"Gue mau kita liburan bulan depan," kata Ardzan.
"Tapi Zan, kerjaan aku numpuk," balas Dinda.
Ardzan menggebrak meja, "Gue gamau tau!"
Dengan deru nafas yang berhembus dengan kasar Ardzan menatap Dinda dengan membulatkan matanya, Ardzan tidak boleh dibantah!
"Tapi, Zan-" ucapan Dinda Terpotong.
Ardzan menarik degan paksa rambut Dinda, dengan sangat keras, ia tak peduli Dinda meringis kesakitan, yang terpenting tidak ada yang berani terhadapanya.
"Zan--sakit..." rintih Dinda kesakitan.
Ardzan semakin kencang menarik rambut Dinda, "Gue gak peduli!"
Ardzan selalu saja seenaknya, seolah-olah Dinda tidak punya perasaan, tidak punya rasa sakit, Ardzan selalu mementingkan dirinya sendiri, ia tidak peduli bagaimana hati dan pikiran Dinda.
Ardzan melepas tarikannya dari rambut Dinda, kali ini ia beralih ke rahang Dinda, ia mencengkram dengan kasar dan sangar kencang rahang milik Dinda.
Ardzan membulatkan matanya, menatap Dinda dengan tatapan yang sangat menakutkan, "Gue pacar lo, gue juga bos lo, jadi lo harus ikutin apa mau gue! Kalau engga lo tau sendiri akibatnya apa!"
Ardzan melepas dengan kasar cengkramannya, lalu tersenyum dengan sinis, Dinda sudah menjadi miliknya dan Dinda tidak pernah sedikitpun melawan perintahnya, Ardzan tertawa dalam hati.
****
Setelah karyawan Toro Group menghabiskan empat jam pertama kerjanya, akhirnya mereka semua bisa beristirahat sekitar satu jam , begitu juga dengan Dinda dan temannya, Alisya.
"Kenapa rambut lo acak-acakan gitu?" Tanya Alisya bingung melihat Dinda yang rambutnya terlihat seperti tidak disisir.
Dinda yang tidak sadar akan rambutnya yang masih berantakan, ia langsung merapihkan rambutnya dengan kedua tangannya.
"Gapapa, gue ketiduran tadi." Dinda terpaksa berbohong, ia hanya tidak ingin Alisya khawatir terhadapnya.
"Lo bohongin gue ya?" Alisya tidak percaya dengan alasan Dinda, karena Alisya tau Dinda bukan tipekal orang yang mudah untuk berbohong.
Dinda menghembuskan nafasnya dengan pelan, "Benaran, gue cape banget banyak kerjaan semalem jadi begadang. Terus ngantuk deh sekarang."
"Bukan ulah Ardzan?" Tanya Alisnya pelan.
Alisa tau apa yang terjadi dengan Dinda dan Ardzan, Alisa tau tentang Ardzan yang kasar, Ardzan yang gampang mukul Dinda jika Dinda membuat kesalahan sekecil apapun.
Dinda menunduk, "Ardzan mau liburan bulan depan, tapi lo tahu sendiri gimana numpuknya kerjaan gue."
"Udah gue duga! Ardzan ngapain lo ngejambak lo?"
Dinda mengangguk, "Tapi, gue yang salah, gue gak nurut sama dia."
"Din! Bisa gak sih lo gak usah segitunya sama Ardzan?! Dia itu kasar sama lo, dia gak peduli kalau lo itu kenapa-napa, kenapa sih lo masih mau bertahan sama dia? Karena dia anak pemilik Toro Group?"
Dinda menggelengkan kepalanya, "Gue sama sekali gak tertarik dia itu siapa, gue gak peduli dia anak pemilik Toro Group atau bukan, gue sayang sama Ardzan."
Alisya membulatkan matanya, ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Dinda, ia tidak percaya alasan utama Dinda itu hanya karena sayang dengan laki-laki brengsek itu.
Alisya tertawa sinis, "Gila lo, cuma karena lo sayang lo rela tubuh lo kesakitan? Lo rela dikata-katain dan direndahin kayak gitu oleh si Ardzan brengsek itu?"
"Ardzan gak brengsek, dia juga sayang sama gue," bela Dinda.
"Sayang sama lo? Gue gak habis fikir, pikiran lo dimana DINDA?!" Kesal Alisya.
Sebenarnya ada alasan lain kenapa Dinda masih tetap bertahan sampai sejauh ini dengan Ardzan, tetapi sungguh bukan karena harta atau Ardzan anak pemilik serta pewaris tunggal Toro Group.
Dinda hanya belum bisa menjelaskan semua ini kepada Alisya.
"Udah Lis, gue gapapa. Jangan bahas ini lagi ya, mau gimanapun Ardzan pacar gue, apapun yang Ardzan lakuin ke gue, gue yakin karena Ardzan sayang sama gue," ujar Dinda.
Alisya menggelengkan kepalanya, kenapa Dinda menjadi seperti ini sekarang, bahkan Alisya masih ingat ketika dulu waktu mereka masih duduk di bangku SMA sampai kuliah Dinda tidak pernah melirik Ardzan, walaupun Dinda tau kalau Ardzan terus mendekatinya.
Hingga, Alisya tidak tahu kenapa Alasannya ketika Mereka lulus kuliah tiba-tiba Dinda dan Ardzan menjalin hubungan.
"Tapi, kalau lo di apa-apain lagi sama Ardzan lo langsung kabarin gue, inget lo gak boleh diem aja, lo sesekali harus lawan dia." Pinta Alisya.
Dinda tersenyum kecil, ia mengangguk, "Lo emang sahabat gue, makasih Lis."
Alisya ikut terseyum, "Gue gak akan pernah ngebiarin sahabat gue disakitin oleh siapapun, termasuk pacarnya sendiri."
"Kalau hubungan lo sama Dalvin gimana?" Tanya Dinda.
Wajah Alisya kemerahan, sepertinya ia menahan malu, "Dalvin ngelamar aku, tahun depan kita nikah."
"Serius? Gue ikut seneng." Dinda tersenyum dengan lebar, ia senang mendengar kabar ini.
Alisya mengangguk dengan senyum yang sangat lebar, "Bulan depan gue mau tunangan dulu sama Dalvin, lo datengkan?"
Dinda diam.
Bulan depan Ardzan memintanya untuk liburan, apakah Ardzan mau mencenselnya?
"Oh iya, lo dipaksa liburan ya sama Ardzan?" Tanya Alisya lagi, dengan raut wajah yang terlihat sedih, bagaimana tidak sedih melihat sahabatnya tidak bisa hadir diacara paling bahagianya.
"Lo tenang aja, gue pasti dateng. Gue janji, gua juga pasti akan ngebujuk Ardzan," kata Dinda.
"Tapi, kalau endingnya Ardzan malah nyakitin lo lagi, mendingan gak usah Din, gue lebih baik lo gak dateng, dari papa liat tubuh lo kesakitan karena dipukulin Ardzan."
Dinda tersenyum, "Gue gapapa, lo sahabat gue, masa iya gue gak dateng."
"Makasih Din," Alisya ikut tersenyum.
Mereka menghabiskan jam istirahat dengan memakan makanan di kantin sambil melanjutkan pembicaraan tentang pertunangan Alisya dan Dalvin.
Dinda ikut senang Alisya dan Dalvin akan segera tunangan, Dinda masih inget ketika untuk pertama kalinya Alisya cerita tentang Dalvin, sampai mereka menjalin hubungan dan sampai saat ini.
Alisya dan Dalvin menjalin hubungan sudah cukup lama, hampir lebih dari tiga tahun ketika meraka sama-sama masih kuliah. Dalvin sangat menghargai Alisya, memperlakukan Alisya layaknya bidadari, tidak pernah kasar, bahkan sekalipun Dalvin tidak pernah membentak Alisya. Tidak seperti Ardzan yang kasar, suka marah-marah, dan sudah seperti hobby hampir setiap hari membentak Dinda.
Dinda terdiam.
Tidak seharusnya Dinda, membandingkan Dalvin dengan Ardzan. Mau bagaimanapun Ardzan adalah kekasihnya, Dinda harus menerima Ardzan dan segala kekurangannya, walaupun jujur Dinda tidak pernah munafik kalau sekujur tubuh Dinda sering merasa sakit akibat pukulan-pukulan dari Ardzan.
"Lo kenapa Din?" Tanya Alisya, ketika melihat Dinda tiba-tiba diam.
"Gapapa Lis," jawab Dinda.
Mulai saat ini Dinda tidak boleh membebankan pikirannya kepada Alisya, karena Alisya pasti sedang sibuk dengan persiapan acara pertunangannya dengan Dalvin.
Dinda hanya tidak ingin, Alisya menjadi tidak fokus terhadap acara pertunangannya, karena permasalahan Dinda dan Ardzan.
Bersambung...
Setelah pekerjaan hari ini telah selesai, Dinda memutuskan untuk segera bergegas pergi dari kantor agar bisa pulang lebih awal.Di tempat Parkir terlihat Ardzan tengah beridiri di depan mobil mersi putih miliknya, Ardzan melipat tangannya di dada, wajahnya yang sangat tampan serta gayanya yang cool membuat Ardzan diperhatikan oleh karyawannya yang berada disekitaranya.Dinda menghampiri Ardzan, "Kamu gak pulang duluan?""Masuk," Ardzan berlalu dari hadapan Dinda, ia masuk ke dalam mobilnya.Sesuai perintah Ardzan, Dinda masuk ke dalam mobil Ardzan."Kenapa?" Tanya Dinda pelan.Ardzan memukul kemudinya dengan kasar, "Lo tahu gak sih gue nungguin lo berapa lama?!"Dinda menggeleng, karena jujur Dinda tidak mengetahui kalau Ardzan menunggunya pulang.Ardzan menatap Dinda dengan tatapan yang sangat tajam, matanya seperti akan keluar."SATU JAM GUE NUNGGUIN LO!" bentak Ardzan, dengan deru nafas yang terengah-engah."Maaf, tadi a
Dinda memainkan ponselnya, membuka aplikasi sosial media miliknya, instagram.Dinda tersenyum ketika melihat fotonya dengan Alisya, Dalvin dan Dirinya. Mereka bertiga memang sudah sahabatan semenjak duduk di bangku SMP, Alisya yang tomboy, Dalvin yang pintar walau nakal, dan Dinda yang tidak terlalu banyak bicara.Dulu ketika masih sekolah, mereka hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama, tidak pernah ada kata bosen mengganggu pikiran mereka. Tetapi, mereka terpaksa harus berpisah, ketika Dalvin memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Australia, jarak yang sangat jauh. Hingga, tiga tahun yang lalu Dinda mendapat kabar kalau Dalvin balik lagi, dan menjalin hubungan yang cukup serius dengan Alisya.Dinda tersenyum, ia sungguh tidak menyangka kedua sahabatnya ini bejodoh, ia ikut bahagia melihat mereka berdua akan segera melaksanakan pertunangan. Tetapi ia juga bingung, bagaimana caranya ia membucarakan hal ini kepada Ardzan, sedangkan Ardzan pasti m
Hari ini Dinda berangkat lebih pagi ke kantor, karena ia ingin segera menyelesaikan pembicaraannya dengan Ardzan.Setelah sampai di kantor, Dinda langsung masuk ke ruangan Ardzan. Ardzan tidak terlalu menyukai yang namanya ramai, itu sebabya ruangan Ardzan hanya berwarna putih, di tambah tidak ada pajangan apapun di ruangan ini, hanya terlihat satu foto kebersamaannya Dinda dan Ardzan yang terpajang di meja kerja Ardzan.Dinda duduk di sofa yang sengaja kantor sediakan untuk klien yang sedang meeting atau berbicara khusus dengan Ardzan, sambil menunggu Ardzan datang Dinda memainkan ponselnya membuka beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan, tetapi itu foto lama bahkan sangat lama. Karena satu tahun ini mereka tidak pernah foto berdua, bukan karena mereka terlalu sibuk dengan dunia kerja, tetapi karena Ardzan yang menolaknya.Pintu ruangan Ardzan terbuka, sekretaris Ardzan memasuki ruangan Ardzan sambil tersenyum melihat ke arah Dinda.Vionita
Ardzan mengumpulkan seluruh karyawannya di lobby kantor, karena ada hal yang ingin dia sampaikan kepada seluruh karyawannya.Setelah seluruh karyawannya berkumpul, termasuk Dinda, Ardzan langsung memulai pembicaraan."Oke, saya mengumpulkan kalian disini karena ada hal yang ingin saya sampaikan," kata Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.Memang kalau Ardzan berbucara dengan orang lain Ardzan bisa cool seperti ini, bahkan pasti tidak ada yang mengira kalau Ardzan itu pemarah kalau lagi sama Dinda.Seluruh karyawan mengangguk.Ardzan kembali melanjutkan pembicaraannya, "Untuk bulan depan, karena papa saya masih tugas di luar negeri dan saya serta Dinda akan liburan ke bali. Jadi, seluruh wewenang perusahaan saya alihkan kepada sekretaris saya, Vionita."Alisya menatap Dinda dengan sinis, padahal baru saja kemaren Dinda bilang kalau mereka ke Bali buat kerjaan, tetapi kenapa Ardzan bilang untuk liburan.Setelah Ardzan selesai
Sudah hampir seminggu Dinda tidak masuk kerja, karena tubuhnya masih memar akibat ulah Ardzan yang memukulinya tanpa jeda. Dinta tidak berobat, ia takut nantinya akan menjadi masalah karena luka nya tidak biasa. Dinda hanya tidak ingin memperpanjang masalah, apalagi nantinya pasti ia lagi yang akan kena imbasnya oleh Ardzan.Dinda sendirian di rumah, karena papa nya masih dirawat dirumah sakit. Dinda juga tidak menengok papa nya karena keadaan Dinda yang tidak baik.Saat Dinda mau memejamkan matanya, suara ketukan pintu terdengar, dengan langkah pelan karena menahan sakit disekujur tubuhnya, Dinda membuka pintu rumahnya.Ternyata Ardzan yang datang, Ardzan tidak sendiri tetapi bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor.Dinda tersenyum, walaupun baru kali ini Ardzan menengoknya, mungkin Ardzan sedang banyak kerjaan, sehingga baru menyempatkan menengok dirinya.Ardzan dan Vionita duduk bersebelahan, sedangkan Dinda duduk berhadapan dengan mereka ber
Setelah seminggu Dinda tidak masuk kerja, hari ini Dinda memutuskan untuk bekerja. Karena Dinda tidak ingin mengecewakan atasannya yang sekaligus kekasihnya itu, padahal kalau boleh jujur tubuh Dinda masih merasakan sakit, tetapi Dinda mencoba melupakan rasa sakitnya itu dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan banyak orang.Dinda memasuki kantornya ditemani oleh Alisya, karena Dinda ditawarin ngantor bareng oleh Alisya, awalnya Dinda kira Alisya masih marah karena persoalan kemaren, ternyata Alisya tidak marah hanya saja Alisya kecewa, karena Dinda tidak jujur kepadanya.“Din, istirahat bareng gue ya?” tanya Alisya.Dinda mengangguk, “Oke, nanti gue ke ruangan lo, Lis.”Alisya pergi ke ruangannya, sedangkan Dinda masuk ke dalam ruangannya.“Ardzan?” Dinda sedikit terkejut melihat Ardzan yang duduk di kursi kerjanya dengan tangan yang Ardzan lipat di dada.Ardzan menghampiri Dinda, “Lo bila
Setelah seluruh pekerjaan selesai, Dinda diminta Ardzan untuk mengirim laporan hasil presentasi minggu lalu ke anak perusahaan Toro Group, karena akan ada meeting ulang besok pagi. Dinda pergi sendiriian, karena Ardzan masih ada jadwal meeting berdua dengan Vionita katanya, Dinda hanya bisa mengangguk mengikuti perintah Ardzan, mau bagaimanapun Ardzan adalah bosnya, Dinda harus mengikuti perintah Ardzan.Dinda berjalan menyusuri kantor anak perusahaan Toro Group, perusahaan ini tidak sebesar Toro Group, tetapi lebih dari kata mewah untuk ukuran anak perusahaan. Karyawan disini semuanya telah mengenal Dinda yang berstatus sebagai kekasih Ardzan, mereka kagum terhadap Dinda, karena bisa menaklukan Ardzan, anak pemilik Toro Group. Mereka mengira kehidupan Dinda sangatlah Bahagia, menyenangkan, karena adannya Ardzan, Ah! Mereka mungkin akan menarik kata-kata itu jika mengetahui sifat asli Ardzan yang menakutkan.“DINDAA!” Panggil seorang Laki-laki dibelakang Di
Dengan Langkah terburu-buru Dinda memasuki kantornya, beberapa karyawan terlihat memperhatikan Dinda, menatapnya dengan tatapan keheranan, mungkin mereka kebingungan melihat Dinda yang seperti lagi dikejar seseorang, padahal kenyataannya Dinda yang mengejar seseorang. Iya, Dinda mengejar kedatangan Ardzan, karena ia takut jika Ardzan datang lebih dulu pastinya Dinda kena omel lagi.Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa file yang masuk ke emailnya, terlihat sekali begitu numpuk! Dengan terpaksa Dinda membuka satu persatu file tersebut, untung saja Dinda mengerti isi filenya karena Dinda pernah berada diposisi Vionita dulu. Lagian kenapa begitu mudahnya Vionita mengeoper alihkan pekerjaannya, memangnya segitu sibuknya apa meeting mereka berdua, tidak! Dinda hanya bisa bergumam dalam hatinya, dan terus mengerjakan tugas yang Ardzan berikan kepadanya.Suara telpon Dinda berdering.Dengan cepat Dinda mengambil ponselnya di saku celananya, tertera nama Da
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men
Ardzan dan Dinda tiba di hotel bintang tujuh, hotel paling terkenal di Bali dengan segala fasilitasnya yang sangat mewah. Iya, mereka saat ini sudah berada di pulau Bali, dan itu artinya liburan keduanya telah dimulai.“Kamar gue yang ini, 102.” Ardzan menunjuk pintu kamarnya, “Dan kamar lo, yang itu.”Dinda mengangguk, “Iya, Zan.”“Lo gak boleh masuk ke kamar gue, tapi gue boleh masuk semau gue ke kamar lo,” jelas Ardzan.Tentu saja Dinda membulatkan matanya, karena itu tidak adil baginya.“Gak bisa gitu dong Zan,” kata Dinda membela dirinya sendiri.“Kalau lo bisa bayar sendiri, silahkan! Tapi, selagi masih gue yang bayarin, gue berhak ngelakuin apa aja yang gue suka!” ujar Ardzan, sambil tersenyum sinis, lalu masuk ke dalam kamarnya.Sedangkan Dinda hanya diam mematung, Dinda bingung kalau begini caranya Ardzan tandanya memanfaatkan keadaan, tetapi ia yakin Ard
Dinda mencintai Ardzan tanpa syarat, Dinda rela menunggu sangat lama, karena ia yakin suatu saat nanti es batu yang ada pada diri Ardzan akan mencair, sikap dingin dan kasarnya akan berubah sejalan dengan waktu, Walaupun Dinda harus bersabar tanpa batas, itu gak masalah bagi Dinda.Dinda tersenyum melihat ke arah Ardzan yang sibuk menyetir, karena hari ini mereka akan ke bandara, untuk pergi ke Bali. Iya, sekarang waktunya liburan untuk mereka berdua, Dinda berharap dengan mereka liburan berdua, akan membuat keadaan menjadi lebih baik.“Kenapa lo liatin gue terus?” tanya Ardzan yang sebenarnya dari tadi paham akan Dinda yang terus memperhatikannya.Dinda menggelengkan kepalanya, “Engga, aku Cuma lihat pemandangannya aja.”Ardzan menaikan satu alisnya, “Pemandangan apaan? Gue tahu gue ganteng!”Dinda tertawa pelan.“Kenapa ngetawain?” tanya Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.&ldquo
Dinda terbangun dari tidurnya, Dinda tersenyum menatap wajah papanya, ia selalu Damai saat bersama papanya, “Pa, Dinda pamit dulu.. Dinda janji, Dinda akan sering temui papa.. maaf ya kalau kemaren Dinda jarang kesini, Dinda terlalu sibuk sama kerjaan Dinda sampai Dinda gak ada waktu buat jengukin papa, maaf pa..”Dinda menyelimuti tubuh papanya, merapihkan tempat tidur papanya, Dinda melebarkan senyumnya, matanya tak lepas memandang papanya, “Cepet sembuh ya pa..”Dinda melangkahkan kakiya, menutup pintu kamar rawat inap papanya, dan berjalan meninggalkan rumah sakit itu. Dinda menyalakan ponselnya, karena dari semalam ia sengaja mematikan ponselnya, lagi pula tiak ada yang menunggunya untuk memberi kabar.Namun, baru saja Dinda membuka ponselnya, terlihat dari layar 1000+ pesan masuk dan 1000+ panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel milik Dinda itu.Dinda membuka isi pesannya, sudah ia tebak Ardzan pasti akan memakinya kare