Pagi ini toko sudah sangat ramai, sering aku membantu saat sedang tidak ada kesibukan di luar. Perkembangannya semakin pesat, Bahkan, Ibu harus menambah karyawan karena banyak perusahaan besar yang mulai berdatangan mengajak kerja sama di setiap acara besar.Tak berbeda di toko, rumah pun tak kalah ramai, pasalnya beberapa hari lagi Nizam berulang tahun dan Ibu berniat untuk merayakan, kecil-kecilan, namun akan mengundang anak panti asuhan untuk datang memberi doa.Ya, Nizam sudah mulai belajar berjalan dan bicara meski masih tertatih kemudian jatuh dan bangkit lagi. Dia lumayan aktif dan berkembang menjadi anak yang sangat lucu, imut, menggemaskan seperti ... aku. Ibu mengasuhnya dengan sangat baik dan penuh cinta.Yang membuat aku terganggu adalah Nizam selalu mengatakan Daddy, Daddy, Daddy, yang jelas-jelas sudah tidak ada, membuatku semakin sulit melupakan orang itu saja. Bulan lalu aku diwisuda, setelah keputusan yang kubuat dengan sadar dan sedikit dipaksakan itu aku menyibukk
Degh! Seketika pikiranku kembali pada beberapa waktu lalu. Kami sering berdebat dengan nama itu. Tapi? Apa ini adalah orang yang sama dengan yang kami sering perdebatkan? Ah, mungkin hanya kebetulan saja."Nanti akan saya kirim beserta tulisan yang harus ditulis dalam kartu ucapan itu, Mbak," sambungnya."Oh, iya, Mbak. Kirim saja ke nomor WA Toko Kue Lestari. 08xxxxx," tutupku. Aku termangu untuk sesaat, rasa itu masih ada, debaran halus pun masih terasa setiap kali mengingatnya. Rasa yang sudah kukubur dalam bahkan tak pernah aku bertanya tentangnya meski pada Mbak Mayang sekalipun itu, masih ada dan masih saja sama saat mengingat hal kecil saja tentangnya. Aku menghela napas, menepis segala rasa untuk menetralkan suasana. Notifikasi pesan masuk, sebuah nomor baru mengirim pesan pada nomor yang dikhususkan untuk keperluan toko.Aku tersenyum sekilas melihat pesan yang terkesan sangat romantis ini diikuti alamat dan waktu di mana kami harus mengirim kue tersebut. Sebisa mungkin a
Tepat pukul setengah delapan, aku sampai di sebuah gedung dua lantai yang berdinding kaca, khas kantor bank pada umumnya, tidak terlalu besar, namun bersih.Kubuka pintu kaca yang ada di depan setelah seorang lelaki bertubuh tegap menggunakan seragam security menyapa. "Karyawan baru?" tanyanya."Iya, Pak," jawabku tersenyum ramah."Mari masuk." Ia pun mengantar, aku berjalan mengekori security muda tersebut, tak lupa menyapa beberapa karyawan yang sudah datang. Mereka tampak ramah dan membalas sapaanku dengan senyuman. Ada pula yang acuh tak peduli. Yang pasti mereka terlihat cantik dan pandai bersolek, khas pegawai bank."Siapa, Pak?" Suara wanita membuat langkah kami berhenti."Karyawan baru, Bu," jawab security tersebut."Pagi, Bu," sapaku."Oh, Anyelir. Sini." Dia adalah Bu Ratih, kepala cabang yang juga merupakan langganan toko kue Ibu. Ia tampak tersenyum melihat kedatanganku.Aku mengikuti langkah Bu Ratih yang menuntunku di sebuah meja, tepatnya di seberang meja tinggi yang bi
Kuucap salam di depan gerbang karena biasanya mereka menggunakan jasa security di rumah sebesar ini. Namun, nyatanya tidak ada jawaban, aku pun berinisiatif untuk membuka pagar tersebut. Tidak dikunci. "Sembrono sekali, gimana kalau ada rampok?" gumamku.Sebuah rumah terlihat berdiri kokoh dengan cat warna putih bergaya eropa di depan sana. Halaman hanya dihiasi oleh lampu taman remang-remang menambah indah jika dilihat pada malam hari. Jarak antara rumah dan halaman sekita 50 meter, aku berjalan menapaki jalan yang terbuat dari paving dengan lebar hanya sebatas lebar mobil, sedangkan sisanya hamparan rumput hias diselingi pohon palem dan Cemara memberikan kesan elegan jika dipandang. Mengingatkan aku pada rumah lama yang tak berbeda jauh dengan rumah yang terlihat tenang di depan sana, yang harus berpindah tangan karena ... aku.Setelah langkah kupercepat, aku pun sampai di teras rumah, ku buka kembali buku yang sudah kutulis alamat di dalamnya untuk memastikan, dan jika pun salah
