"Kalian berdua harus menghargai keputusanku yang sudah menjadi ketetapan untuk selamanya." Kang Alvin memandangi dua wanita yang tengah terduduk berhadapan dengannya. Mereka saling menenggelamkan semua pertanyaan yang terkumpul dalam kepala mengenai kenapa, dan bagaimana? Keyla membatin, "bagaimana caranya aku menyingkirkan Rissa dalam hidup Mas Alvin?"Tidak hanya wanita itu saja, karena Rissa pun menggerutu dalam hati. "Kenapa Kang Alvin memutuskan keputusan yang sangat sulit bagiku?""Mengenai keadilan nafkah batin dan lahir aku berjanji akan memberikannya rata. Jadi, kalian enggak perlu khawatir mengenai hal itu." Kang Alvin mencoba meluruskan semuanya. Nina juga berada di sana, tapi jaraknya berjauhan beberapa langkah dari mereka. Dia hanya ingin memastikan jika putri tirinya mendapatkan keadilan. Dia tidak akan rela jika Rissa dibiarkan begitu saja, apalagi kalau saja keadilan yang disebutkan Alvin tidak seimbang malah terlalu mengarah pada Keyla. "Untuk kamu Keyla, tidurlah
"Kesembuhan teruntuk Bu Rissa kemungkinannya sangat tipis." Wanita berjas putih itu menatapnya dengan sangat lekat. Semua keterangan dokter membuatnya tidak tenang, ucapannya terus terngiang di telinganya. Rissa menunduk menenggelamkan segala resah, apalagi mengenai keturunan yang sangat di nantinya. "Sayang ...," panggil Kang Alvin yang baru saja pulang kerja, membuka knop kamar. "Kang, sudah pulang?" tanya Rissa, dia mengusap air matanya dengan kasar seolah tidak ingin dipertanyakan sang suami mengenai tangisannya. "Sudah, Sayang. Kamu kenapa?" tanya Kang Alvin. Tetap saja kedua matanya terlihat memerah seperti orang yang sudah menangis pada umumnya. "Tadi cuman kelilipan, Kang." Rissa membohongi. Dia belum siap jika harus mengatakan yang sebenarnya pada Kang Alvin. Wanita itu akan menanggung masalah itu seorang diri, hingga tidak ada satu orang pun yang merasa kasihan padanya. "Yakin? Enggak ada masalah kan, Sayang?" tanyanya. Mengusap lembut puncak kepala istrinya. Rissa me
Nina menyiapkan segala persiapan untuk acara pernikahan putrinya dengan Delon. Rissa sudah mengatakan berulang kali jika keputusannya harus kembali dipikirkan, karena pria itu sudah membuat adiknya ketakutan setiap bertemu dengan lawan jenis karena trauma akut yang merenggut kehormatannya. Salah Nissa sendiri terlalu mudah mempercayai Delon hingga dia selalu saja memberikan keinginan kekasihnya tanpa berpikir ulang. Sudah terjadi permasalahan yang amat sulit untuk dipecahkan baru kepalanya terbuka lebar berpikir bahwa perlakuannya tidak pantas untuk dilakukan. "Mah ... Nissa enggak mau menikah sama Delon." Wanita itu menutup wajahnya dengan kedua tangan, dia terisak dalam diam. "Nissa! Kalau kamu enggak mau menikah dengannya, lalu siapa lelaki yang siap menikahimu dan menerima calon bayi juga masa lalumu?" tanya ibunya dengan nada suara yang tinggi, lebih tepatnya membentak. "Aku akan mengurus bayi ini sendirian. Aku tidak membutuhkan siapapun, apalagi Delon! Pria itu bejat, Mah."
