Senyap, sunyi dan tak bisa diprediksi. Picu pistol sudah tertarik, siap melesatkan peluru kapanpun Porter ingin menarik pelatuk. Elly benar-benar merasakan puncak ketegangan. Tubuhnya gemetaran, peluh dari dahi mulai bercucuran. Laptop yang sedari tadi ia pangku terjatuh ke atas kasur akibat tubuh yang terus bergetar.Dengan santai, Tania mengambil salah satu buku dari susunan dalam rak yang ia sandari. Hanya sesaat ia membalik beberapa halaman, sebelum kemudian ia mencampakkan buku yang barusan diambil. "Yah. Sebenarnya jauh lebih mudah jika kita langsung membunuh target yang diberikan pada kita. Namun setelah dipikir-pikir lagi, sayang sekali kalau perempuan buta yang berhasil membuat Silvie mati kutu terlalu cepat dilenyapkan. Kau orang yang menarik, Eleanor Aetherelt," puji Tania.Walau air mata ketakutan mulai berlinang, Elly berusaha membuka mulut bergetarnya. "A-Apa yang kalian inginkan? A-Aku sudah tak punya urusan dengan Northern Union Loot! Se-Semuanya sudah jadi aset Keraja
Pasca penobatannya, Will yang sudah mewarisi sepenuhnya perusahaan Thorn Enterprise kini disambut berbagai macam kompleksitas. Walau harus berkabung lama sejak kematian Sir Edric Arathorn, Will perlahan sadar akan betapa besar tanggung jawab sang ayah selaku CEO perusahaan, jabatan yang kini sudah didudukinya. Semenjak memangku jabatan barunya, Will lebih sering menyendiri di dalam kantor pribadi Sir Edric, tengah berupaya keras untuk memahami program kerja seorang CEO sekaligus mempelajari beragam kemelut ekonomi yang tengah berlangsung di Thorn Enterprise. Kantor yang kini ditempati oleh Will begitu menunjukkan betapa tersohornya sosok Sir Edric Arathorn. Di salah satu dinding tergantung berbagai sertifikat prestasi, penghargaan, dan foto-foto bersama tokoh-tokoh penting dalam dunia bisnis serta potret bersama anggota Keluarga Kerajaan Britania Raya. Terdapat juga sebuah peta dunia yang diletakkan di belakang meja kerja, menandakan betapa luas jangkauan bisnis Thorn Enterprise. Di
Alasan mengapa Will selalu menyempatkan waktunya di pukul 05.00 sore, hingga rela mengabaikan banyaknya jadwal pertemuan yang sudah masuk dalam rekapitulasi sekretarisnya, tak lain karena taman pemakaman Carleton tak ramai didatangi pelayat pada waktu-waktu itu. Will ingin menghabiskan sisa sorenya dengan mengunjungi makam sang Ayah secara rutin. Pohon Maple yang tumbuh di samping makam Sir Edric menjadi saksi bisu, dahan dan ranting menjadi payung alami yang menjaga nisan pualam tetap teduh, serta menghiasi dengan pancar bayang-bayangnya. Will bersandar di batang pohonnya, lipatan jas diletakkan di samping kiri ia duduk, duduk sambil menekuk kaki kanan. Kepalanya menengadah, memandang sendu langit senja. Will tak datang dengan tangan kosong. Di samping kanannya sudah ada sebotol Wiski dengan isi bersisa setengah. Kini ia tengah memegang shot glass berisi Wiski di tangan kanan, menimpa lengan kanan di atas lutut untuk mengambil jeda sejenak, sebelum melanjutkan tegukan. "Satu p
Petang berganti malam. Sekitar dua jam berselang selama Pascal memacu motor cruiser miliknya, melaju kencang bersama Will, mencari tempat aman setelah berhasil kabur dari para penembak di makam. Selama dirinya berkendara menyusuri jalanan Pascal sesekali menoleh ke spion motor, melihat Will yang tak berhenti memegangi hidungnya. Sambil terus menarik gagang gas di kanan agar motor tetap melaju, Pascal merogoh saku jaket dengan tangan kiri, mengambil sapu tangan lalu memberikannya pada Will. "Ini. Sumpal hidungmu sampai darahnya berhenti," ujar Pascal. Tidaknya menerima pemberian Pascal, Will membuka tangan di wajah, menunjukkan bentukan hidung pada Pascal, terlihat dari spion batang hidung serta tulang rawan yang sudah bergeser posisinya, akibat dari sikutan kuat Pascal saat Will mabuk di makam. "Apakah sapu tanganmu juga bisa memperbaiki hidungku?" sungut Will kesal. "Mau bagaimana lagi? Kalau tak kuhantam kau takkan sadar, kan?" balas Pascal. Setelah lama berkendara, Pascal mem
Usai menghabiskan makan malam bersama Will di sebuah restoran cepat saji kecil, Pascal dan Will melanjutkan perjalanan di tengah malam yang semakin larut. Memacu motor menuju arah barat daya, melewati jalanan perkotaan yang mengarah pada wilayah perbatasan kota. "Sepertinya kita baru saja keluar dari Blackpool. Boleh aku tahu ke mana lagi kau akan membawaku, Pascal?" tanya Will yang duduk di boncengan, seraya memicing mata akibat desir angin seiring kecepatan motor, bicara dengan nada tinggi agar suaranya tak tersamar deru mesin. "Bolton! Ingat Agen MI6 yang juga ikut ke dalam misi? Dia baru saja mengirimkan koordinat ke ponselku. Mungkin kau bisa segera menemui Dame Hanneli sesampainya di sana!" balas Pascal juga dengan nada tinggi, agar suaranya dapat terdengar oleh Will, walau suaranya sedikit terbekap oleh kedap helm fullface. Will merasa menghela nafas, sedikit lega setelah mendengar jawaban Pascal, walau kini risau masih bersisa mengingat bahwa Elly telah diculik oleh IRA. "
"Ungu itu apa? Apakah terlihat indah?""Tidak semua warna bisa dinikmati keindahannya oleh mata, Elly.""Tidak semua? Memangnya ada warna yang tidak bisa dilihat?""Coba tarik nafasmu perlahan. Lalu katakan. Bagaimana aromanya?""Wangi! Terasa manis! Ini aroma apa?""Gadis pintar. Inilah aroma dari warna Ungu. Kau suka?""Suka! Suka sekali! Boleh aku tahu dari mana asal aroma ini?"Dari dua bunga berbeda, namun serupa warnanya. Sengaja diracik agar kau kenal indahnya Ungu. "Apa itu berarti, aku hanya bisa mencium wangi ini, jika dekat denganmu? Ibu?"Sekelibat suara samar sirna seketika, kelopak mata terbuka tiba-tiba, Elly terperanjat bangun setelah tak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kedua tangan dengan cepat meraba, jemarinya merasakan halusnya kain sprei yang membalut tempat tidur berpegas. Dengan cepat Elly mendudukkan badan, setelah mendapati diri terbangun di atas kasur. Tubuhnya gemetaran, keringatnya pun bercucuran. Dengan begitu paniknya Elly tak henti merabakan tangan
"T-Tidak mungkin! K-Kau berbohong! A-Ayahku tak mungkin pernah bergabung dengan organisasi kriminal seperti IRA! Ayahku tak mungkin pernah menjadi anggota dari kelompok yang sudah banyak sekali membunuh orang!" Elly sudah tak bisa lagi menjaga nada bicaranya. Hatinya sudah berselimut amarah setelah mendengarkan pengungkapan dari Marco. Tak henti menampik apa yang telah ia dengarkan, tak ingin menghapus sosok sang ayah yang ia kenal sebagai Arkeolog yang hebat, tak terima saat Marco menyebut Johan sebagai anggota dari organisasi yang bersitegang dengan Britania Raya. Dengan tatapan sini Marco memandang Elly yang merapatkan gigi serta mencengkram erat selimut ketika bicara dengannya. Ia kemudian duduk di pinggir kasur, kembali menyeruput Espresso, seraya mencari cara supaya Elly tak tertelan amarah dan percaya dengan perkataannya. "Coba pikirkan kembali, Eleanor. Saat Johan dinyatakan meninggal di Firth of Clyde, Tanjung Arran. Menurutmu, mengapa kau dan ibumu memutuskan untuk pindah
DORR!!... DORR!!... DORR!!...Langit membiru, awan yang awalnya kelabu mulai terlihat jelas cerah warnanya. Pesona biru redup langit pagi kini menyambut Hana yang tengah berlatih tembak, bersama bimbingan Dona di tanah lapang yang terletak tak jauh dari rumah Albert. Gema letusan tembakan menggelegar, bagai gemuruh petir yang menyambar di tengah fajar. Padahal suhu pagi itu begitu dingin, namun dahi Hana sudah penuh akan peluh, setelah baru saja melepas tiga tembakan ke arah tiga batang kayu yang dibariskan secara horizontal serta ditempatkan pada jarak sejauh 25 kaki, lengkap dengan kertas bergambar lingkaran sasaran tembak yang tersemat di masing-masingnya. Kedua tangannya bergetar, begitu kuat mencengkram pegangan pistol berjenis CZ 75, hentak lesatan dari tiga peluru Parabellum masih terlalu sulit di tahan oleh kedua tangan Hana yang teracung tegak ke depan. Ini pertama kalinya Hana menembakkan senjata, walau sudah diberikan headphone untuk meredam suara, ia masih memicing kenca