"Tenang, aku cuma mengantar pesanan," jawabku santai. Ia menyeringai.Masih kuingat jelas apa yang dikatakan oleh sahabatku ini di malam pertama sekaligus malam terakhir dia menginjakkan kaki di rumahku setelah sekian lama tak saling bertemu. "Noda hanya akan merusak sesuatu yang indah. Sesuatu yang indah ini diibaratkan Megantara dan keluarganya, reputasi, nama baik. Semua. Kadang kita harus tahu diri, Nye. Megantara berhak mendapat yang sempurna, bukan hanya noda." Begitu mantap ia berucap malam itu.Semua kalimat-kalimat yang terlontar begitu menyakitkan itu masih tertanam jelas di dalam sini, hingga aku benar-benar menjadi sangat tahu diri. Nyatanya, persahabatan tidaklah penting setelah status kami berbeda, dia yang masuk ke dalam keluarga terhormat sedangkan aku yang telah kehilangan segalanya, termasuk kehormatan.Sejak malam itu, aku dan Tita tak lagi saling bertemu atau berhubungan meski hanya melalui pesan. Bukan bermusuhan, namun, lebih menjaga jarak. Siapalah aku, mana pa
Kubuka pintu setelah mengucap salam. Ibu menjawab, tapi tak terlihat. Aku pun melangkah masuk, tampak Ibu sedang duduk di depan TV tanpa Nizam."Mana Nizam?" tanyaku begitu masuk ruangan. Seharian aku tak melihatnya, rasa rindu pastilah ada."Di rumah Mbakmu. Nggak mau pulang," jawab Ibu menoleh sekilas ke arahku kemudian kembali fokus pada sinetron kegemaran."Anye mau nyusul, Anye kangen sama Nizam." Tanpa menunggu jawaban aku pun keluar."Kunci saja pintunya, Bu. Aku mau tidur di rumah Bude," teriakku tanpa menghentikan langkah. Akan lebih baik tidak pulang dari pada Ibu melihat mata yang sembab dan menginterogasi sampai malam, kemudian berakhir dengan tangisan.Dengan setengah berlari aku menuju rumah Bude Menik. Mengucap salam kemudian menerobos masuk ke kamar Mbak Mayang.Cekrek! "Mbak." Keterkejutan terlihat di wajah Mbak Mayang yang tengah asik bersama Nizam di depan layar ponsel di ikuti pecahnya tangisan Nizam."Ya, Allah, Nye. Ngapain?" "Lah, kok, nangis? Ini Mama, Sayan
POV MegantaraSelamat Ulang Tahun Pria Idamanku, semoga cinta tumbuh dengan semestinya, semoga harapan akan selalu ada dan aku bisa merengkuhnya.Dari orang yang selalu mencintaimuRenata."Apa kau membaca ini juga Anyelir? Lalu, apa yang kau rasakan?" batinku, senyum miring pun tersungging di bibirku.Ya, rasa penasaran membimbingku untuk membuka kotak yang sudah ada di hadapanku, kotak yang di bawa oleh dia, sang pemilik hati yang sudah berkali-kali aku menekannya, namun, justru hidup semakin subur di dalam sana.Setelah malam penolakan itu, aku tak pernah memupuk lagi rasa itu, membiarkannya saja lalu berusaha mengabaikan. Namun, apa yang aku lakukan justru membuatnya semakin kuat dan tumbuh liar, bahkan saat aku mencoba membunuhnya dia seolah melakukan perlawanan dengan begitu hebat. Lagi-lagi aku kalah. Renata, rupanya yang mengirim kue itu adalah Renata. Gadis itu masih saja tak kenal lelah, entah, sudah berapa kali aku menikam perasaannya. Namun, dia tak juga mau menyerah."Ha
Tampak kebingungan di wajah Renata. Namun, ia hanya diam melihat ke arahku kemudian ke arah Tita yang menangis sesenggukan. Seolah tahu bahwa aku sedang tak ingin diganggu. Dengan langkah gontai aku menutup pintu gerbang kemudian aku menguncinya. Kecewa, sakit, dan tak percaya atas apa yang dilakukan saudara sendiri. Duduk bersandar pada pintu gerbang yang kokoh saat diri membutuhkan sandaran dan kurasakan ada yang tidak benar selama ini. Kemudian kuambil gawai dari saku celana untuk memberi pelajaran pada Tita. [Denis! Ajari istrimu sopan santun dan ajari dia tentang bagaimana menghormati orang lain saat dirinya merasa terhormat. Dia sudah menghancurkan masa depanku. Anyelir!]Send.Memberi pelajaran itu penting, aku tak mungkin mengangkat tangan pada Tita. Mereka, bahkan Denis tau benar kisahku dengan Anyelir. Bagaimana bisa istrinya datang tiba-tiba dan dengan mudah merusak segalanya?Ponsel kembali bergetar, kali ini adalah panggilan video dari Suster Mayang. Sudah barang tentu a
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata