"Aku tidak ada perlu denganmu. Aku ada perlu dengan ....""Megantara? Kalau cuma bayar makanan beginian aku saja mampu, nggak usah cari CEO segala! Sini kasih ke aku, biar aku yang bawa ke dalam dan ini aku rasa cukup." Ia merampas papper bag dari tanganku milikku dengan kasar kemudian memberikan satu lembar uang kertas seratus ribuan dengan paksa kepadaku."Semoga catering kamu laris, Anye. Pergilah!" ucapnya menutup pintu masuk kembali ke dalam ruangan. Seketika hawa panas merasuki dada kemudian menjalar ke seluruh tubuh. Kedua tangan pun mengepal sempurna."Luna! Kau akan tahu posisiku setelah pintu ini benar-benar aku buka, Luna!" Ponsel berdenting ketika tanganku sudah memegang handle pintu, terpaksa aku harus menunda dan mengangkat telepon dari Ibu.POV MegantaraBegitu marahnya aku karena masalah Nizam, file penting yang harus aku bawa pun tertinggal. Terpaksa, aku harus menyuruh Pak Marwan untuk mengantarnya karena Pak Andi hari ini harus mendampingiku untuk proses penanda
Pintu dibuka secara kasar dan tiba-tiba, tentu kami bertiga sangat terkejut dan menoleh cepat ke arah pintu bersama-sama. Dahiku mengernyit, kemudian aku mencoba untuk membuka mata lebih lebar lagi, rasanya tak percaya saat melihat sosok Anyelir berdiri di depan pintu saat ini dan entah kenapa dia menatap nyalang ke arah kami."Anye?" gumamku setelah kupastikan bahwa itu benar-benar Anyelir dan bukan mimpi. "Yang mengantar berkasnya tadi, Mbak Anye, Mas." Pak Andi mengeluarkan suara dengan sedikit terbata. Aku tersentak kaget."Hah? Kenapa nggak bilang dan nggak disuruh masuk?" tanyaku sedikit kecewa lantas aku pun bangkit dari tempat duduk."Mbak Anye mau nunggu sampai meeting selesai katanya, Mas. Tadi sudah saya suruh masuk tapi nggak mau," terangnya. Aku pun membuang napas kasar lalu bergegas menghampiri dia yang juga terlihat sedang melangkah masuk. Tatapannya membuat nyaliku semakin menciut, berbagai tanya merasuk ke dalam pikiran. Dan pertanyaan 'Apa salahku?' adalah yan
"Pak Andi, Anda dengar perintah saya.""Iya, Mas. Mbak mari keluar! Jangan melawan.""Jangan ganti orang, Pak. Bapak harus profesional, dong, ini masalah pribadi, kenapa disangkut pautkan sama pekerjaan? Mereka akan mempertanyakan kalau sampai Bapak minta ganti, Pak!" Luna bersi keras menjelaskan dengan berbagai alasan dengan amarahnya masih begitu terlihat. Ia terus maju dan Pak Andi mencoba menahan dengan mencekal tangannya. "Mau saya batalkan?!" ancamku pada akhirnya.Luna terdiam seketika, tak ada suara lagi yang keluar dari bibirnya."Ayo, Mbak keluar, dari pada saya panggil keamanan." Pak Andi membawa Luna dengan menarik tangannya sedikit kasar dan akhirnya Luna mau mengikuti Pak Andi, namun sorot matanya masih memperlihatkan sebuah dendam pada Anyelir yang saat ini juga menatapkuv marah. Setelah Pak Andi dan Luna pergi, Anyelir terlihat menghela napas kemudian melangkah lemah menuju pintu tanpa sepatah kata. "Mau ke mana?" tanyaku mencekal pergelangan tangannya. Aku tahu, da
POV Megantara. Setelah mengantar Anyelir pulang, aku kembali ke hotel karena masih banyak yang harus dikerjakan. Namun aku menyempatkan diri menemui Renata yang aku tahu dia masih ada di Bali setelah menghadiri acara resepsiku beberapa waktu lalu.Terdengar suara pintu dibuka setelah aku mengetuknya beberapa kali dan kulihat Renata berdiri di baliknya. "Hai," sapanya terlihat sedikit canggung tidak seperti Renata yang biasanya langsung memelukku secara paksa begitu melihatku, meski aku menolaknya habis-habisan dengan kata 'lepas, bukan mahram!' tapi bukan Renata namanya jika tidak keras kepala."Hai, Assalamualaikum," balasku."Waalaikumsalam.""Mari masuk.""Di sini saja. Aku buru-buru.""Oke ...."Kami pun duduk di sofa yang ada di teras.Untuk beberapa saat kami saling diam. Keakraban yang dulu ada diantara kami seolah sirna dan kami harus memulainya kembali dari awal, mungkin saat ini kami sama-sama sedang memilih kalimat yang tepat untuk membuka percakapan setelah begitu ba
