"Kamu nggak angkat juga nggak membalas pesan saya makanya saya kemari. Karena itu tandanya kamu sangat ingin ketemu sama saya," ucapnya percaya diri.Aku pun tersenyum kecut dan terdiam untuk sesaat. Sedang bersama wanita lain masih berharap aku membalas pesan. Mimpi. Bukankah sejak pergi pertama kali tidak ada kabar sama sekali? Lalu sekarang menuntut pesan dibalas!"Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya memuliakan tamunya," sindirnya berdalil di depan pintu. Aku tahu apa maksudnya. Dia ingin dipersilahkan masuk dan duduk."Jangan sekali-kali laki-laki dan perempuan berdua-duaan saat belum memiliki ikatan pernikahan karena yang ketiga sudah barang tentu, setan!" balasku, dia mengulum senyum. Senyum yang tampaknya susah sekali ditahan. "Nggak ada orang di rumah, di teras saja kalau mau bicara penting."kataku berjalan menuju teras, mempersilahkan duduk di teras rumah karena tidak ada orang. Aku tak ingin ada fitnah.Aku duduk di teras dan dia mengikuti. Masih de
Kami duduk di teras usai sholat Maghrib. Perasaan pun mulai tak enak setelah melihat pandangan Tita yang berbeda sejak pertemuan dengan dokter Megan sore tadi. Dia duduk di sebelahku dengan pandangan menerawang."Apa kabar, Ta?" tanyaku membuka suara. Dia tak menjawab hanya tersenyum sekilas kemudian kembali menerawang ke atas sana. Aneh, Tita benar-benar aneh."Jadi, Dokter yang kamu maksud adalah Megantara Zulfa Reinendra? Dia yang mencintaimu bertahun-tahun dan menyatakan cinta pada akhirnya?"Aku mengangguk pelan. Kedekatanku dengan Tita membuat tak ada rahasia lagi diantara kami. Bahkan, aku sudah sempat bercerita tentang Dokter Megan. Memang aku tak menyebut nama saat bercerita padanya. Tapi ternyata dunia begitu sempit."Kamu mencintainya, Nye?" tanyanya dengan nada suara datar. Aku tak menjawab karena memang masih gamang dan meraba, apa yang ada di dalam sana. Tapi yang pasti aku tau, dari cara bicara dan tatapannya, sangat jelas bawah, dia tak begitu menyukai kedekatanku d
Aku dengan keputusan dan dia dengan harapan. Kami pun sibuk dengan pikiran masing-masing. Sangat berat rasanya membuka suara meski hanya sebatas memberi jawaban dengan kata menikah atau berpisah. Sedikit mengulur waktu dengan saling diam seolah menjadi pilihan yang paling tepat. karena malam ini akan menjadi malam terakhir dan bertemu untuk terakhir kalinya. Mungkin."Harum manis," celetukku saat kulihat penjual harum manis melintas di depan kami. "Kau mau?" tanyanya, aku mengangguk cepat. "Sebentar." Dia berlari mengejarnya, kupandangi nanar dengan mata yang mulai memanas. Pandangan mulai kabur oleh air mata yang mulai menggenang. Cepat kuhapus begitu dia terlihat kembali datang dan berlari ke arahku."Ambillah." Sebuah harum manis diberikan padaku kemudian dia kembali duduk di sebelah."Dokter nggak makan?" Kusodorkan harum manis yang sudah kubuka agar dia mencoba. "Saya nggak suka," tolaknya."Cobalah, mungkin akan bisa sedikit mengurangi rasa pahitnya ... hidup," ucapku terseny
POV MegantaraMobil melesat dengan kecepatan tinggi bersama hati yang patah, remuk, sakit, dan hancur berkeping oleh penolakan. Kemudian berhenti di tempat ... entah. Panasnya hati membuat aku pergi tanpa arah. Hingga akhirnya bermuara di sebuah lautan. Ya, pantai dengan hamparan pasir di depan sana terlihat hening dan tenang di saat gelap menyergap. Suasana pantai terlihat tenang, namun tak demikian dengan hatiku. Di tengah kegelapan hanya terdengar suara deru ombak dan angin pantai yang bertiup kencang. Sangat kencang. Dingin menyusup hingga ke tulang meski jaket tebal sudah aku kenakan. Dingin, sedingin hati yang kian membeku oleh jawaban yang tidak sesuai dengan harapan.Aku tersedu di depan kemudi. Rasa sakit kian menjadi. Ini adalah titik terendahku. Titik di mana sebuah harapan hancur, sebuah keinginan yang aku pendam bertahun-tahun musnah. Harapan yang selalu terpanjat dalam heningnya doa di sepertiga malam terjawab sudah dengan penolakan dan berakhir dengan perpisahan. Bera
Aku menghela napas, kemudian Kembali menutup pintu. Tak terasa bibirku tertarik, menertawakan diri sendiri yang begitu memalukan serta memilukan. Sudah seperti ini masih saja mempedulikan. Terlalu cinta, bodoh, atau terlalu naif? "Cukup ... Megan ... cukup!" lirihku merutuki diri atas ketidak berdayaan. Nyatanya dia memilih bahagia dengan caranya sendiri, menjadi yang kedua.Aku tak lantas pulang, hanya termangu dalam diam di tempat yang sama. Hingga getaran ponsel menyadarkan diri dari lamunan.Aku mendesah lelah kemudian meraih ponsel yang kuletakkan di jok sebelah. Panggilan masuk dari Denis, aku biarkan saja sampai akhirnya mati dengan sendirinya.Kulihat sekilas, panggilan dari Renata dan juga Mama tak kalah berulang. Aku benar-benar sudah hampir gila rupanya. Sampai tak sadar panggilan masuk begitu banyak.Lagi-lagi ponsel bergetar dan berpendar. Panggilan dari Denis kembali masuk. Anak itu, meski seorang perwira polisi dan sudah beristri tetap saja menggangguku. Cepat kugeser
POV AnyelirMas Bian melintas saat melihat Pak Tarjo, ya, itulah yang dia katakan. "Nye, kamu ngapain malam-malam di tempat ini?" tanyanya saat lututku masih terasa lemah bertumpu tanah. Cepat aku bangkit dan mengusap air mata, aku tak ingin terlihat rapuh dan menyedihkan di hadapan orang yang juga pernah membuatku sangat rapuh dan menyedihkan."Aku revisi lagi, Mas, aku capek. Makanya aku ke sini," jawabku memberi alasan yang masuk akal."Ya ampun , Nye. Ini sudah malam ayo pulang. Mas antar," tawarnya, bukankah tadi dia bilang melihat Pak Tarjo, lantas kenapa masih mau mengantar? Ah, sudah lah bukan saatnya memikirkan hal tidak penting."Nggak usah, aku sudah sama Pak Tarjo tadi."Ia menghela napas. "Ya sudah, yang penting, pulang," perintahnya.Aku mengangguk tanpa suara.Kami pun keluar taman kemudian berpisah di persimpangan. Sebelum menuju mobilnya ia menatapku dengan tatapan entah. "Hati-hati," katanya tersenyum samar kemudian ia berjalan menuju mobil dan aku menuju mobil
Kudekati anak berkulit bersih, dengan alis indah, dan berhidung bangir itu. Dengan perlahan aku duduk di bibir ranjang kemudian menatapnya lekat. Dalam hati meronta masih dengan pertanyaan yang sama. Pertanyaan yang sempat menguap hilang beberapa waktu lalu saat Dokter Megan terlihat begitu menyayangi Nizam, pertanyaan kenapa kamu harus ada dan menambah noda itu semakin terlihat pekat, Nizam? Pertanyaan yang teramat menyakitkan untuk didengar jika sampai keluar itu tak memiliki jawaban yang tepat selain: ini adalah cobaan dan ujian hidupmu, Anyelir.Kadang aku harus tersenyum getir melihat anak polos bernama Nizam ini. Pintu dibuka, nyatanya Ibu tak lantas tidur dan membiarkan aku begitu saja. Dia masuk mendekati, aku tau dia marah, aku pun menegakkan badan. Kuhela napas meski tak membuat dadaku lega dan sesak itu hilang. Kemudian bangkit dan berdiri."Anye ...." panggil Ibu membuka kedua tangannya, lebar. Degh! Dia tidak marah, namun seolah tahu apa yang aku butuhkan saat ini.
Pagi ini toko sudah sangat ramai, sering aku membantu saat sedang tidak ada kesibukan di luar. Perkembangannya semakin pesat, Bahkan, Ibu harus menambah karyawan karena banyak perusahaan besar yang mulai berdatangan mengajak kerja sama di setiap acara besar.Tak berbeda di toko, rumah pun tak kalah ramai, pasalnya beberapa hari lagi Nizam berulang tahun dan Ibu berniat untuk merayakan, kecil-kecilan, namun akan mengundang anak panti asuhan untuk datang memberi doa.Ya, Nizam sudah mulai belajar berjalan dan bicara meski masih tertatih kemudian jatuh dan bangkit lagi. Dia lumayan aktif dan berkembang menjadi anak yang sangat lucu, imut, menggemaskan seperti ... aku. Ibu mengasuhnya dengan sangat baik dan penuh cinta.Yang membuat aku terganggu adalah Nizam selalu mengatakan Daddy, Daddy, Daddy, yang jelas-jelas sudah tidak ada, membuatku semakin sulit melupakan orang itu saja. Bulan lalu aku diwisuda, setelah keputusan yang kubuat dengan sadar dan sedikit dipaksakan itu aku menyibukk
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata