Home / Romansa / NODA / 81. Tersulut emosi

Share

81. Tersulut emosi

Author: Novita Sadewa
last update Last Updated: 2022-10-28 14:36:22

"Ganti baju, ya, Nak. Yuk, dibersihkan sama Mama," ucapku lembut seraya mengulurkan tangan ke arah Nizam.

Nizam hanya menggeleng dan terus menjilat tangan yang penuh dengan cream seolah tak peduli dengan ajakanku. Baru kali ini seorang Ibu tidak dianggap oleh anak sendiri. Menyedihkan.

Mas Bian ikut bangkit. "Sama Papa mau?" katanya. Sontak membuatku terperangah, tak berbeda dengan Dokter Megan yang juga terlihat begitu terkejut oleh ucapan Mas Bian.

"Yuk, sama Papa." Ia mengulurkan tangan mencoba meraih Nizam dengan sedikit paksaan, tampaknya sudah habis kesabaran.

"Jangan dipaksa kalau nggak mau," tegur Dokter Megan.

"Saya papanya. Anda bukan siapa-siapanya. Kenapa mengatur kami?! Lebih baik Anda pergi saja agar anak saya tidak terpengaruh," ucap Mas Bian mencoba terus mengambil Nizam yang memberontak untuk ikut maka pecahlah tangis Nizam. Mungkin menurutnya, Nizam akan diam dan melupakan begitu saja setelah Dokter Megan pergi kemudian dia mendekati dan Nizam akan menurut. Pada
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • NODA   82. Tersulut emosi 2

    "Aunty pulang dulu, ya, ganteng. Sama,yang gendong juga gantengnya. Aunty boleh minta foto bertiga, yah, yah, yah? Mbak, fotoin, dong." Dengan cepat Via mengambil posisi di sebelah Dokter Megan dan menyuruhku untuk mengambil foto. Via masih saja tidak berubah, centil, tapi manis. Meski ada rasa aneh di dalam sini melihat mereka bertiga. Namun, aku berusaha mengabaikannya."Apa-apaan, nih. Nggak, saya nggak mau. Anak kayak kamu pasti mau unggah di medsos, kan?" protes Dokter Megan setengah menuduh Via."Nggak, janji. Ayo, Mbak. Buruan," perintah Via. Aku pun segera mengambil satu sampai dua foto dan kukembalikan ponsel milik Via."Kalau status WA, Nggak papa dong, Dok," ucap Via melarikan diri."Hei," teriak Dokter Megan yang tidak dihiraukan oleh Via."Nak, selamat ulang tahun, ya. Papa pulang dulu. Nanti Papa akan sering ke sini," pamit Mas Bian mencium Nizam yang terlihat menggeliat. Mungkin dia masih takut pada Mas Bian karena kejadian tadi."Nye, kamu tahu, kan tugasmu?""Hem."**

    Last Updated : 2022-10-28
  • NODA   83. POV Megantara

    15 Maret 2022, merupakan satu tahun dari hari yang dipenuhi rasa haru sekaligus pengalaman pertama yang begitu berkesan selama aku menjadi seorang dokter kandungan. Di mana bayi mungil, tanpa dosa itu ada dalam dekapan untuk pertama kalinya. Membuka mata dan melihat dunia tanpa siapa-siapa, bahkan saat itu ibunya pun menolak meski hanya menyentuhnya, memberi Asi pun enggan. Dan di situ, aku justru melakukan adzan padanya untuk pertama kali selama aku hidup. Miris sekali jika aku mengingatnya. Namun, kini bayi itu sudah tumbuh dengan sangat baik dan mampu membuat siapa saja yang ada di dekatnya menjadi bahagia. Termasuk, aku.Ya, setelah membaca buku catatan Anyelir yang aku anggap sebagai jawaban atas perasaanku, aku pun memantapkan hati untuk datang pada acara Nizam yang diadakan di rumah sederhana itu, atas pemberitahuan Suster Mayang. Tak lupa kubawa hadiah yang diminta olehnya di panggilan video terakhir kami yang tiba-tiba terputus secara sepihak malam itu. Mobil-mobilan.Namun,

    Last Updated : 2022-10-29
  • NODA   84. POV Megantara

    Saat ini aku sudah berdiri di depan gedung berkaca dua lantai, aku mendapatkan alamat tersebut dari Suster Mayang. Aku sengaja datang untuk menemui Anyelir. Ya, aku tahu dan sadar, kepergianku tadi malam masih meninggalkan kemarahan dan juga luka baginya. Luka yang kutorehkan akibat kecemburuan.Suasana masih sangat pagi sehingga masih sangat sepi. Terlihat baru beberapa pegawai yang masuk. Aku pun melangkah masuk setelah security bertanya keperluanku. Aku pun duduk menyilangkan kaki di kursi tunggu yang ada di dalam ruangan atas arahan security, kemudian menikmati majalah perbankan yang mereka sediakan. Beberapa karyawan yang baru datang memberi hormat dengan tersenyum dan menundukkan sedikit badannya mengucap selamat pagi. Aku pun membalas dengan senyuman ramah.Setelah beberapa menit, yang aku tunggu pun terlihat turun dari taksi dan bergegas masuk ke dalam. Penampilannya memang berbeda sekarang, terlihat lebih modis dengan baju seragam khas perbankan dan sedikit polesan di waja

    Last Updated : 2022-10-29
  • NODA   85. Mengungkap rasa

    Di sini, di taman kota ini, aku seperti mengulang sebuah kisah masa lalu, masa lalu yang menyedihkan karena sebuah penolakan. Malam ini, di bawah remang sinar rembulan dan lampu temaram, aku duduk di kursi besi yang dingin dengan hati yang berdebar karena rasa tak sabar. Hari ini aku kembali menunggu orang yang sama dengan perasaan yang masih sama tak berkurang sedikit saja. Namun, dengan harapan yang bahkan lebih tinggi dari sebelumnya.Terdengar suara derap langkah dari arah belakang. Dari harum parfum yang sudah sangat aku hafal itu, aku bisa menebak siapa yang datang tanpa harus melihat wajahnya. "Dokter ...." panggilnya dengan suara rendah seolah tak ada gairah. Aku pun tersenyum kemudian bangkit dan membalikkan badan ke arahnya dengan sumringah. Degh! Senyum pun memudar begitu aku melihatnya. datang masih dengan seragam kerja dan membawa begitu banyak berkas di tangannya."Anye?! Ngapain kamu? Kamu bawa apa ini? Banyak betul? Kamu mau kerja kelompok sama saya?" tanyaku menat

    Last Updated : 2022-10-29
  • NODA   86. Mengungkapkan Rasa 2

    Cepat ia menoleh ke arahku dengan mata menyipit. "Siapa?" tanyanya memperjelas."Kamu lah."Ia bergeming dengan pandangan lurus ke depan. "Hei, saya tanya," ulangku."Kalau sudah tau jawabannya kenapa masih tanya?" balasnya."Oke, saya anggap kamu belum menikah. Lalu, pacar?"Kembali ia terperangah. Kemudian menghela napas seolah tak percaya. "Apa? Pacar? Udah tua juga main pacar-pacaran," rajuknya."Baiklah, kalau gitu ... kita nggak usah pacaran. Bulan depan aja langsung nikah," pungkasku.Ia membelalak, kaget. Kemudian tertawa. Tawa yang tak biasa, tawa yang menganggap seolah apa yang aku katakan adalah sebuah omong kosong belaka."Kenapa? Kamu nggak mau pacaran, kan?" ucapku memastikan."Bukan gitu juga maksudnya. Lagi pula siapa yang mau pacaran dan siapa yang bilang mau nikah?" ucapnya terkekeh."Saya," jawabku, tawanya terhenti seketika. Berubah semu yang kemerahan."Jangan bercanda.""Saya nggak bercanda, saya serius.""Tapi saya nggak ....""Saya juga nggak butuh jawaban k

