Prabu merasakan amarah dan panik bercampur menjadi satu. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya beralih pada Irena yang masih berjuang menenangkan Chiara. Jika foto-foto ini tersebar, apa yang akan terjadi pada keluarganya? Apa yang akan dipikirkan Irena? Lalu, bagaimana tanggapan keluarga Bimantara?Tangannya mengepal kuat, dadanya naik turun menahan emosi. Ada apa dengan dirinya? Bahkan di saat seperti ini ada seseorang yang memanfaatkan situasi. Apakah selama ini ia banyak berbuat salah terhadap orang lain?Prabu memejamkan matanya. Kepalanya menyandar lemah ke dinding rumah sakit. Tangannya meremas kuat ponselnya. Ini baru permulaan jalan yang ia pilih selepas pergi dari keluarganya, tapi rasanya sudah sangat berat. Bagaimana dengan yang terjadi pada sang ayah dulu?Mata Prabu terbuka saat seseorang memanggilnya.“Maaf, Pak Prabu, dokter mencari Anda.” Seorang perawat sudah berdiri di depannya.Prabu mengerjap dan berdiri, lalu bertanya. “Di mana istri saya?”“Silakan iku
Puspita memekik kaget. Wanita itu baru saja beristirahat melatih kakinya di balkon apartemen. Keringat bahkan masih membanjiri wajahnya. Pram sedang mengambil minuman di dapur saat ia membuka ponsel dan iseng-iseng berselancar di media sosial.Dan… media sosial di tanah air saat ini sedang dipenuhi dengan pemberitaan tentang Prabu yang memiliki perempuan lain selain istri yang tidak direstui keluarganya. Sebagai penyandang nama Bimantara yang sudah diketahui khalayak, meski sebenarnya ia sudah tak diakui, ternyata berita tentang Prabu masih menjadi perhatian publik. Berbagai media sosial memberitakan dengan versi masing-masing, disertai narasi yang dibuat sangat dramatis.Tangannya gemetar, dadanya berdebar kencang, tak percaya dengan apa yang ia lihat. Dengan cepat, ia mencari tahu lebih banyak, membaca komentar demi komentar yang penuh spekulasi dan tuduhan. Terkesan menyudutkan dan sok tahu, seolah mereka adalah Tuhan. Namun, tak sedikit pula yang malah mendukung jika Prabu bersama
"Mas, tolong hubungkan aku dengan Bang Prabu," ujar Puspita malam ini saat mereka bersiap tidur. Pikirannya yang terus terhubung pada kakaknya itu membuatnya tidak akan bisa tidur. Padahal, Pram sudah berkali-kali meyakinkannya agar tidak terlalu diambil hati. Sekali lagi, kondisinya jauh lebih penting."Aku mau bicara sebentar saja," ucapnya tegas.Pram menghela napas panjang. "Pita, sekarang bukan waktu yang tepat. Bang Prabu sedang di rumah sakit, dia—""Mas … aku mohon. Sebentar saja." Puspita memelas. "Aku tidak akan bisa tidur malam ini jika belum bicara dengannya."Pram menatapnya lama sebelum akhirnya menghela napas dan mengalah. Ia merogoh ponselnya, menekan nomor Prabu."Apa aku mengganggumu?" tanya Pram langsung setelah mengucapkan salam.Pram sedikit berpikir sebelum berkata lagi. "Puspita ingin bicara denganmu."Pria itu terdiam lagi, Puspita yakin jika ia sedang mendengarkan Prabu bicara."Bang … aku mengerti. Aku juga maunya begitu. Ia fokus pada penyembuhannya saja. Ta
Prabu menatap wajah istrinya yang pucat. Irena tampak kelelahan, lingkaran hitam di bawah matanya semakin kentara. Sudah berhari-hari mereka berada di rumah sakit, tapi kondisi Andini tak menunjukkan perkembangan yang berarti. Hanya alat-alat medis yang menjaga gadis itu tetap hidup."Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Prabu..." Suara Irena bergetar. "Aku sudah melakukan semua yang bisa aku lakukan, tapi Andini... dia masih begini."Prabu menggenggam tangan istrinya, berusaha memberikan ketenangan meskipun hatinya sendiri kacau. "Sayang, kita harus tetap kuat. Aku yakin Andini juga sedang berjuang."Irena menggeleng, air matanya menetes tanpa bisa ia tahan. "Aku takut, Prabu. Aku takut kehilangan dia. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku tanpa Andini. Dia satu-satunya adikku. Satu-satunya keluargaku. Dia sampai seperti ini juga karena menolong anakku. Di saat anakku kembali, kenapa justru adikku yang kini hidup tetapi tidak bisa kuajak bicara?"Prabu menarik Irena ke dalam
Delapan bulan berlalu...Puspita berdiri di depan kaca besar kamarnya, menatap bayangannya sendiri dengan mata berkaca-kaca. Ia mengangkat satu kakinya, berjinjit, lalu melompat kecil. Tidak ada rasa sakit. Tidak ada rasa nyeri. Hanya ada kehangatan yang menjalar di hatinya. Setelah hampir setahun menjalani pengobatan dan terapi intensif di Singapura—dan ini sudah delapan bulan sejak mendengar Prabu terusir dari keluarga—akhirnya ia bisa kembali berdiri tegak, berlari, bahkan melompat seperti dulu."Aku sembuh... Aku benar-benar sembuh!" pekiknya penuh haru.Langkah kakinya ringan saat berlari ke balkon, mengintip sosok yang sejak tadi dinantikannya. Pram baru saja kembali dari tanah air, seperti biasa kepulangannya untuk mengurus pekerjaan dan menjenguk Sakti. Kini, saat sang suami kembali, ia tidak sabar ingin menunjukkan keajaiban ini.Begitu mobil yang Pram tumpangi terlihat memasuki area parkir, mata Puspita berbinar. Tanpa ragu, ia melesat ke ruang tamu, menunggu pujaan hati den
Delapan bulan telah berlalu sejak pertemuan Prabu dengan Opa dan Omanya di parkiran rumah sakit. Hampir sembilan bulan sejak Prabu memilih meninggalkan keluarga yang dulu sangat ia hormati, tetapi kini membuatnya kecewa. Selama itu pula, ia fokus membangun kehidupan yang lebih tenang bersama Irena dan Chiara, juga calon anaknya yang masih di dalam perut Irena.Tak terbayangkan betapa bahagia dan bangganya ia saat Irena memberi kejutan test pack bergaris dua tepat di hari jadinya beberapa bulan lalu. Saat itu, Prabu menatap Irena dengan mata berkaca-kaca, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tangannya gemetar saat menerima kotak kecil berhiaskan pita emas yang diberikan oleh istrinya. Dengan jantung berdebar, ia membuka kotak itu dan menemukan sebuah test pack dengan dua garis merah yang begitu jelas."Irena... Ini..." Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia menatap wajah istrinya yang tersenyum hangat, sorot matanya penuh kebahagiaan."Selamat ulang tahun, Sayang.
Puspita menyandarkan kepalanya di bahu Pram, matanya menatap jendela pesawat dengan tatapan berbinar. Awan-awan putih yang berarak di langit biru tampak begitu indah di matanya, seolah menari menyambut kepulangannya.Di kejauhan, sinar matahari menembus celah awan, membentuk semburat keemasan yang berkilauan seperti permata. Sementara di bawah sana, garis pantai terlihat samar, membentang seperti sapuan kuas di atas kanvas biru samudera.Dadanya penuh haru. Ia benar-benar pulang. Pulang dalam keadaan sehat, tanpa kursi roda, tanpa tongkat, dan tanpa harus bergantung pada orang lain. Tanpa pula harus menutup wajah karena merasa malu."Mas, terima kasih," bisiknya lembut, suaranya bergetar karena emosi.Pram menoleh, mengusap lembut kepala istrinya yang tertutup kerudung hijau muda. "Untuk?"Puspita menegakkan tubuhnya, menatap suaminya dengan mata berbinar penuh cinta. "Untuk semuanya. Untuk kesabaran Mas mengurusku selama ini. Untuk setiap kali Mas menghapus air mataku saat aku hampir
"Di mana Bang Prabu? Kenapa tidak ikut makan bersama kita? Bukankah ia juga seharusnya menyambutku?"Hening. Seperti ada udara yang tiba-tiba membeku di ruangan itu. Semua orang saling berpandangan, sementara wajah Opa dan Oma berubah tegang. Pram yang duduk di sebelah Puspita semakin menggenggam tangannya erat, memberikan dukungan."Bang Prabu baik-baik aja, kan?" lanjut Puspita lagi, memandang Opa dan Oma bergantian.Oma dan Opa saling berpandangan lagi sebelum Oma menghela napas berat. "Puspita, kamu baru pulang, sayang. Kita baru menikmati kebersamaan ini. Opa sama Oma sedang menikmati waktu bersama kamu. Sebaiknya kita tidak membicarakan hal di luar ini."Puspita mengerutkan keningnya. "Kenapa, Oma? Bukankah Bang Prabu itu kakakku? Keluarga kita? Kenapa aku tidak boleh bertanya?" tanyanya lagi, masih hati-hati dan dengan suara lembut.Lagi-lagi sepasang suami istri sepuh itu saling pandang sebelum akhirnya Opa yang angkat bicara."Puspita, begini, Nak. Pramudya itu suamimu. Dia y
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p