POV AnyelirAku memang duduk di meja kerja saat ini namun pikiranku tidak ada di sini , pikiranku terus berkelana, konsentrasiku benar-benar menurun. Sampai akhirnya, beberapa kali Mbak Annisa menepuk pundakku hanya karena aku termangu katanya. Bayangan wajah Megan yang enggan bertanya, memberi penjelasan, dan bersikap datar pagi tadi terus berkelebatan di dalam benakku. Bahkan hatiku terasa dihantam bongkahan batu besar yang begitu menyiksa ketika dia meminta ijinku untuk masuk ke dalam kamar kami. Ya, kamar kami. Dia meminta ijin. Menyedihkan.Berbagai pikiran berkecamuk, berjejalan masuk ke dalam otakku. Perkataan Mas Bian membuatku benar-benar rapuh, tak bisa lagi mengendalikan emosi. Dan dia kecewa padaku. Aku tahu. Dari sorot mata itu terlihat ada rasa kecewa, lelah, dan marah. Tapi dia menutupinya dengan menyibukkan diri bersama Nizam. Pernikahanku baru beberapa hari, bagaimana bisa, aku yang tak bisa memberi apa yang menjadi haknya justru mengusirnya secara tersirat semal
Aku menyelinap masuk setelah tempat duduk Nizam dilepas dari jok sebelah kemudi. Aku masuk dengan perasaan yang dipenuhi dengan tanda tanya. Melihat begitu banyak sampah, tissu, dan juga susu yang berceceran di mana-mana. Juga basah di beberapa bagian."Tadi Nizam nggak sabar minta susu, aku panik. Terus tumpah, deh," ucapnya saat menyadari mataku tak berhenti menyisir keadaan mobil yang berantakan. Kemudian membuang dengan sedikit mengamati sampah plastik bekas snack bayi."Cemilannya sehat, kok. Nggak usah khawatir, aku beli di baby shop tadi. Aman. Kalau puding itu di tempat langganan, bahannya semua dijamin aman, nggak ada pemanis buatannya, kok," ucapnya dengan raut wajah sedikit ketakutan."Harusnya nggak usah dikasih yang ada Fla pudingnya," gumamku membersihkan tangan dan mulut Nizam yang penuh dengan Fla vanila dengan tissue basah. "Anak makan kenapa ditinggal diluar?" lanjutku mengeluh meski dengan nada sangat pelan, tapi jujur kesal itu ada. "Dia maunya makan yang itu. Ma
Sampai di rumah aku membawa Nizam yang sudah tidur di pangkuan menuju kamar. Ibu yang terlihat masih di toko menoleh sekilas pada kami lantas kemudian kembali lagi pada pelanggan yang terlihat masih berdatangan. Biasanya di jam seperti ini mereka sedang melakukan pemesanan kue saja.Kuletakkan Nizam dengan hati-hati di atas tempat tidur kami. Setelahnya, aku menghela napas dalam begitu menyadari kedatangan Megan. Dia melangkah masuk setelah pintu tertutup rapat.Di dalam kamar kami saling diam, sama-sama menekan perasaan masing-masing. Aku dengan rasa penyesalan dan kecewa sedangkan dia dengan rasa lelahnya."Masih marah?" Akhirnya dia bertanya setelah sekian lama kami saling diam. Nada suaranya lembut. Mungkin kemarahannya padaku mulai melunak. Aku menggeleng pelan. "Aku nggak marah.""Kenapa diem terus?""Hanya tidak ingin ada keributan." Ia mencekal tanganku saat aku menyibukkan diri menyelimuti Nizam. Lalu membawaku untuk menatapnya."Aku akan mendengarnya. Selesaikan semuany