    Last Updated : 2022-10-29
  • NODA   87. Rajuknya Megantara

    Dengan harum manis yang masih dipeluknya, Anyelir duduk di bangku sebelah kemudi. Hari ini dia memang tidak menjawab secara gamblang akan permintaanku, namun aku cukup tahu apa yang harus aku lakukan setelah ini. Dia masih ragu akan restu kedua orang tuaku. Aku mengerti dan aku paham, karena itu sangatlah wajar. Pernikahan bukanlah hal yang sederhana, bukan hanya menyatukan dua insan berbeda, namun dua keluarga yang pasti bukan hal yang gampang. Terlebih, Anyelir merasa dirinya begitu tak pantas. Pastilah harus kerja keras agar membuatnya yakin dan mantap terhadapku.Ini adalah kedua kalinya aku dengan posisi seperti ini. Persis. Aku duduk di depan kemudi dan dia di sebelahku. Saat itu aku mengantarnya pulang setelah dia berkeluh kesah di makam ayahnya menangis di sana karena rindu pada sosok yang tidak akan pernah terobati dan patah hati karena perceraian juga. Mungkin. Cinta memang tak bisa dijelaskan secara logika. Jika mereka mengatakan bahwa cinta membuat gila maka aku lah ora

    Last Updated : 2022-10-31
  • NODA   88. Rajuknya Megantara 2

    "Setakut itukah kamu terhadap saya, Anyelir? Saya bukan orang yang suka mesum, paham?" bisikku di telinga cinta pertamaku. Masih bisa kulihat bagaimana wajah itu bersemu kemudian dengan cepat membuka pintu lalu keluar secepat kilat tanpa sepatah kata. "Sampai ketemu besok di bank," teriakku.Ia berhenti sejenak tanpa menoleh, kemudian kembali melangkah menuju rumah. Aku menggeleng melihat tingkah jinak-jinak merpati itu. "Menyenangkan," gumamku.Aku tak lantas pergi setelah Anyelir menutup pintu dan mematikan lampu. Ada hal yang masih harus aku lakukan yaitu menghubungi Mama dan Papa.Kuambil gawai yang kuletakkan asal di jok belakang karena tak ingin malam ini terganggu oleh panggilan-panggilan yang bisa saja merusak moodku. Kemudian menghubungi mereka."Halo," panggilan terjawab begitu aku menghubungi."Halo, Pa, Assalamualaikum." "Waalaikumsalam.""Mama mana? Kok, nggak bisa dihubungi?" Awalnya aku menghubungi Mama, tapi ponselnya tidak aktif. Terpaksa harus menghubungi orang

    Last Updated : 2022-10-31
  • NODA   89. Dan kau adikku

    Usai bernegosiasi, mobil meluncur dengan kecepatan tinggi menuju rumah di mana Denis tinggal saat ini. Aku akan membahas hal yang penting di sana malam ini.Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang lumayan besar, memiliki dua lantai dengan cat warna kuning, pintu gerbang yang masih terbuka meski sudah cukup larut membuatku tak harus menyalakan klakson. Aku pun memasukkan mobil dan memarkirnya di halaman. Kemudian turun dan masuk ke dalam.Rumah memang tampak sepi, namun, sayup kudengar ada tangisan dan perdebatan dari dalam.Aku pun mendekat untuk memastikan."Mas, aku kan sudah minta maaf sama Anyelir, kenapa harus pisah kamar?" "Karena setiap melihatmu, aku selalu teringat kebusukan dan kekejamanmu pada saudaraku, Tita.""Aku istrimu, kenapa lebih mementingkan orang lain.""Orang lain? Abangku, bahkan berjuang mati-matian untuk Anyelir. Malu, Ta. Kamu seenaknya saja merusaknya dengan kata-kata keji!""Mas, aku mohon, maafkan aku."Brak!"Aku tau, Tita. Permintaan maaf kamu terhada

    Last Updated : 2022-11-01

Latest chapter

  • NODA   197. Ending

    Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah

  • NODA   196. 1 Bab menuju Ending

    POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah

  • NODA   195. Mengagumi atau mencintai 2

    Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan

  • NODA   194. Mengagumi atau mencintai?

    POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h

  • NODA   193. Menikmati karma

    POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi

  • NODA   192. Permintaan Maaf

    Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m

  • NODA   191. Senyuman

    Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas

  • NODA   190. Fakta baru 2

    "Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta

  • NODA   189. Fakta baru

    Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata

DMCA.com Protection Status