Puspita duduk di kursi rodanya dengan tatapan kosong. Ruang terapi di Mount Elizabeth Hospital yang biasanya penuh semangat kini terasa dingin dan sepi. Sari berdiri di sisinya, memberikan dukungan moral, tetapi itu tidak cukup. Biasanya, Pram yang ada di sana. Biasanya, Pram yang menggenggam tangannya sebelum terapi dimulai, memberikan kata-kata penyemangat dengan suara lembutnya.Hari ini, Pram tidak ada.Puspita menggigit bibirnya, menahan isakan yang mengancam pecah. Sejak Pram pergi bersama Prily kemarin, ia belum sekali pun mendengar kabarnya. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Pram benar-benar menghilang dari kehidupannya dalam sekejap. Dan itu sangat menyakitkan."Bu, kita mulai, ya?" sapa terapis yang sudah bersiap membantunya menjalani sesi latihan hari ini.Puspita hanya mengangguk lemah. Ia memaksa tubuhnya untuk fokus, tetapi hatinya berantakan. Setiap gerakan yang biasanya ia lakukan dengan penuh usaha kini terasa lebih berat dari sebelumnya. Ketika kakinya mencoba berg
Puspita menggenggam ponselnya erat, berulang kali mencoba menghubungi Prabu. Namun, hasilnya tetap sama—tidak bisa dihubungi. Ia berusaha mengatur napas, tetapi dadanya terasa sesak. Pikirannya berkecamuk, menebak-nebak apa yang sedang terjadi di tanah air.Oma masuk rumah sakit? Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa ia tidak tahu apa pun? Kenapa Prabu tidak menjawab teleponnya?Ia ingin pulang. Ia ingin segera kembali ke tanah air, ke keluarganya. Namun, tubuhnya masih lemah. Kakinya belum bisa digerakkan dengan baik. Luka di wajahnya belum sepenuhnya pulih. Bagaimana mungkin ia kembali dalam keadaan seperti ini? Bahkan untuk berdiri pun masih terasa sulit.Air matanya mengalir deras, jatuh ke pangkuannya. Kepalanya mulai berdenyut karena tekanan yang ia rasakan semakin berat. Ia ingin bertanya kepada Opa, tapi pria itu pasti sedang sibuk menjaga Oma di rumah sakit. Tidak mungkin ia mengganggu.Ketidakberdayaan itu menusuknya dari segala arah. Ia merasa sendirian, terjebak di negeri o
“Ibu yakin?” tanya Sari menatap ragu saat Puspita mengatakan ingin bertemu Haidar. Karena ia sangat tahu apa yang menyebabkan hubungan majikannya berantakan seperti ini.Dan kini, saat laki-laki itu datang lagi, Puspita masih mengatakan ingin menemuinya.“Iya, tapi antar aku, ya. Temani aku bicara dengannya.”Sari tertegun sebelum akhirnya mengangguk, lalu mendorong kursi roda menuju pintu. Farah yang tidak tahu-menahu tentang apa yang terjadi dengan Puspita, memutuskan mendampinginya juga untuk turun.Sepanjang perjalanan menuju lantai dasar di mana Haidar menunggu, tidak ada yang bicara sepatah kata pun. Baik Sari maupun Farah, apalagi Puspita, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sari ingin melarang dan memperingatkan, tetapi ia tidak kuasa. Sementara Farah yang melihat wajah Puspita dan Sari sangat serius, tidak berani bertanya karena ia orang baru. Baru beberapa menit lalu mengenal Puspita.Lalu Puspita, kepalanya penuh dengan rangkaian kalimat yang sudah ia susun.Tiba di
Puspita terdiam cukup lama. Terlalu lama bahkan, hingga membuat Sari mulai takut jika Puspita akan menyetujui permintaan Haidar. Permintaan yang tidak masuk akal dan tidak tahu malu menurut pengasuh itu. Bagaimana bisa seorang laki-laki berkata demikian kepada wanita bersuami? Apa pun yang terjadi pada mereka di masa lalu, bukankah itu sudah berlalu?Kenapa Puspita begitu mudah goyah dan membiarkan dirinya terjebak dalam lingkaran rasa yang tidak seharusnya? Bukankah yang ia lihat selama ini pernikahannya dengan Pram sangat bahagia? Pram bahkan memperlakukannya bak ratu, terlepas dari berkali-kali cobaan menerpa biduk mereka.Sari nyaris tak mengedipkan mata menunggu Puspita menjawab. Ia takut melewatkan apa pun yang akan keluar dari mulut majikannya. Ditatapnya Puspita yang masih membisu dan Haidar yang menunggu penuh harap bergantian, hingga ….“Maaf, Kang … aku tidak bisa,” ucap Puspita akhirnya, dengan suara yang pelan tetapi penuh keteguhan.Haidar mengerjapkan mata, seakan tidak
Sejak saat itu, Puspita berusaha menyingkirkan semua pikiran yang bisa menghambat proses penyembuhannya. Ia ingin fokus pada kesehatannya, ingin benar-benar sembuh sebelum kembali ke Indonesia.Termasuk urusan pernikahannya dengan Pram. Bukan tak ada niatan memperbaiki apa yang sudah retak, toh rasa bersalah dan cintanya masih sangat besar. Sebesar harapannya untuk bisa kembali bersama.Hanya saja, untuk saat ini, ia benar-benar ingin fokus menjalani pengobatan agar segera sembuh dan bisa kembali ke tanah air dalam kondisi benar-benar pulih. Toh, kalau memang masih berjodoh, Tuhan akan membuka jalan untuk mereka. Namun, jika Pram sudah lelah dengan dirinya dan ingin melepasnya, ia juga tidak akan memaksa.Pram berhak bahagia dengan pilihannya. Mungkin kelak ia akan menemukan wanita yang benar-benar mencintainya dan ia butuhkan, bukan hanya sebagai pendamping, tapi juga sebagai ibu sambung yang baik untuk Prily.Puspita sudah berada di titik pasrah. Hanya bisa mendoakan kebaikan mereka
Puspita membuka matanya perlahan. Cahaya putih dari lampu rumah sakit membuatnya menyipit. Tubuhnya terasa lemas, tapi ada kelegaan yang menghangatkan dadanya. Ia masih hidup. Ia telah berhasil melewati ini meski tanpa pendampingan seseorang yang diharapkannya. Meski juga belum tahu hasilnya. Suara alat medis berbunyi pelan di sampingnya, memberikan ritme tenang yang mengingatkannya bahwa ia masih di dunia ini. Sesuatu yang lembut menyentuh tangannya, hangat dan penuh perhatian."Bu …?"Suara Farah.Puspita menoleh sedikit, meski pergerakannya masih terbatas. Perawat itu tersenyum lega, matanya berkaca-kaca. “Ibu hebat. Ibu melewati ini semua dengan sangat tenang. Saya bangga sama Ibu."Puspita mencoba tersenyum, tapi wajahnya masih terasa kaku. Ada perban yang membungkus sebagian besar wajahnya, menghalangi ekspresi yang biasa ia tunjukkan."Sudah berapa lama aku tertidur?" suaranya serak, nyaris seperti bisikan.Farah mengusap tangannya lembut. "Hampir dua hari. Operasinya berjalan
Puspita masih membeku di tempatnya, menatap sosok yang kini berdiri hanya beberapa langkah darinya. Jantungnya berdetak kencang, dan dalam kepalanya, berbagai pertanyaan berdesakan tanpa bisa diungkapkan.Pram ada di sini.Pram benar-benar ada di sini.Ini bukan ilusi. Ia tidak sedang bermimpi.Dunia terasa mendadak hening di telinga Puspita. Tidak ada suara apa pun selain isi kepalanya yang sangat berisik.Pram berjalan mendekat. Tatapannya masih untuknya. Tidak berpaling sedikit pun. Sang pria berhenti tepat satu langkah di depannya.Entah apa ada instruksi sebelumnya, dokter dan paramedis lainnya berpamitan, meninggalkan dirinya, Pram, dan juga Farah di sana.Entah apa lagi yang dokter katakan sebelum pergi, Puspita sama sekali tidak tahu. Ia tidak mendengar apa pun saat ini.Pram masih menatapnya dengan tatapan yang semakin jelas dalam jarak dekat. Jelas penuh arti. Hati Puspita yang mendadak nyeri memerintahkan matanya menjadi panas menampung air mata. Saat tangan Pram terulur in
Puspita menoleh ke arah Farah dengan tatapan penuh tanya. Jantungnya berdetak kencang, tubuhnya tegang.“Apa maksudmu?” tanyanya lirih, hampir tak terdengar.Farah menarik napas panjang, seolah tengah menyiapkan dirinya untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Pak Pram tidak pernah benar-benar meninggalkan Ibu. Sejak awal, beliau meminta saya untuk selalu mengawasi keadaan Ibu. Beliau ingin tahu setiap detail perkembangan Ibu selama di sini. Setiap saat.”Puspita mengerjap, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia menoleh ke arah Pram, mencari jawaban di wajah pria itu. Namun, Pram tetap diam. Hanya matanya yang berbicara, menyiratkan sesuatu yang sulit Puspita pahami.“Pak Pram memintaku untuk selalu mengirim kabar tentang kondisi Ibu,” lanjut Farah. “Mulai dari kondisi kesehatan Ibu, emosi Ibu, bahkan seberapa besar Ibu merasa kesepian. Setiap hari, aku mengabarkan semuanya.”Puspita merasakan dadanya mulai sesak. Tangannya mengepal di atas selimutnya, berusaha keras memah
“Kok, pergi?” Prabu bergumam heran, tubuhnya otomatis bangkit berdiri dari belakang meja.Tanpa menghiraukan panggilan sekretarisnya yang terdengar risih, Prabu segera melangkah cepat ke arah pintu.“Pak Prabu, ini belum selesai tanda tangannya—”Tapi Prabu tidak mendengarkan. Langkahnya mantap, menyusul sosok wanita yang baru saja keluar dengan wajah dingin dan sorot mata menusuk.“Andini!” panggilnya dari belakang.Namun wanita itu tak menoleh. Ia terus berjalan cepat melewati lorong kantor yang dipenuhi aktivitas siang hari. Tumit sneakers-nya berdetak keras melawan lantai marmer, berpacu dengan degup jantungnya yang tak kalah gaduh.“Andini! Tunggu!”Panggilan itu tak dihiraukan. Perasaan aneh mulai bercokol di dada Andini. Ia menyesal datang. Menyesal membawa sesuatu yang bahkan sekarang terasa konyol. Di tangannya tergenggam kotak makan berisi grilled salmon, makanan kesukaan Prabu. Ia tahu dari Oma tadi pagi.Andini sengaja memasak sendiri. Ia ingin memberi kejutan dengan tiba-
Andini menghela napas pelan sambil merapikan kerudung kemarin yang dipakainya lagi. Kemeja putih Prabu yang kebesaran kini sudah terganti dengan satu yang sedikit lebih pas—setidaknya tidak membuatnya terlihat seperti memakai daster laki-laki. Ia menemukan kemeja berwarna biru tua di dalam lemari, mungkin milik Prabu saat masih bujangan. Untuk bawahannya, ia beruntung menemukan celana jeans yang tampaknya sudah lama tidak dipakai.“Lumayan…” gumamnya pelan sambil menatap pantulan dirinya di cermin. Meski masih kebesaran di beberapa bagian, setidaknya ia tidak terlihat seperti peserta lomba kostum paling nyeleneh pagi itu.Di belakangnya, Prabu bersandar di pintu sambil melipat tangan di dada. Kepalanya menggeleng pelan.Mereka keluar kamar setelah Andini merasa rapi, dan belum sempat mereka melangkah, mereka berpapasan dengan Puspita dan Pram yang juga sepertinya baru keluar kamar. Tangan keduanya yang saling mengait mesra menandakan bahwa mereka pasangan yang paling bahagia pagi ini.
Andini menahan napas, seluruh tubuhnya kaku seperti patung lilin. Jari-jarinya masih menempel di pipi Prabu, sementara matanya tak berkedip memandang lelaki itu yang kini membuka mata.Waktu seperti berhenti. Detik terasa seperti menit.Prabu menatapnya dalam diam. Tak ada ekspresi. Tak ada teguran. Tapi juga… tak ada senyum.Andini panik. Apa Prabu marah karena ia sudah lancang? Ah, ia sudah siap jika saja pria itu akan memarahinya.Namun tepat ketika ia hendak membuka mulut untuk meminta maaf atau sekadar mencari alasan, mata Prabu perlahan terpejam lagi. Tubuhnya bergeser sedikit, dan suara napasnya kembali terdengar pelan.“…Din…” gumamnya lirih, nyaris seperti bisikan dari alam mimpi.Andini menegakkan tubuhnya perlahan. “Mas?” tanyanya pelan, ragu.Tak ada jawaban. Hanya dengkuran lembut sebagai balasan.Andini mematung beberapa detik sebelum menjatuhkan diri ke kasur, punggungnya menghantam ranjang dengan lemas.“Ya Allah…” desahnya lega. “Dia cuma mengigau. Ya ampun, aku kira
Prabu mengangkat alis, meluaskan matanya. “Hmm… ya, ini Oma yang menyiapkan. Kamu bisa pilih salah satunya untuk malam ini,” ujarnya tanpa menoleh. Matanya masih menyapu seluruh koleksi baju di dalam lemari sambil menahan senyum.Andini mendesah frustrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. “Aku tidak ganti baju saja,” ujarnya akhirnya, lalu berjalan pelan dan duduk di tepi ranjang. Ada rasa kesal, malu, dan bingung bercampur jadi satu di dalam hatinya. Situasi ini sungguh di luar dugaan.Prabu menutup pintu lemari perlahan, lalu berjalan mendekat ke arah Andini. Tatapannya lembut, tetapi suaranya mengandung ketegasan yang halus. “Ganti saja, tidak apa-apa. Itu sudah Oma siapkan buat kamu.”Andini mendongak, menatapnya sejenak lalu membuang pandangan lagi. “Aku tidak mungkin memakai pakaian seperti itu, Mas.”“Kenapa?” tanya Prabu, mengangkat satu tangannya, seolah benar-benar tidak mengerti.Wajah Andini memerah. Bibirnya mengatup rapat, mencoba menahan jawaban yang sebetulnya sudah
“Prilly sudah tidur?” tanya Andini dengan berbisik saat melihat Puspita bangkit dari ranjang Prilly. Mereka kini berada di dalam kamar di mana Chiara dan Prilly berbagi kamar. Ada dua tempat tidur kecil yang berdampingan di sana. Sengaja disediakan seperti itu agar saat kedua anak itu menginap mereka bisa menghabiskan waktu berdua.Puspita mengangguk. “Sudah, Mbak. Chiara bagaimana?” tanya Puspita balik, juga dengan berbisik.“Sudah,” Andini menjawab pelan sebelum bangkit dan merapikan selimut Chiara.Keduanya lalu keluar dari kamar itu setelah memastikan anak-anak lelap. Mereka baru saja membacakan dongeng pengantar tidur.“Chiara biasa dibacakan buku, ya?” tanya Andini setelah menutup pintu kamar dengan sangat hati-hati agar anak-anak tidak terganggu dengan suaranya.“Iya, Mbak. Sejak lahir kan, Prilly memang sama aku, jadi setiap mau tidur aku biasakan baca dongeng biar gampang tidurnya. Waktu dia baru lahir aku malah tidur sekamar sama dia, biar gampang kalau dia nangis.”“Ibunya?
Suara lembut gesekan sendok dan garpu berpadu harmonis dengan dentingan piano klasik yang dimainkan langsung oleh seorang pianis profesional di sudut ruangan. Lampu gantung kristal berkilau di atas meja makan panjang berlapis taplak renda putih gading, menambah kesan megah di ruang makan utama kediaman keluarga Bimantara.Andini nyaris tak bisa memercayai semua ini. Ia berada di antara keluarga suaminya yang merupakan salah satu konglomerat negeri ini. Opa Rangga—pemilik kerajaan bisnis Bimantara Group—menyambutnya dengan pelukan dan senyum tulus sejak mereka tiba tadi sore. Bahkan Chiara dipeluk hangat oleh Oma, sebelum seorang pelayan membawanya menuju ruang bermain yang diisi segala jenis mainan edukatif impor.Benar-benar penyambutan sempurna untuk seseorang yang menjadi bagian keluarga itu pun tidak sengaja dan tanpa rencana. Sesuatu yang tidak pernah dirasakan oleh kakaknya dulu, kini justru didapatkan secara utuh olehnya. Rasa haru dan syukur membuncah di dada Andini, namun tet
Mungkin Prabu memang beruntung pernah memperistri Irena, tapi dirinya … ah, rasanya itu tidak mungkin. Tak ada yang bisa dibanggakan dari dirinya. Bahkan menyiapkan sarapan pagi saja masih kerepotan.Andini tersenyum kaku sebelum akhirnya membuka suara lagi. “Kamu udah lama nikah, ya?”Puspita yang saat itu sedang menekuri ponselnya karena baru saja ada pesan masuk, menoleh sekilas. “Belum sampai dua tahun, Mbak,” jawabnya, tangan masih sibuk membalas pesan.“Jadi, kamu nikah umur dua puluh?”“Iya.”“Wah, hebat. Kamu nikah usia muda, tapi langsung bisa ngurus rumah tangga. Ngurus suami, ngurus anak sambung.”Puspita melirik lagi sedikit, lalu kembali pada ponselnya. Bibirnya menahan senyum. “Aku kan, dulu pembantu sebelum nikah sama Mas Pram, Mbak. Jadi, hal seperti itu sudah biasa kulakukan.”“Apa? Pembantu?” suara Andini terdengar sedikit lebih keras dari sebelumnya.“Hmmm…” Puspita mengangguk dan tersenyum lembut. “Aku pembantu di rumah Mas Pram. Bu Soraya, istri pertama Mas Pram y
Andini melangkah perlahan menyusuri lorong rumah sakit, aroma disinfektan menyambut tiap hembusan napasnya. Dari balik kaca besar ruang NICU, matanya tertuju pada satu inkubator kecil yang menampung makhluk mungil bernama Raja. Ia berdiri dalam diam, menatap dengan tatapan sendu dan penuh rindu. Setiap hari, ada rasa khawatir sekaligus harapan yang bertarung dalam dadanya.Entah sampai kapan Raja akan di sana, karena sampai saat ini pihak rumah sakit belum melaporkan perkembangan signifikan. Menurut mereka, butuh waktu berbulan-bulan hingga ia tumbuh normal seperti bayi yang lahir cukup bulan.Namun, ia dan Prabu akan menunggu waktu itu tiba. Waktu di mana Raja bisa mereka peluk dan bawa pulang. Untuk saat ini, Raja mungkin masih betah di sini karena merasakan ibunya setiap saat. Secara, ini rumah sakit tempat sang ibu bekerja.“Masih tidur, ya?” suara lembut menyapa dari sampingnya.Andini menoleh. Puspita berdiri di sana tanpa ia sadari kedatangannya. Adik iparnya itu tampak begitu
Prabu dan Chiara bersiap-siap berangkat. Andini membantu membetulkan dasi kecil di leher Chiara yang kini berseragam rapi. Prabu berdiri di dekat pintu, menggenggam tas kerja dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggandeng jemari mungil Chiara.“Hati-hati di jalan, ya,” ucap Andini sambil tersenyum lembut, berdiri di ambang pintu. Ia melambaikan tangan kecilnya—kebiasaan yang mulai terasa hangat setiap pagi.Prabu tersenyum, dan Chiara balas melambaikan tangan. “Kami berangkat dulu, Onti, eh maaf … Mama ….” Chiara menutup mulut dengan lima jari mungilnya.Andini berkedip lembut seraya mengulum senyum. Semua hanya butuh waktu saja sampai mereka terbiasa, karena sejatinya ia pun sedang beradaptasi. Anak sekecil Chiara sudah bagus bisa cepat tanggap.Prabu dan Chiara akhirnya berjalan menyusuri lorong apartemen. Suara ketukan sepatu mereka yang bergema bagai simfoni yang mengalun lembut, membelai dada Andini.Wanita itu masih berdiri di sana, memandangi punggung keduanya yang p