[Anyelir, angkat telepon Mas. Mas mau ngomong.]Sebuah pesan dari Mas Bian masuk setelah beberapa panggilan masuk darinya tak kujawab. Kuletakkan kembali ponsel di nakas, sudah waktunya aku mengabaikan hal yang bisa membuat rumah tanggaku hancur. Ponsel kembali berpendar ketika aku hendak merebahkan diri di tempat tidur. Panggilan kembali masuk. Aku meraihnya, bukan untuk mengangkatnya, namun menolak panggilan tersebut dan mematikan ponsel sebelum suamiku tahu dan mengira aku sedang berchat ria, seperti apa yang selalu aku tuduhkan padanya setiap dia tersenyum lebar di depan layar.Begitu aku hendak menggeser untuk mematikan panggilan, bersamaan dengan itu pula sebuah pesan kembali masuk. Aku mendesah. Dengan perasaan ragu aku membukanya. Perlu bagiku untuk memperingatkan Mas Bian agar tidak terus mengganggu.[Maafkan jika kata-kata Mas membuat hubungan kalian renggang. Mas hanya ingin dekat dengan Nizam, itu saja. Mas cemburu terhadapnya. Kata-kata Mas mungkin tak berdasar. Anye,
Mobil meluncur dengan kecepatan tinggi setelah menurunkan Anyelir di bank. Hari ini aku didaulat menjadi pembicara dalam sebuah seminar kebidanan yang diadakan sebuah institut kesehatan. Seminar dihadiri oleh para mahasiswi dan juga bidan umum. Seminar diadakan di aula universitas. Para peserta terlihat sudah memadati gedung seminar begitu aku datang. "Selamat datang, Dokter," sapa pembawa acara begitu aku dipersilahkan untuk menempati tempat duduk. Aku tersenyum membalas sapaan tersebut dengan kutangkupkan kedua tangan di dada sebagai tanda memberi salam. Aku memang sedikit terlambat, Nizam sedikit rewel hari ini. Ingin ikut denganku dan Anyelir. Mungkin karena kemarin aku membawanya serta sehingga dia ingin ikut kembali.Tak berselang lama acara pun dimulai. Dipanggil lah aku ke atas panggung. Menyapa dan sedikit berbasa-basi adalah yang kulakukan pertama kali. Kemudian pengetahuan umum tentang nutrisi pada ibu hamil yang akan menjadi topik pagi ini kusampaikan sebagai pembuka ma
POV Anyelir"Astaga Anyelir! Jangan bilang kamu ...." Ucapannya menggantung kemudian dengan cepat dia berbalik memunggungiku.Sebuah unggahan di media sosial yang tanpa sengaja masuk di beranda facebook siang tadi, sangat mengganggu pikiran. Dalam unggahan video sebuah seminar tersebut dia berkata bahwa akan menambah anak kalau tidak khilaf. Artinya dia bisa saja khilaf dan Nizam ...? Ia kembali berbalik menatapku dengan tatapan tajam. "Kamu memutuskan untuk memakai kontrasepsi tanpa membicarakannya dulu denganku, suamimu?" tanyanya penuh penekanan. Aku pun hanya mengangguk pelan."Ya Tuhan ... apa?! Kamu sudah pakai kontrasepsi apa?" tanyanya menggoncang pundakku, membungkukkan badannya menyamaiku kemudian menatapku marah."Aku —""Jawab?!" tegasnya. "Suntik." Cepat aku menjawab."Suntik apa? Berapa bulan?""Satu," ucapku ragu.Dia bergeming kemudian menghempaskan pinggul di tepi ranjang setelah menghela napas panjang. Aku pun mengikuti dengan duduk di sebelahnya. Dia sangat m
"Silahkan turun, Mbak, sudah landing." Suara seorang pramugari yang menyuruhku untuk segera turun membuatku tersadar. "Oh, ya." Aku bergegas turun, tanpa aku sadari pesawat sudah kosong dan aku masih mematung.Di bawah sana tepatnya di depan loby bandara mereka terlihat sudah menunggu. "Lama sekali?" Megan bertanya begitu aku sampai di bawah. Bahkan, dia tidak melihat barang apa saja yang kubawa. Yang dipikirkan hanya Nizam tak memikirkan ibunya sama sekali. "Maaf, banyak barang," sindirku kemudian."Sini, Ibu sama Bude bantu," ucap Ibu meraih koper dan tas dari tanganku. Mereka hanya membawa satu tas di tangan karena rencananya setelah resepsi mereka akan segera kembali karena tak mungkin meninggalkan toko terlalu lama. Sedangkan aku harus membawa dua koper dan satu tas untuk keperluan Nizam. Lalu apa yang dibawa suamiku? Hanya Nizam dan satu botol susu. "Nggak usah, Bu, itu sepertinya Pak Marwan sudah jemput kita. Pak!" teriak Megan memanggil seorang lelaki paruh baya yang diseb
POV MegantaraDiam akan lebih baik saat ini dari pada harus beradu argumen, mencari pembenaran masing-masing, dan berakhir dengan perdebatan panjang yang tak akan ada habisnya. Aku tak mau acara besok terganggu, aku tak ingin membuat Mama dan Papa kecewa kemudian malu pada akhirnya, jika acara yang sudah begitu mereka siapkan sedemikian rupa harus berubah menjadi petaka hanya gara-gara pertengkaran kami.Kuparkir motor di sebuah cafe yang ada di daerah Jimbaran. Cafe di mana kami sering menghabiskan waktu saat akhir pekan tiba pada masa SMA. Beberapa orang terlihat sudah menunggu di sana. Teman SMA yang kemudian saling terpisah karena harus mengejar pendidikan dan cita-cita. Mereka adalah Nando, Ervan, dan Rama. Mereka sudah duduk di sudut bagian dalam cafe. Nando kabarnya sudah menjadi seorang manager di sebuah perusahaan elektronik di Bali dan Rama sukses menjadi koki di hotel berbintang. Sedangkan Ervan, dia termasuk dari keluarga konglomerat, jadi dia ikut papanya mengurus perus
Besoknya mereka benar-benar kembali ke Bali tentu saja rumah kembali sepi. Sebelum pergi, mereka mempersiapkan seorang asisten rumah tangga baru dari agensi resmi untuk membantu Anyelir mengurus rumah dan Nizam. Malam harinya, aku memenuhi janji. Datang ke tempat yang sudah Anyelir beritahu sore tadi. Sepulang dari rumah sakit, aku meluncur ke sana karena Anyelir sudah menunggu katanya. Aku senang, sedikit demi sedikit dia mulai kembali mengenal dunia luar. Tidak lagi acuh dan enggan. Bahkan malam ini begitu mengejutkan. Dia sendiri yang menginginkan untuk makan di luar. Sungguh mencengangkan dan juga di luar dugaan.Setelah mobil terparkir di halaman restoran. Aku bergegas masuk, kucari keberadaan Anyelir dan kutemukan dia di meja paling ujung dekat jendela. Kulangkahkan kaki mendekatinya. Dia menoleh ke arahku dan berdebar lah jantungku saat melihat wajah dengan polesan yang membuatnya tampak begitu berbeda, sangat cantik. Penampilannya semakin sempurna dengan balutan gamis indah
POV Megantara[Bang, aku baik-baik saja. Aku akan mengantar Renata ke Bali. Thanks atas kesempatan dan aku tahu semua adalah siasatmu.]Kusunggingkan senyum setelah membaca pesan dari Denis yang entah sudah berapa hari menghilang dan sempat membuat kami sekeluarga kelimpungan. Sengaja, aku tidak ikut menemuinya, memberi waktu untuknya agar bisa bersama Renata yang entah kenapa tidak pernah bisa melihat cinta yang begitu besar dari Denis untuknya sejak dulu sampai sekarang, sedangkan Denis yang malang justru memilih diam dan tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan perasaan.Aku tahu, meski telah bersama Tita, Denis belum sepenuhnya melupakan Renata. Keputusannya yang tiba-tiba, degan mudah menerima Tita tanpa pikir panjang pun aku yakin hanya karena pada saat itu dia sedang putus asa. Awalanya aku mengira dia juga sudah mati rasa. Tapi, ketika kami kembali dipertemukan di tempat yang sama, aku menangkap tatapannya pada Renata tidak berubah, tetap sama, penuh cinta. Namun, aku juga tah
Tepuk tangan menyambut begitu kami turun. "Hebat, Mas, keren," ucap mereka yang ada di lokasi pada Denis."Sip," kata Denis menunjukkan jari jempol.Keren? Apa yang keren? Menurutku justru sangat menyedihkan, tak ada teriak kebahagiaan yang harusnya aku lakukan di atas sana apa lagi perasaan bebas seperti elang, melainkan beban berat menghimpit dadaku karena sikap Denis yang terkesan acuh dan berubah, tenggelam memikirkan Tita.Aku bergegas meninggalkan mereka yang masih terlihat sibuk dengan parasut dan sabuk pengaman. Hari sudah mulai petang, sudah saatnya untuk pulang. Hari ini sudah cukup untuk menjadi kenangan."Ren, mau ke mana?" Denis berlari mengikuti langkahku."Pulang, kamu bilang kan setelah terbang cepetan pulang. Lagi pula tiket penerbanganku ke New York tinggal beberapa hari lagi, aku harus ke Bali dulu, ketemu mama sama papa. Setidaknya aku sudah memastikan kalau kamu baik-baik saja, masih sehat," jawabku melanjutkan langkah. Namun, langkahku harus terhenti karena tan
POV RenataSudah hampir satu minggu aku mencarinya dan baru bisa menemukannya di sini, tempat yang sam sekali tidak ada dalam pemikiran kami sebelumnya. Sebuah tempat yang lumayan jauh dari keramaian. Entah, sudah berapa tempat di Jakarta hingga Bandung yang aku, Megantara, dan Om Hakam datangi hanya untuk menemukan pria yang saat ini sedang berada di atas sana, menikmati alam merayakan kebebasan atau mungkin juga sedang menghibur diri. Kami menemukan keberadaannya dari unggahan Instagram yang dia unggah, yang memperlihatkan pemandangan perbukitan dengan caption-nya 'Bebas'. Kemudian kami mencari tahu detail dari gambar tersebut. Di sinilah aku, di gunung Banyak kota Batu Malang. Megantara tidak ikut hari ini karena istrinya sedang kurang enak badan. Tapi dia tetap mau aku menemui Denis. Ya, kami bertiga memang sangat dekat, dia sangat khawatir dengan adiknya mungkin. Sehingga memaksaku untuk datang ke tempat yang menurutku lumayan jauh.Aku tahu ini tidak mudah. Kehilangan dua h
POV BiantaraDengan berakhirnya sidang berarti kewajibanku pun telah berakhir. Aku bisa lebih tenang sekarang, karena Megantara selamat dari ancaman atas tuduhan pencemaran nama baik termasuk aku, karena pada kenyataanya aku juga lah yang melaporkan atas tindakan penculikan Anyelir, sebab, pada saat itu Megantara tidak ada di tempat, jadi jikalau Megantara masuk penjara aku pun sama.Hari ini akta ceraiku dengan Luna sudah dikirim melalui kuasa hukum yang aku tunjuk. Semua sudah berakhir, tak ada lagi yang tersisa. Kami benar-benar sudah berakhir dan ini aku nikmati sebagai bentuk dari segala karma atas perbuatan dan status yang sempat aku sematkan pada wanita yang tanpa aku sadari mampu membuat hatiku berdenyut sakit setiap melihatnya bersama laki-laki lain. Wanita yang membuat hatiku teriris setiap melihatnya menangis. Aku telah menjanda kan Anyelir dan sekarang aku didudakan oleh Luna. Apa lagi kalau bukan karma yang dibayar tunai?Kuketuk pintu bercat putih setelah penjaga memberi
Pintu kamar ditutup dengan kasar menimbulkan debar di dalam dada karena keterkejutan. Aku memutar badan sambil mengusap dada pelan, setelah sebelumnya melangkah masuk kamar terlebih dahulu. Kemudian memutar bola mata mencari jawaban apa yang terjadi pada wanita yang saat ini menatap nyalang ke arahku. Kuangkat dagu seraya menyipitkan mata bertanya. "Kenapa?""Kenapa? Tadi kamu bilang apa? Mas Bian kucing? Kalau Mas Bian kucing terus kamu apa? Buaya?" tanyanya sambil marah-marah."Buaya? Buaya apa, sih?!" Aku balik bertanya karena merasa kurang begitu paham. Bukan kurang tapi memang tidak paham."Kalau bukan buaya apa namanya lelaki yang suka deketin wanita lain begitu ada kesempatan? Nggak mau rugi," ucapnya penuh penekanan."Apa sih, Anye? Kamu kalau Biantara ngomong langsung aja masuk otak kiri nggak keluar-keluar, klop banget.""Mau balik melempar kesalahan, ni, romannya," sindirnya."Enggak, orang aku ngga deketin ngapain? Jangan cemburu gitu, ah," candaku."Bukan cemburu, tapi m