POV BiantaraWanita itu akhirnya pulang setelah beberapa hari memilih pergi dan menghindar dariku. Dia bahkan membantah dengan bersikeras mengambil pekerjaan di Bali saat kondisi rumah tangga kami sedang tidak baik-baik saja. Ia melangkah gontai dengan koper di tangan setelah keluar dari taksi online yang menurunkannya di depan gerbang. Sengaja, aku tidak menjemputnya dari bandara untuk sekedar memberinya pelajaran, sebelum dia menghadapai pelajaran yang lebih besar lagi, pelajaran yang sudah menantinya karena ulahnya sendiri. Aku tahu apa yang membuatnya begitu terlihat rapuh saat ini, kantor cabang tempatnya bekerja mengatakan padaku beberapa saat lalu bahwa pemegang kerja sama yang dipercayakan pada Luna di Bali diganti karena pihak hotel yang meminta dan aku tahu itu siapa."Sudah lupa sopan santun masuk rumah, Luna?" sindirku begitu dia melangkah masuk tanpa salam atau melihatku yang berdiri tegak di teras rumah. "Sopan santun pada suami yang tidak bisa memberikan keturunan
POV AnyelirMalam sebelum kami pulang ke Jakarta, Papa memanggilku ke sebuah ruangan. Sebuah ruangan yang ada di sebelah kamar Papa, sendirian. Aneh, Papa tidak memanggil Megan bersamaku dan bertambahlah rasa cemasku.Unggahan yang mengungkap bahwa aku pernah menjadi korban pelecehan bertebaran di media sosial, baik di beranda Facebook ataupun lainnya. Entah siapa yang menyebarkan, tapi aku yakin ini masih ada hubungannya dengan Luna dan kejadian kemarin. Aku khawatir Papa memanggilku juga karena masalah ini.Tepat setelah makan malam, aku pun menemui Papa, Megan juga terlihat menurut saja dengan perintah Papa dan itu membuatku semakin bingung, dia justru memintaku untuk segera menemui Papa, berbeda dengan Megan yang biasanya ingin selalu turut serta dalam setiap masalahku. Kali ini, saat aku memintanya untuk menemani, dia justru menolak dengan alasan ingin menghabiskan waktu bersama mamanya sebelum pulang ke Jakarta.Aku mengetuk pintu bercat coklat itu beberapa kali dan Papa yang
Tanpa mengiyakan atau menolak permintaan Papa, kami pun kembali ke Jakarta, tentu saja dengan berbagai pikiran yang memenuhi kepala. Saat kami sampai di rumah untuk pertama kali, tanpa sengaja kami mendengar pembeli yang juga masih tetangga kami berbincang dengan Ibu. Perbincanagan yang menghentikan langkah kami. "Bu, apa yang diberitakan di media sosial itu benar?" tanyanya pada Ibu."Ada yang benar, ada yang tidak." Dengan santai Ibu menjawab."Jadi, Mas Biantara itu bukan ayah Nizam?""Terlepas apapun itu, percayalah, jangan pernah ingin menjadi Anyelir." Hanya itu jawaban ibu dan meneteskan air mataku. Aku termangu. "Bawa Nizam masuk dan buatkan aku kopi." Megan menepuk pundakku, menyerahkan Nizam yang tidur dalam gendongannya itu padaku, kemudian menyuruhku untuk segera masuk sedangkan dia masuk ke toko kue entah untuk apa.Setelah kejadian itu, Megan lebih sering membawaku ke tempat Bu Wanda. Ya, aku memang merasa lebih hancur saat dunia tahu kasus pelecehan itu. Namun, Bu W
90. RumitSemangat Mbak Anye, kita doakan semua lancar.Makanya sebagai wanita harus pandai menjaga auratnya, jangan suka mengumbar.Mbak Anye ini cantik, mungkin karena tergiur kecantikannya jadi laki-laki itu bertindak demikian. Makanya sebagai wanita jangan suka mengumbar kecantikan.Pelajaran untuk kita semua, harus pandai menjaga diri, kejahatan tidak akan datang tanpa adanya kesempatan.Kalau nggak hamil dulu mana kenal sama dokter kandungan yang tampan , dinikahi pula.Meski sudah nggak ..., tapi dia lebih hebat dari kita barisan para perawan. Buktinya dia sudah nikah dua kali dan semua di luar ekspektasi. Ganteng semua. Sedangkan kita satu kali aja belum ha ha ha.Dia butuh dukungan bukan hujatan, kualat loe semua. Emang siapa yang mau seperti dia? Pada sakit loe pada!Tidak bisa lagi membaca komentar yang bertebaran di sosial media dan sebagian besar seolah menyudutkan juga menyalahkan atas pemberian Tuhan padaku, menyalahkan aku sebagai korban. Aku pun menutupnya dan meleta
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata