"Mama?"Puspita membeku. Kata itu bergema di telinganya, menyisakan denyut rasa bersalah yang tak tertahankan. Ia menunduk menatap Prily, anak kecil yang memeluk kakinya erat, menangis penuh keputusasaan.“Mama, Ii mau Mama!” Prily meratap dengan isakan terputus-putus, sementara Puspita masih terlalu terkejut untuk bergerak.Di hadapannya, Haidar berdiri mematung. Sorot matanya penuh tanya. Ia menatap Puspita, lalu Pram, sebelum akhirnya kembali memusatkan pandangannya pada Puspita.“Mama?” ulang Haidar dengan suara rendah, mencoba memastikan apa yang baru saja ia dengar.Puspita mengerjapkan mata, mulutnya terbuka untuk menjawab, tetapi tak satu pun kata berhasil keluar. Jantungnya berdetak kencang, hampir tak bisa bernapas. Ia tahu pertanyaan itu akan datang, tetapi tidak pernah membayangkan harus menjawabnya di saat seperti ini.Pram yang sedari tadi mengamati situasi itu dengan tajam, memanfaatkan kebisuan Puspita. Ia melangkah maju, berdiri di antara mereka dengan tubuh tegap, tat
Haidar menatap Puspita dengan sorot tak terbaca. Kata-kata terakhir Pram seolah memukulnya tepat di dada. Tubuhnya tegang, rahangnya mengeras, tetapi ia masih berusaha tetap tenang. Bagaimanapun, ia belum mendengar penjelasan apa pun dari Puspita. Semua baru dari versi pengakuan Pram saja.Meski terlihat jelas apa yang terjadi—melihat Prily yang begitu menempel—ia tak lekas menelan mentah informasi yang Pram sampaikan."Pita, apa arti semua ini?" tanyanya, suaranya berat, penuh kekecewaan. Tatapan Haidar sulit dibaca, tetapi jelas menunjukkan rasa dikhianati.Puspita menelan ludah. Wajahnya memucat, tetapi ia memaksa dirinya tetap tenang. "Aku bisa jelaskan, Kang," katanya, memandang Haidar penuh harap. "Ini tidak seperti yang Akang pikirkan."Pram yang melihat itu tersenyum miring. Ia sangat yakin Haidar akan shock mengetahui kenyataan ini. Seperti dugaannya, Puspita tidak pernah menceritakan yang sebenarnya. Pram bahkan yakin sebentar lagi Haidar akan meninggalkan Puspita.“Akang per
Suasana mobil terasa sangat panas, padahal pendingin dinyalakan. Kabin mobil juga terasa lebih sempit dirasakan Puspita seiring kalimat Haidar barusan. Mungkin karena dadanya yang sesak.Puspita tertegun. Kalimat Haidar memang datar, tapi sangat tajam. Jantungnya seperti tertikam ribuan duri. Ia tahu Haidar sedang mencoba memahami situasi, tetapi pertanyaan itu tetap menyayat hatinya.“Apa Akang pikir Prily ini anakku?” Puspita balik bertanya dengan hati perih.Haidar hanya mengerjap tanpa menanggapi. Memang janggal jika Prily adalah anak kandung Puspita. Puspita baru dua puluh tahun, sedangkan Prily sudah lebih dari dua tahun. Lagipula, Puspita mengatakan hanya menikah selama satu tahun. Namun, segala sesuatu bisa saja terjadi."Prily bukan anak kandungku, Kang." Puspita menjelaskan lirih, memandang Haidar yang akhirnya menoleh padanya, menunggu penjelasan lebih lanjut. "Dia anak Pak Pram dan... istrinya yang sudah meninggal."Haidar masih diam, hanya menatapnya sekilas dengan ekspres
"Kalau Akang merasa keberatan atau ragu, Pita tidak akan memaksa. Semua keputusan ada di tangan Akang," ujar Puspita lirih sebelum turun dari mobil, suaranya nyaris tenggelam dalam desau angin yang masuk dari jendela yang sedikit terbuka.Haidar diam, tatapannya kosong ke depan. Puspita tersenyum tipis, lebih kepada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hati. Ia melangkah turun, meninggalkan Haidar yang masih terpaku di belakang kemudi.**Di kamar kosnya, Puspita duduk bersandar pada dinding. Matanya menatap kosong ke arah lemari kecil yang setengah terbuka. Sebuah cermin kecil menggantung di pintu lemari itu, memperlihatkan bayangan dirinya yang terlihat lebih tua dari usianya. Wajahnya tampak lelah, seakan bertahun-tahun masalah telah melumat energinya.Puspita menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke lutut yang terlipat. "Mungkin dia memang tidak ingin melanjutkan," gumamnya pada diri sendiri, suaranya hampir tak terdengar.Bayangan perbincangan di mobil tadi kembali m
Puspita berdiri mematung, darahnya terasa mengalir deras ke kepala. Tubuhnya kaku, sementara pikirannya berkecamuk. Apa yang baru saja ia dengar? Fitnah itu terlalu kejam untuk diterima akal sehat.Wanita itu meremas tas kecil yang ia bawa, jemarinya gemetar menahan marah, bingung, sekaligus sakit hati. Suara sindiran dari Santi dan Rina terngiang-ngiang di telinganya.Apakah semua orang benar-benar percaya pada fitnah keji tersebut? Puspita tidak pernah merebut suami siapa pun! Pernikahannya dengan Pram hanya untuk memenuhi permintaan terakhir Soraya sebelum meninggal. Tidak ada cinta, tidak ada romansa. Dan sekarang, setelah bertahan dengan semua kepahitan itu, dirinya justru dihujat sebagai perusak rumah tangga.Ini lebih mengerikan daripada kabar tentang status dirinya sebagai janda tersebar.Dulu, ia kira jika statusnya sebagai janda tersebar, ia tidak akan punya muka lagi di depan umum. Namun kini, hal yang lebih mengerikan terjadi. Seseorang menyebar fitnah bahwa dirinya adalah
Sore harinya, Puspita berjalan lunglai menuju ruangan kecil di belakang kantin. Kantin hampir tutup, semua pengunjung sudah bubar, dan karyawan lainnya sudah pulang satu per satu. Ibu pemilik kantin memanggil Puspita setelah suasana sepi.Wanita paruh baya itu sudah menunggunya di sana. Duduk di kursi kayu tua, ia menatap Puspita yang baru datang dengan wajah berat, seolah-olah tengah memikul beban besar. Satu tarikan napas panjang mengawali kalimatnya."Puspita, bagaimana kondisimu seharian ini?" tanya wanita itu begitu Puspita duduk di hadapannya. Tatapan wanita paruh baya itu sayu.Puspita tidak menjawab. Hanya bisa menundukkan wajahnya. Ia sangat yakin bosnya itu tahu persis apa yang ia rasakan. Suasana kerja hari ini sangat tidak nyaman. Semua orang menggunjing, menghujat, dan memberinya berbagai predikat buruk. Bukan hanya sesama karyawan, tetapi hampir semua orang yang berkunjung ke sana.Pelakor, janda gatal, wanita materialistis, dan entah apa lagi tuduhan yang disematkan pad
Puspita menyeka air mata entah untuk ke berapa kalinya.Kaca helm sengaja ia tutup agar tangisnya samar, meski desau angin sebenarnya sudah menyamarkannya. Walaupun sudah kenyang dengan berbagai kepahitan hidup sejak kecil, nyatanya hatinya tak cukup kebal untuk tidak menitikkan air mata setiap kali menerima ketidakadilan.Ia tetap saja gadis rapuh yang cengeng. Air mata menjadi teman setianya sejak lama.Ia pikir setelah keluar dari rumah Pramudya, tidak akan ada lagi air mata yang tumpah berkaitan dengan pria itu. Nyatanya, kini yang ia rasakan lebih sakit dari sebelumnya. Jika dulu hanya sikap Pram yang membuat hatinya sakit, kini tentu lebih parah karena dunia seolah memusuhinya.Sekali lagi Puspita mengusap air mata yang tidak mau mengering. Langit malam mulai menyelimuti kota ketika ia turun dari ojek online di depan rumah kosnya. Pikirannya melayang jauh. Ia tidak tahu lagi harus melangkah ke mana.Saking tidak fokus, ia tidak menyadari jika di teras kamarnya duduk seseorang ya
Puspita mematung. Jeritannya terhenti di tenggorokan saat matanya bertemu dengan wajah laki-laki yang masih duduk di lantai, tepat di bawah kakinya. Pramudya.Apa yang dia lakukan di sini? Bagaimana bisa dia berada di teras kosnya, tempat yang seharusnya aman karena gerbang dikunci setiap malam?“Kau sudah bangun?” Pram bersuara serak, menatapnya dengan mata yang sedikit sembab, seolah ia tidak tidur semalaman. “Kebiasaanmu tidak berubah,” lanjutnya. Tentu saja ia tahu karena tiga tahun Puspita tinggal di rumahnya dan satu tahun menjadi istrinya. Meski tidak memperhatikan, tetapi karena terus berulang ia jadi hapal dengan sendirinya.Puspita mundur selangkah. Masih berusaha menetralkan jantungnya yang berdebar keras. Kekagetan kini berubah kekesalan.“Apa yang Anda lakukan di sini?!” tanyanya, suaranya bergetar, setengah antara marah dan bingung.Pram bangkit perlahan, membersihkan debu di celananya. “Aku menunggumu,” jawabnya datar.“Nunggu aku? Di sini? Bagaimana bisa?” Puspita mem
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p