Sekarang yang menjadi pertanyaanku adalah bagaimana mungkin hasil tes DNA itu tidak cocok? Siapa yang mereka bayar untuk mengotak-atik hasil tes itu?Ruang sidang kembali riuh. Jeritan, tangisan terdengar begitu menyedihkan. Tangis orang tua Ervan, istri yang kemudian memilih meninggalkan ruangan, dan juga tangis Renata yang pecah begitu hakim meninggalkan ruang sidang disusul Ervan yang dibawa keluar dari ruang sidang menuju tahanan. Denis dan Nando berusaha menenangkan Renata yang terlihat begitu terpukul atau bahkan menyesal atas keputusannya menjadi saksi. Entah.Tapi, aku tahu, bagaimana perasaan ketiganya. Wanita paruh baya itu melangkah maju ke arah kami dengan derai air mata setelah sang suami digelandang petugas untuk dimintai keterangan. Biantara bangkit kemudian menghadang. Langkah wanita itu pun terhenti, menatap ke arah Biantara dengan tatapan sendu kemudian tatapan itu berubah menjadi permohonan dalam bisu."Kita pulang," Papa datang setelah melepas seragam hitam khas
"Ambil anak itu diam-diam, jangan sampai ketahuan. Kirim ke luar negeri, bawa kembali kalau dia sudah dewasa dengan identitas baru."Terdengar isakan dari bangku keluarga terdakwa. Selain Anyelir, wanita lain yang sudah pasti sangat terluka pada bagian ini adalah istri Ervan, Alana. Bagaimana tidak? Seorang wanita yang sudah menemani bahkan memberikan buah hati seakan tidak ada nilainya hanya karena anak yang dilahirkan perempuan. Di mana nurani mereka sebagai suami dan kakek? Bukankah bisa mencobanya lagi untuk kembali mendapatkan anak laki-laki, mereka masih muda. Lagi pula bukankah wanita atau laki-laki itu sama saja? Banyak di luar sana wanita-wanita hebat yang sukses melebihi kesuksesan laki-laki dan bukankah laki-laki juga terlahir diri rahim seorang wanita? Lalu kenapa mereka menganggap remeh wanita?Suara gemerisik kembali terdengar, kali ini rekaman diganti dengan rekaman yang dipasang oleh Renata di kantor Om Winata. Awalnya hanya terdengar suara sepatu dan gesekan kerta
Di kursi saksi, Renata mulai berbicara, sesekali ia menghela napas. Mengurangi ketegangan, mungkin. Aku sangat mengerti apa yang dia rasakan. Biar bagaimana pun mereka adalah keluarga, memilih antara keluarga dan keadilan tentu sangat sulit sekaligus membuatnya dilema."Beberapa bulan lalu setelah acara pernikahannya di Bali. Megantara menemui saya. Menceritakan tentang istrinya. Awalnya saya sangat tersentuh dan iba. Hingga pada akhirnya, dia mengatakan bahwa dia mencurigai saudara saya, Ervan. Meminta bantuan saya untuk menyelidiki Ervan diam-diam. Saya sempat marah. Biar bagaimana pun juga, Ervan adalah sepupu saya, tentu saya tidak terima. Akhirnya saya mengiyakan, tapi dengan niat agar Megantara tau bahwa saudara saya tidak demikian. Pada saat itu saya benar-benar yakin bahwa Ervan orang baik. Dengan percaya diri saya menyelidiki Ervan dengan berbagai cara." ucap Renata sambil sesekali menghapus sudut matanya. Sedangkan Ervan menunduk dalam. Mungkin dia tidak menyangka Renata