Prabu menatap layar ponselnya dengan napas tertahan. Nama Irena tertera di sana, panggilannya masuk, menanti untuk dijawab. Namun, tangannya ragu untuk menekan tombol hijau. Ia menggigit bibirnya, mencoba merangkai kata-kata yang tepat untuk mengabarkan kegagalannya. Bagaimana mungkin ia bisa mengatakan pada Irena bahwa ia telah kehilangan jejak Radit? Bahwa ia telah menyia-nyiakan kesempatan emas yang seharusnya bisa membawanya lebih dekat pada Chiara?Akhirnya, dengan berat hati, Prabu menggeser layar dan mendekatkan ponsel ke telinganya. “Halo, Irena...”“Pak Prabu, bagaimana Chiara? Apa kamu sudah menemukannya?” Suara Irena terdengar penuh harap. Ada ketegangan di dalamnya, seperti seorang ibu yang siap berlari ke mana saja demi anaknya.Prabu terdiam sejenak, menggigit bagian dalam pipinya. “Aku...” Ia menarik napas panjang. “Aku kehilangan jejak Radit.”Keheningan menyergap. Ia bisa mendengar tarikan napas Irena di seberang sana, cepat dan pendek, seolah menahan kekecewaan yang
Prabu mengerjap saat Irena melambaikan tangan di depan wajahnya. Tadi ia hampir tak berkedip menatap Andini."Hallo, Pak Prabu!"Prabu berdehem dan mengalihkan pandangan. Sungguh, ia merasa pernah melihat sosok wanita tomboy yang dikenalkan Irena sebagai adiknya, hanya saja ia tidak mengingat di mana pernah melihat sosok itu.Atau ini hanya perasaannya saja? Sebagai mantan CEO di perusahaan besar yang pasti bisa bertemu banyak orang dengan berbagai penampilan dan karakter, rasanya mungkin saja salah satu karyawannya berpenampilan seperti itu. Jadi, bukan karena mereka pernah bertemu. Mungkin hanya kebetulan mirip saja.Kalau menjadi karyawannya, rasanya tidak mungkin. Irena mengatakan adiknya insinyur perminyakan, jadi tidak mungkin pernah bekerja di Bimantara Group.Prabu melangkah mengikuti dua kakak beradik yang kini menuju ruang tengah. Ia enyahkan pikiran untuk mengingat wanita itu. Rasanya itu tidak terlalu penting saat ini. Banyak orang mirip di dunia ini, bukan? Dan bukan hal
Andini menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Jari-jarinya gemetar, ragu-ragu menekan deretan angka yang tidak bernama di ponselnya sebagai pengirim pesan. Ia sudah lama menghapus nomor itu dan tidak pernah menyimpannya lagi, meski Radit sering menghubunginya.Ya, itu nomor Radit. Seseorang yang sangat membuatnya muak, tetapi ia harus menghubunginya demi sang kakak.Suasana di ruang tengah itu terasa mencekam. Prabu dan Irena menunggu dengan penuh harap, sementara dadanya sendiri berdegup kencang.“Ayo, Din,” suara Irena nyaris seperti bisikan, penuh harap sekaligus ketakutan. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya ia tidak ingin mengorbankan adiknya seperti ini, tetapi ini harus dilakukan untuk memancing Radit keluar membawa Chiara.Mungkin terkesan egois sebagai seorang kakak, namun lagi-lagi ini terpaksa. Toh, Andini tidak harus benar-benar menikah dengan Radit. Demi Tuhan, ia tidak akan pernah membiarkan hal itu. Cukup dirinya yang merugi selama ini.Andini menarik napas dalam, berus
Andini berjalan mondar-mandir dengan wajah tegang. Sesekali ia mengusap wajahnya, berusaha menghilangkan kegelisahan yang semakin menyesakkan dadanya. Sekali waktu, ia mengacak rambut pendeknya hingga semakin berantakan. Pikirannya penuh dengan percakapan yang baru saja terjadi dengan Radit.Prabu yang sejak tadi hanya diam, memperhatikan wanita itu dengan saksama. Satu hal lagi yang bisa ia simpulkan dari adik iparnya itu: Andini bukan wanita yang memperhatikan penampilan. Ia tidak peduli terlihat sangat berantakan di depan orang lain. Sungguh wanita unik bagi Prabu. Di saat banyak wanita takut terlihat jelek di mata orang lain—termasuk seorang kakak ipar—ia sama sekali tidak peduli.Sang pria bersedekap dengan rahang mengeras. Tentu saja, ia merasakan kegelisahan dan kemarahan kakak-beradik itu.Sementara itu, Irena yang masih duduk di tempatnya tampak semakin pucat. "Aku masih nggak percaya kalau dia sudah menceraikan istrinya," gumamnya, menggelengkan kepala dengan kesal."Aku jug
"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?"Andini mengerjapkan mata. "Maksudnya?" tanyanya, meski hatinya berdebar lebih cepat dari yang seharusnya.Prabu menyesap sedikit air dari gelasnya, lalu menghela napas pelan. "Entahlah. Aku merasa wajahmu familier."Andini tersenyum kaku, lalu mengalihkan pandangan ke gelasnya yang kini sudah terisi penuh. Ia bisa saja menjawab dengan santai, tetapi situasi ini sudah cukup janggal tanpa ia harus menambahinya dengan perbincangan panjang."Aku tidak tahu," jawabnya akhirnya, mencoba terdengar netral.Prabu hanya mengangguk pelan, tetapi tatapannya tetap tertuju padanya, seolah mencari sesuatu di wajah Andini yang bisa menjawab pertanyaannya sendiri. Andini merasa perlu segera pergi sebelum kecanggungan ini semakin terasa.Gadis itu mengeratkan genggaman pada gelasnya. "Aku ke kamar dulu," katanya cepat, sebelum melangkah pergi dengan jantung berdebar tak karuan.Andini menutup pintu lebih cepat dari apa pun, sesaat setelah langkah-langkah panjangnya
“Mbak Iren belum bangun, Mbak Sri?” tanya Andini seraya menarik sebuah kursi di meja makan. Lalu duduk di sana sambil meneguk segelas air. Air yang nyaris tersembur dari mulutnya karena detik berikutnya, dari pintu muncul orang yang barusan ia tanyakan.Andini batuk-batuk karena tersedak air dalam mulutnya. Tidak berlebihan sebenarnya, karena ia melihat sesuatu yang berbeda pagi ini. Irena dan Prabu masuk ke sana dengan bergandengan tangan. Jemari mereka saling bertaut. Dan yang membuat Andini gagal fokus, Irena tidak memakai jilbabnya, seolah sengaja menggerai rambut basahnya.Pun dengan Prabu. Mereka berdua seperti sengaja tidak mengeringkan rambut sebelum keluar kamar. Andini mengerti mereka pengantin baru, tapi apakah mereka lupa kalau di sana ada orang lain yang jomblo sepertinya? Yang tidak nyaman dengan kelakuan mereka?Andini masih berusaha mengatasi batuknya ketika Irena dan Prabu mendekat ke meja makan. Atmosfer pagi yang semula tenang berubah menjadi canggung seketika. Mata
Andini melipat tangannya di dada, menyaksikan pengantin baru bergandengan tangan melewatinya di ruang tengah. Kadang ia berpikir untuk kembali saja bekerja, toh di sini pun kondisi Irena terlihat lebih baik. Kakaknya itu bahkan tetap berangkat bekerja seperti biasa, meninggalkannya di apartemen sendirian.Namun, ia terlanjur mengambil cuti, dan ia sudah berjanji akan membantu menemukan Chiara. Menunggu waktu yang dijanjikan Radit untuk bertemu.Entahlah, kepulangannya kali ini rasanya berbeda dari sebelum-sebelumnya. Dulu, jika ia berkesempatan pulang, itu akan menjadi momen yang sangat indah. Tidur berdua dengan Irena. Memeluk wanita yang sudah menjadi ibu keduanya itu dengan sangat rindu. Apalagi saat ada Chiara, mereka akan tidur satu ranjang bertiga, berebut perhatian Irena bersama Chiara.Kepulangannya kali ini berbeda karena sekarang Irena sudah bersuami. Masuk ke kamar Irena saja ia tidak berani karena sekarang penghuni kamar itu bukan hanya kakaknya seorang, tapi juga ada oran
Andini mengembuskan napas panjang sambil berjalan melintasi lapangan sekolah Chiara. Tangannya menggenggam secarik kertas yang baru saja ia dapatkan dari pihak administrasi sekolah. Matanya menatap lama alamat yang tertera di sana sebelum akhirnya melangkah menuju mobilnya dan melaju ke tujuan.Informasi yang ia dapatkan dari sekolah cukup mengejutkan. Chiara sudah tidak bersekolah di sana. Sayangnya, pihak sekolah tidak mau memberikan informasi ke mana Chiara pindah. Hanya ada satu alamat yang diberikan sebagai petunjuk, alamat yang semoga bisa membawanya ke Chiara.Andini menyandarkan punggungnya di jok mobil, mencoba meredam gejolak emosinya. Pilihannya untuk meminjam pakaian Irena ternyata tidak sia-sia. Dengan pakaian yang lebih feminin dan suara yang sedikit dilembutkan, pihak sekolah tidak keberatan memberikan informasi yang ia butuhkan. Ia yakin jika Radit meminta pihak sekolah merahasiakan kepindahan ini dari Irena. Untunglah ia yang datang.Dibarengi satu tarikan napas, ia m
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p