Entah apa maksud Wildan, sebenarnya aku tak mengerti dan tak setuju dengan pemikirannya. Namun aku tak mau bertanya lebih jauh lagi. Aku justru menggunakan alasan itu untuk membujuk Wildan agar segera menikahi Lilis, agar aku pun segera mendapatkan cucu. Aku pun juga sudah terlanjur menyayangi Lilis, kekasih dari putraku Fadli yang sudah meninggal. “Maafkan Ibu, Nak. Ini semua salah Ibu, seandainya saja waktu itu Ibu tak memaksamu menikahi Lilis. Ini semua tidak akan terjadi.” Air mataku berderai. Namun, sesal tinggallah sesal. Wildan sudah menjatuhkan talak pada Alana di depan ayah dan ibunya, yang kemudian menyisakan kehancuran pada putraku seperti yang kusaksikan sekarang.“Sudahlah, Bu. Jangan menyalahkan diri Ibu. Mungkin ini sudah takdir jika rumah tangga Wildan dan Alana hanya bisa bertahan sampai di sini. Setidaknya sekarang Wildan punya Bagas, Bu. Wildan berjanji akan memberikan semua yang terbaik pada Bagas.”Ucapan Wildan itu sedikit membuatku terhibur. Semoga saja sakit h
Alana.Ternyata tak seperti yang kubayangkan sebelumnya, perpisahanku dengan Mas Wildan yang tadinya kupikir akan membawa lara dalam hari-hariku ternyata tak terlalu membuatku bersedih. Keberadaanku di tengah-tengah keluargaku saat ini cukup menghiburku. Meskipun tak kupungkiri, dikala sedang sendiri aku masih kadang menangisi rumah tanggaku yang harus berakhir seperti ini. Tak apa, bukankah itu manusiawi? Rasa kehilangan pun masih sesekali kurasakan. Bagaimana pun aku dan Mas Wildan sudah cukup banyak melewati hari-hari indah bersama. Kuraih gawaiku yang dari tadi berbunyi di atas nakas. Aku memang sengaja tak menjawab telpon karena tak mengenali nomor panggilan yang masuk di ponselku. Namun karena nomor itu berkali-kali mengulangi panggilan, maka akupun menjawabnya karena penasaran.“Astaga! Alana! Akhirnya kamu angkat telpon juga. Aku udah hampir kesal nih udah nelpon berkali-kali tapi nggak diangkat.”"Maaf, ini siapa?" tanyaku. Aku merasa asing dengan suara si penelpon."Lana,
“Kamu kok bisa tau aku balik dari Bandung hari ini?” “Kamu ini, masih aja seperti dulu. Ditanya malah balik nanya,” ucapnya terkekeh.“Aku serius, Win. Harusnya kamu nggak usah repot-repot gini jemputin aku. Aku bisa--““Nafisa yang nyuruh aku, Al. Aku juga sebenarnya nggak enak, takut dikira nyari kesempatan dekat-dekat kamu. Hanya saja kata Nafisa, kali ini kamu sedang benar-benar membutuhkan seseorang untuk menemanimu.” Lagi-lagi Darwin menyela ucapanku.Aku menghela nafas dan memilih mengarahkan pandanganku ke padatnya jalanan ibukota.“Nafisa sedang nemanin anaknya di rumah sakit.” Aku terkejut, padahal aku baru saja hendak mencari ponselku dan mengirim pesan pada Nafisa.“Almira sakit? Kok Nafisa nggak ngabarin aku? Almira sakit apa?” tanyaku panik.“Udah nanyanya?” Darwin balik bertanya sambil tertawa melihat kepanikanku. Aku mencibir.“Anaknya Nafisa rawat inap sejak kemarin di rumah sakit. Kalo nggak salah demam tinggi dan muntaber. Nafisa sengaja nggak ngabarin kamu, tau k
Alana.“Win, mana nomor rekeningmu? Aku mau bayar pelunasan sewa apartemen,” ucapku pada Darwin ketika sudah berada di unit apartemen yang kusewa.Aku langsung merasa cocok dengan apartemen ini, tidak teralu luas namun rapi dan bersih, sangat pas untuk kutinggali seorang diri sementara waktu. Yang tidak kuketahui, ternyata Darwin sudah membayar lunas sewa apartemen ini untuk 6 bulan kedepan. Padahal saat berbicara di telpon kemarin, aku hanya membayar DP nya dulu pada penyewanya.“Nanti aja, Lana. Kamu nggak sedang ngusir aku, kan?”“Tck! Aku nggak mau punya utang, Win. Buruan, mana nomor rekeningnya. Lagian kenapa kamu bayar full sih. Kemarin kan sudah kubilang bayar DP dulu. Kalau misalnya aku nggak cocok gimana?”“Rasanya kok sudah lama sekali ya aku nggak dengar suara kamu panjang dan sewot gini.”“Win, aku serius!” Aku makin sewot mendengar jawaban-jawaban Darwin.“Iya ... iya,” jawabnya sambil membuka layar ponselnya. “Tuh udah aku kirim ke kamu!” lanjutnya.Aku meraih tas ku da
Seminggu setelah aku mendaftarkan gugatan cerai ke pengadilan dengan bantuan Mas Pram, Mas Wildan mengirim pasan padaku.[Al, boleh ketemu?][Ada yang ingin Mas bicarakan.][Hari ini aku menerima surat panggilan dari pengadilan, Al. Akhirnya kamu benar-benar menggugat cerai. Ini surat pertama yang kuterima dengan linangan air mata.][Ada hal yang ingin kubicarakan sebelum kita bertemu di pengadilan.]Begitu sederet pesan yang dikirim Mas Wildan sejak tadi. Aku hanya membacanya, bingung harus bagaimana membalasnya. Ku-screenshot pesan-pesan dari Mas Wildan lalu kukirimkan ke Nafisa.[Suruh ke ketemuan di Kafe Jingga aja, Al. Kamu yang nentukan waktunya, nanti kabari aku, aku akan kesana juga buat jaga-jaga kalau suamimu berbuat yang tidak-tidak.] Balas Nafisa setelah membaca pesanku. [Mantan suami, Naf.] Tulisku protes.Nafisa memang sudah mulai kembali aktif di Kafe Jingga setelah baby Almira keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu. Beruntung sekali aku memiliki sahabat seper
Wildan.Kulangkahkan kakiku menginggalkan ruangan Alana di Kafe Jingga. Pendengaranku masih sempat menangkap Alana menggumam lirih diiringi isak tangisnya ketika aku berpamitan padanya setelah menyerahkan surat sertifikat rumah padanya. Namun, aku enggan untuk menoleh kembali. Aku tau, keputusan Alana sudah bulat untuk bercerai dariku. Tak dapat lagi kupertahankan atau kuyakinkan wanita itu dengan kata-kata rayuanku.Sekilas kulihat Nafisa melihat ke arahku ketika aku melangkah menuju pintu depan kafe. Aku pun memilih tak menoleh pada Nafisa. Aku yakin kondisiku saat ini sedang terlihat kacau. Maka segera kulangkahkan kakiku menuju parkiran dan masuk ke dalam mobilku.Kuhela nafas panjang sambil mengcengkram setir mobilku. Mengapa tak henti-hentinya rasa sesal ini menyesakkan dadaku? Padahal aku sadar, akulah yang membuat Alana pergi. Betapa bodohnya aku, bagaimana mungkin seorang istri yang cerdas seperti Alana menerima tindakanku yang menikah diam-diam di belakangnya. Bahkan punya a
Hari ini aku harus menghadiri sidang putusan atas gugatan cerai Alana di Pengadilan Agama. Ya, setelah melalui serangkaian persidangan dan juga mediasi yang menemui jalan buntu karena Alana tetap ngotot berpisah, akhirnya hari ini aku akan benar-benar bercerai sah dari Alana.Aku tak menyangka Alana membeberkan semua bukti chat yang ditemukannya waktu itu di laptopku pada saat sidang. Alana benar-benar mempersiapkan semua buktinya dengan rapi. Meskipun wanita itu harus kembali menangis dalam persidangan saat membeberkan bagaimana awalnya dia menemukan bukti-bukti kebohongan dan pengkhiatanku.Aku hanya terdiam terpaku saat itu, aku baru menyadari bahwa aku sungguh telah melukai hati Alana begitu dalam. Ternyata sederet chat dan status whatsappku yang mengabarkan kebahagiaaku atas kelahiran Bagas putra pertamaku dan Lilis sungguh telah mencabik-cabik perasaan Alana. Hal itu membuatku sadar bahwa betapa sebenarnya Alana sangat mencintaiku, sehingga pengkhiatanan dan kebohonganku tentang
