"Kenapa aku pula dilibatkan dalam permasalahan ini?" tanya Kang Alvin mengerutkan dahinya kebingungan. Nissa sedari tadi menutupi mulutnya dengan telapak tangan menyamarkan suara isak tangisnya yang pecah begitu saja. Sesekali gadis itu memeluk tubuh kurusnya dengan kedua tangan. Kisah hidupnya memang tidak seindah cerita dalam novel romansa selalu diawali dengan bahtera cinta dan diakhiri pula kebahagiaan. Sebagai seorang ibu yang berperan penting dalam kehidupan putrinya, Nina merasa gagal menjaga Nissa. Dia salah dalam mendidik anak kandungnya hingga kini nelangsa atas persoalan kehilangan kehormatannya. Bagaimana awak media mengetahui kenakalan anak gadisnya yang tengah mengandung satu bulan? "Noda itu, Kang. Noda itu apa milik adikku Nissa atas perbuatan kamu, hah?"Kekesalan Rissa sudah memuncak tepat di ubun-ubun, dia tidak bisa menahannya lagi. Perihal bercak noda yang selama ini menjadi tanda tanya dalam kepalanya hari ini terkuak begitu saja. Tanpa disadari tangannya meng
Nina merasa kecewa pada putri kandungnya yang sudah melakukan hal keji, dia melemparkan pandangannya ke arah lain meski Nissa membujuknya untuk menatap ke arahnya. Berulang kali Nissa bersimpuh pada sang ibu, tapi Nina tetap diam membungkam mulutnya. Dia sudah tidak ingin mengatakan apa pun lagi, karena kini hatinya sangat hancur saat mendengar pernyataan yang menusuknya bagai belati tajam. Di sana ada Kang Alvin juga yang menutup wajahnya, sesekali mengacak rambutnya frustasi. Awalnya dia hendak pergi mengikuti sang istri, tapi Nina mencegahnya membiarkan putri tirinya mempunyai waktu sendiri. "Apa benar kalian melakukan sesuatu di belakang Rissa?" tanya Nina akhirnya. Dia ingin memecahkan teka-teki yang membuat rumah tangga putri tirinya tidak harmonis. Wanita paruh baya itu mencoba untuk menyatukan segalanya yang telah hancur. Kini, dia tahu kejadian apa yang menimpa Rissa. "Aku tidak mungkin melakukan hal keji seperti itu dengan adik iparku, Mah." Kang Alvin membela diri. "To
"Keyla? Kenapa dia bisa mengenal Rissa?" tanyanya lirih nyaris tidak terdengar. Kang Alvin perlahan melangkah mundur mencoba menjauh dari kawasan kedua wanita yang tengah berbincang sambil sesekali menyesap kopi. Langkahnya terhenti di luar cafe yang bersatu dengan parkir motor dan mobil. Dia ingin mengajak istrinya pulang ke rumah, tapi nyalinya menciut begitu kedua matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah terduduk di depan Rissa. Sebenarnya apa yang ditakutkan Kang Alvin sampai dia tidak berani menemui mereka? Apakah pria itu menyembunyikan rahasia besar hingga membuatnya ketakutan kalau pun Rissa mengetahuinya? Terlalu banyak teka-teki dalam hidupnya sampai istrinya sendiri tidak mengetahui apa yang terjadi. Langkahnya tergesa kembali memutar balik mobilnya. Dia pergi dengan segala kecemasan, sebenarnya Rissa dan Keyla sedang membicarakan apa? Lelaki itu sesekali memijat pelipisnya yang terasa pening. Pria itu terus saja memikirkan mereka, dia seolah ingin mencegah mereka
"Pasien atas nama Alvin Mahendra di ruangan mana ya, Sus?" tanya Rissa pada seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih. "Oh pasien yang baru saja mengalami kecelakaan ya?" tanyanya. Rissa membenarkan pertanyaannya, wanita itu mengangguk pelan. "Ada di ruangan nomer 102, Bu. Sudah dipindahkan ke ruang rawat kok." Wanita berhijab pashmina berwarna khaki cepat bergegas ke arah ruangan yang disebutkan oleh suster. Langkahnya sangat cepat karena keinginannya segera bertemu dengan pria yang sangat dicintainya. Mengingat perlakuan pria itu yang menutupi segala rahasianya, kehidupannya penuh dengan misteri hingga Rissa pun sebagai istrinya tidak mengetahui segala tentangnya. Akan tetapi, tidak membuatnya membenci sepenuhnya pada Kang Alvin. Mana mungkin dia membiarkan suaminya kesakitan di dalam rumah sakit sendirian, pria itu sangat membutuhkan seseorang hadir di sampingnya. Siapa lagi jika bukan dirinya yang harus terduduk di sana. Melihat dari balik kaca jendela kedua matanya
Angin menerpa wajahnya pelan, sesekali rambutnya melambai ke setiap arah mana saja begitu terpaan menghembus ke arahnya. Nissa terduduk di atas kursi panjang berwarna putih yang memang sengaja disediakan teruntuk para pengunjung yang mendatangi taman. Keberadaan di sana tidak begitu ramai, karena hari ini bukan hari libur. Dia menunggu kedatangan lelaki yang sudah menjanjikan jika dirinya akan segera datang menemuinya yang tengah kebingungan tidak jelas arah. Ponselnya terus saja dihidupkan barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari lelaki yang tengah ditunggunya. Akan tetapi, sudah lama sekali dia tidak saja muncul memperlihatkan batang hidungnya. "Kamu ke mana sih, Delon?" tanyanya pelan. Dellon Anggara, kekasih Nissa yang selama ini dia sembunyikan keberadaannya. Dia tidak pernah mengumbar hubungannya dengan lelaki itu, karena terlalu banyak mata-mata yang berkeliaran. Gadis itu takut jika keluarganya memandang Dellon sebelah mata karena dari keluarga yang tidak berada.
"Aku enggak bisa nikahin kamu, Niss." Delon mengatakannya dengan tegas, rahangnya mengeras seolah ada tekanan yang selama ini terpendam. Di sisi lain gadis berambut panjang yang kini diikat dengan karet gelang berwarna hijau tua tertunduk dalam. Banyak prasangka buruk yang berkeliaran memenuhi kepalanya. Bagaimana jika tidak akan ada lelaki lain yang menerimanya selain Delon? "Kenapa? Kenapa, Delon?" tanya Nissa, suaranya terdengar serak karena sedari tadi dia terisak menangis. "Keluarga kamu mana mau menerimaku. Aku tidak mempunyai apa-apa." Delon membuang wajahnya ke arah lain, dia hanya tidak ingin menatap kedua bola mata gadis itu terlalu lama. "Urusan itu biar aku yang menjelaskan pada mereka." Nissa menyeka air matanya dengan kasar. Dia mencoba untuk tetap tegar meski hatinya sudah patah, hancur bahkan tidak lagi berbentuk. Lelaki yang mengenakan jaket berwarna hijau army itu memijat pelipisnya yang terasa pening. "Aku mana bisa menafkahimu, Nis.""Lalu, bagaimana dengan ba
Beberapa kali Kang Alvin mengerjapkan matanya, begitu pandangannya sudah jelas terbuka sempurna dia mendapati istrinya yang tengah tertunduk di samping brankar. Kedua tangannya dijadikan tumpuan sebagai bantal. Kang Alvin mengelus puncak kepalanya pelan, terlihat sekali wajah istrinya terlihat sangat lelah. Entah sudah berapa lama dia terbaring tidak berdaya di sana. Terakhir kali berkomunikasi dengan Rissa karena permasalahan Nissa disangkut pautkan dengan bercak darah di seprai mereka sewaktu malam pertama. Kisahnya diakhiri dengan tragedi kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa, tapi bersyukurlah dia masih diberi kesempatan untuk hidup dan memandangi wajah cantik istrinya. Kedua mata Rissa perlahan terbuka begitu dia merasakan ada sentuhan hangat di pipinya. Begitu menoleh ke sampingnya dia mendapati Kang Alvin yang tengah tersenyum. "Kang, sudah bangun?" tanya Rissa. Suaminya mengangguk pelan, senyumannya tidak pudar dari bingkai wajahnya. Rissa pula membalas lengkungan sepert
"Nissa hilang. Dia kabur entah ke mana," ucap Nina frustasi. Baru kali ini Nissa berani kabur dari rumah, padahal sebenarnya dia tidak bisa jauh dari ibunya. "Nanti kita cari ya, Mah." Rissa mencoba untuk menenangkan ibu tirinya. Dia berusaha menangani masalah besar ini yang terus berdatangan. "Semuanya gara-gara Alvin suami kamu, Riss." Nina kembali bersuara, nadanya tinggi seolah sudah meyakini dirinya jika menantunya itu memang pria yang bejat. Meskipun Kang Alvin sudah menjelaskan jika bukan dirinya yang berbuat, tapi Nina tetap menyalahkannya. Dengan alasan, siapa lagi jika bukan Alvin yang melakukannya? Seorang pria di rumah itu hanya menantunya saja tidak akan mungkin jika penjaga rumahnya yang selalu di luar rumah tidak pernah sekali pun dia masuk ke dalam rumahnya. Akan sangat memungkinkan jika menantunya yang telah melecehkan putrinya. "Memangnya sudah ada bukti yang kuat, Mah?" tanya Rissa. Kali ini dia berusaha untuk membela suaminya. Mengingat perkataan Kang Alvin sa
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Alvin pergi ke tempatnya bekerja, dia berharap jika Fatma tidak lagi mengejarnya, karena wanita itu juga sudah tahu jika dirinya mempunyai keluarga. Mana mungkin dia terus berlaku seperti itu saja. Kesannya seperti tidak mengenakkan.“Selamat pagi, Pak.” Salah satu karyawan menghampiri Alvin, dia menyapanya dengan sangat ramah. Tentu saja, lelaki itu pula membalasnya dengan senyuman pula yang merekah.“Iya.” Alvin menyunggingkan senyumannya.Tidak lama kemudian, Fatma berjalan ke arahnya, senyumannya terlihat merekah. Wanita itu bahagia sekali saat kedua matanya beradu pandang dengan lelaki satu anak itu.Alvin berusaha untuk menghindarinya, dia segera melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, tapi justru Fatma mengikutinya begitu saja seolah enggan ditinggalkan. Bahkan, saat lelaki itu hendak memasuki ruang kerjanya pun wanita itu mencekal pergelangan tangannya seolah menghentikannya begitu saja.Sikap Fatma membuat Alvin semakin tidak nyaman, bagaimana tidak seperti itu? Bahkan kala
Kali ini Rissa jauh lebih posesif pada Alvin, karena bagaimana pun juga suaminya itu pernah melakukan hal yang tidak seharusnya, membohonginya begitu saja. Tentu saja, hal itu justru membuatnya tidak suka atas perlakuannya. Seperti saat ini keduanya tengah berhadapan di meja makan, Rissa seolah tidak nafsu makan, karena segala hal yang terjadi begitu sangat melelahkan baginya. Wanita itu merasa jika Alvin sudah memberinya terlalu banyak luka, tapi justru dirinya semakin cinta terhadapnya. Dia juga bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi persoalan tersebut. Rissa memang selalu melakukan yang terbaik untuk rumah tangganya, tapi namanya juga hubungan percintaan yang sudah dijalin dengan kesucian memang selalu saja tidak bisa terlepas dari masalah. Munkin hal itu juga disebabkan dari traumanya di masa lalu yang membuatnya tidak bisa melepaskan Alvin begitu saja. Persembunyian mengenai Bi Ratih juga membuat Rissa seolah tidak bisa mempercayai sang suami sepenuhnya, meskipun Alv
Fatma masih saja terus mengusik Alvin, bahkan dia kali ini seringkali memberikan makanan buatannya. Namun, hal itu tidak membuat Kang Alvin luluh untuk memakannya. Fatma memberikannya untuknya, lalu dia akan menyerahkannya pada pekerjanya yang memang sedang bertugas ke ruangannya, entah itu cleaning service atau yang lainnya. Kang Alvin enggan menerimanya karena merasa takut akan terjadi seperti kejadian sebelumnya, bagaimana jika istrinya tahu kalau di kantor ada perempuan genit yang sedang berusaha menggodanya. Mungkin saja dia akan menggamparnya atau bisa lebih parah lagi enggan untuk memaafkannya. Meski sebelumnya pun Kang Alvin tidak berselingkuh, tapi dia merasa banyak bersalah bahkan seolah mengkhianati istrinya begitu saja, dia enggan melakukan hal seperti itu lagi. Sudah cukup baginya membohongi sampai dirinya nyaris kehilangan istrinya. "Ini untuk Bapak." Fatma tidak akan pernah menyerah memberikan makanan buatannya pada Alvin. Seperti biasanya, Alvin akan menolaknya se
"Pak Alvin, ini berkasnya." Wanita berambut panjang itu menyodorkan beberapa lembar dalam sebuah map pada pria di hadapannya yang sebelumnya tengah memainkan laptop miliknya. "Terima kasih." Alvin segera menerimanya, tapi wanita itu tidak segera mengindahkan langkahnya. Dia tetap berdiri mematung di tempatnya. Menyadari hal itu, Alvin melirik ke arahnya. Tampaknya dia memandangi beberapa saat, pria itu memahami jika wanita di hadapannya seolah belum paham jika dirinya belum memintanya pergi. "Kamu boleh kembali ke ruangan lagi." Alvin pun berkutat pada laptopnya, karena dia rasa kalimat tersebut sudah bisa mewakili bahwa dirinya tidak lagi membutuhkannya. Namun, wanita itu masih saja berdiri di sana seolah belum mengerti dengan kalimat yang disampaikan direkturnya. "Pak. Apakah ada yang bisa saya bantu?" tanyanya. Mendapatkan pertanyaan seperti itu dari karyawannya membuat Alvin tersenyum samar, lalu dia pun menggeleng dengan pasti. "Tidak ada. Kamu kerjakan saja tugasmu yang l
Alvin membondong istri dan anaknya ke tempat baru, dia hanya ingin membangun rumah tangganya dengan tentram, seperti halnya saat pertama kali mereka bertemu. Pria itu hanya ingin melupakan semua masalah yang pernah ada dalam kehidupannya. Mungkin, dengan cara seperti ini semuanya menjadi lebih menyenangkan dan membahagiakan keluarga kecil tersebut. Bayi mungil perempuan yang pada akhirnya diberi nama Clarissa, diberi janji oleh kedua orang tuanya bahwa mereka akan memberikannya kasih sayang secara penuh, tidak peduli apa yang terjadi di masa mendatang pada keduanya. Nissa sempat merasa bersedih atas kepergian kakaknya ke kota berbeda. Meski begitu, dia juga tahu bahwa semuanya sudah menjadi rencana pasangan suami-istri tersebut, mereka hanya ingin tenang dan menjalankan perannya masing-masing.Suasana di tempat kali ini lebih menyenangkan, dan jauh bersih. Alvin tersenyum begitu menilik istrinya yang tengah menggendong putrinya sembari berdiri memandangi pemandangan asri di hadapan
"Cantik ya seperti kamu, Sayang." Kang Alvin memberikan rayuan pada istrinya, hal itu tentu saja membuat wanita di sampingnya tampak tersipu malu. Rissa mengulum senyumnya, tambah cantik saja. Benar kata suaminya jika sang istri selalu menambah pesonanya dengan seulas senyuman. Dari dulu Kang Alvin memang seringkali merayunya, apa pun yang dilihatnya dari sang istri. Dia akan selalu memberikannya ucapan manis yang tidak pernah terlepas dari mulutnya. Hanya saja, kali ini istrinya tidak tersipu malu seperti sebelumnya. Dia lebih banyak diam setelah mengingat apa yang terjadi. Alvin terlalu banyak menyimpan misteri yang membuatnya sulit saat mencari tahu. Meski begitu, Rissa berusaha untuk memaafkan. "Kang." Rissa mencoba untuk mengatakannya pada sang suami. "Iya, Sayang?" tanya Kang Alvin mencoba untuk memastikannya. Kedua matanya memandangi istrinya dengan sangat lekat. Hal itu membuat Rissa ikut tersenyum pula, dia seperti merasa senang sekali saat dipandangi seperti itu oleh s