Tubuh Rissa yang lunglai direbahkan ke atas kasur berukuran king size oleh suaminya. Tampaknya wanita itu seperti kelelahan setelah banyak drama yang disajikan Kang Alvin dalam hidupnya. Beberapa saat kemudian Rissa mengerjapkan kedua matanya, begitu pandangannya kembali jelas pertama kali yang dilihatnya sang suami berada di hadapannya. Mengecup punggung tangannya beberapa kali seolah ketakutan jika harus kehilangan wanita itu. "Kamu sudah bangun, Sayang?" tanya Kang Alvin mengusap lembut puncak kepala sang istri yang tertutupi hijab panjang. Perut Rissa tiba-tiba terasa seperti dikocok hingga kerongkongannya terasa mual seperti ada dorongan suatu hal yang menjadi penyebabnya. Wanita itu tidak kuasa menahan rasa ingin memuntahkan apapun yang telah dimakannya. Dia beranjak dari petidurannya, berlari ke arah kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari tempatnya saat ini. "Rissa, kamu kenapa?" tanya Kang Alvin cemas pada sang istri. Pria itu berlari cepat mengikuti Rissa yang masih b
"Bagaimana hasilnya ya?" Kang Alvin terus mondar-mandir seperti setrikaan ke kiri kanan tiada henti. Sudah lebih dari enam puluh menit dia berdiri di depan pintu kamar mandi menunggu kemunculan sang istri yang sampai saat ini tidak saja kembali. Setahunya hasil dari tespact tidak terlalu lama sampai berjam-jam menunggu. Hingga pada akhirnya dia memutuskan mengetuk pintu. "Rissa ... kamu sudah dapat hasilnya?" tanya Kang Alvin cemas karena sedari tadi tidak terdengar suara sang istri di dalam kamar mandi tersebut. Masa iya Rissa ketiduran? Dia menggeleng pelan mencoba menjauhkan pemikiran tentang hal itu. "Sayang ... kamu masih di sana?" tanya Kang Alvin, berulang kali dia mengetuk pintu. Pria itu mendekatkan telinganya tepat pada balik pintu mencoba mendengarkan jawaban dari sang istri, tapi tidak ada seseorang yang menimpali perkataannya. Hanya ada suara isak tangis yang membuatnya bertanya-tanya. Rissa kenapa? Apa dia kecewa dengan hasilnya? Seharusnya dia tidak memintanya untuk
"Apa? Dipercepat?" Nissa membulatkan kedua matanya begitu Nina mengatakan pada semua anggota keluarganya jika pernikahannya dengan Delon akan disegerakan. Nissa tidak mau hal itu terjadi, bagaimana mungkin dirinya bisa melalui kehidupan bersama orang yang tidak tahu diri. Delon sudah menghancurkan hidupnya begitu saja, bahkan dia sudah mendapatkan surat dari sekolah jika murid yang bernama Nissa Khairunnisa sudah dikeluarkan dari sekolah. Padahal tinggal satu langkah lagi dia mencapai ijazah SMA, tapi rumor yang beredar hingga sampai di telinga kepala sekolah membuat mereka menggeleng pelan tidak mempercayai dengan perilaku gadis polos sepertinya akan berlaku tindakan yang senonoh. Dia mengendap mendengar pembicaraan ibunya di ruang tamu. Di sana ada Delon juga yang tengah menyesap secangkir kopi, lelaki itu tampaknya senang karena rencananya akan segera berhasil. Wanita itu kembali menutup pintu kamarnya, tidak ingin keberadaannya diketahui Delon. Dia harus menyelamatkan dirinya,
Rissa memijat pelipisnya yang terasa pening setelah banyak permasalahan yang dilaluinya. Teruntuk sekarang wanita itu tampak ingin menyudahi segala pertentangan dengan sang suami, dia hanya ingin hidup tenang apalagi kini janinnya mulai berkembang di dalam rahimnya. "Aku percaya jika tidak ada lagi kebohongan yang disembunyikan Kang Alvin." Rissa perlahan mengelus perutnya yang masih rata karena baru saja beberapa minggu janin itu berada di rahimnya. Dia sangat senang dengan alur hidupnya sekarang yang sudah mulai indah begitu Sang Khalik memberikan kebahagiaan yang tiada tara. Kang Alvin melihat dari kejauhan, senyuman istrinya yang begitu memukau. Akan tetapi, hal itu malah membuat ulu hatinya terasa nyeri. Tidak kuasa pria itu melihat Rissa menitikkan air matanya lagi, cukup saat permasalahan mengenai noda juga istri pertamanya yang akhirnya terbongkar juga. Mungkin, setelah ini hidup mereka akan jauh lebih bahagia. Menyadari keberadaan suaminya yang tidak jauh dari tempatnya,
"Ngapain kamu di sini?" tanya Keyla mengejutkannya. Begitu Bi Ratih berbalik, kedua matanya terbelalak mendapati istri pertama Kang Alvin berdiri tepat di depannya. Keyla melongok ke dalam ruangan kamar, nyatanya di sana ada Rissa dan Kang Alvin. Pertanyaannya terlupakan kini terganti dengan kepalan di tangannya. Dia tampaknya marah begitu melihat suaminya berduaan dengan madunya. Sedangkan dirinya, sedari tadi dibiarkan begitu saja mengurusi Lea. Ekspresinya marah karena dia cemburu dengan kedekatan suami dan madunya. Kedua tangannya mengepal erat, dia pun berlalu begitu saja meninggalkan Bi Ratih yang masih mematung di tempat. Begitu juga dengan Bi Ratih yang cepat pergi dari tempat itu, karena dia takut jika tertangkap tengah mengintip majikannya yang berduaan. Dia segera memasuki kamarnya merenungkan diri sejenak. Ekor matanya melirik ke arah Zidan yang tengah tertidur pulas. Kali ini wanita berambut pendek itu meraih laci meja nakasnya. Di sana ada sebuah foto tanpa berbingka
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Alvin pergi ke tempatnya bekerja, dia berharap jika Fatma tidak lagi mengejarnya, karena wanita itu juga sudah tahu jika dirinya mempunyai keluarga. Mana mungkin dia terus berlaku seperti itu saja. Kesannya seperti tidak mengenakkan.“Selamat pagi, Pak.” Salah satu karyawan menghampiri Alvin, dia menyapanya dengan sangat ramah. Tentu saja, lelaki itu pula membalasnya dengan senyuman pula yang merekah.“Iya.” Alvin menyunggingkan senyumannya.Tidak lama kemudian, Fatma berjalan ke arahnya, senyumannya terlihat merekah. Wanita itu bahagia sekali saat kedua matanya beradu pandang dengan lelaki satu anak itu.Alvin berusaha untuk menghindarinya, dia segera melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, tapi justru Fatma mengikutinya begitu saja seolah enggan ditinggalkan. Bahkan, saat lelaki itu hendak memasuki ruang kerjanya pun wanita itu mencekal pergelangan tangannya seolah menghentikannya begitu saja.Sikap Fatma membuat Alvin semakin tidak nyaman, bagaimana tidak seperti itu? Bahkan kala
Kali ini Rissa jauh lebih posesif pada Alvin, karena bagaimana pun juga suaminya itu pernah melakukan hal yang tidak seharusnya, membohonginya begitu saja. Tentu saja, hal itu justru membuatnya tidak suka atas perlakuannya. Seperti saat ini keduanya tengah berhadapan di meja makan, Rissa seolah tidak nafsu makan, karena segala hal yang terjadi begitu sangat melelahkan baginya. Wanita itu merasa jika Alvin sudah memberinya terlalu banyak luka, tapi justru dirinya semakin cinta terhadapnya. Dia juga bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi persoalan tersebut. Rissa memang selalu melakukan yang terbaik untuk rumah tangganya, tapi namanya juga hubungan percintaan yang sudah dijalin dengan kesucian memang selalu saja tidak bisa terlepas dari masalah. Munkin hal itu juga disebabkan dari traumanya di masa lalu yang membuatnya tidak bisa melepaskan Alvin begitu saja. Persembunyian mengenai Bi Ratih juga membuat Rissa seolah tidak bisa mempercayai sang suami sepenuhnya, meskipun Alv
Fatma masih saja terus mengusik Alvin, bahkan dia kali ini seringkali memberikan makanan buatannya. Namun, hal itu tidak membuat Kang Alvin luluh untuk memakannya. Fatma memberikannya untuknya, lalu dia akan menyerahkannya pada pekerjanya yang memang sedang bertugas ke ruangannya, entah itu cleaning service atau yang lainnya. Kang Alvin enggan menerimanya karena merasa takut akan terjadi seperti kejadian sebelumnya, bagaimana jika istrinya tahu kalau di kantor ada perempuan genit yang sedang berusaha menggodanya. Mungkin saja dia akan menggamparnya atau bisa lebih parah lagi enggan untuk memaafkannya. Meski sebelumnya pun Kang Alvin tidak berselingkuh, tapi dia merasa banyak bersalah bahkan seolah mengkhianati istrinya begitu saja, dia enggan melakukan hal seperti itu lagi. Sudah cukup baginya membohongi sampai dirinya nyaris kehilangan istrinya. "Ini untuk Bapak." Fatma tidak akan pernah menyerah memberikan makanan buatannya pada Alvin. Seperti biasanya, Alvin akan menolaknya se
"Pak Alvin, ini berkasnya." Wanita berambut panjang itu menyodorkan beberapa lembar dalam sebuah map pada pria di hadapannya yang sebelumnya tengah memainkan laptop miliknya. "Terima kasih." Alvin segera menerimanya, tapi wanita itu tidak segera mengindahkan langkahnya. Dia tetap berdiri mematung di tempatnya. Menyadari hal itu, Alvin melirik ke arahnya. Tampaknya dia memandangi beberapa saat, pria itu memahami jika wanita di hadapannya seolah belum paham jika dirinya belum memintanya pergi. "Kamu boleh kembali ke ruangan lagi." Alvin pun berkutat pada laptopnya, karena dia rasa kalimat tersebut sudah bisa mewakili bahwa dirinya tidak lagi membutuhkannya. Namun, wanita itu masih saja berdiri di sana seolah belum mengerti dengan kalimat yang disampaikan direkturnya. "Pak. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari karyawannya membuat Alvin tersenyum samar, lalu dia pun menggeleng dengan pasti. "Tidak ada. Kamu kerjakan saja tugasmu yang l
Alvin membondong istri dan anaknya ke tempat baru, dia hanya ingin membangun rumah tangganya dengan tentram, seperti halnya saat pertama kali mereka bertemu. Pria itu hanya ingin melupakan semua masalah yang pernah ada dalam kehidupannya. Mungkin, dengan cara seperti ini semuanya menjadi lebih menyenangkan dan membahagiakan keluarga kecil tersebut. Bayi mungil perempuan yang pada akhirnya diberi nama Clarissa, diberi janji oleh kedua orang tuanya bahwa mereka akan memberikannya kasih sayang secara penuh, tidak peduli apa yang terjadi di masa mendatang pada keduanya. Nissa sempat merasa bersedih atas kepergian kakaknya ke kota berbeda. Meski begitu, dia juga tahu bahwa semuanya sudah menjadi rencana pasangan suami-istri tersebut, mereka hanya ingin tenang dan menjalankan perannya masing-masing.Suasana di tempat kali ini lebih menyenangkan, dan jauh bersih. Alvin tersenyum begitu menilik istrinya yang tengah menggendong putrinya sembari berdiri memandangi pemandangan asri di hadapan
"Cantik ya seperti kamu, Sayang." Kang Alvin memberikan rayuan pada istrinya, hal itu tentu saja membuat wanita di sampingnya tampak tersipu malu. Rissa mengulum senyumnya, tambah cantik saja. Benar kata suaminya jika sang istri selalu menambah pesonanya dengan seulas senyuman. Dari dulu Kang Alvin memang seringkali merayunya, apa pun yang dilihatnya dari sang istri. Dia akan selalu memberikannya ucapan manis yang tidak pernah terlepas dari mulutnya. Hanya saja, kali ini istrinya tidak tersipu malu seperti sebelumnya. Dia lebih banyak diam setelah mengingat apa yang terjadi. Alvin terlalu banyak menyimpan misteri yang membuatnya sulit saat mencari tahu. Meski begitu, Rissa berusaha untuk memaafkan. "Kang." Rissa mencoba untuk mengatakannya pada sang suami. "Iya, Sayang?" tanya Kang Alvin mencoba untuk memastikannya. Kedua matanya memandangi istrinya dengan sangat lekat. Hal itu membuat Rissa ikut tersenyum pula, dia seperti merasa senang sekali saat dipandangi seperti itu oleh s