Alana.Hari ini adalah hari dimana sidang putusan atas gugatan ceraiku pada Mas wildan digelar. Ada perasaan lega dalam hatiku karena akhirnya hari ini status perpisahanku akan disahkan secara hukum. Namun di sisi lain, ada sebersit perasaan sedih mengingat pernikahan yang sudah kujalani selama 5 tahun akan benar-benar berakhir.Aku sengaja tak mengabari keluargaku di Bandung mengenai jadwal sidang putusan hari ini. Aku hanya tak mau lagi menyusahkan orangtuaku. Biarlah kuurus sendiri proses sidang ini, tentunya dengan bantuan Nafisa dan Mas Pram, suaminya, sebagai pengacaraku.“Hai! Gimana kabarmu, Al.” Aku spontan menoleh ke arah suara, di mana Mas Wildan sedang tersenyum kikuk padaku. Lelaki itu memakai stelan hitan-hitam. Aku sedikit terperangah oleh penampilannya yang terlihat seperti sedang berkabung, ditambah lagi dengan kacamata hitam yang dikenakannya.“Hai juga, Mas. Kabarku baik,” jawabku singkat.Semua berlalu begitu cepat hingga akhirnya status Hakim pun mengesahkan perce
Dengan senyum sumringah aku dan Darwin, juga Jessy dan Baby Gandhi bergantian menyalami semua tamu. Tak lupa sambil berfoto mengabadikan semua kebahagiaan yang tercipta hari ini. Darwin memang sengaja menyewa potografer profesional khusus untuk acara ini. Salah satu sudut ruang tamu bahkan sengaja didekorasi dengan indah.“Anggap aja pelaminan kita, Al. Kita kan nggak pernah menggelar resepsi pernikahan,” ucapnya saat aku menanyakan mengapa harus ada hiasan seperti itu.Ternyata sudut yang dihiasi dengan indah itu memanglah menjadi pelaminan kami, pelaminanku bersama suami dan kedua anakku. Tamu-tamu yang datang bergantian menghampiri sudut cantik itu dan mengajak kami berfoto bersama.Lalu tamu yang tak kusangka-sangka itu muncul di depan pintu. Mas Wildan datang dengan menggandeng Lilis sambil menggendong putra mereka. Aku melirik Darwin yang langsung melempar senyuman pada mereka.“Aku sengaja mengundangnya, Al. berdamailah dengan masa lalu, maka masa depan kita akan semakin indah,
Alana.“Kita mau ke mana sih? Perasaan sejak pulang dari Surabaya Abang sering banget deh nyulik Al?” tanyaku ketika masih pagi Darwin sudah menyuruhku bersiap-siap tanpa mengatakan hendak mengajakku ke mana.“Udah nurut aja, Al. Masih banyak rencana masa depan kita yang ada di otakku.”“Tapi aku jadi sering ninggalin anak-anak.”“Justru semua ini demi kenyamanan kita semua nantinya, Al. Termasuk anak-anak kita.”Lalu akupun hanya menurut dan mengikutinya.“Ngapain kita ke rumah sakit? Abang sakit?” tanyaku heran bercampur panik ketika ia menghentikan mobilnya di parkiran rumah sakit.“Nggak ada yang sakit, Al. Aku mengajakmu ke sini untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan.”“Dokter kandungan?” Aku semakin heran dan kali ini menatapnya penuh curiga.“Jangan curiga gitu dong. Kita akan berkonsultasi mengenai alat kontrasepsi apa yang cocok untukmu dan tidak membahayakan dirimu dan juga Baby Gandhi. Aku sudah membuat janji dengan dokter terbaik di rumah sakit ini.”“Kenapa harus kon
“Tentu saja boleh, Sayang. Tapi untuk saat ini Opa belum bisa ikut dengan kita. Kondisi Opa belum memungkinkan. Opa juga masih punya banyak urusan di sini,” ucapku memberinya pengertian.Lalu kami bergantian berpamitan dan mencium punggung tangan Pak Leon. Pria tua itu kembali membungkuk ketika aku meraih punggung tangannya.“Terima kasih sudah hadir dalam hidup Jessy, Nak. Papa percayakan dia padamu dan Papa berharap bisa segera mendapat kabar baik kepindahan kalian ke rumah Jessy. Sejak kecil Jessy sangat menyukai rumah itu. Terima kasih juga sudah mau menandatangani semua berkas pelimpahan perusahaan.”“Tak perlu berterima kasih, Pa. Bukankah itulah gunanya keluarga? Bagi Alana Papa sekarang adalah orangtua Alana. Terima kasih juga sudah mempercayakan semua pada Alana,” jawabku lirih.***Darwin langsung berangkat ke kantormya setibanya kami semua di Jakarta. Sedangkan aku dengan dibantu Rita dan baby sitter Jessy yang ikut ke Jakarta bersama kami membereskan beberapa hal. Terutama
Alana.Aku terbangun dan menggeliat. Kenapa tubuh terasa pegal-pegal? Perlahan kusibakkan bed cover berwarna putih yang menutupi tubuhku. Hahhh!! Aku polos!! Tak mengenakan sehelai pakaian pun. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan dan berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Lalu semua segera terjawab saat pintu kamar mandi di dalam kamar mewah ini terbuka, dan sesosok tubuh berbalut handuk putih mucul dari sana.“Good morning, Sweetie,” sapa lelaki itu sambil tersenyum padaku.Ingatanku pun melayang pada apa yang terjadi semalam di kamar ini. Aku menoleh pada box bayi yang terletak di dalam kamar. Mengapa aku sampai melupakan bayiku? Aku tidur terlelap sepanjang malam, itu artinya aku tak menyusui Baby Gandhi, padahal biasanya ia bisa terbangun sampai 2 atau 3 kali menyusu padaku sebelum akhirnya kembali tertidur.Karena panik memikirkan bayiku, tanpa sadar aku kembali menyibak kain yang menyelimuti tubuhku untuk melihat Baby Gandhi. Tubuh polosku kembali terekspos, la
“Aku bahagia melihat hubunganmu sekarang, Al. Dari Inge pula aku tau jika Darwin pria yang baik, kurasa ia memang lebih pantas berjodoh dengan wanita yang tulus sepertimu. Maafkan aku, sekali lagi maafkan semua luka yang pernah kutorehkan dalam hidupmu. Mungkin ke depannya kita akan sering bersinggungan dalam urusan perusahaan Pak Leon yang jatuh ke dalam tanggungjwabmu. Kumohon jangan takut padaku dan jangan meragukanku. Mari kita bekerja sama dengan baik dan profesional, ini juga adalah salah satu permintaan terakhir Inge.”“Lalu apa yang akan Mas Wildan lakukan selanjutnya?”“Aku akan kembali pada Lilis, Al. Bagas memerlukan kasih sayangku. Aku yang sudah memulai semuanya, aku yang sudah menyetujui menikahi Lilis waktu itu meskipun masih terikat pernikahan denganmu. Maka aku harus bertanggungjawab pada mereka. Aku ikhlas meskipun Lilis tak pernah menganggapku ada. Inge mengajarkan padaku bahwa anak adalah mahluk suci yang lahir tanpa dosa, maka tak semestinya kita sebagai orang tua
Alana.“Boleh bicara sebentar, Al?” Suara bariton Mas Wildan mengagetkanku. Rupanya lelaki itu belum pulang dan masih melakukan rapat di ruang kerja Pak Leon dengan beberapa orang kepercayaan Pak Leon lainnya saat aku, Darwin dan Pak Leon tengah berbincang di ruang tengah.“Boleh, bicara di sini aja,” jawabku sedikit gugup sambil melirik suamiku, sedangkan Pak Leon sudah masuk ke dalam ruang kerjanya dengan dibantu oleh asistennya yang setia mendorong kursi roda pria tua itu.“Aku mau bicara empat mata denganmu, Al,” ucapnya lagi.Aku kembali melirik Darwin. Lelaki yang sudah memberiku seorang putra itu tersenyum tipis kemudian mengangguk tanda memperbolehkan.“Mas mau ngomong apa? Aku hanya punya waktu sebentar,” ucapku saat sudah duduk di hadapan Mas Wildan.Lelaki itu tersenyum menatapku.“Pertama aku ingin mengucapkan terima kasih padamu, Al. Karena modal yang waktu itu kamu berikan padaku, perusahaanku bisa kembali berkembang hingga akhirnya menemukan kembali kepercayaan para pel
Aku tergugu di samping batu nisan bertuliskan nama Inge Paramita di area pemakaman elit yang tersusun dengan sangat rapi. Bayangan wajah serta senyum tulus Inge membuatku menitikkan air mata kehilangan. Meski hanya sebentar mengenalnya, namun wanita itu serasa sangat dekat denganku. Bahkan Inge lah yang mendampingiku melalui proses persalianku dikala Darwin tak bisa mendampingiku.Kuusap batu nisan Inge sambil memanjatkan doa-doa untuk kebahagiaannya di sana. “Terima kasih telah menjadi sahabatku. Terima kasih telah mempercayakan Jessy padaku. Aku berjanji akan menyayanginya setulus kamu menyayanginya. Tenang dan bahagia lah di sana,” bisikku lirih sambil mengusap batu nisannya. Lalu tangan kekar itu merengkuh bahuku.“Jangan menangisinya, Al. Inge sudah bahagia di sana.” Darwin melerai tangisku. Meski aku tau, dibalik kaca mata hitam yang dipakainya, lelaki itu pun meneteskan air matanya.Ternyata niatku dan Darwin untuk hanya mampir sebentar di Suarabaya tak berjalan dengan mulus.
Darwin.Berkali-kali Harry dan bawahanku di kantor menelponku karena aku sudah seminggu lebih meninggalkan pekerjaanku. Memang sepulang dari Jepang kemudian mengurus pemakaman Inge hingga mencari keberadaan Alana di Bali kemudian menikahinya kembali aku melupakan semua urusan pekerjaanku. Padahal masih banyak sekali perkerjaan tertunda terutama laporan hasil pekerjaan kami sewaktu di Jepang. Sepertinya pihak kementrian juga sudah mendesak untuk perusahaanku segera melaporkan hasil dan meneruskan kontrak kerja.Maka rencanaku untuk memboyong Alana menginap di hotel malam ini sepertinya tak akan bisa terlaksana.“Al, kita harus segera kembali ke Jakarta. Banyak pekerjaan yang harus segera kuselesaikan. Aku sudah meninggalkan kantor selama seminggu lebih,” ucapku pada Alana setelah sarapan pagi bersama keluarga Alana.“Jadi kapan rencananya kita pulang ke Jakarta?”“Secepatnya, Al. Kalau bisa hari ini juga.”“Lalu bagaimana dengan niatku untuk mengunjungi makam Inge?”Aku mengusap wajah
Alana.Ada keharuan yang menyeruak dalam hatiku ketika Darwin kembali menyebut namaku dalan ikrar ijab kabul. Ini yang kedua kalinya lelaki itu menyebut namaku dalam prosesi sakral ijab kabul. Dengan sepenuh hati aku mengamini semua doa-doa baik yang terus menerus dipanjatkan sepanjang acara. Aku sangat berharap hubungan pernikahanku kali ini langgeng hingga maut memisahkan. Saat ini, lelaki itu benar-benar telah mengisi penuh seluruh ruang hatiku. Ia hadir perlahan-lahan di sana kemudian dengan pasti memenuhi hatiku dengan perhatian dan cintanya, sehingga sakit yang dulu pernah kurasakan atas kegagalan rumah tanggaku yang dulu sudah tak lagi tersisa. Darwin telah berhasil menutupi semua rasa sakitku dengan kasih sayangnya.Kudengar para tokoh agama yang diundang Mas Sofyan memberi beberapa wejangan padanya ketika ia dengan gagahnya mengakui tentang kehadiran Baby Gandhi dalam hubunganku dengannya. Tanpa segan ia mengakui bahwa bayi yang sedang digendongnya itu hadir akibat dosa-dosan