POV Anyelir"Mamma ... muuaaach." Nizam membangunkan aku di waktu yang sudah sangat terlambat sepertinya. Matahari sudah menampakkan sinar dan aku baru menggeliat karena kecupan Nizam singgah di pipi."Nizam ... udah bangun? Mana Mamay?" tanyaku beringsut duduk, sembari mengusap kedua mata yang masih sulit untuk dibuka, sebab, sudah hampir subuh mataku baru bisa terpejam. "Mamay ... bum ... bum." Nizam menunjuk keluar. Sudah bisa dipastikan Mbak Mayang shift pagi. Mamay adalah panggilan sayang untuk Mbak Mayang.Rasa kantuk harus diakhiri secara paksa saat kulihat jam sudah pukul tujuh lebih. "Pulang, Nak." Dengan cepat aku menggendong Nizam dan membawanya pulang, tak lupa kusambar hijab sebelum keluar kamar. Dengan sedikit berlari aku pun sampai. Terlihat rumah dan toko sudah mulai di datangi pengunjung. Benar, aku sudah sangat terlambat."Mbak Mayang," gerutuku yang kesal. Sebab, Mbak Mayang tak membangunkan. Kuambil handuk berlari menuju kamar mandi setelah kutitipkan Nizam pada
Aku kembali berdiri di depan gerbang kokoh yang aku sebenarnya tak ingin datangi. Namun, sore ini aku terpaksa harus kembali setelah aku tahu pasti apa yang hilang ada di dalam sana. Ya, aku sudah menghubungi Ari dan Pak Tarjo untuk mencari di dalam mobil. Tapi mereka yakin tidak ada.Harapanku hanya satu, Megantara tidak menemukan, atau pun jika menemukan janganlah sampai membaca. Aku bisa kehilangan harga diri untuk kesekian kali jika memang dia sudah menikah atau bersama Renata. Lantas bagaimana dengan aku? Bisa menanggung malu seumur hidup karena secara tidak langsung aku sudah bertepuk sebelah tangan.Kuberanikan diri membuka pintu gerbang yang tak dijaga oleh security itu dengan dada yang berdebar dan dengan langkah ragu aku melangkah menuju rumah tersebut.Sebelum mengetuk pintu, aku mencoba mencari keberadaan buku tersebut di bawah meja dan sofa yang ada di teras."Ada apa, Mbak?" Pertanyaan seseorang yang baru membuka pintu sangat mengejutkanku dan membuatku sedikit terlonj
Keesokan harinya setelah malam panjang dengan segala kegamangan, membuatku lahi dan lagi bangun kesiangan. Begitu aku terbangun, pastilah aku mencari anak tampan yang pastinya sudah harum karena sudah dimandikan. Ya, hari ini ulang tahun Nizam akan diadakan terlihat rumah begitu ramai. Hari ini toko pun diliburkan, semua mempersiapkan ulang tahun Nizam yang akan diselenggarakan sore nanti. Berbeda denganku, aku harus tetap bekerja karena tak mungkin mengambil cuti disaat baru 3 hari masuk kerja."Selamat ulang tahun anak ganteng, wish you all the best. Semoga menjadi anak Soleh, itu yang terpenting," kataku mengecup pipi gembul itu berkali-kali lantas kuberikan kado untuk Nizam sebelum aku berangkat. Kado yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari, sebuah mobil-mobilan yang bisa diubah menjadi robot dan begitu ia gemari adalah yang kupilih sebagai kado. Aku membelinya bersama Mbak Mayang beberapa waktu yang lalu.Ia tampak berbinar, meraih mainan yang aku berikan. Kemudian dengan cepat
Kutarik tangan dari keyboard kemudian menautkan kedua jemari untuk sedikit merenggangkannya, menghilangkan rasa pegal di sana. Waktu pulang sudah tiba. Aku bergegas memesan taksi. Namun, sepertinya tak sesuai harapan. Taksi yang kupesan sedang berada di posisi yang agak jauh dari kantor mungkin karena jam pulang kantor sehingga ramai penggunanya. Aku harus menunggu sejenak.Tepat pukul 5 lebih 15 menit taksi datang, aku segera menyelinap masuk kedalam."Agak cepat, ya, Pak," kataku begitu duduk di bangku belakang."Baik," jawabnya.Pukul setengah enam aku pun sampai. Langkahku melambat. Ada yang membuatku berdebar mengingat janjiku untuk mengijinkan dia datang setiap tahun menemui Nizam. Dia benar-benar datang. Terlihat mobil Pajero parkir di depan toko, mobil dengan plat nomor yang sudah kuhafal betul itu adalah milik Mas Bian. Aku melangkah masuk menyusuri setapak berpaving, di mana di sisi kiri toko kue Ibu dan di sisi kanan ada pagar yang menjulang tinggi milik tetangga sehingga
Ibu keluar, menyambut Dokter Megan kemudian mempersilahkan masuk. Ibu tau dalam masalahku dengan dokter Megan, tidak lah ada yang salah, semua hanya sesuatu yang dipaksakan untuk berpisah. "Dokter Megan, silahkan masuk," kata Ibu. Bergegas dia berjalan ke arahku. Rasa berdebar itu kian menjalar di sekujur tubuh. Kemudian hilang saat yang dituju bukanlah aku melainkan hanya Ibu. "Assalamualaikum, Bu," sapanya menangkupkan kedua tangan. Sifat itu membuatnya terlihat santun dan manis. Memang."Ayo, Nak. Ikut Mama, ya," kuulurkan kedua tanganku pada Nizam. "No ... no ... no ... no ... no!" tolak Nizam berpaling memeluk Dokter Megan. Mulutku membulat, aku terperangah. Otakku berpikir, siapa yang mengajari Nizam kata itu selama ini, kalau bukan ... Mbak Mayang yang ada di belakang dokter Megan saat ini. Pandanganku terarah padanya sebelum akhirnya kembali pada Nizam."Nizam!" panggilku lebih tegas. Ia menggeliat dalam pelukan Dokter Megan seolah melakukan pemberontakan, saat menyadari t
Aku keluar kamar bersamaan berkumandangnya adzan maghrib, kebetulan aku sedang berhalangan sehingga tidak melakukan sholat. "Nye, Dokter mau numpang sholat, Bian dan Papanya akan ke Mushola Sam Ibu. Nizam nggak mau lepas, jadi Dokter Megan nggak bisa ikut," ucap Ibu begitu aku keluar kamar, rumah kami memang tidak ada kamar khusus untuk sholat. Kami biasa sholat di kamar masing-masing agar bisa lebih lama dan leluasa. Terlihat di bawah sana, Nizam masih bermain dengan Dokter Megan dengan mobil-mobilan yang dibawa olehnya. Sedangkan Mas Bian sudah berdiri bersiap untuk pergi."Oh, ya," jawabku. Kuhampiri dan mencoba membujuk Nizam agar melepaskan Dokter Megan."Dokter, bisa sholat di kamar saya," kataku, canggung.Ia menatapku sekilas kemudian beralih pada Nizam. "Daddy, sholat dulu, ya, Nak. Nizam mau ikut sholat?" pamitnya lembut. Nizam manggut-manggut. Aku mengamati dengan berbagai pikiran yang berkecamuk melihat mereka, apakah Nizam terlalu rindu dengan sosok ayah atau seorang dokt
Lama aku menunggu, mereka tidak juga kunjung keluar. Pintu masih tertutup rapat. Ingin aku mengetuknya, namun, apa pantas mengganggu urusan manusia dengan Rab-nya? Kuputuskan untuk menunggu saja. Duduk sendiri di karpet yang sudah di sediakan sambil memikirkan segala rasa yang juga tidak bisa aku pahami. Ibu dan yang lain terlihat sudah datang dari mushola, para tamu, dari tetangga dan anak panti juga mulai berdatangan. Aku melirik kamar yang masih tertutup rapat. Pikiran pun mulai cemas. Memikirkan apa yang terjadi di dalam sana, baku hantam atau saling sindir. Nizam? Aku mulai memikirkan keadaan Nizam. Setelah menyalami tamu, aku memutuskan untuk mengetuk pintu. Aku berdiri di depan pintu, rasa ragu masih ada. Namun, tamu sudah hampir lengkap. Jika terjadi sesuatu di dalam semua akan runyam. Kuberanikan diri untuk lebih tegas. Mereka tidak boleh merusak acara Nizam. Kuhela napas kemudian mulai mengetuknya. Degh! Aku terperangah saat tangan belum menyentuh pintu, tiba-tiba pintu
"Cinta," lirihku tak percaya."Kalau Leak Bali dia akan menangis, ketakutan," sambungnya pura-pura polos.Hening."Apa yang Anda bicarakan dengannya, di dalam tadi?" Rasa penasaran membuatku tak sabar dan memberanikan diri untuk bertanya."Kekasihmu?"Aku mendesah, begitu ringan dia bicara bahwa Mas Bian kekasihku, tidak kah dia sakit hati? Apa dia benar-benar sudah tidak ada perasaan atau ... ah, pertanyaan-pertanyaan terus saja berjejalan masuk di benakku. "Ya," jawabku pada akhirnya."Menurutmu jika dua pria dewasa yang ...."Tiba-tiba ponsel berdering, dia pun merogohnya dari dalam saku celana. Tampak jelas nama siapa di sana. Ada denyut tak biasa, aku pun dengan cepat menetralkan dengan mengalihkan pandangan agar terlihat biasa saja.Aku pun kembali mengembalikan pandangan ke arah ponsel yang masih ada di tangan saat tak kunjung kudengar kata 'halo' darinya."Pacar, Pak? Kenapa nggak diangkat?" ucapku setengah menyindir untuk menghilangkan hawa panas di dalam dan menetralkannya
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata