Setelah seminggu Dinda tidak masuk kerja, hari ini Dinda memutuskan untuk bekerja. Karena Dinda tidak ingin mengecewakan atasannya yang sekaligus kekasihnya itu, padahal kalau boleh jujur tubuh Dinda masih merasakan sakit, tetapi Dinda mencoba melupakan rasa sakitnya itu dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan banyak orang.
Dinda memasuki kantornya ditemani oleh Alisya, karena Dinda ditawarin ngantor bareng oleh Alisya, awalnya Dinda kira Alisya masih marah karena persoalan kemaren, ternyata Alisya tidak marah hanya saja Alisya kecewa, karena Dinda tidak jujur kepadanya.
“Din, istirahat bareng gue ya?” tanya Alisya.
Dinda mengangguk, “Oke, nanti gue ke ruangan lo, Lis.”
Alisya pergi ke ruangannya, sedangkan Dinda masuk ke dalam ruangannya.
“Ardzan?” Dinda sedikit terkejut melihat Ardzan yang duduk di kursi kerjanya dengan tangan yang Ardzan lipat di dada.
Ardzan menghampiri Dinda, “Lo bilang sama Alisya apa aja yang udah gue lakuin sama lo?” Ardzan bertanya pelan, namun terdengar jelas di kedua telinga milik Dinda.
“Engga,” Tepis Dinda, karena mamang itu yang terjadi, Dinda sangat tertutup sama siapapun, termasuk dengan Alisya, padahal mereka sudah sahabat dari kecil.
Ardzan membulatkan matanya, menatap mata Dinda dengan sangat tajam seperti akan keluar, “JUJUR!”
“Aku udah jujur Zan, aku gak certia apa-apa sama Alisya,” ujar Dinda.
Plak!
Ardzan menampar Dinda.
“Mulai berani bohong lo sama gue?!” tanya Ardzan dengan nada yang sangat tinggi.
“Sumpah Zan, aku gak—” ucapan Dinda terpotong oleh tamparan Ardzan.
Plak!
“Zan---”
Plak!
Ardzan menampar Dinda lagi, kali ini Ardzan menampar Dinda dengan sekuat tenaga, sedaggka Dinda hanya bisa menangis tersedu-sedu.
“Sekarang jujur sama gue, lo bilang apa aja sama Alisya tentang gue?” tanya Ardzan dengan nafas tersedu-sedu.
Dinda menggelengkan kepalanya, “Sumpah gak bilang apa-apa.”
Plak!
”Bisa gak sih jujur?!” bentak Ardzan.
“Aku jujur Ardzan, demi Tuhan aku ngomongin tentang kamu sama Alisya,” jelas Dinda.
“KALAU GUE PERCAYA SAMA LO? MUSYRIK NAMANYA!” Bentak Ardzan lagi.
“Aku gak pernah minta buat kamu percaya sama aku, engga sama sekali. Tapi apa yang aku katakan, itu emang benar adanya.”
Plak!
Ardzan Kembali menampar Dinda.
“Di ajarin siapa lo ngelawan gue?!” tanya Ardzan.
“Aku gak diajarin sama siapa-siapa, aku cuma mau kamu tahu, kalau aku---” Lagi-lagi perkataan Dinda terpotong,
Ardzan meraih rambut hitam lurus milik Dinda, kemudian menarik rambut Dinda dengan sangat kencang, lalu menjambak rambuk Dinda dengan sangat kasar.
“sakit zan!...” rintih Dinda kesakitan.
“Tapi gue gak peduli! Mau lo sakit, atau mati aja sekalian. Biar gak usah jadi beban buat gue,” kata Ardzan.
Perkataan Ardzan membuat Dinda terdiam.
Kenapa perkatan Ardzan selalu menganggu pikirannya, kenapa Ardzan berbicara seperti itu? Ataukah memang benar, kalau Dinda hanyalah beban bagi Ardzan. Lantas kenapa Ardzan tidak pernah memutuskan hubungannya dengan Dinda?
Plak!
Ardzan menampar Dinda lagi, entah ini yang keberapa kalinya. Bahkan rasa sakit itu sudah tidak terasa lagi, mungkin sudah menyatu dengan kata terbiasa.
Ardzan menatap Dinda dengan tatapan sinisnya, seperti akan memakan Dinda hidup-hidup, “Kalau lo berani ngomongin tentang gue yang engga-engga, lo tahu sendiri akibatnya!” ancam Ardzan.
Setelah berbicara seperti itu Ardzan keluar dari ruangan Dinda, dengan cepat Dinda menutup pintunya agar tidak ada yang masuk keruagannya, ia takut mereka berpikiran yang engga-engga terhadap Ardzan.
****
Ardzan tidak bisa mengantarkan pulang Dinda, karena kata Ardzan dia ada meeting Bersama Vionita tentang pembangunan yang akan dilaksanakan dibagian utara Jakarta, projek lanjutan yang sempat ditunda karena papanya Ardzan sakit. Seharusnya projek ini Dinda yang menangani, karena Dinda dulunya adalah sekretaris papa nya, tetapi karena Dinda dipindah tugaskan menjadi staff administrasi, tugas Dinda dilanjutkan oleh Vionita, yang saat ini berstatus sebagai sekretaris Ardzan Dirgatoro, CEO Toro group.
Dinda duduk dibarisan paling belakang kursi metro mini, tidak terlalu sumpek karena hanya beberapa orang saja yang berada didalam meto mini ini. Mungkin karena banyaknya kendaraan pribadi menjadi imbas pada angkutan umum ini, tetapi sungguh Dinda lebih suka keadaan seperti ini, tidak terlalu ramai.
“Hey,”
Seseorag menyapa Dinda, tanpa disuruh orang itu duduk disebelah Dinda.
Dinda menengok ke arah sumber suara, “Dalvin?” tanya Dinda bingung, kenapa Dalvin bisa tiba-tiba berada disamping Dirinya.
Dalvin tersenyum dengan lebar, terlihat sekali giginya yang putih dan rafi, Dalvin menjadi semakin manis jika tersenyum seperti ini.
“Gak diantarkan Ardzan?” tanya Dalvin.
“Ardzan lagi ada meeting,” balas Dinda.
Dalvin mengangguk, seolah mengerti apa kata Dinda.
“Gak naik taxi o****e?” tanya Dalvn lagi.
Dinda menggeleng, “Enakan naik ini adem.”
Dalvin terkekeh, “Adem dari mana? Panas iya.”
“kata siapa? Mangkanya duduknya dekat jendela,” kata Dinda, sambil menunjuk jendela.
Astaga, Dalvin tidak kepikiran akan itu. Sedangan Dinda hanya tertawa melihat ekspresi Dalvin yang menatap dengan tatapan kosong, lucu sekali Dalvin.
“Kamu emang beda, pantas aja Ardzan dulu segitunya ngejar-ngejar kamu,” kata Dalvin, ia tersenyum sekilas.
“Bukan aku yang beda, hanya saja cara pandang orang lain sama aku. Oh iya, bukannya kemaren kamu bilang mau pergi ke bali? Jangan bilang gara-gara aku lagi kamu mengcencelnya gitu aja?”
Dalvin tertawa, “Enggalah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta, sampai urusan dan acara pertunangan aku selesai.”
“kirain karena aku lagi, tapi udah beres persiapannya?”
“Udah dong, Cuma ya tinggal printilan-printilannya, btw kamu dateng kan?” tanya Ardzan balik.
Dinda Diam.
Dinda bingung harus menjawab apa, Dinda takut mengecewakan Dalvin. Tetapi memang itu kenyataannya, ia tidak bisa hadir diacara pertunangan Dalvin dan Alisya, karena harus menemani Ardzan liburan di Bali. Apakah Dalvin bisa menerimanya seperti Alisya?
Dalvin menyipitkan matanya, Dalvin bingung akan Dinda yang menjadi terdiam begitu saja, apakah ada yang salah dengan pertanyaanya?
Dalvin memegang Pundak Dinda dengan pelan, “Din, kamu gapapa?”’
Dinda terkekeh, “Eh engga Vin.”
Dinda terbangun dari lamunannya, ia harus jujur terhadap Dalvin, karena mau bagaimanapun juga Dalvin adalah sahabatnya Dinda.
“Kamu ada masalah?” tanya Dalvin.
Dinda menggeleng, “Engga, tapi ada beberapa yang menganggu pikiran gue.”
“Mau cerita sama aku?” tawar Dalvin.
“Aku takut malah nanti kamu marah sama aku.”
Dalvin tertawa pelan, “Marah kenapa? Lagian kapan sih aku pernah marah sama kamu?”
Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Siapa tau gitu, kan gak ada yang tahu.”
“Yaudah aku janji apapun masalahnya aku gak akan pernah marah sama kamu,” ujar Dalvin.
Dinda menyodorkan jari kelingkingnya, “Janji?”
“Janji.” Dalvin menerima sodoran jari kelingkin Dinda, mereka saling mengaitkan satu sama lain kelingkingnya, dan berjanji dengan sepenuh hati.
Dinda mulai menceritakan apa yang ada difikirannya, bukan tentang kelakuan atau sikap dan sifat Ardzan kepadanya, melainkan tentang alasan kenapa Dinda nanti tidak bisa menghadiri acara pertunangan Dalvin dan juga Alisya. Sedangkan Dalvin yang mendengarnya hanya menggukan kepalanya, Dalvin tidak memaksa Dinda jika lagi ada acara, Dalvin juga tidak mempermasalahkan tentang hal itu, Dalvin mengerti akan posisi Dinda yang serba salah.
“Kamu gak marah sama aku?” tanya Dinda.
Dalvin tertawa, “ Kenapa aku harus marah? Aku mah gapapa, aku ngerti sama posisi kamu.”
“Makasih ya, Vin.” Sebenarnya Dinda tidak enak hati, tetapi mau bagaimana lagi.
“Lain kali bilang ya, kalau ada apa-apa atau masalah apa pun,” ucap Dalvin.
Dinda mengangguk, “Iya, Vin.”
Dalvin memang orang baik, sedari jaman SMP Dalvin selalu ada untuknya, tak pernah bosen mendengarkan ceritanya, bahkan tak pernah absen untuk melindunginya.
Dalvin mengantarkan Dinda pulang, tepat di depan rumahnya seperti waktu itu, ada rasa khawatir dilubuk hatinya, Dinda takut kalau Ardzan mengetahuinya lagi, atau memergokinya pulang bareng dengan Dalvin lagi.
“Kenapa?” Tanya Dalvin, ia heran melihat Dinda seperti orang ketakutan.
“Gapapa, kamu mau mampir dulu?” tanya Dinda balik, semoga saja Dalvin menolaknya, Dinda hanya berbasa-basi menawarkannya.
“Memangnya boleh?” tanya Dalvin lagi.
Sial! Kenapa Dalvin menanyakan hal itu, Dinda berdoa dalam hatinya semoga Dalvin tidak berfikiran untuk mampir terlebih dahulu.
“Bolehlah,” jawab Dinda.
Dalvin tersenyum sekilas sambil menganggukan kepalanya, “Tapi sayangnya aku ada janji sama Vio, tapi nanti aku pasti mampir ke rumah.”
Akhirnya Dinda bisa bernafas lega, “Yaudah gih pergi, hati-hati ya.”
Dalvin menaikan satu alisnya, ia merasa aneh terhadap Dinda, waktu tadi menyuruhnya untuk mampir, tetapi sekarang Dinda malah menyuruhnya untuk buru-buru pergi dari rumahnya.
“Yaudah aku pamit ya, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam…”
Bersambung…
Setelah seluruh pekerjaan selesai, Dinda diminta Ardzan untuk mengirim laporan hasil presentasi minggu lalu ke anak perusahaan Toro Group, karena akan ada meeting ulang besok pagi. Dinda pergi sendiriian, karena Ardzan masih ada jadwal meeting berdua dengan Vionita katanya, Dinda hanya bisa mengangguk mengikuti perintah Ardzan, mau bagaimanapun Ardzan adalah bosnya, Dinda harus mengikuti perintah Ardzan.Dinda berjalan menyusuri kantor anak perusahaan Toro Group, perusahaan ini tidak sebesar Toro Group, tetapi lebih dari kata mewah untuk ukuran anak perusahaan. Karyawan disini semuanya telah mengenal Dinda yang berstatus sebagai kekasih Ardzan, mereka kagum terhadap Dinda, karena bisa menaklukan Ardzan, anak pemilik Toro Group. Mereka mengira kehidupan Dinda sangatlah Bahagia, menyenangkan, karena adannya Ardzan, Ah! Mereka mungkin akan menarik kata-kata itu jika mengetahui sifat asli Ardzan yang menakutkan.“DINDAA!” Panggil seorang Laki-laki dibelakang Di
Dengan Langkah terburu-buru Dinda memasuki kantornya, beberapa karyawan terlihat memperhatikan Dinda, menatapnya dengan tatapan keheranan, mungkin mereka kebingungan melihat Dinda yang seperti lagi dikejar seseorang, padahal kenyataannya Dinda yang mengejar seseorang. Iya, Dinda mengejar kedatangan Ardzan, karena ia takut jika Ardzan datang lebih dulu pastinya Dinda kena omel lagi.Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa file yang masuk ke emailnya, terlihat sekali begitu numpuk! Dengan terpaksa Dinda membuka satu persatu file tersebut, untung saja Dinda mengerti isi filenya karena Dinda pernah berada diposisi Vionita dulu. Lagian kenapa begitu mudahnya Vionita mengeoper alihkan pekerjaannya, memangnya segitu sibuknya apa meeting mereka berdua, tidak! Dinda hanya bisa bergumam dalam hatinya, dan terus mengerjakan tugas yang Ardzan berikan kepadanya.Suara telpon Dinda berdering.Dengan cepat Dinda mengambil ponselnya di saku celananya, tertera nama Da
“BANGUN!” teriak Ardzan tepat ditelinga Dinda.Dengan wajah yang masih terlihat terkejut Dinda menatap Ardzan dengan tatapan bingung, kenapa ia bisa tidur di kantor? Astaga! Dinda ingat, ia menunggu Ardzan semaleman tetapi Ardzan tidak kunjung datang. Dinda merapihkan rambutnya, lalu berdiri mensejajarkan dengan tubuh tingginya Ardzan.“KALAU MAU TIDUR GAK USAH NGANTOR!” Bentak Ardzan.“Aku ketiduran semalem, aku gak sempat pulang. Aku kira kamu bakalan dateng, Taunya kan engga.”Ardzan mencengkram rahang Dinda, “Lo nyalahin gue?” Ardzan tersenyum sinis sekilas, “LAGIAN GUE GAK PERNAH NYURUH LO BUAT NUNGGUIN GUE!”Dinda diam.Benar, kemaren Ardzan tidak meminta Dinda untuk menunggunya Ardzan hanya menyuruh Dinda untuk Kembali ke kantor.“MANGKANNYA DENGERIN KALAU PAKE TELINGA LO! APA JANGAN-JANGAN TELINGA LO DIGADEIN?!”Dinda menarik nafas panjangnya, &ldqu
Dalvin masih berada di kantor Ardzan, ia menenangkan terlebih dahulu, ini memang bukan sepenuhnya kemauan Ardzan, tetapi Dalvin percaya apa yang ia pilih ini yang terbaik untuk kedepannya. Lagi pula Dalvin harus professional, pertunangannya dengan Alisya sangatlah penting bagi dirinya, tetapi bagi Dalvin kepercaan itu jauh lebih penting. Dalvin hanya tidak ingin mengecewakan klien dan karyawan perusahaan ini.Dalvin memeluk Alisya, dengan lembut ia mengelus rambut Alisya, “Sabar ya, kalau kita emang jodoh, mau ada halangan apapun kita pasti tetap akan menyatu Bersama selamanya.”Alisya menatap lekat mata Dalvin yang selalu membuat hatinya teduh, degan erat Alisya Kembali memeluk Dalvin, Alisya menangis di Pundak Dalvin, “Aku takut kamu ninggalin aku…”“Lis, aku pergi hanya satu bulan. Dulu waktu aku kuliah dan kerja di luar negeri kamu baik-baik aja, kamu kenapa? jangan nangis, aku gak akan pernah ninggalin kamu, kec
selesai makan siang, Dalvin dan Dinda Kembali ke kantor. Tetapi Dinda tidak Bersama Dalvin, ia lebih memilah menjaga kesalah pahaman, lagi pula Dalvin meminta ijin untuk membelikan makan Alisya terlebih dahulu, itu sebabnya Dinda ke kantor sendirian.Baru saja Dinda masuk ke dalam ruangannya, telapak tangan Dinda ditarik paksa oleh Ardzan, hingga Dinda terjatuh tepat di atas tubuh Ardzan. Ya, mereka terlihat bertumpuk, mereka sama-sama diam, menikmati deru nafas mereka masing-masih, keduanya saling menatap tanpa berkedip, Dinda tersenyum.“BERAT, MINGGIR GAK?!” Bentak Ardzan, menyuruh Dinda menjauh dari tubuhnya.Detak jantung Ardzan terasa sekali berdetak lebih cepat dari biasanya, Dinda tidak salah dengar. Itu tandanya Ardzan memang masih mencintai Dinda, dengan rasa percayanya Dinda yakin Ardzan memang mencintainya.Dinda merapihkan pakaiannya, yang terlihat berantakan akibat tubuhnya bertabrakan dengan tubuh Ardzan.Ardzan men
Setelah tugas kantor selesai Dinda memutuskan untuk langsung beranjak keluar dari kantor, ia hanya ingin menenangkan hatinya, menenangkan pikirannya, itu sebabnya ia pergi ke rumah sakit tempat dimana papahnya di rawat.Dinda menghampiri papanya yang terbaring lemah dirumah sakit, Dinda memegang pergelangan papanya dengan pelan.“Pa.. papa kapan bangun?” tanya Dinda pada papanya, ia tahu papanya tidak bisa menjawabnnya, tetapi Dinda yakin papanya pasti mendengar ucapannya.“Pa.. Dinda kangen papa… pa, aku Ardzan berubah, Ardzan gak sama seperti Ardan yang waktu pertama kali Dinda kenal.. Ardzan berubah semenjak jadi pacar Dinda.. Ardzan sering marahin Dinda pa, Ardzan suka mukulin Dinda..”Dinda diam, ia memeluk papanya.“Pa.. Ardzan kasar sama Dinda sekarang.. tapi…”Tanpa sadar air mata Dinda sudah mengalir membasahi wajah Dinda.“Tapi.. Dinda gak bisa mengakhiri hubungan Dinda
Dinda terbangun dari tidurnya, Dinda tersenyum menatap wajah papanya, ia selalu Damai saat bersama papanya, “Pa, Dinda pamit dulu.. Dinda janji, Dinda akan sering temui papa.. maaf ya kalau kemaren Dinda jarang kesini, Dinda terlalu sibuk sama kerjaan Dinda sampai Dinda gak ada waktu buat jengukin papa, maaf pa..”Dinda menyelimuti tubuh papanya, merapihkan tempat tidur papanya, Dinda melebarkan senyumnya, matanya tak lepas memandang papanya, “Cepet sembuh ya pa..”Dinda melangkahkan kakiya, menutup pintu kamar rawat inap papanya, dan berjalan meninggalkan rumah sakit itu. Dinda menyalakan ponselnya, karena dari semalam ia sengaja mematikan ponselnya, lagi pula tiak ada yang menunggunya untuk memberi kabar.Namun, baru saja Dinda membuka ponselnya, terlihat dari layar 1000+ pesan masuk dan 1000+ panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel milik Dinda itu.Dinda membuka isi pesannya, sudah ia tebak Ardzan pasti akan memakinya kare
Dinda mencintai Ardzan tanpa syarat, Dinda rela menunggu sangat lama, karena ia yakin suatu saat nanti es batu yang ada pada diri Ardzan akan mencair, sikap dingin dan kasarnya akan berubah sejalan dengan waktu, Walaupun Dinda harus bersabar tanpa batas, itu gak masalah bagi Dinda.Dinda tersenyum melihat ke arah Ardzan yang sibuk menyetir, karena hari ini mereka akan ke bandara, untuk pergi ke Bali. Iya, sekarang waktunya liburan untuk mereka berdua, Dinda berharap dengan mereka liburan berdua, akan membuat keadaan menjadi lebih baik.“Kenapa lo liatin gue terus?” tanya Ardzan yang sebenarnya dari tadi paham akan Dinda yang terus memperhatikannya.Dinda menggelengkan kepalanya, “Engga, aku Cuma lihat pemandangannya aja.”Ardzan menaikan satu alisnya, “Pemandangan apaan? Gue tahu gue ganteng!”Dinda tertawa pelan.“Kenapa ngetawain?” tanya Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.&ldquo
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men
Ardzan dan Dinda tiba di hotel bintang tujuh, hotel paling terkenal di Bali dengan segala fasilitasnya yang sangat mewah. Iya, mereka saat ini sudah berada di pulau Bali, dan itu artinya liburan keduanya telah dimulai.“Kamar gue yang ini, 102.” Ardzan menunjuk pintu kamarnya, “Dan kamar lo, yang itu.”Dinda mengangguk, “Iya, Zan.”“Lo gak boleh masuk ke kamar gue, tapi gue boleh masuk semau gue ke kamar lo,” jelas Ardzan.Tentu saja Dinda membulatkan matanya, karena itu tidak adil baginya.“Gak bisa gitu dong Zan,” kata Dinda membela dirinya sendiri.“Kalau lo bisa bayar sendiri, silahkan! Tapi, selagi masih gue yang bayarin, gue berhak ngelakuin apa aja yang gue suka!” ujar Ardzan, sambil tersenyum sinis, lalu masuk ke dalam kamarnya.Sedangkan Dinda hanya diam mematung, Dinda bingung kalau begini caranya Ardzan tandanya memanfaatkan keadaan, tetapi ia yakin Ard
Dinda mencintai Ardzan tanpa syarat, Dinda rela menunggu sangat lama, karena ia yakin suatu saat nanti es batu yang ada pada diri Ardzan akan mencair, sikap dingin dan kasarnya akan berubah sejalan dengan waktu, Walaupun Dinda harus bersabar tanpa batas, itu gak masalah bagi Dinda.Dinda tersenyum melihat ke arah Ardzan yang sibuk menyetir, karena hari ini mereka akan ke bandara, untuk pergi ke Bali. Iya, sekarang waktunya liburan untuk mereka berdua, Dinda berharap dengan mereka liburan berdua, akan membuat keadaan menjadi lebih baik.“Kenapa lo liatin gue terus?” tanya Ardzan yang sebenarnya dari tadi paham akan Dinda yang terus memperhatikannya.Dinda menggelengkan kepalanya, “Engga, aku Cuma lihat pemandangannya aja.”Ardzan menaikan satu alisnya, “Pemandangan apaan? Gue tahu gue ganteng!”Dinda tertawa pelan.“Kenapa ngetawain?” tanya Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.&ldquo
Dinda terbangun dari tidurnya, Dinda tersenyum menatap wajah papanya, ia selalu Damai saat bersama papanya, “Pa, Dinda pamit dulu.. Dinda janji, Dinda akan sering temui papa.. maaf ya kalau kemaren Dinda jarang kesini, Dinda terlalu sibuk sama kerjaan Dinda sampai Dinda gak ada waktu buat jengukin papa, maaf pa..”Dinda menyelimuti tubuh papanya, merapihkan tempat tidur papanya, Dinda melebarkan senyumnya, matanya tak lepas memandang papanya, “Cepet sembuh ya pa..”Dinda melangkahkan kakiya, menutup pintu kamar rawat inap papanya, dan berjalan meninggalkan rumah sakit itu. Dinda menyalakan ponselnya, karena dari semalam ia sengaja mematikan ponselnya, lagi pula tiak ada yang menunggunya untuk memberi kabar.Namun, baru saja Dinda membuka ponselnya, terlihat dari layar 1000+ pesan masuk dan 1000+ panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel milik Dinda itu.Dinda membuka isi pesannya, sudah ia tebak Ardzan pasti akan memakinya kare