Petang berganti malam. Sekitar dua jam berselang selama Pascal memacu motor cruiser miliknya, melaju kencang bersama Will, mencari tempat aman setelah berhasil kabur dari para penembak di makam. Selama dirinya berkendara menyusuri jalanan Pascal sesekali menoleh ke spion motor, melihat Will yang tak berhenti memegangi hidungnya. Sambil terus menarik gagang gas di kanan agar motor tetap melaju, Pascal merogoh saku jaket dengan tangan kiri, mengambil sapu tangan lalu memberikannya pada Will. "Ini. Sumpal hidungmu sampai darahnya berhenti," ujar Pascal. Tidaknya menerima pemberian Pascal, Will membuka tangan di wajah, menunjukkan bentukan hidung pada Pascal, terlihat dari spion batang hidung serta tulang rawan yang sudah bergeser posisinya, akibat dari sikutan kuat Pascal saat Will mabuk di makam. "Apakah sapu tanganmu juga bisa memperbaiki hidungku?" sungut Will kesal. "Mau bagaimana lagi? Kalau tak kuhantam kau takkan sadar, kan?" balas Pascal. Setelah lama berkendara, Pascal mem
Usai menghabiskan makan malam bersama Will di sebuah restoran cepat saji kecil, Pascal dan Will melanjutkan perjalanan di tengah malam yang semakin larut. Memacu motor menuju arah barat daya, melewati jalanan perkotaan yang mengarah pada wilayah perbatasan kota. "Sepertinya kita baru saja keluar dari Blackpool. Boleh aku tahu ke mana lagi kau akan membawaku, Pascal?" tanya Will yang duduk di boncengan, seraya memicing mata akibat desir angin seiring kecepatan motor, bicara dengan nada tinggi agar suaranya tak tersamar deru mesin. "Bolton! Ingat Agen MI6 yang juga ikut ke dalam misi? Dia baru saja mengirimkan koordinat ke ponselku. Mungkin kau bisa segera menemui Dame Hanneli sesampainya di sana!" balas Pascal juga dengan nada tinggi, agar suaranya dapat terdengar oleh Will, walau suaranya sedikit terbekap oleh kedap helm fullface. Will merasa menghela nafas, sedikit lega setelah mendengar jawaban Pascal, walau kini risau masih bersisa mengingat bahwa Elly telah diculik oleh IRA. "
"Ungu itu apa? Apakah terlihat indah?""Tidak semua warna bisa dinikmati keindahannya oleh mata, Elly.""Tidak semua? Memangnya ada warna yang tidak bisa dilihat?""Coba tarik nafasmu perlahan. Lalu katakan. Bagaimana aromanya?""Wangi! Terasa manis! Ini aroma apa?""Gadis pintar. Inilah aroma dari warna Ungu. Kau suka?""Suka! Suka sekali! Boleh aku tahu dari mana asal aroma ini?"Dari dua bunga berbeda, namun serupa warnanya. Sengaja diracik agar kau kenal indahnya Ungu. "Apa itu berarti, aku hanya bisa mencium wangi ini, jika dekat denganmu? Ibu?"Sekelibat suara samar sirna seketika, kelopak mata terbuka tiba-tiba, Elly terperanjat bangun setelah tak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Kedua tangan dengan cepat meraba, jemarinya merasakan halusnya kain sprei yang membalut tempat tidur berpegas. Dengan cepat Elly mendudukkan badan, setelah mendapati diri terbangun di atas kasur. Tubuhnya gemetaran, keringatnya pun bercucuran. Dengan begitu paniknya Elly tak henti merabakan tangan
"T-Tidak mungkin! K-Kau berbohong! A-Ayahku tak mungkin pernah bergabung dengan organisasi kriminal seperti IRA! Ayahku tak mungkin pernah menjadi anggota dari kelompok yang sudah banyak sekali membunuh orang!" Elly sudah tak bisa lagi menjaga nada bicaranya. Hatinya sudah berselimut amarah setelah mendengarkan pengungkapan dari Marco. Tak henti menampik apa yang telah ia dengarkan, tak ingin menghapus sosok sang ayah yang ia kenal sebagai Arkeolog yang hebat, tak terima saat Marco menyebut Johan sebagai anggota dari organisasi yang bersitegang dengan Britania Raya. Dengan tatapan sini Marco memandang Elly yang merapatkan gigi serta mencengkram erat selimut ketika bicara dengannya. Ia kemudian duduk di pinggir kasur, kembali menyeruput Espresso, seraya mencari cara supaya Elly tak tertelan amarah dan percaya dengan perkataannya. "Coba pikirkan kembali, Eleanor. Saat Johan dinyatakan meninggal di Firth of Clyde, Tanjung Arran. Menurutmu, mengapa kau dan ibumu memutuskan untuk pindah
DORR!!... DORR!!... DORR!!...Langit membiru, awan yang awalnya kelabu mulai terlihat jelas cerah warnanya. Pesona biru redup langit pagi kini menyambut Hana yang tengah berlatih tembak, bersama bimbingan Dona di tanah lapang yang terletak tak jauh dari rumah Albert. Gema letusan tembakan menggelegar, bagai gemuruh petir yang menyambar di tengah fajar. Padahal suhu pagi itu begitu dingin, namun dahi Hana sudah penuh akan peluh, setelah baru saja melepas tiga tembakan ke arah tiga batang kayu yang dibariskan secara horizontal serta ditempatkan pada jarak sejauh 25 kaki, lengkap dengan kertas bergambar lingkaran sasaran tembak yang tersemat di masing-masingnya. Kedua tangannya bergetar, begitu kuat mencengkram pegangan pistol berjenis CZ 75, hentak lesatan dari tiga peluru Parabellum masih terlalu sulit di tahan oleh kedua tangan Hana yang teracung tegak ke depan. Ini pertama kalinya Hana menembakkan senjata, walau sudah diberikan headphone untuk meredam suara, ia masih memicing kenca
Suara deru helikopter memecah kesunyian langit biru yang membentang luas di atas perkotaan, awan terkibas melebar saat baling-baling helikopter mencipta desir angin yang kuat, seakan membukakan jalan bagi helikopter MI5 yang tengah melakukan penerbangan pada ketinggian 3000 kaki di atas permukaan tanah. Baik pilot, operator serta penumpang helikopter berjenis AW109 hitam sudah mengenakan headphone, demi meredam nyaringnya mesin helikopter yang tengah melayang tinggi, serta memungkinkan komunikasi antar penumpang dan pilot bisa terjaga dengan baik. Hana tak henti menatap panorama dari balik jendela helikopter, memandangi lanskap perkotaan yang berubah-ubah seiring dengan penerbangan. Menyaksikan betapa kecil beragam bentuk bangunan saat tengah memandang dari bentang luas langit biru berhias awan. Namun, panorama indah yang ia saksikan dari atas langit tak kuasa mengganti murung di wajahnya, batinnya tak henti meraut kerisauan, begitu tak sabar ia segera mengakhiri penerbangan agar bis
Thorn Lotus Suites yang ternyata merupakan salah satu dari banyak aset milik Thorn Enterprise memudahkan rombongan Pascal dalam misi penyelamatan. Mereka berempat mendapatkan akses untuk menempati salah satu kamar mewah di lantai empat gedung hotel berbentuk huruf U itu. Disaat Dona–yang kini hanya mengenakan tanktop abu setelah melepas baju taktikalnya–duduk di atas satu dari empat ranjang dalam barisan sembari sibuk menekuri ponsel pintar, serta disaat Hana tengah membersihkan diri di kamar mandi dalam kamar hotel, Pascal masih setia menanamkan fokus pandangannya pada gedung yang akan mereka datangi malam nanti. Pascal masih setia duduk di atas bangku kecil yang ia letakkan di depan jendela. Sudah sekitar satu jam Pascal memantau gedung empat lantai yang menjulang lurus dari balik jendela. Dengan menggunakan teropong binokular jangkauan menengah, Pascal terus memperhatikan setiap pergerakan di sekitar gedung yang terletak sisi barat Sungai Foyle, mendapati beberapa personel penjag
Kapal Patroli Pesisir Kelas River Batch 1. Kapal dengan kode nama HMS Tracker, atau Her Majesty's Ship Tracker. Sebuah kapal patroli bercat hitam serta berukuran 20, 8 meter yang di utus oleh pangkalan Angkatan Laut untuk menjemput rombongan Pascal dan kini tengah berlayar menuju sisi barat Sungai Foyle. Angkatan Laut juga menugaskan empat orang tentara untuk menemani serta membantu misi penyergapan. Nahkoda kapal sengaja menurunkan kecepatan berlayar serta mematikan lampu sorot, sebagai langkah antisipasi jika keberadaan mereka diketahui para personel IRA ketika menyebrang. Selama kapal melaju pelan, di dek depan HMS Tracker, Pascal yang sudah menyandang SCAR-L serta satu orang tentara Angkatan laut tengah mengeker teropong binokular ke depan, mengawasi pergerakan IRA di pesisir barat Sungai Foyle. "Hanya terlihat Feri serta dua kapal patroli. Namun hanya terlihat tujuh orang personel yang berjaga di sekitar dermaga. Bagaimana, Letnan? Apa menurutmu kita bisa menepikan kapal ke p