus, bukan sekedar basa-basi. Semasa jadi mertuanya pun, pria ini sama sekali tidak pernah merepotkannya.Apa yag dilakukan oleh Radit saat ini semata-mata karena rasa kemanusiaan pada pria yang ada di hadapannya itu. Usia Pak Rustam yang tidak muda lagi tentu akan sangat mudah lelah jika harus menggunakan bis ke kampung halamannya. Belum lagi, saat turun di terminal beliau harus menumpang sebuah mobil angkutan ke terminal kampung dan naik ojek sejauh 8 kilometer lagi.“Tidak masalah Pak, setidaknya nanti Bapak bisa menghemat waktu.”Namun a
Ayah Naura melirik jam tangang begitu turun dari bis kota. Kemudian ia pun bergumam lirih, “Alhamdulillah tidak terlalu siang.”Sudah hampir seminggu Pak Rustam berada di kampung halaman bersama istri dan Naura. Keseharian Naura dan istrinya di sana benar-benar tidak bahagia.Tidak sekali dua kali istri dan putri tunggalnya memohon unutk kembali ke kota dan hidup normal seperti dulu. Mereka benar-benar tidak cocok dengan kehidupan di kampung yang menurutnya terlalu jauh dari kata modern.Kadang-kadang ayah Naura pun kasihan saat melihat istri dan anaknya harus bangun pagi-pagi karena di sana tidak memiliki kompor gas. Untuk memasak masih harus menggunakan tungku. Belum lagi cibiran dari keluarga besar tentang kehamilan Naura.Meskipun tidak benar-benar membuka aib putrinya karena Pak Rustam mengatakan kalau Naura dan suaminya bercerai tapi tidak mengatakan tentang perselingkuhan putrinya. Namun tetap saja orang-orang menganggap ada apa-apa dengan pernikahan mereka berdua.Naura sering
Langit senja berwarna jingga menghiasi kota, suasana yang indah itu berbanding terbalik dengan Naura memasuki pintu rumahnya dengan langkah lesu. Wajahnya mencerminkan kepedihan yang dalam, matanya merah akibat tangis yang tak terbendung. Ia baru saja pulang dari rumah Radit melakukan rencana yang telah diatur bersama ibunya. Namun yang didapat, jangankan keberhasilan, ia justru diusir oleh mantan kakak iparnya itu.Naura yang kelelahan karena berbadan dua, ia pun duduk di kursi makan sambil menikmati air dingin. Hatinya betul-betul merasa sakit, bukan karena dia tidak mendapatkan kasih sayang Radit lagi, tapi tidak bisa mendapatkan kejelasan untuk masa depan dia dan anaknya.“Kamu udah pulang Naura?” tanya Bu Fatma tiba-tiba kemudian duduk di kursi yang berada di hadapan Naura.“Iya Ma,” jawab Naura dengan malas.“Udah ketemu Radit? Tadi dia antar kamu pulang kan?” tanya Bu Fatma antusias.“Hmm boro-boro antar pulang, ngobrol enak aja nggak,” jawab Naura kesal.“Maksud kamu? Dia jah
Radit pun langsung menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh kakak iparnya. Tamu tak diundang itu pun memasuki pelataran rumah Radit dan mengangguk kemudian mencoba untuk menyalami Mbak Rima. Namun wanita ini langsung menepiskan tangannya.“Ngapain kamu ke sini?” tanya Mbak Rima ketus. Walaupun dia satu-satunya anak perempuan Bu Wuri, tapi dia selalu berusaha untuk menjadi yang paling terdepan setiap ada masalah dalam keluarganya. Terlahir sebagai putri sulunglah yang membuatnya selalu bersikap demikian.Mas Rangga yang sudah paham perangai kakak tertuanya pun langsung melirik Dewi istrinya agar membawa anak-anak yang masih berada di sekitar mereka masuk ke dalam. Kakak kedua Radit seperti meramalkan akan ada kejadian tidak menyenangkan, dan kurang pantas dilihat oleh anak-anak.“Apa kabar, Mbak?” sapa Naura dengan sopan, kemudian mencoba menyalami mantan kakak ipar dan juga Radit. Namun mereka semua hanya menangkupkan tangan di depan dada enggan bersentuhan.Saat Naura hendak menyalami M
Pagi ini waktu sudah semakin dekat dengan jam sepuluh pagi. Radit tampak berdiri dengan penuh kegelisahan. Kedua tangannya terasa dingin kali ini.Ini bukan balasan lamaran pertama baginya, dia pernah melewati momen ini sebelumnya. Namun entah kenapa perasaan gugup itu masih ada.“Kamu kenapa, Le? Kok kelihatan gelisah seperti itu. Apa keluarga Mila nggak jadi datang?”Radit menggeleng. “Bukan Bu Bukan begitu. Mereka sudah dalam perjalanan kemari, mungkin dalam beberapa menit lagi sampai. Aku cuma … nggak tahu aku ngerasa gugup seperti baru pertama kali menyambut keluarga calon, padahal aku sudah pernah melewati sebelumnya.”“Ha ha, kamu seperti pengantin baru saja,” kata mbak Rima kakak sulung Radit yang datang menyaksikan kebahagaiaan adik bungsunya kali ini.“Itu tandanya perempuan itu spesial buat Radit,” celetuk mas Andar suaminya.Sejak kabar bahagia itu datang, Radit langsung menghubungi ketiga kakaknya Rima, Rangga dan juga Raka mengenai rencana kedatangan keluarga Mila. Ketig
Suara mesin motor yang berhenti tiba-tiba di depan rumah membuat Pak Rustam terkejut dan membuatnya terpaksa menghentikan aktivitas menyambung tanaman. Ia pun segera menuju pagar dan melihat siapa yang datang.Tampak dua sosok asing dengan jaket kulit berwarna hitam dan berperangai sangar pun turun dari motor. Pak Rustam sama sekali tidak pernah mengenal dua sosok laki-laki itu.“Selamat sore, permisi Pak apa benar ini rumah Ibu Nur Fatmawati?” tanya salah satunya yang berkepala botak.Pak Rustam mengerutkan alis dan balik bertanya, “Anda siapa ya?”“Jawab saja Pak, benar atau tidak?” tanya pria itu lagi.Sikap menggertak seperti ini jelas tidak disukai oleh Pak Rustam, dan tidak seharusnya ditunjukkan. Pak Rustam pun berdiri berkacak pinggang dan menantang mereka.“Hei, kalian ini apa-apaan. Ini rumah saya! Jika ingin membuat keributan di sini silakan pergi sebelum saya panggil warga yang akan mengusir kalian!” bentak Pak Rustam.Meskipun usianya tak lagi muda, tapi ayah Naura tetap